Tuesday, July 31, 2007

Perjelas Calon Perseorangan


Seminggu sudah keputusan Mahkamah Konstitusi terkait calon perseorangan untuk bisa ikut pilkada, tetapi bagaimana pelaksanaannya belum juga jelas.

Tepatlah apabila pemerintah perlu segera bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan juga Komisi Pemilihan Umum untuk bisa menentukan langkah yang akan kita lakukan untuk menindaklanjuti keputusan MK tersebut. Kita tidak bisa membiarkan persoalan ini lebih lama mengambang tanpa kejelasan.

Rasanya sudah cukup berbagai pemikiran bermunculan. Sekarang ini tugas kita bagaimana merumuskan pemikiran-pemikiran itu untuk menjadi arah kebijakan yang strategis dan sesuai dengan cita-cita kita untuk membangun demokrasi yang lebih baik ke depan.

Untuk itu memang semua pihak perlu bersabar. Jangan kita mengambil keputusan yang tidak berlandaskan pada aturan yang benar agar tidak menimbulkan persoalan yang lebih pelik di masa mendatang.

Kita tidak menutup mata, sekarang ini tekanan berat dihadapi KPUD. Sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah, mereka didesak untuk membuat kebijakan oleh mereka yang sedang mengincar kursi kekuasaan. Karena itu tepat apabila Departemen Dalam Negeri meminta KPUD untuk tidak membuat ketentuan sendiri-sendiri. Depdagri perlu mengambil tanggung jawab.

Pertanyaannya, berapa lama Depdagri bersama DPR dan KPU bisa merumuskan sebuah peraturan pelaksanaan yang bisa menjadi pegangan kita bersama dalam mengartikan keputusan MK? Kita tahu bahwa itu memang tidak mudah. Namun, batasan waktu itu diperlukan agar semua mempunyai pegangan, apalagi kita tahu begitu banyak jadwal pilkada yang harus dilaksanakan.

Di sini kita ingin mengingatkan juga, betapa strategisnya posisi Depdagri. Bukan hanya dalam urusan calon perseorangan, tetapi banyak hal yang berkaitan dengan pembangunan politik di dalam negeri juga memerlukan perhatian dan penanganan yang khusus.

Kita merasa prihatin terhadap nasib yang dialami Menteri Dalam Negeri Moh Ma’ruf. Berbulan-bulan ia sakit dan sampai sekarang masih berada dalam pemulihan, sementara itu pekerjaan besar menunggu.

Untuk sementara, Presiden sudah menugaskan Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS sebagai Mendagri ad interim. Tetapi, sekali lagi, pekerjaan yang ada di Depdagri tidak bisa ditangani seperti itu.

Kita dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Reformasi yang kita canangkan hampir 10 tahun ini menuntut adanya cara penanganan yang luar biasa. Kita dihadapkan pada pekerjaan besar dan bersejarah.

Bukan dari sisi kelembagaan saja terjadi perubahan yang sangat drastis, tetapi juga dalam praktik pelaksanaannya. Untuk bisa memberikan hasil terbaik bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara, diperlukan adanya perubahan sikap dan perilaku. Di sinilah dituntut adanya pengorbanan dari semua pihak.

Kita semua harus berupaya untuk membuat demokrasi yang kita tetapkan bisa berjalan sesuai dengan prinsip yang berlaku. Itulah warisan terbesar apabila kita bisa membuat demokrasi berjalan baik di Indonesia.

Keadilan Sosial, seperti Apa?


Tata Mustasya

Banyak orang merindukan "keadilan sosial" dan kehidupan ekonomi yang lebih baik.

Ada kesepakatan tentang tujuan, yaitu keyakinan bahwa keadilan sosial harus mengoreksi kesenjangan ekonomi yang kian lebar. Namun, seperti apa bentuk keadilan sosial itu? Bagaimana mewujudkannya?

Dibandingkan empat sila lain dalam Pancasila, tafsir atas sila kelima, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"—yang terkait dengan cita-cita perekonomian Indonesia—merupakan yang terumit.

Pertama, terwujudnya keadilan sosial—dalam dekade terakhir—tidak dalam kontrol negara. Ada konsumen, sektor privat, dan—dalam dunia yang menurut Thomas Friedman kian "datar"—dunia internasional.

Kedua, sesuatu yang secara kasatmata (visible) dan jangka pendek (short term) bersifat mulia kerap merugikan warga. Kebijakan populis sering menjelma menjadi alat buruk untuk mencapai tujuan baik. Contohnya, ekonomi terpimpin di negara-negara komunis yang dijalankan untuk pemerataan dan keadilan. Hasilnya mengecewakan: mismanajemen karena pemerintah tidak mampu mengoordinasi ribuan barang dan jasa, korupsi, dan lenyapnya insentif individu untuk menggerakkan roda perekonomian.

Masalah itu membuat pernyataan Presiden Yudhoyono dalam peringatan Hari Koperasi Nasional Ke-60 beberapa waktu lalu, perlu penjelasan lebih jauh dan implementasi nyata. Menurut Yudhoyono, ekonomi yang dibangun di Indonesia adalah ekonomi berkeadilan sosial, bukan ekonomi kapitalisme, komunisme, dan neoliberalisme.

Keadilan ekonomi

Berbicara tentang ekonomi berkeadilan sosial tak berarti tanpa kemampuan memformulasikan kebijakan yang layak dijalankan. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah keadilan ekonomi dalam satu generasi dengan mengoreksi output pasar, sebuah bentuk keadilan dalam "hasil". Di sini, kebijakan bisa mengintervensi pasar melalui keberpihakan: terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sektor pertanian, atau mengalokasikan anggaran lebih besar bagi daerah yang relatif tertinggal. Bentuk lain adalah kebijakan sosial (social policy), terutama untuk mereka yang tersingkir dalam perekonomian.

Ada dua masalah berpotensi timbul. Pertama, terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang merupakan penyokong utama perbaikan kesejahteraan. Berbagai literatur mencatat, pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan kesejahteraan hingga ratusan persen. Sementara berbagai aturan pro-yang lemah, seperti kebijakan proburuh, berperan lebih rendah, memperbaiki kesejahteraan hingga 20 persen.

Ekonomi berkeadilan sosial— yang bertujuan memperbaiki kesejahteraan—memerlukan pertumbuhan ekonomi sebagai syarat wajib. Tantangan bagi pencapaian ekonomi berkeadilan sosial adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara keadilan dan efisiensi ekonomi, termasuk agar program pro-poor tidak menghancurkan insentif bagi individu dalam perekonomian.

Masalah selanjutnya, potensi kegagalan pemerintah (government failure). Target ekonomi berkeadilan sosial, secara teoretis, memerlukan peran pemerintah lebih luas. Dalam perspektif kaum libertarian, pasar—bukan pemerintah—yang terbukti berhasil menjalankan fungsi "koordinasi perekonomian". Dalam konteks Indonesia, budaya korupsi bisa mengubah perluasan pemerintah menjadi perluasan ruang korupsi, seperti berlangsung di banyak BUMN.

Bentuk kedua, keadilan sosial antargenerasi, di mana seharusnya tak ada pewarisan kemiskinan. Yang diperlukan dalam konteks ini adalah keadilan dalam "kesempatan". Untuk itu, pemerintah harus menyediakan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara merata, terutama bagi daerah tertinggal dan Indonesia bagian timur.

Peran pemerintah berkorelasi dengan keadilan antargenerasi. Tulisan Alister Bull di Washington Post beberapa bulan lalu mengutip studi ekonom Tom Hertz dari American University, "Understanding Mobility in America" menyatakan, anak terlahir dari keluarga miskin di AS hanya memiliki peluang 1 persen untuk menjadi kaya saat dewasa. Anak dari keluarga kaya berpeluang 22 persen. Studi ini menyebutkan, AS memiliki mobilitas antargenerasi terburuk di antara negara-negara maju. Jauh lebih buruk daripada negara-negara Eropa, seperti Denmark, yang pemerintahnya berperan lebih luas.

Langkah kunci

Ekonomi berkeadilan sosial adalah sebuah amanat dan harapan yang relevan. Untuk itu, pertama, kita harus mampu menerjemahkan konsep ini ke bentuk rinci. Juga, menyelaraskannya dengan pertumbuhan ekonomi dan produktivitas.

Untuk implementasi konsep yang telah disusun, kita memerlukan pemerintahan yang efektif dan korupsi yang minim. Dan itu belum kita miliki.

Tata Mustasya Analis Kebijakan Publik dan Ekonomi-Politik

Kekuasaan Birahi

Iklan ini rutin dimuat di koran nasional Amerika Serikat, termasuk The Washington Post: "Pamela Martin & Associates, Satu Kali Bayar, Tak Ada Biaya Tambahan. Melayani Seluruh Washington, Tersedia 7 Hari Setiap Pekan".

Di bawah ada rincian. "Pamela Martin (PM) jasa pendamping profesional dengan tingkat kelarisan 65-75 persen. Staf berusia 23 tahun ke atas dengan pendidikan minimal dua tahun di universitas. Tarif 275 dollar AS per 90 menit".

Iklan normal itu tiba-tiba menggemparkan Amerika Serikat (AS). Pasalnya, Deputi Menlu Randall Tobias (65) mundur dari jabatannya 27 April lalu atau sehari setelah mengaku jadi pelanggan pendamping PM.

"Saya beberapa kali menyewa pendamping PM, termasuk yang berasal dari Amerika Latin, untuk datang ke apartemen. Cuma pijat, tak ada seks," kilah Tobias.

Tobias mengaku karena pengadilan memeriksa bos PM, Jeane Palfrey yang didakwa karena melakukan praktik prostitusi. Palfrey dijuluki "Mami DC" (DC Madam) yang menyimpan ribuan nomor telepon pelanggan—termasuk politisi—di Washington DC.

Mami DC berencana memanggil sejumlah politisi bersaksi di pengadilan. Selain Tobias, Senator David Vitter dan peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Harlan Ullman juga "mengaku dosa".

Media memuat ribuan komentar konyol rakyat yang mengejek sikap hipokrit Partai Republik yang sering terlibat skandal belakangan ini. Menurut ABC News, skandal Mami DC ini yang ke-25 yang melibatkan tokoh Partai Republik selama era Presiden George W Bush.

Presiden IMF Paul Wolfowitz mundur karena menaikkan gaji pacarnya yang sekantor, Shaha Riza. Arsitek invasi ke Irak itu berkampanye, IMF ogah meminjamkan utang untuk rezim yang korup, tetapi kayak kerbau dicokok hidungnya oleh Riza.

Mantan Ketua DPR Newt Gingrich mengaku selingkuh saat mensponsori pemakzulan Presiden Bill Clinton yang pacaran dengan Monica Lewinsky. Anggota DPR Mark Foley mundur karena ketahuan naksir staf muda yang juga lelaki yang bekerja di Kongres.

Pendeta Ted Haggard yang ultrakanan dipecat dari gereja Protestan karena praktik homoseksual dan memakai narkoba. Wartawan top Bill O’Reilly yang gemar bicara soal moral terbukti melecehkan perempuan di kantornya, stasiun teve Fox.

Nah, Tobias juga Direktur Bantuan Asing/Administrator US Agency for International Development (USAID). Ia pernah jadi Dubes Dana Darurat Presiden Urusan Bantuan AIDS.

"Tak heran ia sewa pendamping Amerika Latin yang miskin yang butuh bantuan asing, kata pembaca". "Sebagai pejabat urusan AIDS ia jangan lupa pakai kondom saat dipijat staf Mami DC," tulis pembaca lain.

Ullman pakar doktrin serangan shock and awe (kejut dan ganas) ke Irak. "Kini saya mengerti doktrin kejut dan ganas setelah dipraktikkan langsung oleh ahlinya."

Banyak orang dekat Bush yang kena skandal. Pelobi kesayangan dia, Jack Abramoff, dihukum 5 tahun 10 bulan karena skandal suap dan korupsi.

Bush dua pekan lalu memberikan grasi untuk bekas tangan kanan Wapres Dick Cheney, Lewis Libby, yang dihukum penjara. Ia mengungkap identitas agen CIA, Valerie Wilson, yang kritis terhadap Bush.

Jaksa Agung Alberto Gonzales memecat sembilan jaksa anti-Bush. Cheney tak mau diperiksa polisi setelah secara tak sengaja menembak temannya sampai luka berat.

Jangankan soal seks, korupsi, atau menembak teman, Bush juga berbohong tentang senjata pemusnah massal di Irak. Pekan lalu Bush masih bilang teroris Al Qaeda masih berkeliaran sehingga pasukan AS tetap dibutuhkan.

Irak ibarat meja makan yang bersih, Bush datang bawa makanan basi yang mengundang lalat-lalat hijau. Ia bilang, "Jangan takut, saya usir lalat-lalat itu."

Itulah bahayanya jika rezim hidup dari kebohongan. Saking sering berbohong, rezim tak tahu lagi mana fakta, mana fiksi.

Rakyat bosan dengar cerita dikarang-karang. Namun, rakyat senang cerita ala check and recheck yang "seru, seram, dan menegangkan".

Wah, Anu ketahuan selingkuh, ada filmnya di handphone. Wuih, Badu ternyata poligami.

Hari ini Clinton ngomong, "Saya tak pernah berhubungan seks dengan perempuan itu". Beberapa hari kemudian, "Ya, saya terlibat asmara dengan Nona Lewinsky".

Guyon terlucu di AS berjudul "Enam Presiden". Alkisah, keenam presiden itu ada di kapal yang mau karam.

Presiden Gerald Ford yang peragu bertanya, "Apa yang harus kita lakukan?" Presiden George HW Bush yang ketika menjadi pilot berhari-hari bertahan di laut ganas setelah pesawat tempurnya ditembak Jepang menyergah, "Turunkan sekoci!"

Presiden Ronald Reagan si pelupa menimpali, "Sekoci itu apa sih?" Presiden Jimmy Carter, demokrat yang feminis, bilang, "Kita berikan kesempatan pertama untuk perempuan."

Presiden Richard Nixon, konservatif tulen yang tak pernah menghormati hak-hak perempuan, membentak, "Ah, buat apa mengistimewakan mereka!" Clinton menukas, "Apakah masih ada waktu untuk merayu?"

Guyon tentang Presiden RI? BK senang perempuan, Sht punya empat perempuan (istri dan tiga putrinya), BJH kalau ngomong kayak perempuan, GD doyan dikelilingi anak-anaknya yang perempuan semua, dan MS perempuan beranak Puan.

Pepatah mengatakan, "Kekuasaan merupakan obat perangsang birahi yang paling manjur, khususnya bagi mereka yang berkuasa. Seperti obat, ia juga memiliki akibat sampingan, seperti arogansi, hilangnya daya ingat, dan sikap pandir".

Calon Independen Vs Stabilitas Politik


Melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-V/2007, akhirnya perjuangan masyarakat berhasil mendapatkan calon independen tanpa harus memohon-mohon dukungan partai politik. Keputusan tersebut sangat melegakan mengingat praktik politik pemilihan kepala daerah selama ini, dengan peran partai politik diibaratkan sekadar broker yang memperdagangkan kekuasaan politik.

Akibatnya, martabat partai rontok di mata masyarakat. Munculnya kandidat independen diharapkan mendorong kehadiran calon-calon pemimpin yang lebih mempunyai kepekaan dan komitmen pada kesulitan hidup masyarakat.

Bagi partai politik, calon independen harus dilihat sebagai tantangan bagi peningkatan kualitas kader dan konsolidasi organisasi. Partai politik tidak perlu terlalu khawatir calon independen akan menggerogoti ranah kewenangannya bila parpol melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya.

Tidak mudah bagi calon independen memenangi persaingan pemilihan kepala daerah karena mereka harus melawan mesin dan struktur politik yang sudah mapan. Namun, sebaliknya, kalau partai politik sekadar menjadi medan perebutan kekuasaan para elitenya, kandidat parpol dengan mudah akan tersisihkan.

Hal itu antara lain dapat dilihat pada hasil pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pilkada yang dilakukan secara serentak pada tanggal 11 Desember 2006, calon independen memenangi kursi gubernur dan delapan bupati/wali kota.

Oleh karena itu, DPR diharapkan segera membuat regulasi agar proses keikutsertaan kandidat independen dalam pilkada bisa segera dilaksanakan. Kekosongan hukum akan membuat keresahan daerah-daerah yang beberapa bulan ke depan akan menyelenggarakan pilkada.

Persoalan serius

Namun, persoalan lebih serius yang harus dicermati adalah stabilitas politik lokal. Struktur kekuasaan di daerah yang mirip dengan struktur kekuasaan di level nasional rentan terhadap konflik yang berkepanjangan antara eksekutif dan parlemen.

Hal itu disebabkan tidak ada jaminan terjadinya dukungan politik yang simetris antara kepala daerah dan DPRD. Oleh karena itu, menjelang penyusunan RUU Politik, debat publik tentang electoral threshold (ambang batas) mengenai eksistensi partai politik cukup memanas. Wacana tersebut bertujuan agar RUU politik dapat merumuskan regulasi yang dapat menghasilkan tiga variabel yang sulit dikombinasikan, yaitu (1) sistem presidensial yang kuat dan efektif, (2) sistem multipartai, serta (3) jaminan stabilitas politik.

Di tengah upaya membangun konstruksi kekuasaan dan kelembagaan yang tidak mudah tersebut, munculnya kandidat independen akan menambah besar kemungkinan ancaman kemacetan pemerintah daerah karena tanpa dukungan partai politik di parlemen tingkat lokal, kepala daerah terlalu mudah dijadikan bulan-bulanan anggota DPRD. Meski sejumlah kalangan menyatakan hal itu tidak perlu terlalu dirisaukan.

Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya mencegah krisis politik di daerah. Jalan keluar yang paling konstitusional adalah menegaskan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dewasa ini dilakukan dalam skema negara kesatuan, sebagaimana dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Berarti, besaran (magnitude) kewenangan daerah berasal dan ditentukan oleh pusat. Konsekuensinya, bila diperlukan, pemerintah pusat dapat menarik kembali kewenangan yang diberikan kepada daerah. Oleh karena itu, kalau UU No 32/2004 akan direvisi, sebaiknya disertai pula regulasi yang menegaskan bahwa kalau terjadi kemacetan pemerintahan di daerah, pemerintah pusat mempunyai kewenangan mengambil tindakan agar pemerintahan dapat berjalan kembali.

Dengan demikian, revisi UU No 32/2004 tidak sekadar memberikan peluang bagi calon independen, tetapi juga memberikan pasal yang dapat mencegah deadlock yang mengakibatkan pemerintahan daerah tidak berlangsung.

Dalam mengantisipasi krisis, pemerintah mungkin dapat mengambil pelajaran negara India. Meskipun bentuk negara India adalah kuasi federal, bila terjadi krisis pemerintahan di negara bagian (state), presiden mempunyai kewenangan diskresi, melalui Pasal 356 Konstitusi, membubarkan parlemen di negara bagian dan memecat gubernur.

Namun, kewenangan tersebut dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, diskresi harus merupakan jalan terakhir setelah segala upaya sebelumnya tidak dapat mengatasi masalah tersebut. Kedua, presiden harus mendapatkan persetujuan kedua parlemen dan benar-benar memerhatikan laporan gubernur. Ketiga, dapat dilakukan uji materi kepada Mahkamah Agung atas pernyataan presiden bahwa situasi dalam keadaan darurat. Bilamana Mahkamah Agung menolak, gubernur dan lembaga perwakilan di daerah (state) dapat berfungsi kembali.

Pengaturan yang rumit itu untuk mencegah agar presiden tidak sembarangan atau menyalahgunakan kewenangan yang kontroversial itu.

Pandangan ini kiranya sangat berharga untuk dijadikan konsiderasi dalam menyusun regulasi yang komprehensif. Dengan demikian, munculnya calon independen tidak saja semakin membuka peluang tumbuhnya demokrasi, tetapi juga merupakan momentum untuk mewujudkan kehidupan politik yang stabil, pemerintahan yang efektif, serta sistem kepartaian yang multipartai.

Calon Independen Vs Stabilitas Politik


Melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-V/2007, akhirnya perjuangan masyarakat berhasil mendapatkan calon independen tanpa harus memohon-mohon dukungan partai politik. Keputusan tersebut sangat melegakan mengingat praktik politik pemilihan kepala daerah selama ini, dengan peran partai politik diibaratkan sekadar broker yang memperdagangkan kekuasaan politik.

Akibatnya, martabat partai rontok di mata masyarakat. Munculnya kandidat independen diharapkan mendorong kehadiran calon-calon pemimpin yang lebih mempunyai kepekaan dan komitmen pada kesulitan hidup masyarakat.

Bagi partai politik, calon independen harus dilihat sebagai tantangan bagi peningkatan kualitas kader dan konsolidasi organisasi. Partai politik tidak perlu terlalu khawatir calon independen akan menggerogoti ranah kewenangannya bila parpol melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya.

Tidak mudah bagi calon independen memenangi persaingan pemilihan kepala daerah karena mereka harus melawan mesin dan struktur politik yang sudah mapan. Namun, sebaliknya, kalau partai politik sekadar menjadi medan perebutan kekuasaan para elitenya, kandidat parpol dengan mudah akan tersisihkan.

Hal itu antara lain dapat dilihat pada hasil pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pilkada yang dilakukan secara serentak pada tanggal 11 Desember 2006, calon independen memenangi kursi gubernur dan delapan bupati/wali kota.

Oleh karena itu, DPR diharapkan segera membuat regulasi agar proses keikutsertaan kandidat independen dalam pilkada bisa segera dilaksanakan. Kekosongan hukum akan membuat keresahan daerah-daerah yang beberapa bulan ke depan akan menyelenggarakan pilkada.

Persoalan serius

Namun, persoalan lebih serius yang harus dicermati adalah stabilitas politik lokal. Struktur kekuasaan di daerah yang mirip dengan struktur kekuasaan di level nasional rentan terhadap konflik yang berkepanjangan antara eksekutif dan parlemen.

Hal itu disebabkan tidak ada jaminan terjadinya dukungan politik yang simetris antara kepala daerah dan DPRD. Oleh karena itu, menjelang penyusunan RUU Politik, debat publik tentang electoral threshold (ambang batas) mengenai eksistensi partai politik cukup memanas. Wacana tersebut bertujuan agar RUU politik dapat merumuskan regulasi yang dapat menghasilkan tiga variabel yang sulit dikombinasikan, yaitu (1) sistem presidensial yang kuat dan efektif, (2) sistem multipartai, serta (3) jaminan stabilitas politik.

Di tengah upaya membangun konstruksi kekuasaan dan kelembagaan yang tidak mudah tersebut, munculnya kandidat independen akan menambah besar kemungkinan ancaman kemacetan pemerintah daerah karena tanpa dukungan partai politik di parlemen tingkat lokal, kepala daerah terlalu mudah dijadikan bulan-bulanan anggota DPRD. Meski sejumlah kalangan menyatakan hal itu tidak perlu terlalu dirisaukan.

Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya mencegah krisis politik di daerah. Jalan keluar yang paling konstitusional adalah menegaskan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dewasa ini dilakukan dalam skema negara kesatuan, sebagaimana dinyatakan dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Berarti, besaran (magnitude) kewenangan daerah berasal dan ditentukan oleh pusat. Konsekuensinya, bila diperlukan, pemerintah pusat dapat menarik kembali kewenangan yang diberikan kepada daerah. Oleh karena itu, kalau UU No 32/2004 akan direvisi, sebaiknya disertai pula regulasi yang menegaskan bahwa kalau terjadi kemacetan pemerintahan di daerah, pemerintah pusat mempunyai kewenangan mengambil tindakan agar pemerintahan dapat berjalan kembali.

Dengan demikian, revisi UU No 32/2004 tidak sekadar memberikan peluang bagi calon independen, tetapi juga memberikan pasal yang dapat mencegah deadlock yang mengakibatkan pemerintahan daerah tidak berlangsung.

Dalam mengantisipasi krisis, pemerintah mungkin dapat mengambil pelajaran negara India. Meskipun bentuk negara India adalah kuasi federal, bila terjadi krisis pemerintahan di negara bagian (state), presiden mempunyai kewenangan diskresi, melalui Pasal 356 Konstitusi, membubarkan parlemen di negara bagian dan memecat gubernur.

Namun, kewenangan tersebut dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, diskresi harus merupakan jalan terakhir setelah segala upaya sebelumnya tidak dapat mengatasi masalah tersebut. Kedua, presiden harus mendapatkan persetujuan kedua parlemen dan benar-benar memerhatikan laporan gubernur. Ketiga, dapat dilakukan uji materi kepada Mahkamah Agung atas pernyataan presiden bahwa situasi dalam keadaan darurat. Bilamana Mahkamah Agung menolak, gubernur dan lembaga perwakilan di daerah (state) dapat berfungsi kembali.

Pengaturan yang rumit itu untuk mencegah agar presiden tidak sembarangan atau menyalahgunakan kewenangan yang kontroversial itu.

Pandangan ini kiranya sangat berharga untuk dijadikan konsiderasi dalam menyusun regulasi yang komprehensif. Dengan demikian, munculnya calon independen tidak saja semakin membuka peluang tumbuhnya demokrasi, tetapi juga merupakan momentum untuk mewujudkan kehidupan politik yang stabil, pemerintahan yang efektif, serta sistem kepartaian yang multipartai.

Monday, July 30, 2007

Komentar Ttg Kemelut PKB

Namanya Juga Kualat...
Senin, 30 Juli 2007, 08:44:20 WIB
Komentator: faiz

Semakin lama semakin transparanlah rebutan tulang dalam keluarga GusDur. Adiknya, anaknya, ponakannnya, misannya, dan keluarga lainnya semua mencoba saling menyalahkan dan (lucunya) sambil menggunakan nama GusDur sebagai topeng.

Imin membela GD
Yenni membela GD
Ipul membela GD
Lily membela GD
Aying membela GD
Umar membela GD
Solah membela GD

Lha GD membela siapa? Ya membela diri sendiri, karena GD di atas semuanya, tidak bisa salah, tidak bisa dikritik, dan tentu saja tidak bisa dinasihati. Lha wong Kyai sak ndayak banyaknya aja dicuekin, kok, apalagi cuma orang-orang biasa.

Kini PKB, partai keponakan berantem, itu semakin runyam karena sudah memakai logika konspirasi: ada upaya membunuh GD!! Waduhhhh biyuuunggg... apa yg lebih serem dari tuduhan macem ini? Saya kira tidak ada, karena ibarat senjata, ini sudah pamungkas, sudah nuklir!

Anehnya tuduhan upaya membunuh (fisik, lho, bukan cuma karakter saja) GD ini keluar dari mulut Lily Wahid, yg selama ini menjadi salah satu tulang punggung Imin. Sudah gitu, sekarang Imam Nahrowi (IN) dkk juga mulai berani membantah DPP. Ini alamat IN dkk bakal digusur oleh panser Sigid-Yenni yg sudah direstui habis oleh GD dan dijampe-jampe oleh Binki Irawan (BI), paranormal dr Surabaya yg dituding Lily Wahid sebagai biang kerok disinformasi.

bagi orang awam yg tidak tahu jerohan NU dan PKB, keruwetan ini memang memuakkan dan memalukan. tetapi ada manfaatnya juga saya kira, karena akan terjadi sebuah proses desakralisasi keluarga GD yg seolah-olah punya privilege dalam menentukan abang ijonya NU dan PKB.

Warga NU terutama di luar Jawa, sekarang makin antipati thd dominasi GD dan keluarga. Yg di Jawa, warga NU Jatim dan Jateng juga sebagian besar sudah pada menertawai permainan 'Kethoprak Politik' keluarga GD yg saling cakar-cakaran rebutan tulang yg sudah makin tipis sumsumnya.

Kemanakah perginya sikap asketis keulamaan, jiwa besar kenegarawanan, kearifan kecendekiawanan, dan toleransi seorang pembela HAM seperti GD? Hanya Tuhan dan GD yg tahu.

Bagi saya yg cuma wong cilik di pelosok udik Jateng ini, semua kekacauan ini bisa dikaji dari sudut rasional dan metafisik. Rasionalnya, ya karena GD dan keluarga sudah kehilangan kemampuan manajemen dan tergila-gila pada kemewahan dan kekuasaan. Secara metafisik, barangkali ya karena Gusti Ingkang Murbeng Dumadi ingin menunjukkan kepada hamba-2Nya bahwa manusia itu kalau serakah dan bersikap adigang-adigung-adiguno, pasti akan keweleh dan kehancuran nya akan disaksikan oleh publik di seluruh tanah air.

Apakah dengan demikian tidak aa jalan mundur bg GD dan keluarga? saya kira masih ada. Serahkan manajemen partai kepada para ahlinya, dan mulailah melakukan pertobatan yg tulus, taubat nasuha. Kunjungi para kyai sepuh, mintalah maaf, dan segera mundur dari politik. Sudah waktunya menjadi Pandhito dan menjadi contoh bagi keluarga serta warga NU. Lalu perintahkan anak, keponakan, saudara misan dll supaya berpolitik secara rasional, bermoral, dan menggunakan prosedur yg sudah disepakati.

Kalau tidak, ya tunggu saatnya. Kata hadis: 'Idza wussidal amr ila ghoiri ahlih, fantadziris saa'ah.' (Jika suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saja kehancurannya. PKB akan hancur, dan yg lebih ngeri lagi, reputasi keluarga Hasyim Asy'ari dan Wahid Hasyim, dua orang founders negara RI kita, akan turut terpuruk. Sayang, kan???


God Bless Indonesia!!!
(Waiting for your political common sense, Mr. Dur!!)

Gus Dur Jangan Asal Tuduh Dong

DPW PKB Jatim Dibekukan, Imam Protes:

Jakarta, Rakyat Merdeka. Imam Nach­ra­wi memprotes keras ke­pu­tusan Gus Dur membekukan DPW Partai Kebangkitan Bang­sa (PKB) Jawa Timur di ba­wah kepemimpinannya. Ia me­nilai, keputusan pem­be­ku­an itu tak beralasan dan keliru.

“Alasan yang dikemukakan oleh Gusdur membuat saya bi­ngung harus berbuat apa” kata Imam ketika dihubungi Rakyat Merdeka.

Sebelumnya, Gus Dur me­nga­takan, Imam gagal mem­bersihkan DPW PKB Jawa Ti­mur dari para wakil ketua yang kerap pemeras para pe­jabat maupun warga PKB sen­diri. Alasan itu yang men­jadi dasar pembekuan ke­pengurusn DPW PKB Jatim.

“Tuduhan bahwa ada orang-orang pemeras dalam wi­layah DPW Jatim harus di­buk­tikan se­cara nyata, jangan asal tu­duh,” kata anggota Frak­si K­e­bangkitan Bangsa DPR ini.

Imam beralasan tak dapat melakukan pembersihan ka­rena memang tak tahu persis orang-orang yang di­mak­sudkan Gus Dur itu. Ia me­nga­ku telah berusaha mem­buat PKB Jatim bebas dari kader-kader yang meminta-minta uang lewat pendekatan personal.

“Saya dituduh memeras, tentu saja tidak saya terima, ka­rena nggak pernah me­la­kukan tu­duh­an itu,” kata Imam. Ma­ka­nya, dia menilai tu­dingan Sek­jen DPP PKB Yenny Wahid dan Gus Dur itu tak berdasar bahkan cen­derung mendis­kre­ditkan dirinya.

“Saya sudah siap turun ja­bat­an sejak awal memimpin DPW Jatim. Kalau memang bisa dibuktikan bahwa politik uang memang terjadi, silakan buktikan,” katanya.

Imam merasa telah berusaha menjaga marwah Gus Dur dan PKB. Namun justru ha­sil­nya justru Gus Dur mem­be­kukan kepengurusan DPW PKB Jatim yang dipim­pinnya.

Meski protes keras atas pem­­­­bekuan itu, namun Imam tak berniat untuk melawan ke­putusan Gus Dur. “Saya besar atas jasa beliau (Gusdur) dan be­liau orang yang mem­be­sar­kan saya jadi bagaimanapun pa­hitnya akan saya terima,” de­­­mikian Imam. rm

Diungkap Lily Wahid: Ada Yang Ingin Bunuh Gus Dur

Senin, 30 Juli 2007, 07:01:38 WIB

Jakarta, Rakyat Merdeka. Adik kandung Gus Dur, Lily Cha­didjah Wahid, buka-bukaan soal kisruh yang terjadi di tubuh Partai Kebangkitan Bang­sa (PKB).

Di balik kemelut PKB, kata Lily, ada seke­nario besar untuk membunuh kakaknya itu se­ca­ra perlahan-lahan. Juga ada upaya untuk me­ngadu domba antara keluarga besar Wahid.

“Kita semua tahu, kondisi Gus Dur tidak ter­lalu baik. Jika Gus Dur terus-terusan diberikan informasi yang salah oleh orang yang tidak te­pat, maka sama saja membuat umur Gus Dur tidak panjang lagi,” kata Lily kepada wartawan, di Jakarta, kemarin.

Lily mengaku sudah mengendus rencana ‘bu­suk’ itu ketika konflik internal yang terjadi di tubuh DPW PKB Jawa Timur mencuat ke per­mukaan. ‘’Salah satunya, infor­masi yang diberi­kan pem­bisik kepada Gus Dur tentang niat Mu­haimin Iskan­dar (Ketua Umum PKB), untuk meng­ge­ser posisi Gus Dur dari jabatan Ketua Dewan Syuro DPP PKB. “Gus Dur jangan di­berikan be­ban seperti ini (berita yang salah) terus dong”.

Lily juga membantah isu yang me­ngatakan bahwa dirinya menjadi salah satu sponsor dan turut hadir dalam pertemuan di Hotel Le Me­redien. Isu tersebut, kata Lily, merupakan sebuah karangan dari kalangan tertentu yang ti­dak ingin melihat keluarga Wahid be­rsatu dan akur.

“Kalo sudah begini, ada yang coba-coba menmbenturkan saya de­ngan ka­kak saya, tak ubahnya seper­ti strategi Devide et Impera (ddu dom­ba) di anta­ra keluarga Gus Dur”.

Lily menduga, hal ini terjadi karena ketidakmampuan Yenny Wahid dalam melindungi bapaknya dari orang-orang yang selalu memberikan informasi yang tidak akurat. Terutama soal kon­disi internal PKB Jawa Timur.

Lily menyebut nama salah seorang tokoh warga keturuna di Jawa Timur sebagai salah seorang yang memberi­kan informasi yang salah terhadap Gus Dur. “Dia itu tokoh spiritual di Jawa Timur yang sangat disegani Gus Dur”.

Lily juga mengaku heran dengan sikap Gus Dur yang dikenal sebagai tokoh demokrat tiba-tiba melakukan vonis dan melemparkan tuduhan bah­wa ada persekongkolan Ketua DPW PKB Imam Nahrowi untuk mengha­bi­si Gus Dur. “Vonis yang dilakukan Gus Dur bukan watak yang sebenar­nya,” pungkas Lily.

Ranggalawe, Pembuka Pintu Calon Independen

Dalam bahasa Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat, ada ujaran: ndak pelih batu picak (jangan salah menginjak batu). Itu sebuah nasihat bahwa memutuskan suatu perbuatan perlu dipikirkan baik buruknya agar tidak menimbulkan sesal di kemudian hari.

Kata bijak itu menjadi bekal bagi Lalu Ranggalawe (52) mengajukan gugatan class action agar ada unsur calon independen dalam pemilihan kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan itu kemudian dikabulkan MK lewat putusannya pada 24 Juli 2007 di Jakarta.

Sebelum MK mengabulkan gugatannya, warga Kampung Karang Dalam, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah, itu menghadapi banyak cibiran di NTB. "Ada yang menyebut saya mimpi di siang hari bolong," ucap suami Rukaiyah ini. Sikap skeptis itu dimakluminya karena yang ia lawan ialah benteng kokoh dan "kartel" parpol yang ketat.

Namun, pada akhirnya sinisme itu justru meletupkan elannya. Idenya muncul September 2006, terinspirasi dari adanya calon independen dalam Pilkada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. "Kalau NAD boleh, kenapa NTB tidak boleh. Kita dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia," ucap ayah lima putra-putri itu. "Saya menggugat dalam kapasitas sebagai warga negara, bukan atas nama institusi maupun parpol kami," lanjutnya.

Inti gugatannya ialah Pasal 56 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Isinya antara lain mensyaratkan adanya pasangan calon kepala daerah yang diajukan parpol atau gabungan parpol. Pasal itu hendaknya dicabut agar calon independen mempunyai akses.

Anggota DPRD Lombok Tengah dari Partai Bintang Reformasi itu juga membaca kondisi riil tiap kali dilaksanakan suksesi gubernur, bupati, wali kota di NTB dan di Tanah Air. Para kandidat umumnya dari kalangan yang terukur kemampuan ekonomi dan status sosialnya. Punya akses pada parpol. Calon lain di luar strata ditutup kesempatannya.

Aspirasi

Ranggalawe memeras otak untuk mendapatkan biaya mengajukan gugatan ke Jakarta. Ia harus menyediakan biaya bagi pengacaranya, Suryadi, yang bolak-balik Mataram-Jakarta untuk mengurus kelengkapan syarat administrasi agar gugatannya didaftar ke MK di Jakarta. Sebuah sepeda motor dan beberapa telepon genggamnya dilego untuk itu. Rekan-rekannya hanya mendukung secara moril.

Proses persidangan majelis hakim MK berjalan enam kali, sidang terakhir berjalan alot. Bahkan, Ketua Majelis Hakim Jimly Asshiddiqie melakukan voting. Dari sembilan hakim, tiga di antaranya menolak dan enam menyatakan mengabulkan gugatan Ranggalawe.

Ranggalawe, mahasiswa Semester VIII Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Mataram memantau dari Lombok. Pada Minggu malam, sebelum putusan MK dibacakan, di beberapa tempat di Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat, masyarakat berzikir agar "hakim diluluhkan hatinya dan gugatan saya dikabulkan," kata Ranggalawe.

Ia membuka pintu bagi mereka yang berbasis massa untuk maju dalam bursa calon kepala daerah. Beragam reaksi atas putusan MK itu, terutama parpol yang "harga tawar"-nya menurun sebagai pemilik "kapal pengangkut" calon kepala daerah yang ikut berkompetisi dalam pilkada.

Di Sulawesi Selatan, arus semangat independen juga mengalir deras. Bahkan jauh sebelum MK memberi kesempatan calon independen ke ajang pilkada, semangat perlunya calon independen sudah menggebu di sana. Wacana itu tak hanya terdengar di antara kepulan asap rokok di warung-warung kopi, tetapi juga di antara sejuknya udara di lobi hotel berbintang lima.

Pasangan Sahel Abdullah dan Ari Lantara bahkan telah memproklamasikan diri sebagai calon independen untuk pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Sulsel yang dijadwalkan 5 November 2007.

Sayang saat keran calon independen dibuka melalui putusan MK, waktu yang sempit menjadi kendala bagi pihak yang mengobarkan semangat independensi.

Disambut baik

Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi yang juga Ketua DPD Partai Golkar Sultra dan calon kuat dari partainya untuk bertarung dalam pilkada bulan November berharap payung hukum calon perseorangan segera dibuat agar putra-putra terbaik Sultra, juga di provinsi lain, bisa ikut pilkada sebagai calon independen.

Hal senada dikemukakan Ketua DPW Partai Amanat Nasional Sultra H Nur Alam yang dijagokan partainya ikut pemilihan Gubernur Sultra, dan H Herry Asiku, Ketua Kadin Sultra.

Namun, Nur Alam menekankan agar syarat menjadi calon perseorangan lebih diperketat. "Kalau tidak, pasangan calon kepala daerah bakal panjang, yang menambah beban APBD dan stabilitas daerah," katanya.

Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPW Partai Keadilan Sejahtera Sultra Lapili mengemukakan, terbukanya kesempatan bagi calon perseorangan tidak bakal membuat partai kehilangan konstituen. "Partai mempunyai struktur hingga tingkat kelurahan dan desa yang setiap saat merawat dan menyalurkan aspirasi konstituen," kata Lapili.

Kini ada dua tokoh yang berpotensi ikut pilkada Sultra lewat jalur perseorangan. Mereka adalah Prof Mahmud Hamundu, Rektor Universitas Haluoleo Kendari dan Dr Laode Ida, Wakil Ketua DPD. Keduanya belum memiliki parpol yang secara definitif mencalonkan mereka meski sudah intensif melakukan sosialisasi. (RUL/YAS/DOE/NAR)

Pascakeputusan MK

Kegembiraan dan harapan kelompok massa mengambang, sikap menahan diri dari pengurus Komisi Pemilihan Umum Daerah atau KPUD, dan kegamangan partai politik di sejumlah daerah bertemu. Arus yang amat berbeda itu mengalir bersamaan menyusul Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 23 Juli 2007 yang membenarkan perseorangan mengajukan diri sebagai calon kepala daerah.

Arus pertama antara lain terlihat di Maluku Utara, provinsi yang akan memestakan pemilihan gubernur pada 25 Oktober mendatang. Kegembiraan dan harapan tercermin dari obrolan kelompok mahasiswa dan warga di sejumlah warung kopi di Ternate, pekan lalu, tentang kemungkinan hadirnya calon perseorangan.

Keinginan mendaftarkan calon perseorangan untuk Pilkada Maluku Utara pun mulai santer meski jadwal pendaftaran sudah ditutup. Toh argumentasi untuk mengetuk pintu masih ada, seperti yang diuraikan Husen Alting, dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate.

Menurut dia, pendaftaran tetap mungkin karena KPUD masih memverifikasi, belum menetapkan pasangan calon peserta pilkada. Adapun persoalan administrasi seperti formulir tidak bisa menggugurkan hak konstitusional seseorang.

Semangat mendukung putusan MK juga meruap di Sulawesi Selatan (bahkan sebelum MK mengetuk palu fatwa). Rektor Universitas Hasanuddin Makassar Idrus Paturusi, misalnya, mendorong dosen-dosen berpengalaman manajerial dan visioner untuk maju dalam pilkada. Sulsel yang bakal menggelar pemilihan gubernur pada 5 November 2007 bahkan telah "memiliki" satu pasangan calon independen, yaitu Sahel Abdullah dan Ari Lantara.

Waktu yang sempit antara putusan MK dan hari pencoblosan tidak mematahkan semangat Sahel. Menurut Sahel, ia ingin mengubah paradigma berpikir masyarakat bahwa tidak hanya dengan parpol seorang kandidat bisa maju dalam pilkada.

Berbeda dari sebagian massa yang hangat bersemangat, pengurus KPUD menanggapi keputusan tentang calon independen dengan dingin. Sebagai contoh, pengurus KPUD di Maluku Utara, Sulsel, dan Kalimantan Barat yang sibuk menyiapkan puncak pilkada pada tiga-empat bulan ke depan lebih bersikap pragmatis.

Bagi KPUD, yang terpenting adalah ada tidaknya aturan pelaksana dari keputusan MK tersebut. Aturan seperti itulah yang bakal menjadi patokan KPUD untuk mengakomodasi calon independen atau sebaliknya.

“Problem kami sebagai penyelenggara adalah regulasi teknis. Kalau ada aturan teknis yang memberi peluang calon independen mendaftar, kenapa tidak? Kami akan menerima," ujar Ketua KPU Maluku Utara Rahmi Husen.

Sikap senada diutarakan anggota KPU Kalbar Nazirin. Kalbar akan menggelar pemilihan gubernur pada 15 November 2007.

Di Makassar, Ketua KPU Sulsel Mappinawang juga mengakui adanya kekosongan hukum untuk mengejawantahkan putusan MK. "KPU juga tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan soal calon independen karena kelembagaan KPU tidak jelas," tuturnya.

Secara pribadi, dia menilai putusan MK membuka keran demokrasi menjadi lebih deras. KPU Sulsel tetap membuka peluang bagi calon independen, tetapi mereka tetap harus mengikuti jadwal tahapan.

Hanya saja, karena belum ada undang-undang atau perpu pengganti Pasal 5 Ayat 1 yang dihapus oleh MK, Mappinawang menilai peluang calon independen untuk terus mengikuti tahapan pilkada akan sulit.

Kritis

Dalam kutub yang berseberangan, kalangan partai politik bersikap kritis terhadap keputusan MK. Sebagai contoh, Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera Jawa Barat Yudi Widiana mengakui akan timbul semacam delegitimasi partai dalam konteks politik.

Namun, Yudi menjamin DPW PKS Jabar tetap menghormati keputusan MK. "Kami tidak menjadikan wadah partai melulu hanya untuk kekuasaan. Kami ingin menekankan pada aktivitas masyarakat." katanya.

Pernyataan lebih lugas disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Syamsul Ma’arif. Menurut dia, keputusan MK tentang calon perseorangan tidak relevan karena MK hanya memakai pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam sebagai referensi.

"Di NAD, pemilihan kepala daerah yang membolehkan calon perseorangan terjadi karena situasi politik di NAD mendukung. Dan, itu hanya untuk satu kali pelaksanaan pemilihan kepala daerah," kata Syamsul,.

Menurut dia, keputusan MK akhirnya hanya akan didukung oleh masyarakat yang selama ini tidak bergabung dalam parpol atau golput.

"Kami menilai keputusan MK tidak terlalu relevan sehingga Partai Golkar akan melakukan pengkajian kembali atas keputusan MK itu," kata Syamsul.

(BAY/HLN/ANG/WHY/NAR/DOE)

Senjakala Partai Politik?

Sidik Pramono

Kesempatan bagi calon perseorangan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah serupa "gunting pemutus" dominasi tunggal partai politik dalam pencalonan pejabat politik. Sebelumnya, calon perseorangan hanya bisa maju dalam pemilihan kepala daerah di Nanggroe Aceh Darussalam dan itu pun berlaku hanya untuk sekali pilkada.

Namun, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Juli lalu membuka era baru di mana calon perseorangan bisa maju di daerah mana pun dan tidak sebatas dalam sekali pilkada.

Boleh saja mantan Ketua Pansus RUU Pemerintahan Aceh Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat II) menyebutkan bahwa dibukanya calon perseorangan di Aceh dikonstruksikan sebagai bagian dari reintegrasi pascakonflik. Kesempatan bagi calon perseorangan di Aceh diberikan karena partai politik lokal belum efektif.

Faktanya, MK berpendapat bahwa pengaturan pilkada seperti dipraktikkan di Aceh telah melahirkan realitas baru dalam dinamika ketatanegaraan yang menimbulkan dampak kesadaran konstitusi secara nasional.

Tata cara pilkada di Aceh tidak termasuk sebagai keistimewaan pemerintahan Aceh, bukan dilakukan karena keadaan darurat ketatanegaraan yang terpaksa harus dilakukan. Kesempatan bagi calon perseorangan dibuka oleh pembentuk undang-undang agar pilkada lebih demokratis. Jadilah, kesempatan serupa di daerah lain mesti dibuka agar tidak terjadi dualisme.

Nasib

Yang menjadi salah satu soal, bagaimana nasib parpol ketika jalur pencalonan yang selama ini mutlak dikuasai harus dibagi bersama para calon perseorangan? Benarkah putusan MK membuka kesempatan bagi calon perseorangan itu bisa benar- benar memberi tantangan ideal bagi parpol untuk semakin mendekati publik?

Mengutip pengajar Universitas Indonesia (UI) Andrinof A Chaniago, kecaman berlebihan atas putusan MK justru akan meningkatkan antipati masyarakat terhadap parpol berikut elitenya. Temuan Survei Nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) Juli 2007, kekecewaan terhadap pelaksanaan demokrasi memperkuat dukungan terhadap gagasan calon perseorangan. Demikian pula halnya rendahnya tingkat kepercayaan publik kepada parpol meningkatkan pula gagasan munculnya calon perseorangan. Hal itu tidak akan muncul apabila parpol selama ini dirasakan cukup mampu memperjuangkan aspirasi konstituennya.

Kalangan parpol pun seperti terbelah, antara yang mendukung dan tidak, antara yang menyambut gembira dan yang mengkhawatirkannya. Kedua kubu ini sama-sama punya argumen kuat.

Yang khawatir antara lain mengingatkan bahwa demokrasi butuh institusionalisasi dan parpol sebagai salah satu pilar demokrasi tidak bisa ditepikan begitu saja. Pengajar politik UI Maswadi Rauf berpendapat putusan MK itu secara langsung memang tak merugikan parpol. Hanya saja, ruang gerak parpol dalam pilkada akan lebih kecil.

Dibukanya calon perseorangan berarti juga akan menghasilkan tokoh-tokoh lokal yang tidak berkaitan dengan parpol. Ketika proses membangun parpol baru dilakukan dalam delapan tahun terakhir, putusan untuk memberi kesempatan calon perseorangan dalam pilkada ini berarti juga makin menyulitkan parpol dalam membentuk kadernya.

Sementara yang mengapresiasi positif menilai bahwa putusan MK justru menantang parpol untuk berbenah diri. Bahkan, lebih dari itu, dibukanya jalur calon perseorangan bisa menjadi kanal alternatif jika upaya sejumlah parpol untuk memaksakan multipartai sederhana tanpa lewat proses alamiah.

Lepas dari pro-kontra yang mengiringi keluarnya putusan MK tadi, publik secara umum punya aspirasi yang sejalan. Hasil survei LSI, sebanyak 80 persen responden mendukung kehadiran calon perseorangan.

Apa pun parpol yang didukungnya, responden cenderung setuju dengan gagasan munculnya calon di luar jalur parpol. Semakin tinggi latar belakang pendidikan, kecenderungannya semakin tinggi pula dukungan kepada calon perseorangan. Bagi LSI, aspirasi ini semestinya dipahami sebagai tantangan bagi parpol.

Kesebandingan

Pertarungan berikutnya yang menarik ditunggu adalah soal syarat dukungan minimal bagi seseorang untuk maju mencalonkan diri. Tanpa "pengujian" akan keseriusan dan kemampuan kandidat, penyelenggara pemilu pasti akan dibanjiri bakal calon. Mengutip penelitian Local Governance Support Program pada September 2005, tidak ada standar baku mengenai mekanisme pencalonan. Selain syarat dukungan yang variatif banyaknya, juga ada kewajiban deposit dana yang diterapkan sebagai kombinasi dengan penerapan jumlah dukungan minimal yang diwajibkan.

MK sendiri dalam putusannya menyebutkan, syarat jumlah dukungan bagi calon perseorangan tidak boleh lebih berat daripada syarat parpol untuk dapat mengajukan pasangan calon.

Rujukan untuk syarat calon perseorangan itu adalah ketentuan UU No 11/2006 mengenai Pemerintahan Aceh yang menyebutkan kandidat dari jalur perseorangan mesti mengumpulkan dukungan minimal 3 persen dari jumlah penduduk dengan sebaran minimal 50 persen jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur dan minimal 50 persen jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wali kota.

Tentu saja, kelompok nonparpol menghendaki agar syarat dukungan seperti di Aceh yang diadopsi. Namun, kelompok parpol menghendaki bandingan yang sepadan dengan persyaratan parpol atau gabungan parpol mengajukan pasangan calon, yaitu minimal 15 persen kursi atau suara sah dalam pemilu anggota DPRD.

Mengutip Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum, syarat dukungan bagi pasangan calon perseorangan mesti diatur secara serius untuk menghindari terjadinya inflasi politik dalam pencalonan pilkada.

Misalnya saja, kandidat perseorangan mesti didukung minimal 10 persen dari jumlah pemilih demi keseimbangan antara calon yang berangkat dari parpol dan yang berangkat dari jalur perseorangan. Syarat dukungan yang serius itu juga mengantisipasi munculnya terlalu banyak calon yang justru akan menyulitkan penyelenggaraan pilkada.

"Senjakala"?

Salah satu dalil yang diajukan anggota DPRD Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat) Lalu Ranggalawe untuk meminta pengujian UU No 32/2004 adalah ketidakpercayaan rakyat terhadap parpol. Lalu Ranggalawe menyebut, hal itu terjadi karena dalam mengusung kandidatnya, parpol sarat dengan transaksi politik dengan melakukan jual beli kendaraan politik bagi kandidat yang akan mengikuti suksesi.

Namun, mengutip hakim konstitusi Achmad Roestandi yang berpendapat berbeda dengan putusan MK, dipertanyakan apakah bisa dijamin bahwa calon kepala daerah yang maju lewat jalur perseorangan akan terbebas dari pemerasan yang dilakukan broker politik liar?

Calon perseorangan dibuka antara lain dimaksudkan sebagai "tamparan" bagi parpol. Akan riskan jika kemudian jalur ini dipakai para politisi lama yang tidak berumah lagi di parpolnya, orang yang ber-uang, "preman", atau tokoh yang semata-mata mengandalkan popularitas.

Di tengah potensi munculnya "penumpang gelap" di jalur calon perseorangan ini, semoga saja tujuan awal membangun demokrasi yang lebih baik itu bisa tercapai. Akan sangat berisiko jika kemudian rakyat dikecewakan lagi dengan hadirnya calon perseorangan, sementara kepercayaan kepada parpol belum pulih.

Jika itu sampai terjadi, bukan saja parpol, tetapi kita semua yang sedang menjemput senjakala: menunggu redup dan lantas tenggelam….

Pemilu presiden


PPP Harapkan Sistem Pemilihan yang Efektif

Jakarta, Kompas - Partai Persatuan Pembangunan atau PPP mengharapkan sistem pemilihan presiden mendatang lebih efektif untuk memilih pemimpin yang bisa mewujudkan harapan rakyat. Karena itu, sistem pemilihan presiden langsung tetap dilanjutkan, tetapi sistem multipartai disempurnakan.

Demikian dijelaskan Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP Chozin Chumaidy di Jakarta, Minggu (29/7). Chozin menjelaskan tentang hasil pertemuan silaturahmi DPP PPP dengan DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di kantor PPP, sehari sebelumnya.

"Pertemuan konsultatif PDI-P dan PPP itu untuk menyamakan persepsi tentang pembangunan politik ke depan, terutama untuk sistem presidensial yang efektif dan sistem multipartai sederhana," ujarnya.

Menurut Chozin, pembahasan Paket Rancangan Undang-Undang (RUU) Bidang Politik menjadi pintu masuk menuju pengakhiran transisi demokrasi dan terbangunnya sistem politik yang mantap dan fungsional. Beberapa substansi RUU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dikonsultasikan dalam silaturahmi PPP dan PDI-P.

Sekretaris Jenderal DPP PPP Irgan Chairul Mahfiz mengatakan, PPP akan mendukung ambang batas perolehan kursi atau suara (electoral treshold) sebesar 3 persen pada Pemilu 2009 dan 5 persen pada Pemilu 2014. Ini aspiratif bagi seluruh parpol.

Menurut Irgan, PPP juga akan membangun komunikasi dengan partai lain untuk mengurangi hal krusial dalam RUU. (mam)

Calon Perorangan


Parpol Harus Introspeksi

Bandung, Kompas - Partai politik harus introspeksi diri dalam menjalankan perannya, sebab masih ada masyarakat yang belum percaya aspirasinya bisa tersalurkan ke partai. Ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang memberi peluang kepada calon perseorangan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada.

Demikian diingatkan sesepuh Partai Golkar Cosmas Batubara pada bedah buku berjudul Cosmas Batubara: Sebuah Otobiografi Politik, Minggu (29/7) di Universitas Parahyangan, Bandung.

Menurut Cosmas, dalam perkembangan politik selalu ada upaya koreksi. Misalnya, dahulu ada wakil rakyat yang dipilih, tetapi ada juga yang diangkat, sehingga tidak ada rakyat yang tak terwakili. Tetapi, kini seluruh wakil rakyat dipilih.

Perubahan juga terjadi dalam calon perseorangan. Menurut Cosmas, dengan putusan itu harus ada evaluasi terhadap sistem kepartaian di Indonesia. Kemungkinan mereka belum dapat mengangkat keseluruhan aspirasi masyarakat.

Namun, Cosmas menolak jika dikatakan partai "tumpul" dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Yang terjadi adalah parpol belum mampu menangkap seluruh aspirasi di masyarakat.

Di Palembang, Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan M Fadjroel Rachman, Sabtu, mengakui, parpol tampaknya marah pada putusan MK itu. Sekarang mereka masih "sakit kepala" sehingga tak antusias membahas pencalonan perseorangan. (che/wad)

Kader Harus Didulukan


UU Parpol Harus Atur Rekrutmen Jabatan Politik

Jakarta, Kompas - Undang-Undang Partai Politik mendatang diharapkan mengatur lebih rinci proses rekrutmen untuk pengisian jabatan politik. Kader partai, misalnya, harus didahulukan menduduki jabatan politik ketimbang nonkader.

Demikian masukan dari Tommi A Legowo, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Partai Politik yang kini sedang dalam proses pembahasan DPR dan pemerintah. Ini sebagai konsekuensi dari dibukanya kesempatan kepada calon perseorangan untuk ikut dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

"Kalau tidak ditegaskan dalam RUU, ya akan seperti sekarang ini. Parpol hanya mencari orang yang punya uang atau kesempatan menang, sedang kadernya memberontak," papar Tommi kepada Kompas, Sabtu (28/7).

Namun, sebagai turunannya, parpol harus menata organisasi agar lebih baik dan membuat mekanisme seleksi yang obyektif. "Sekarang ini seleksi calon legislatif melalui skoring, tetapi pemberian skornya masih sangat subyektif," ujarnya lagi.

Selain sistem skor, kandidat yang hendak mengisi jabatan politik pun perlu diuji dalam panel diskusi. Tim penguji, selain diambil dari pimpinan partai tingkat pusat, bisa juga pimpinan partai di daerah.

Program parpol juga harus berorientasi pada publik. Parpol dikembangkan atas basis kedaulatan anggota. Manajemen parpol sebaiknya dikelola profesional.

Bangun pengaderan

Sebaliknya, Rektor Universitas Paramadina Anies Rasyid Baswedan berpendapat, RUU Parpol tak perlu mengatur rinci soal proses rekrutmen pejabat politik, tetapi diserahkan kepada partai masing-masing. "Keberhasilan sebuah partai membangun mekanisme kaderisasi justru akan menentukan kemampuannya untuk survive sebagai partai," ujarnya.

Dengan begitu, semakin hari, partai asal-asalan akan semakin jarang terlihat dalam politik. Hanya partai yang memiliki mekanisme kaderisasi yang solidlah yang bisa tampil dan berperan dalam perpolitikan nasional.

"Mudah-mudahan dengan begitu jumlah partai menjadi sedikit dan solid. Kualitas demokrasi lebih baik," ungkapnya.

Dengan tidak adanya lagi monopoli partai dalam mengajukan pemimpin politik, kini partai mau tak mau harus membangun mekanisme pengaderan. (sut)

Kepala Daerah Perseorangan


Denny Indrayana

Mahkamah Konstitusi membuka pintu monopoli pencalonan kepala daerah. Putusan MK, yang memungkinkan perseorangan maju sebagai calon kepala daerah, patut diapresiasi.

Majunya calon perseorangan, selain calon dari partai politik, akan meningkatkan kompetisi pemilihan kepala daerah. Kompetisi yang fair akan mendorong demokratisasi, termasuk dalam partai sendiri.

Monopoli partai politik (parpol) dalam perekrutan kepemimpinan nasional memang merisaukan. Monopoli ini berpotensi menggairahkan korupsi. Rumus sederhananya, korupsi adalah kewenangan yang monopolistik, tanpa keterbukaan (corruption is authority plus monopoly minus transparency). Salah satu penyebab maraknya politik uang di banyak pilihan kepala daerah adalah monopoli pencalonan kepala daerah oleh parpol. Padahal, kinerja parpol sendiri masih jauh dari semangat antikorupsi. Jajak pendapat Transparansi Internasional Indonesia menegaskan, parpol sebagai salah satu institusi paling korup di Tanah Air.

Semangat memperbesar kompetisi serta transparansi antikorupsi itulah pesan terobosan konstitusional terpenting dari putusan MK tentang calon kepala daerah perseorangan. Meski demikian, terobosan MK itu masih menyisakan masalah.

Calon presiden perseorangan?

MK tetap memiliki keterbatasan. Meski berhasil membuka kunci monopoli pencalonan kepala daerah oleh parpol, MK hanya dapat menguji konstitusionalitas undang-undang atas Undang-Undang Dasar. MK tidak dapat menyoal problematika dalam konstitusi itu sendiri. Maka, monopoli pencalonan presiden oleh parpol, yang diatur Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, tidak dapat ditembus MK, kecuali pasal itu diubah MPR. Maka, peluang calon presiden perseorangan tetap tertutup. Meski demikian, dengan konsistensi logika, terbukanya calon perseorangan untuk kepala daerah dapat menjadi amunisi tambahan untuk mendorong advokasi pencalonan presiden perseorangan.

Persyaratan

Problematika kedua terkait syarat dan rincian pencalonan kepala daerah perseorangan. Mandat konstitusional MK hanya menguji konstitusionalitas undang-undang. MK bukan legislatif yang dapat menambah kata-kata ke dalam undang-undang. Maka, dengan membuka pintu calon kepala daerah perseorangan, ada rincian persyaratan calon perseorangan yang belum terselesaikan.

Untuk mengisi kekosongan hukum itu ada tiga pilihan. Pertama, legislative review, yaitu mengubah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yang terkait dengan syarat calon kepala daerah perseorangan. Namun, cara ini mempunyai dua kelemahan, yaitu memakan waktu lebih lama dan potensi tingginya resistansi parpol di DPR atas putusan MK.

Kedua, dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Cara ini terbilang moderat, terutama karena problem justifikasi hadirnya "kegentingan yang memaksa" sebagai syarat tunggal konstitusional lahirnya perpu. MK pernah memutuskan kriteria kegentingan memaksa amat tergantung dari subyektivitas presiden. Alternatif ini mungkin paling cepat dari sisi waktu, tetapi berpotensi tertolak ketika dimintakan persetujuan kepada DPR.

Ketiga, melalui peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), untuk mengatasi keterdesakan waktu dan mandat konstitusional. MK sendiri (paragraf 3.15.22 pada putusannya) menyarankan KPU mengambil inisiatif itu, terutama untuk menghindari kekosongan hukum. Dasar hukum bagi KPU termuat dalam Pasal 8 Ayat (3) Huruf a dan Huruf f juncto Pasal 117 UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang memberi kewenangan bagi KPU untuk membuat pengaturan atau regulasi dalam rangka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Secara teori, alternatif peraturan KPU ini sejalan dengan konsep komisi sebagai lembaga negara independen, yang salah satu ciri utamanya berwenang mengeluarkan aturan sendiri terkait dengan tugas dan kewenangan konstitusionalnya (self regulatory body).

Apa pun baju hukum yang dipilih, substansi rincian calon kepala daerah perseorangan dapat mengacu Pasal 68 Ayat (1) UU Pemerintahan Aceh. Pasal itu mengatur, calon perseorangan didukung "sekurang-kurangnya 3 persen dari jumlah penduduk tersebar di sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur dan 50 persen dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota". Sebagai perbandingan, dukungan dan populasi jumlah penduduk itu pula yang menjadi dasar pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang maju sebagai anggota parlemen dari unsur perseorangan.

Relasi eksekutif-legislatif

Masalah lain yang akan dihadapi calon perseorangan adalah efektivitas pemerintahan saat menjadi kepala daerah. Meski bukan dari unsur parpol, calon kepala daerah perseorangan tetap membutuhkan dukungan parpol jika ingin efektif melaksanakan program kerja pemerintahan. Maka, akomodasi dan kompromi politik akan menjadi keseharian relasi DPRD dengan kepala daerah perseorangan. Rakyat pemilih mungkin melihat kompromi ini sebagai bentuk pengkhianatan atas independensi dari kepala daerah perseorangan. Inilah dilema yang akan dihadapi kepala daerah perseorangan terpilih: menjamin efektivitas pemerintahan, tanpa kehilangan mandat independensi perseorangan.

Karena itu, pada masa depan, makna independensi calon kepala daerah harus diredefinisi. Dari makna lawan tanding dari calon parpol menjadi kemandirian dari segala bentuk intervensi yang berjarak dengan mandat kesejahteraan rakyat. Ini seiring upaya revolusioner demokratisasi parpol, definisi independensi tidak hanya monopoli calon perseorangan, tetapi juga milik calon parpol. Bukankah calon perseorangan maupun parpol seharusnya sama-sama berkiprah untuk mewujudkan Indonesia lebih sejahtera?

Denny Indrayana Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Musharraf Bertemu Bhutto


islamabad, minggu - Presiden Pakistan Pervez Musharraf dilaporkan bertemu diam-diam dengan mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto di Abu Dhabi, Jumat lalu. Pertemuan itu diperkirakan terkait dengan pembicaraan aliansi kekuasaan pada periode pemerintahan selanjutnya.

Baik Bhutto maupun Musharraf tidak berkomentar tentang pertemuan rahasia tersebut. Namun, Menteri Urusan Parlemen Sher Afgan Khan Niazi membenarkan pertemuan itu.

"Saya bisa mengonfirmasi pertemuan itu, tidak diragukan lagi," kata Niazi, Minggu (29/7). Pertemuan itu merupakan pertemuan Musharraf-Bhutto yang kedua. Pertemuan pertama diadakan pada Januari lalu.

Surat kabar The News, Minggu, melaporkan kesepakatan telah tercapai. "Pertemuan di Abu Dhabi sebenarnya adalah ’semacam upacara pengesahan’ yang diadakan pada akhir proses pembicaraan yang panjang", demikian tulis surat kabar itu.

Dari tempat pembuangannya di London, Bhutto mengatakan, Partai Rakyat Pakistan yang dipimpinnya telah lama menggelar pembicaraan dengan pemerintah tentang pemulihan pemerintahan sipil. "Kami telah mengatakan, negosiasi sedang berjalan dan telah tercapai kemajuan dalam beberapa hal. Namun, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan," ujarnya kepada stasiun televisi Geo.

Lepas seragam

Beberapa hal yang dimaksudkan Bhutto antara lain keengganan Musharraf untuk melepaskan jabatannya di militer. "Kami tidak menerima Presiden Musharraf dalam seragam. Itu adalah posisi kami dan saya teguh dengan pendirian itu," kata Bhutto.

Lepasnya seragam militer Musharraf merupakan syarat yang diajukan partai Bhutto jika Musharraf ingin terpilih kembali sebagai presiden dalam pemilu Oktober mendatang. Aliansi keduanya dipandang bisa meningkatkan kekuatan politik Musharraf sekaligus memberi tempat bagi Bhutto untuk menjadi PM ketiga kalinya.

Jika Musharraf bersedia melepaskan jabatannya di militer segera setelah pemilu parlemen, partai Bhutto akan memberikan dukungan penuh bagi Musharraf dalam pemilu presiden.

Musharraf mengalami masa paling lemah dalam pemerintahannya selama delapan tahun. Keputusan Mahkamah Agung pekan lalu untuk mengangkat kembali Hakim Agung Muhammad Chaudhry memunculkan pertanyaan tentang kemampuan Musharraf mengamankan posisinya dalam pemilu mendatang.

Niazi mengatakan, kompromi antara Musharraf dan Bhutto memerlukan perubahan legal dan konstitusional. "Harus ada amandemen konstitusi yang melarang pemegang jabatan PM dua kali maju untuk ketiga kalinya," katanya.

Bhuto dan Musharraf sama-sama memiliki visi membawa Pakistan menjadi negara moderat dan progresif. Jika kemitraan keduanya berhasil, mereka bisa membentuk pertahanan melawan kelompok militan.

Menyusul pengangkatan kembali Hakim Agung Pakistan, Bhutto melihat posisi tawarnya untuk kembali menjabat sebagai PM menguat. Dia juga mengatakan, kesempatan untuk maju dalam pemilu mendatang sudah 90 persen.

Bhutto tinggal dalam pengasingan di London dan Dubai sejak tahun 1998. Dia menjadi PM Pakistan akhir 1980-an hingga awal 1990-an. (ap/reuters/fro)

Posisi Abe Terancam



Partai Koalisi Pemerintah Kemungkinan Kalah dalam Pemilu

Tokyo, Minggu - Partai koalisi pemerintah diprediksi akan mengalami kekalahan dalam pemilihan anggota Majelis Tinggi Jepang yang berlangsung hari Minggu (29/7). Hasil pemilu ini dapat menjungkalkan Perdana Menteri Shinzo Abe dari kekuasaannya. Kalau pun tidak, pemerintahan Abe akan tertekan.

Sejumlah media massa di Jepang menggelar jajak pendapat segera terhadap para pemilih yang baru saja memberikan suara (exit poll). Hasilnya hampir sama: partai koalisi pemerintah diperkirakan akan kalah.

Stasiun televisi NHK memprediksi, Partai Demokratik Liberal (LDP) tempat Abe bernaung dan mitranya, Komeito Baru, diprediksi hanya akan memperoleh 39 hingga 55 kursi. Jumlah itu masih jauh dari 64 kursi yang dibutuhkan LDP untuk mempertahankan posisinya sebagai partai mayoritas di Majelis Tinggi. Menurut NHK, jumlah kursi yang diperebutkan dalam pemilu ini adalah 121.

Hasil jajak pendapat televisi swasta Asahi lebih buruk lagi. Partai koalisi pemerintah diperkirakan hanya akan memperoleh 46 kursi, 38 kursi di antaranya diraih LDP.

Sekretaris Jenderal LDP Hidenao Nakagawa mengatakan, jika hasil pemilu sesuai dengan prediksi banyak orang, berarti partai koalisi mengalami kekalahan telak.

Popularitas partai koalisi pemerintah memang sedang redup menyusul terkuaknya skandal yang melibatkan anggota kabinet Abe. Selain itu, pemerintahan Abe dianggap ceroboh dalam pengaturan uang pensiun.

Kedua masalah itu seolah menghapus beberapa kebijakan Abe yang dipuji banyak orang, seperti merevisi konstitusi Jepang. Dengan revisi itu, Abe ingin membuat Jepang lebih aktif dalam keamanan global. Abe juga dipuji karena berhasil memperbaiki hubungan dengan China dan Korea Selatan.

Hubungan Jepang dengan kedua negara itu beberapa kali memanas semasa pemerintahan PM Junichiro Koizumi yang digantikan Abe.

Terancam

Hasil pemilu yang buruk ini akan mengancam posisi Abe. Pengamat mengatakan, Abe akan didesak mundur dari jabatannya sebagai PM.

"(Pemilu) ini memperlihatkan rendahnya kepercayaan pada LDP. Sangat jelas, ini adalah sebuah mosi tidak percaya," kata Koichi Nakano, dosen ilmu hukum di Sophia University di Tokyo. "Saya kira dia tidak dapat melanjutkan kepemimpinannya," ujarnya.

Pengamat lainnya mengatakan, Abe tidak akan tersingkir dari pemerintahan kendati partainya kehilangan banyak kursi di Majelis Tinggi. Pasalnya, partai koalisi Abe masih menjadi mayoritas di Majelis Rendah yang memiliki kekuasaan lebih besar antara lain memilih PM.

Meski demikian, pemerintahan Abe tetap akan mengalami kesulitan. Lawan-lawan politiknya akan lebih mudah menentang pemerintahan Abe, seperti menolak UU yang dikeluarkan Abe. Jika itu terjadi, maka kebijakan pemerintahan Abe tidak akan berjalan mulus.

Peneliti senior di Institut Riset Fujitsu, Martin Schulz, berpendapat, Abe kemungkinan akan mencoba mempertahankan kekuasaannya.

"Tapi, dia hanya akan bertahan sebentar. Dia pasti akan terus dikritik dan mendapat banyak tekanan," ujarnya.

NHK menyebutkan, Abe bertekad mempertahankan jabatannya kendati partainya kalah dalam pemilu. "Saya akan maju perlahan dengan reformasi pendidikan dan revisi konstitusi," ujar Abe seperti dikutip NHK.

Sekutu-sekutunya juga menginginkan agar Abe tetap mempertahankan kekuasaan.

(AFP/REUTERS/BSW)

Kontroversi Baju Hillary


Apa artinya belahan baju dalam kampanye pemilihan presiden? Di Washington DC, Amerika Serikat, di mana gaya berpakaian perempuan profesional adalah konservatif, belahan dada Hillary Clinton tiba-tiba menjadi salah satu topik paling panas pada perebutan tempat untuk menjadi kandidat presiden dari Partai Demokrat.

Senator Hillary Clinton yang biasanya tampil sangat konservatif itu, pada sebuah debat kampanye mengenai pendidikan tanggal 18 Juli tampil dengan potongan leher yang sedikit rendah. Mulanya hal itu tidak menjadi perhatian sampai penulis Washington Post, Robin Givhan, mengambil perhatian dan menyebutnya sebagai sebuah "pengakuan kecil akan seksualitas dan feminitas".

"Ada belahan dada tampil pada hari Rabu sore," tulis Givhan, seorang pemenang hadiah Pulitzer, di harian itu.

"Itu milik Senator Hillary Clinton," katanya.

Clinton mengenakan "Sebuah blazer warna merah jambu dengan baju atas warna hitam. Potongan lehernya rendah dan berbentuk V. Belahan dada itu terlihat setelah hanya sebuah pandangan sekilas", tulisnya.

"Tidak ada pameran belahan dada secara tak berlebihan, tapi ada (pameran belahan dada itu). Tak dapat disangkal... Mengejutkan untuk melihat bahwa pengakuan kecil seksualitas dan feminitas mengintip dari lingkungan Kongres yang konservatif secara estetis", ungkapnya.

Givhan menulis dalam artikel yang diterbitkan hari Jumat (20/7), memperlihatkan belahan dada "bukan berarti bahwa seorang wanita minta dijadikan obyek, tetapi itu menunjukkan suatu rasa percaya diri dan kenyamanan fisik tertentu".

Dan asal tahu, tanggapan pada soal belahan dada Clinton lebih ramai ketimbang kebijakan keamanan nasionalnya. "Ribuan surat dan telepon yang marah dari pembaca, terutama perempuan," ujar ombudsman surat kabar itu.

Banyak yang mempersoalkan, mengapa Washington Post memberikan begitu banyak ruang untuk sebuah aspek nonpolitik dibanding pertarungan politik nasional yang menegangkan untuk jabatan presiden.

Kubu Clinton hari Jumat memberikan tanggapan, sebuah upaya mengubah kontroversi artikel Givhan itu menjadi hal yang menguntungkan Clinton.

"Apakah Anda percaya bahwa Washington Post menulis sebuah artikel 746 kata mengenai belahan dada Hillary?" tulis Ann Lewis, seorang penasihat kampanye Clinton dalam surat elektronik untuk pengumpulan dana.

Dia mengatakan tidak pantas bagi media berita untuk "berbicara mengenai bagian-bagian tubuh" dan bahwa kampanye pemilu presiden 2008 harus berfokus pada isu-isu.

"Terus terang, memusatkan perhatian pada tubuh perempuan dan bukannya pada gagasan mereka adalah menghina. Itu menghina pada setiap perempuan yang pernah mencoba serius dalam sebuah rapat bisnis. Itu menghina bagi anak-anak perempuan kita—dan anak-anak laki kita—yang terus-menerus ditekan oleh media untuk menjadi dewasa terlalu cepat", tulis Lewis.

Lewis mendorong para calon donatur untuk "mengambil sikap menentang kekasaran dan kepicikan semacam ini dalam kultur Amerika".

Ombudsman Washington Post membela artikel Givhan. "Apakah ini ada hubungannya dengan apakah Clinton harus menjadi presiden?" tanya ombudsman itu. "Sama sekali tidak. Tetapi apakah kita ingin membaca kolom mengenai belahan dadanya? Memang betul".

"Itu adalah artikel yang paling banyak dilihat pada situs internet sepanjang hari. Begitu juga sebuah artikel baru-baru ini mengenai penata rambut (bakal calon presiden Partai Demokrat) John Edwards".

Beberapa bulan lalu, Edwards, yang dalam pengumpulan pendapat ada di belakang Clinton, disorot media karena membayar uang sebesar 400 dollar AS hanya untuk potong rambut.

(AFP/AP/DI)

A r s i p