Thursday, August 30, 2007

Pentingnya Ideologi

Ivan A Hadar

Seusai peluncuran buku Making Globalization Work versi bahasa Indonesia, terjadi perdebatan antara Joseph E Stiglitz—pengarang dan peraih Nobel Ekonomi 2001—dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Boediono terkait dengan ideologi.

Sejumlah ekonom di Indonesia, kata Boediono, menuding pemerintah menjual diri demi berpegang pada ideologi liberalisme yang diusung Konsensus Washington. Namun, baginya, menjadi tidak produktif jika mencari jawaban atas persoalan riil melalui perdebatan ideologi.

Menanggapi Boediono, Stiglitz mengatakan, pragmatisme tidak dapat dilepaskan dari konteks ideologi yang menyajikan pandangan mendasar tentang bagaimana pemerintah seharusnya berperan (Kompas, 19/8).

Ketimpangan dalam globalisasi, kata Stiglitz, perlu dikelola oleh negara berkembang, dengan peran pemerintah lebih efektif dan efisien, tercermin dalam dorongan pemerintah mengembangkan industri baru, pertanian, bisnis skala kecil, dan memastikan pengelolaan sumber alam berbuah kesejahteraan bagi rakyat.

Sejarah mencatat, di satu sisi, maraknya perekonomian tidak hanya disebabkan liberalisme perdagangan. Krisis ekonomi sebelumnya pun tidak bisa diatasi pasar. Pada sisi lain, proteksionisme negara memperparah gejala krisis ketimbang memperbaikinya.

Manfaat (neo)liberal

Secara umum, konsep (neo)liberal diakui bisa bermanfaat dalam mengurangi mentalitas rent seeking birokrat. Namun, pada saat sama, ekonomi pasar murni yang meminggirkan peran negara sebagai penyeimbang gagal memenuhi janjinya. Kesenjangan antarnegara kaya-miskin dan antara lapis sosial dalam sebuah negara kian melebar. Tiga contoh berikut memperjelas hal itu.

Pertama, asumsi neoliberal bahwa pasar modal tidak hanya membantu penggunaan kapital secara optimal, tetapi juga menjamin pertumbuhan dan pengadaan lapangan kerja tidak terbukti. Penyebabnya, pasar modal menjadi pasar spekulatif yang digelembungkan (spekulativer Marktaufblaehung). Fluktuasi kurs di bursa efek tidak menggambarkan kekuatan ekonomi sebenarnya dari berbagai perusahaan anggotanya. Tanpa regulasi, pasar modal global bisa memengaruhi kuat-rapuhnya stabilitas ekonomi sebuah negara, kawasan, bahkan dunia, seperti diperlihatkan "Krisis Asia" yang dampaknya masih terasa bagi Indonesia hingga kini.

Kedua, penelitian Prittchett (1996) membuktikan, dalam proses globalisasi yang terjadi bukan konvergensi, tetapi kesenjangan yang meluas. Pasar bebas, liberalisasi perdagangan dunia, serta investasi dan pasar modal tidak berperan dalam memperkecil kesenjangan kaya-miskin. Pemenang proses globalisasi adalah negara-negara kaya anggota OECD, sementara negara berkembang kian terpinggirkan.

Ketiga, kekuatan pasar tidak mampu mencegah krisis lingkungan global. Meski harus diakui, kegagalan yang sama dialami negara, terutama terkait maraknya monopoli dan oligopoli. Ternyata, pasar seperti negara, dapat gagal.

Penyebab kegagalan pasar dan pentingnya intervensi negara terkait beberapa hal, yaitu adanya monopoli dan oligopoli, tidak sehatnya persaingan, kesenjangan ekonomi di tingkat nasional, dan global, kemiskinan, kerusakan lingkungan, serta ketidakmampuan perusahaan swasta untuk mencukupi kebutuhan publik, seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Negara yang efisien

Untuk membendung dampak negatif proses globalisasi neoliberal diperlukan sebuah negara yang efisien. Namun, pada saat sama, akibat keterpenggalan antara ekonomi global dan politik nasional, sebuah kebijakan proteksionistis oleh negara diduga akan mengalami kegagalan. Bagaimana mengatasi dilema itu?

Solusinya terletak pada kian menyatunya masyarakat global, yang memunculkan berbagai lembaga ekonomi dan politik serta terbentuknya global civil society. Sebagai instansi politik terpenting, negara dapat berfungsi sebagai mediator kepentingan nasional dalam membendung dampak destruktif globalisasi. Pada saat sama, negara diharapkan berperan sebagai moderator berbagai proses dalam masyarakat sebagai instansi integrasi dan penengah yang mencegah terjadinya fragmentasi di masyarakat.

Sementara itu, kelompok kepentingan lokal dapat memperkuat berbagai faktor setempat seperti pendidikan, budaya, infrastruktur, dan mengorganisasi jaringan lokal seperti perluasan partisipasi politik, seleksi jenis investasi, dan penguatan potensi ekonomi lokal.

Pada tingkat regional, kerja sama antarnegara dalam pakta ekonomi, seperti ASEAN, bila dikelola dengan pas, bisa lebih membuka gerak bagi perdagangan sekaligus memperkuat posisi tawar dalam menghadapi persaingan global.

Terakhir, berfungsinya global governance. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama antara negara dan masyarakat sipil di tataran lokal, nasional, dan internasional. Sasarannya, reorganisasi politik dalam semua tataran aksi melawan logika pasar murni. Negara, masyarakat sipil, dan global governance, idealnya bersekutu membendung dominasi pasar dan ekonomi serta mengurangi dampak buruknya. Kegagalan pasar global, seperti kesenjangan antarnegara dan antarkelompok masyarakat, kemiskinan, pengangguran, dan krisis lingkungan hidup tidak saja menuntut negara yang efektif dan efisien, terutama dalam memperjuangkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Dari semua argumentasi itu, terlihat betapa pentingnya ideologi.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi

Memperkuat Negara


Eko Prasojo

Bangsa Indonesia menghadapi masalah besar kenegaraan. Berbagai masalah muncul, mulai dari penyakit korupsi, dinamika politik yang tidak menentu, sampai buruknya aneka pelayanan dan penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu memberi pertanyaan, "mampukah kita bernegara?"

Pertanyaan ini relevan diulas karena setelah 62 tahun merdeka, ternyata Indonesia belum mampu mengatasi aneka krisis, terutama upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Negara yang kuat

Kuatnya sebuah negara memiliki aneka dimensi. Fukuyama, misalnya, membagi kekuatan negara dalam dua hal, 1) sejauh mana lingkup fungsi yang dijalankan negara. 2) Kemampuan negara merumuskan, menjalankan, dan menegakkan berbagai kebijakan yang dibuat (Fukuyama, 2004).

Dalam lingkup fungsi, pertanyaan dasar yang diajukan adalah apakah negara harus menjalankan sendiri semua fungsinya, mulai dari menyediakan keteraturan publik dan mengatasi serangan dari luar sampai regulasi industri dan redistribusi kekayaan. Dalam dimensi kekuatan/kemampuan negara, pertanyaan dasar yang diajukan adalah apakah negara berkemampuan merumuskan dan menegakkan aneka kebijakan secara konsisten, menjalankan administrasi negara secara efisien dan efektif dengan birokrasi minimal, mengontrol korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), memelihara transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga negara dan pemerintah, serta, yang utama, menegakkan hukum.

Dalam praktik bernegara di Indonesia, jika menggunakan kacamata dimensi Fukuyama, negara ini dicirikan oleh lingkup fungsi yang luas, meski dengan keterbatasan kemampuan/kekuatan. Justru di sini awal dan sumber aneka persoalan, yaitu fungsi negara yang luas tidak diiringi kemampuan negara untuk menyediakan berbagai kebutuhan dasar publik dan lemahnya penegakan hukum.

Negara gagal melindungi kaum miskin dan meningkatkan keadilan karena kondisi birokrasi yang tidak efisien dan tidak efektif serta hilangnya sumber kekayaan negara karena tidak terkontrolnya penyakit KKN oleh lembaga-lembaga penegak hukum. Kasus BLBI yang tidak pernah jelas terungkap amat mengindikasikan rendahnya akuntabilitas lembaga pemerintah, ketidakmampuan negara menegakkan hukum dan mengontrol KKN. Akibat yang ditimbulkan adalah kemiskinan menjadi-jadi dan ketidakadilan kaya-miskin kian meningkat.

Tiga sumber penyakit negara

Mungkin kita dapat menyebut negara ini sebagai negara kepentingan karena ukuran kebijakan dan penegakan hukum amat ditentukan oleh siapa mendapatkan apa (who gets what?). Bahkan korupsi pun dapat terjadi secara legal-formal melalui proses kebijakan yang sah. Jelas amat sulit mengurai dari mana dan bagaimana upaya kita memperkuat negara. Namun, mengetahui sumber penyakit negara, setidaknya akan membantu memberi therapy yang cocok. Saya berpandangan, sumber penyakit yang menyebakan lemahnya negara ini dapat diurai dalam tiga hal.

Pertama, lemahnya sistem politik. Bangunan sebuah negara yang kuat ditopang sistem politik yang kuat. Kini, sistem politik Indonesia sedang mengalami radang yang parah. Hal ini diindikasikan dengan perubahan paradigma dan fungsi partai politik. Partai politik tidak lagi menjadi instrumen dalam pendidikan politik, integrasi politik, dan artikulasi kepentingan.

Partai politik tidak memiliki political merit system yang kuat. Maksudnya, partai politik yang memiliki ideologi perjuangan yang jelas dan sistem kaderisasi memadai. Puncak kebobrokan sistem nilai politik ini adalah indikasi kecenderungan menjadikan partai politik sebagai "perusahaan" tempat orang mencari nafkah, memenuhi ambisi, dan kepentingan pribadi. Negara ini menjadi lemah karena bangunan partai politik yang rapuh. Pembelajaran politik terhadap masyarakat akhirnya tidak berjalan. Partai politik, yang menjadi satu-satunya tulang punggung kehidupan demokrasi, tidak diikuti penguatan political merit system dan modernisasi pengelolaan partai politik. Kekuasaan partai politik menjadi tidak terbatas. Hal ini akan mengancam keberlangsungan kehidupan negara yang demokratis dan menyebabkan political corruption dalam kehidupan bernegara.

Kedua, lemahnya penegakan hukum. Hal ini juga disorot Fukuyama untuk kuatnya sebuah negara. Sudah menjadi rahasia umum, penegakan hukum di Indonesia amat diwarnai KKN. Kesulitannya, upaya untuk memperkuat negara harus dimulai dengan menegakkan hukum terhadap aparat penegak hukum itu sendiri. Kita menyebut ini sebagai judicial corruption karena upaya pemberantasan korupsi yang terjadi dalam birokrasi dan politik justru mengakibatkan korupsi baru dalam wilayah peradilan. Jadi, korupsi memicu efek domino korupsi. Hal ini tidak saja membuat hilangnya kepercayaan dan penghormatan masyarakat terhadap hukum, tetapi juga pembiaran terus-menerus terhadap tiap pelanggaran hukum. Jika hukum sebagai rule of the game kehidupan bernegara tidak dipatuhi, fondasi apalagi yang dapat mempertahankan sebuah negara.

Ketiga, birokrasi yang kacau. Masalah ketiga adalah mesin negara yang tidak efisien, tidak efektif, korup, dan tidak sensitif. Kegagalan pembangunan sering disebabkan ketidakmampuan negara mereformasi birokrasinya. Hal sama terjadi untuk Indonesia. Birokrasi sebagai mesin negara, terkooptasi kepentingan politik sehingga dipenuhi budaya kekuasaan, bukan sebaliknya: budaya pelayanan. Kondisi ini menimbulkan korupsi dalam birokrasi (kleptokrasi). Pertautan dan perkawinan antara political corruption, judicial corruption dan bureaucratic corruption telah menyebabkan lumpuhnya fungsi negara.

Pertanyaan berikut, masih mampukah kita bernegara?

Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI

Wednesday, August 29, 2007

Digaet PDI-P?

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Semula saya mau diam saja tidak akan bicara apa-apa untuk publik terhadap berita seakan-akan saya telah jadi bagian dari parpol, sudah partisan dalam politik. Tetapi karena demikian luasnya tanggapan, khususnya dari para sahabat, seperti Bung Eros Djarot, Pak Soerjadi, Pak Sofjan Wanandi, Bung AM Fatwa, Pak Hasyim Muzadi, Jenderal Muchdi, teman-teman dari perguruan tinggi, Muhammadiyah, dan lintas iman, dan masih panjang daftarnya, maka saya disarankan untuk memberi penjelasan, apa hubungan saya dengan PDI-P.

Sebagai contoh baiklah saya kutip empat SMS saja dari para sahabat itu. Ada tanggapan penghibur dari Pak Soerjadi: "... saya kirim SMS dengan tulus, karena kepercayaan kepada buya tulus. Tindakan apa pun yang buya lakukan atau tidak lakukan aku percaya. Saya tidak termasuk yang heboh. (SMS 6 Agustus 2007, jam 09:51:31).

Dari Bung Eros, karena tidak ingin melihat saya "dicemari" politik kekuasaan, tanggapannya berbunyi: "Saya terpaksa menyampaikan pernyataan duka cita karena Buya Syafii M sobatku telah kehilangan keyakinan bahwa Indonesia tengah benar-benar membutuhkan kepemimpinan para tokoh yang waras lahir bathin dan bebas dari kontaminasi para manusia yang haus kekuasaan ... yah walau berduka tetap saya ucapkan Selamat ber BAITUL ria .. Salam hormat dari saya yang tetap yakin bahwa memanipulasi keimanan umat dosa hukumnya." (SMS 6-8-2007, jam 09:32:06).

Dari AM Fatwa, lain lagi nadanya: "Hati kecil saya bisa memahami dan menerima buya masuk BAMUSI/PDI-P tapi logika politik saya menimbulkan banyak pertanyaan apakah ini fenomena baru dari gerakan Islam Indonesia dan apakah buya memang sengaja melakukan terobosan." (SMS 6-8-2007, jam 15:25:14). Terbaru dari Prof Dr Wan Moh Nor Wan Daud, sahabat dari negeri jiran berbunyi; "Kalau Pak Syafii masuk PDI-P, saya mahu masuk UMNO." (SMS 16-8-2007, jam 20:02). Sangat bervariasi bukan? Setelah saya jelaskan tidak masuk PDI-P, Wan Daud katanya batal masuk UMNO. Ini mungkin hanya sekadar kelakar.

Tentu saya berterima kasih atas semua tanggapan terhadap hubungan saya dengan BAMUSI (Baitul Muslimin Indonesia). Beberapa penjelasan di bawah perlu saya berikan, agar salah paham tidak terjadi, sebab yang memberikan reaksi juga tidak sedikit, seolah-olah apa yang saya lakukan itu akan punya pengaruh politik, padahal rasanya tidak demikian. Saya melihatnya semata-mata dari segi dakwah dan kultural, tidak dari sisi lainnya.

Dalam usia setua ini, akan menjadi sangat tidak arif sekiranya saya masih berambisi masuk partai. Di saat muda dulu saya memang simpatisan berat Masyumi sampai partai ini dibubarkan akhir 1960, tetapi tidak pernah jadi anggota partai manapun hingga sekarang. Sebenarnya yang memicu kehebohan adalah berita Kompas tanggal 6 Agustus 2007, hlm 2 dengan judul: "PDI-P Gaet Syafii Maarif dan Said Agil." Judul ini terasa provokatif, seakan-akan saya sudah menjadi bagian dari PDI-P. Faktanya adalah saya tidak naik panggung untuk dilantik, apalagi pakai seragam.

Siang itu, 5 Agustus, saya diminta berbicara tentang pilar-pilar kebangsaan. Jangankan bergabung dengan PDI-P, masuk partai yang sedikit berbau Muhammadiyah saja, saya pun tidak mau. Akan sangat lucu, seorang warga sepuh, seperti saya, masih punya ambisi politik, bukan?

Kalau begitu, apa sebenarnya yang terjadi? Ada masalah etika persahabatan di sini. Sekitar Juni 2007, Profesor Hamka Haq dan teman-teman dari BAMUSI menemui saya di Maarif Institute, Jl. Thamrin, Jakarta. Saya, kata delegasi itu, diminta Ibu Megawati dan Pak Taufik Kiemas untuk menjadi salah seorang pembina BAMUSI. Dikatakan bahwa pendukung PDI-P sekitar 80 persen Muslim. Mereka inilah yang perlu diberi didikan dan pengertian Islam yang sebenarnya. Itulah tugas BAMUSI.

Persahabatan saya dengan Pak Taufik sudah berlangsung sekitar tujuh tahun. Selama saya jadi pimpinan PP Muhammadiyah tidak sedikit Pak Taufik menyalurkan bantuan dananya melalui saya. Bahkan sampai hari ini, pada saat kami membangun kembali gedung Madrasah Mu'allimin Yogyakarta yang rusak berat terkena gempa, Pak Taufik lewat adik iparnya, Drs H Herianto, saban bulan mengirimkan dana untuk madrasah pusat kader Muhammadiyah ini. Dijanjikan akan dibantu sampai rampung.

Seperti dimaklumi, Pak Taufik adalah saudagar minyak, bukan? Selama kami bergaul tidak terbayang bahwa Pak Taufik ingin menggaet saya agar bergabung dengan PDI-P, sesuatu yang memang tidak mungkin. Jadi, persahabatan kami sebatas kepentingan agama dan kultural, tidak ada sangkut pautnya dengan Pemilu 2009. Oleh sebab itu hendaklah dilihat hubungan saya dengan Pak Taufik tidak memakai kacamata satu dimensi, pasti keliru. Akhirnya, yang amat membebani otak dan batin saya adalah agar bangsa ini segera siuman, tidak hanyut dalam arus budaya kumuh dan busuk.

Baik di Atas, Belum di Bawah


Oleh : Asro Kamal Rokan

Donald Pieter Luther Kolopita, wasit karate Indonesia, babak belur dipukul polisi Negeri Sembilan, Malaysia. Indonesia protes terhadap kebrutalan itu. Donald telah menjelaskan bahwa dia resmi diundang dalam kejuaraan karate Asia, namun polisi berpakaian preman itu terus saja memukul dan menendangnya.

Kasus ini memperpanjang daftar catatan buruk warga Indonesia terhadap Malaysia, negara jiran yang dianggap sombong oleh sebagian warga Indonesia. Benarkah Malaysia sombong? Pekan lalu, wartawan Kantor Berita Bernama Malaysia, Mohn Nasir Yussoff, membuat laporan menarik. Judul tulisannya: Benarkah Malaysia sombong di mata Indonesia?

Menurut Nasir dalam laporannya, dari sepuluh orang Indonesia, tujuh di antaranya akan mengatakan pendapat itu benar. Ini antara lain karena kasus penganiayaan buruh migran Indonesia, pemerasan TKI, sebutan Indon terhadap WNI --yang terkesan merendahkan-- kasus-kasus perbatasan, pembalakan liar, dan ada juga kesan Malaysia lebih maju dari Indonesia.

Dalam tulisan itu, Nasir mewawancarai sejumlah narasumber yang menyatakan persepsi soal hubungan tak nyaman tersebut bukan gambaran umum rakyat Indonesia. Ia juga menyinggung inisiatif LKBN Antara dan Bernama membentuk Forum Media Indonesia-Malaysia. Forum ini bertujuan untuk kesepahaman dan keseimbangan informasi.

Hubungan Pemerintah Indonesia dan Malaysia saat ini berada di tingkat yang terbaik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Abdullah Badawi serta Wapres Jusuf Kalla dan Timbalan Perdana Menteri Najib Tun Razak, dapat berhubungan kapan saja secara pribadi. Tidak jarang mereka saling bertelepon. Para pemimpin itu pun saling berkunjung, melebihi intensitas kunjungan terhadap negara ASEAN lainnya.

Hubungan antarmedia juga berjalan baik. Pada Februari 2007 lalu, 12 pemimpin media cetak Indonesia bertemu dengan PM Badawi dan tokoh-tokoh pers setempat. Pada Juni 2007, giliran sembilan pimpinan media televisi Indonesia diundang Pemerintah Malaysia, juga bertemu tokoh pers, PM Badawi, Najib Razak, dan Menteri Penerangan Zainuddin Maidin, yang justru belum dilakukan Pemerintah Indonesia.

Dalam dua pertemuan itu, kebetulan saya didaulat memimpin delegasi, kami berdiskusi tentang problem hubungan kedua negara, di antaranya soal TKI, perbatasan, dan penggunaan sebutan Indon. Hasil pertemuan, dianggap mendesak dibentuk forum media untuk saling memahami. Ini karena, hubungan antarmasyarakat tidak sebaik hubungan pimpinan kedua negara. Di tingkat masyarakat, hubungan kedua negara ada persoalan. Selain polisi, Rela --semacam Banpol di Indonesia-- juga melakukan tindakan di luar batas etika ketika mengejar para TKI ilegal. Mereka mungkin menganggap para 'Indon' itu telah mengotori Malaysia, membuat kerusuhan, membawa penyakit, dan tak bermoral. Namun, para majikan juga berkelakuan buruk terhadap buruh migran Indonesia. Kisah Nirmala Bonat dan Ceriyati sedikit di antara banyak kisah pilu itu, kisah manusia yang disebut Indon itu.

Sebaliknya, berbagai tindak kejahatan --perampokan, kerusuhan, narkoba-- sering pula dilakukan orang Indonesia. Seorang menteri Malaysia bahkan rumahnya pernah dirampok oleh WNI. Bagi sebagian orang, perilaku buruk pendatang Indonesia itu telah mengusik ketenteraman mereka.

Hubungan rakyat Indonesia-Malaysia tidak sedikit karena pertalian darah. Kebudayaan, politik, ekonomi, dan pemikiran antarkedua negara pun saling memengaruhi. Ibarat air, hubungan kedua negara ini tak putus dicincang. Namun, itu saja jelas tidak cukup: ada harga diri, ada martabat, yang keduanya harus saling menjaga.

Kaum Cendekiawan, Berpolitiklah!


Oleh : Mohammad Nasih

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI, Presidium Pengurus Pusat MASIKA ICMI

Praktik politik yang seringkali didominasi trik, intrik, dan konflik telah menyebabkan politik berkonotasi negatif. Konotosai seperti itu muncul karena politik oleh sebagian besar pelakunya dimaknai secara sempit sebagai sekadar 'siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana?

Dalam konsep tersebut tak ada pertanyaan 'mengapa' atau 'untuk apa'. Akibatnya, trik, dan intrik politik cenderung mengabaikan etika dan menghalalkan segala cara untuk merebut atau meraih kekuasaan.

Pertanyaan 'mengapa' atau 'untuk apa' berarti sangat penting. Sebab, pertanyaan tersebut mengindikasikan konsep bahwa politik dan kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sekadar sarana atau alat. Jika politik atau kekuasaan adalah sekadar alat, maka menilai bahwa hakikat politik itu kejam dan kotor sesungguhnya adalah kekeliruan cukup fatal.

Politik pada dasarnya bersifat netral. Sekadar contoh, pisau dapur dapat digunakan untuk menyelesaikan urusan dapur. Tapi ia juga dapat digunakan untuk melakukan kejahatan, seperti menusuk/membunuh orang. Contoh sederhana ini memperlihatkan bahwa baik dan buruk sebuat alat tergantung siapa yang menggunakannya. Karena itu, jika realitas politik pada suatu saat tertentu tampak kotor, maka sesungguhnya para pemain politiknyalah yang mengotorinya dengan sikap dan perilaku yang tidak benar.

Politik menurut David Easton merupakan sarana dan area untuk mengalokasikan nilai. Dari Easton inilah, muncul istilah politik alokatif. Easton melihat bahwa dalam politik sesungguhnya terjadi negosiasi untuk mengalokasikan nilai-nilai, tepatnya saat terjadi proses-proses pembuatan kebijakan politik.

Pembawa nilai
Agar tidak kotor, politik perlu diisi oleh politisi yang tidak menjadikan politik atau kekuasaan sebagai tujuan, melainkan sekadar alat untuk mewujudkan tujuan, yakni mewujudkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dalam praktik pengelolaan negara. Cendekiawan merupakan individu yang memiliki wawasan luas tentang nilai-nilai, sehingga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang benar dan mana yang tidak benar. Karena itu, kaum cendekiawan diharapkan menjadi pengawal dan pejuang dalam mengalokasikan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dalam proses-proses pembuatan kebijakan politik di lembaga-lembaga politik formal kenegaraan.

Jika politik diisi oleh kaum cendekiawan, dapat diharapkan pula terjadi transaksi-transaksi politik yang bernuansa intelektual, bukan semata-mata bernuansa kalkulasi keuntungan finansial. Memang ini bukanlah sesuatu yang mudah, karena banyak sekali tantangan. Sejarah mencatat bahwa pernah terjadi 'pengkhianatan intelektual', yaitu ketika mereka terjun ke dalam politik, tapi ternyata tidak mampu mengubah keadaan. Mereka malah terseret dan larut dalam pusaran arus politik kotor yang sedang berlangsung, dan bahkan ikut menikmatinya. Seharusnya mereka mengubah keadaan dengan kapasitas keilmuan yang mereka miliki.

Karena dalam demokrasi yang berlaku adalah one person one vote, maka yang diperlukan tidak hanya kualitas kecendekiaan politisi, akan tetapi juga kuantitas yang memadai karena sewaktu-waktu bisa saja terjadi mekanisme voting. Jika kuantitasnya cukup, maka voting akan dapat dimenangkan oleh politisi pembawa dan pejuang nilai. Sayangnya, sebagian (untuk tidak menyebut mayoritas) cendekiawan saat ini enggan masuk ke dalam politik dengan alasan bahwa realitas politik saat ini kotor dan hal itu membuat mereka takut terseret arus atau ikut menjadi kotor.

Sikap ini sesunguhnya tidak tepat. Justru kaum cendekiawan perlu bersikap kritis dan mencurigai bahwa wacana 'politik itu kotor' sengaja dibuat oleh mereka yang ingin menggunakan politik untuk agenda-agenda yang tidak baik. Dengan mewacanakan bahwa 'politik itu kotor', maka orang-orang baik (yang bermoral dan berintegritas) tidak akan tertarik untuk masuk ke dalam politik karena takut dilekati dengan image kotor. Dengan demikian, mereka yang memiliki niat jahat akan dapat lebih mudah menguasai politik, karena tidak ada kompetitor dengan kualitas yang memadai dan kuantitas cukup.

Selain itu, kaum cendekiawan yang tidak mau masuk ke dalam politik, patut dicurigai bahwa sesungguhnya mereka adalah para cedekiawan yang hanya berdiri di menara gading. Mereka melihat ketidakberesan yang terjadi dalam praktik politik, tetapi tidak mau melakukan langkah konkret untuk memperbaikinya, karena mereka sudah berkalkulasi bahwa mereka akan kalah dalam kontestasi politik.

Transaksi politik yang bernuansa intelektual akan lebih menyegarkan dan berjangka panjang dengan adanya kedalaman analisis dan dialektika yang matang pada perdebatan-perdebatan dalam proses pembuatan kebijakan politik. Karena itu, kaum cendekiawan ditantang untuk menjalani praksis politik, untuk membawa, mengawal, memperjuangkan, dan mewujudkan pemikiran-pemikiran mereka ke dalam kebijakan politik yang bersifat konkret dan aplikatif.

Kalau memang realitas politik adalah kotor, maka justru cendekiawanlah yang memiliki tanggung jawab moral-politik untuk mengubah keadaan tersebut. Kapasitas kecendekiaan yang mereka miliki akan diuji, apakah fungsional atau hanya sekadar teori-teori yang melangit dan tidak mampu diaplikasikan dalam dataran riil. Karena realitas inilah, kaum cendekiawan harus menunjukkan bela rasa, empati, cinta, dan keadilan sebagai respons kecendekiaan. Cendekiawan macam inilah yang masuk dalam kategori cendekiawan organik sebagaimana dikemukakan oleh Gramsci. Menurut Gramsci, cendekiawan organik lebih dibutuhkan untuk mengubah realitas. Dengan wawasan, pengetahuan, dan gagasan yang dimiliki, cendekiawan berpotensi lebih besar untuk melakukan perubahan. Kalau kaum cendekiawan kalah dalam memperjuangkan nilai-nilai kecendekiaan, maka dapat dipastikan bahwa suatu saat nanti akan terbangun konstruksi sosial baru yang tidak jelas lagi mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Syarat Calon Perseorangan


Oleh : Anas Urbaningrum

Ketua DPP Partai Demokrat

Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka peluang bagi munculnya calon perseorangan di dalam pilkada, segera diikuti dengan debat tentang bagaimana putusan tersebut diimplementasikan. Salah satu isu yang penting dalam konteks implementasi tersebut adalah syarat dukungan bagi calon perseorangan. Ini pula yang akan menjadi titik perhatian dan tarik-menarik politik dalam pembahasan revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Ada banyak pikiran dan kepentingan yang menyertai debat tentang hal ini. Ada yang mengusulkan syarat dukungan calon perseorangan harus sama dengan syarat calon dari parpol, yakni 15 persen. Ada pula yang mengusulkan sama dengan syarat calon perseorangan dalam pilkada di NAD, yakni 3 persen (dari jumlah penduduk). Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan syarat yang lebih ringan dari 3 persen pemilih, khusus pada daerah-daerah yang jumlah penduduknya besar, karena angka kumulasinya juga besar. Usulan-usulan lain berkisar 5 persen sampai 10 persen.

Memang untuk menemukan syarat dukungan yang adil dan proporsional tidaklah gampang. Bukan saja karena hal ini adalah perkara baru dalam pilkada, tetapi juga karena banyak selera dan argumentasi yang hampir semuanya mempunyai dasar rasionalitas politik. Karena itu dibutuhkan kristalisasi gagasan dan kepentingan yang bersandar pada tujuan utama hadirnya calon perseorangan, yakni membuka ruang demokrasi yang lebih lebar dalam rekrutmen kepemimpinan politik lokal dan meningkatkan kualitas pilkada.

Landasan pijak
Atas dasar hal tersebut, hemat saya ada beberapa landasan pijak yang harus kita pertimbangkan dalam merumuskan syarat dukungan bagi calon perseorangan. Bukan semata-mata angka yang terkait dengan pemilih, tetapi juga berhubungan dengan teknis pelaksanaannya. Bukan saja terkait dengan hubungan antara calon dan pendukung, tetapi juga dengan pihak penyelenggara, bahkan terkait dengan filosofi dasar kehadiran calon perseorangan itu sendiri.

Pertama, salah satu bagian dari amar putusan MK menyatakan bahwa syarat calon perseorangan harus mempertimbangkan dua hal, yakni keseimbangan dengan syarat calon dari parpol dan tidak boleh lebih berat dari syarat calon dari parpol. Jika boleh diberi penafsiran politik, keseimbangan bisa dimaknai sebagai kesepadanan yang adil. Ini melibatkan 'rasa politik' tentang keadilan persyaratan tersebut.

Jika calon dari parpol dipersyaratkan harus didukung oleh parpol atau gabungan parpol yang mempunyai 15 persen kursi atau suara, tentu saja tidak serta-merta seimbang, sepadan dan adil, jika calon perseorangan juga dipersyaratkan didukung oleh 15 persen pemilih. Kita perlu melihat dengan objektif tentang dua hal yang berbeda, dukungan parpol dan dukungan pemilih. Juga dua entitas politik yang berbeda, calon yang didukung parpol dan calon yang berangkat dari dukungan pemilih. Karena itu, terasa tidak seimbang dan adil, jika syaratnya disamakan angkanya. Angka 15 persen bagi calon perseorangan akan mudah dipahami sebagai ketidakikhlasan dan hambatan terhadap munculnya calon perseorangan.

Kedua, putusan MK tentang peluang bagi calon perseorangan bukan bermaksud untuk mematikan partai politik. Jika maknanya karena ketidaksukaan kepada partai politik, tentu ini akan menjadi bencana bagi demokrasi. Karena itu, pasti dan sudah jelas bukan disemangati oleh kebencian kepada partai politik. Atas dasar itulah, maka rumusan persyaratan bagi calon perseorangan juga mesti adil terhadap eksistensi dan masa depan partai politik.

Jika angkanya terlalu ringan, disengaja atau tidak, akan menyebabkan inflasi politik bagi parpol. Dengan demikian, kehadiran calon perseorangan tidak berfaedah untuk mendorong perbaikan internal parpol, justru malah menjadi sebab semakin ringkihnya parpol di mata publik. Kalau ini yang terjadi, maka meringan-ringankan syarat bagi calon perseorangan tidak ubahnya refleksi dari kepentingan untuk membuat parpol menjadi makin kerdil dan tidak penting.

Ketiga, faktor penyelenggara pilkada juga perlu mendapatkan perhatian. Jelas bahwa penyelenggara pilkada, KPUD, adalah pihak yang akan melakukan verifikasi dukungan terhadap para calon, termasuk calon perseorangan. Verifikasi dukungan calon dari parpol jelas sangat berbeda dengan calon perseorangan. Verifikasi dukungan calon perseorangan akan jauh lebih berat dan rumit ketimbang calon dari parpol.

Kita meyakini bahwa KPUD akan mampu dan sanggup melakukan tugasnya, meskipun pekerjaan itu sangat berat. Oleh karena itu, kita perlu mengalkulasi kemampuan maksimal KPUD untuk melakukan verifikasi syarat dukungan calon perseorangan. Tidak sepatutnya memberikan beban yang berlebih kepada KPUD. Jika calon perseorangan terlalu banyak, tentu volume kerja untuk verifikasi saja akan berlipat-lipat. Beban yang terlalu berat akan berimplikasi pada keterbatasan hasil. Ujungnya adalah tambahan beban politik berupa protes dan tekanan.

Kalkulasi angka bisa kita buat. Jika syarat calon perseorangan ditetapkan 5 persen dari julmlah pemilih, secara teoretis, maksimal akan memungkinkan munculnya 19 calon perseorangan. Dapat dibayangkan bagaimana beban verifikasi yang harus ditanggung oleh KPUD. Bagaimana kalau 3 persen atau lebih ringan dari 3 persen? Jelas akan lebih berat lagi.

Beberapa pertimbangan tersebut perlu kita lihat untuk merumuskan syarat calon perseorangan yang seimbang, sepadan, adil, dan proporsional dengan calon yang berangkat dari dukungan parpol. Bukan semata-mata untuk kepentingan calon perseorangan, juga kepentingan parpol dan kepentingan teknis penyelenggaraan, tetapi untuk kepentingan bersama bagi penyelenggaraan pilkada yang lebih berkualitas dan pembangunan demokrasi di tingkat lokal agar makin stabil, efektif dan produktif bagi rakyat.

Angka proporsional Atas dasar itulah, hemat saya, angka yang adil dan proporsional untuk calon perseorangan adalah separuh dari syarat calon dari parpol. Jika calon dari parpol didukung sekurang-kurangnya 15 persen kursi atau suara, cukup adil dan proporsional jika calon perseorangan didukung sekurang-kurangnya 7,5 persen dari jumlah pemilih. Angka 7,5 persen tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan. Jadi keseimbangan yang dimaksud oleh MK bisa kita rumuskan dengan angka 15 persen untuk calon parpol dan 7.5 persen untuk calon perseorangan.

Selain itu, perlu ditambah dengan syarat sebaran dukungan. Syarat ini mewajibkan dukungan untuk calon perseorangan tersebar di sekurang-kurangnya 50 persen jumlah kabupaten/kota untuk pilkada gubernur/wakil gubernur atau 50 persen kecamatan untuk pilkada bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota. Hal ini untuk lebih 'menjamin' bahwa calon yang bersangkutan dikenal dan didukung secara luas oleh rakyat setempat. Ringkas kata, sebaiknya kita tidak terjebak pada jalan pikiran untuk memberat-beratkan atau meringan-ringankan syarat dukungan bagi calon perseorangan. Yang wajar, adil dan proporsional saja, sehingga baik bagi semua dan produktif bagi masa depan demokrasi kita, khususnya di tingkat lokal. Wallahu a`lam.

Ikhtisar
- Setelah putusan MK yang membuka peluang bagi munculnya calon perseorangan dalam pilkada, perdebatan mulai berkembang soal syarat yang diperlukan calon tersebut.
- Untuk menentukan syarat yang adil dan proporsional bagi calon perseorang tidaklah mudah.
- Angka yang moderat untuk menentukan dukungan bagi calon perseorangan adalah separuh dari syarat bagi calon dari parpol.
- Dukungan calon perseorangan juga harus tersebar di minimal 50 persen wilayah pemilihan.

Defisit RAPBN 2008



Oleh :Fuad Bawazier

Mantan Menteri Keuangan

Pada 16 Agustus 2007 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2008 di hadapan DPR-RI. Ini adalah RAPBN ketiga Presiden SBY. Para pengamat ekonomi umumnya kecewa dengan RAPBN 2008 ini. Pertama, karena belum ada perubahan policy APBN, masih seperti yang doeloe saja yang sudah berlangsung 40 tahun, yakni anggaran defisit dan utang luar negeri. Dalam RAPBN 2008 pemerintah akan menarik pinjaman baru Rp134,7 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 91,7 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 43 triliun (4,7 miliar dol;ar AS dengan kurs Rp 9.100).

Pinjaman Rp 134,7 triliun ini terjadi karena total pengeluaran (belanja) negara Rp 896,1 triliun sedangkan total pemasukan (pendapatan) negara dan hibah hanya Rp 761,4 triliun. Besarnya Pendapatan Domestik Bruto (PDB) diasumsikan Rp 4.306,6 triliun. Dari hitungan ini besarnya defisit anggaran seharusnya Rp 134,7 triliun atau 3,1 persen PDB, bukan Rp 75 triliun atau 1,7 persen PDB. Presiden SBY melaporkan rencana total belanja negara hanya Rp 836,4 triliun, karena tidak memasukkan anggaran untuk pembayaran cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp 59,7 triliun. Padahal ini adalah jumlah yang wajib dibayar pemerintah, dan dalam bentuk uang tunai. Sedangkan pinjaman baru luar negeri sebesar Rp 43 triliun itu tidak wajib ditarik, tergantung pemerintah.

Apabila pinjaman luar negeri Rp 43 triliun itu dibatalkan, maka total pengeluaran (belanja) negara Rp 853,1 triliun sehingga defisitnya Rp 91,7 triliun atau 2,1 persen PDB yang ditutup dengan pinjaman dalam negeri. Karena APBN dihitung atas dasar cash basis, maka perhitungan defisit anggaran seharusnya sederhana dan lurus saja seperti yang diajarkan orangtua atau akal sehat kita. Defisit adalah selisih antara belanja atau pengeluaran (termasuk beban wajib seperti pembayaran utang luar negeri) dan pendapatan atau pemasukan yang bersumber dari kekuatan/hak sendiri, yang tidak menambah beban atau kewajiban di kemudian hari (utang).

Saldo dan defisit Tegasnya, besarnya defisit adalah sama dengan besarnya kewajiban/utang baru yang ditarik untuk menutup selisih kurang anggaran, baik seluruhnya ataupun sebagian, sebagai konsekuensi lebih besar pasak dari pada tiang. Dalam hal selisih kurang anggaran ditutup dari tabungan atau penjualan BUMN/aset negara lainnya (bukan utang baru atau kewajiban baru), maka hasil penjualan tersebut merupakan pemasukan/pendapatan negara, dengan konsekuensi aset atau kekayaan negara berkurang.

Demikian pula bila selisih kurang anggaran ditutupi dari hasil penjualan atau menyewakan pulau atau aset negara, maka hasilnya merupakan pemasukan atau pendapatan negara yang mengurangi besarnya defisit anggaran, dengan konsekuensi stock aset negara juga berkurang. Bila aset negara bertambah karena temuan kekayaan alam seperti emas atau migas, tetapi belum memberikan pemasukan atau pendapatan negara, maka yang berubah barulah stock aset atau kekayaan negara, tetapi tidak/belum berpengaruh pada perhitungan besarnya defisit anggaran.

Jadi perlu dibedakan dan dipisahkan antara saldo atau stock kekayaan negara dengan defisit anggaran. Begitu pula dengan saldo atau stock utang negara dengan defisit anggaran. Gali lubang tutup lubang itu tidak mengurangi atau mengubah perhitungan defisit. Jadi perlu berhati-hati dengan perbedaan antara utang baru (menambah) dan pembayaran utang lama (mengurangi), karena mudah dimanipulasi dalam perhitungan defisit.

Bila negara membayar utang lama lebih besar dari pada menarik utang baru atau sebaliknya, yang pasti berubah adalah saldo utangnya dan rasio utang terhadap PDB. Sedangkan pengaruhnya terhadap anggaran (defisit, surplus, atau balance) tergantung pada besarnya selisih belanja (termasuk pembayaran utang pokok) dengan pendapatan negara termasuk hibah, pajak, dan lain-lain. Defisit anggaran mencakup masa perhitungan atas dasar tahunan (12 bulan) sedangkan saldo utang adalah keadaan per tanggal tertentu. Jadi, defisit adalah selisih yang ditutup dengan utang atau kewajiban baru. Artinya saldo utang hanya dapat ditutup atau dikurangi dari penghapusan (write off), pengurangan (hair cut), pembayaran kembali baik dengan uang tunai (yang bukan berasal dari utang baru), atau dibayar dengan barang atau jasa, atau dari sumber hibah.

Kedua, RAPBN 2008 dinilai banyak obral janji dan terlalu optimistis, tetapi kurang realistis bila dibanding dengan capaian selama ini, khususnya pertumbuhan ekonomi 6,8 persen. Ketiga, RAPBN 2008 ini dinilai belum efisien dan efektif. Contohnya, target pengembalian dana korupsi hanya Rp 26,5 miliar atau 10 persen saja dari anggaran pemberantasan korupsi yang Rp 264 miliar. Semestinya dibalik, yaitu anggaran pemberantasan korupsi hanya 10 persen dari dana pengembalian korupsi, dan hal ini seharusnya sangat mungkin tercapai mengingat luas, marak, dan besarnya korupsi di Indonesia. Jangan bagaikan mengejar ayam kehilangan sapi.

Keempat, anggaran dana bantuan sosial Rp 67,4 triliun yang dicurigai sebagai upaya politik mendekati rakyat menjelang Pemilu 2009. Kelima, RAPBN 2008 ini bukan saja dinilai sarat dengan window dressing dan penuh wacana angin surga, tetapi juga sebagai strategi cuci otak untuk terus-menerus membangun opini publik bahwa pembangunan ekonomi telah berhasil, dan opini bahwa tahun depan akan lebih sukses lagi. Informasi 'sukses' yang menyesatkan tetapi terus-menerus dicekokkan tim ekonomi pemerintah selama 40 tahun ini terbukti cukup berhasil membingungkan politisi atau sekurang-kurangnya meredam berita kegagalan ekonomi. Untuk mengerem wacana-wacana gombal ini memang sudah saatnya dibuat indeks janji/rencana SBY dengan realisasinya.

Cermin kegagalan
Sebenarnya RAPBN 2008 ini adalah kesempatan terakhir SBY untuk membuktikan perubahan yang pernah dijanjikan sekaligus membuktikan bahwa tidak hanya Presiden RI yang berganti tetapi juga rezim ekonominya. Seharusnya RAPBN 2008 berani membebaskan Indonesia dari jebakan utang luar negeri yang sudah berlangsung sejak awal orde baru yang merugikan ekonomi Indonesia dan mengurangi kedaulatan kita.

RAPBN 2008 ini juga mencerminkan kegagalan ekonomi pemerintah SBY karena tidak sesuai dengan target-target dalam Rencana Pembanguan Jangka Panjang (RPJP) yang antara lain, adalah defisit 0 persen, agar tidak menambah utang baru, apalagi utang dalam mata uang asing. Utang luar negeri dengan formatnya selama ini telah lama menjadi simbol bahwa tim ekonomi Indonesia masih berkhidmat atau tunduk pada policy dan kepentingan yang diarahkan Bank Dunia dan grupnya. Selama rezim ekonomi pemerintah yang sering disebut dengan istilah Mafia Berkeley masih rezim boneka kepentingan asing, mereka akan mati-matian dengan berbagai cara dan argumentasi untuk mempertahankan anggaran defisit demi mempertahankan kehadiran utang luar negeri.

Semasa orde baru, Mafia Berkeley berbohong menutupi anggaran defisit dengan mengatakannya sebagai anggaran berimbang sehingga pos utang luar negeri disebut dengan istilah keren penerimaan pembangunan, dan kreditor disebut donor. Kini mereka terpaksa mengakuinya sebagai anggaran defisit, tetapi perhitungannya dicoba untuk dikecilkan.

Ikhtisar
- APBN 2008 masih menganut gaya lama, yakni anggaran defisit yang membuka peluang masuknya utang baru.
- Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen dalam APBN 2008 juga terlampau optiistis dibanding realitas capaian selama ini.
- Perlu dibuat indeks janji/rencana pemerintahan SBY serta realisasinya.
- Seharusnya, RAPBN 2008 ini berani membebaskan Indonesia dari jebakan utang luar negeri yang merugikan kedaulatan bangsa.

Setumpuk PR untuk Jaksa Agung


Achmad Ali
Guru Besar Ilmu Hukum

Naiknya Hendarman Supandji menjadi Jaksa Agung RI yang baru, mencuatkan setumpuk harapan baru bagi dunia penegakan hukum di Tanah Air, terutama dalam pemberantasan korupsi. Bagaimanapun, Hendarman Supandji adalah seorang jaksa karier yang meniti kariernya dari bawah, sehingga memimpin birokrasi kejaksaan yang merupakan institusi 'raksasa' itu sudah bukan suatu kemustahilan. Dari dulu saya memang berpendapat bahwa institusi besar seperti kejaksaan, seyogianya dipimpin oleh seorang yang memiliki pengalaman dalam birokrasi pemerintahan.

Harapan itu membesar setelah Jaksa Agung mencuatkan ide barunya, seperti bagaimana agar LSM tidak luput dari audit terhadap kucuran dana yang mereka peroleh, terutama kucuran dana dari negara-negara asing, yang kemudian banyak mendapatkan tudingan sebagai imbalan untuk mewujudkan order tertentu. Tentu saja tudingan seperti itu belum tentu benar, bahkan mungkin memang tidak benar. Oleh karena itu ide untuk mengaudit dana yang diperoleh LSM di Indonesia, jangan dipandang secara apriori sebagai bentuk keinginan untuk memberangus LSM.

Memang beberapa waktu terakhir Hendarman Supandji menuai banyak kritik pedas sehubungan dengan kasus dugaan korupsi kelas big fish (bahkan mungkin salah satu kasus biggest fish) yang menimpa republik ini. Harapan saya Hendarman tidak surut semangatnya untuk pemberantasan korupsi, hanya karena kritik tersebut. Menurut saya, pro-kontra terhadap Jaksa Agung itu wajar saja. Konflik berbagai kepentingan yang berkaitan dengan langkah Hendarman mengusut kasus BLBI itu, tentu saja bermain cukup dahsyat. Yang merasa dirugikan tentu akan menggunakan segala sarana untuk menciptakan opini negatif.

Menjadikan the biggest fish sebagai prioritas pemberantasan korupsi di negeri yang konon termasuk paling korup di dunia ini, adalah strategi tepat untuk memulai babak baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Semua pihak harus angkat jempol untuk itu. Tepatlah konsep the law of non transferrability of law dari Profesor Robert B Seidman, bahwa hukum tidak dapat ditransfer begitu saja dari satu bangsa ke bangsa lain, karena setiap bangsa menuntut penanganan yang spesifik dengan kondisi nyata yang ada pada bangsa itu.

Namun demikian, untuk lebih menyempurnakan strategi pemberantasan korupsi terutama yang berkaitan dengan kasus BLBI, sang Jaksa Agung pun seyogianya memperhatikan kritik-kritik dari para tokoh dan pakar, sehingga kritik mereka bisa diubah menjadi masukan yang bermanfaat bagi upaya pemberantasan korupsi secara sistematis. Saya yakin, Jaksa Agung akan memperhatikan berbagai kritik tersebut, dan tentunya akan menyaring dan mengimplementasikan saran-saran yang dipandangnya relevan.

Mengutamakan pengembalian
Masukan yang relevan itu contohnya masukan yang meminta agar ada perbedaan penanganan antara obligor yang koperatif dan yang tidak koperatif. Demikian juga, saya kira ada benarnya pendapat yang mengharapkan agar strategi pemberantasan korupsi yang seyogianya ditempuh oleh Jaksa Agung beserta jajarannya di negara yang perekonomiannya belum membaik seperti Indonesia, yang harus diprioritaskan adalah tujuan hukum berupa kemanfaatan ketimbang kepastian hukum. Yang saya maksudkan adalah strategi pemberantasan korupsi yang tepat untuk kondisi perekonomian bangsa kita yang masih cukup memprihatinkan dewasa ini, seyogianya memprioritaskan pengembalian uang negara yang ditilap oleh para the biggest and the big fish, ketimbang pilihan pemidanaan belaka.

Konsep hukum Profesor Donald Black yang amat tersohor itu, yakni delegalization, saya kira jauh lebih tepat diterapkan, ketimbang konsep-konsep yang terlalu legalistik. Bukankah teori tujuan hukum modern mengatakan tujuan hukum memang ada tiga yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Tetapi skala prioritas harus diterapkan untuk hal yang sifatnya kasuistis, disesuaikan dengan konteks sosial , kultur, juga perekonomian pada zamannya. Untuk itulah saya menganggap strategi pemberantasan korupsi di Indonesia harus memprioritaskan tujuan hukum kemanfaatan ketimbang lainnya.

Saya terkesan dengan apa yang dibeberkan oleh Robert Klitgaard dalam Corrupt Cities, A Practical Guide to Cure and Prevention (2000). Dalam sub bab yang berjudul Why do many efforts to combat corruption fail?, Klitgaard menegaskan bahwa beberapa upaya pemberantasan korupsi menemui kegagalan karena terlalu mengutamakan pendekatan legalistik. Terkadang pemberasan korupsi juga hanya dilakukan setengah hati. Terkadang, upaya pemberantasan korupsi juga menjadi upaya yang korup dengan memfitnah atau berusaha memenjarakan lawannya.

Di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Hendarman Supandji, sudah saatnya Kejaksaan Agung memiliki political will dan political action untuk segera menghentikan perilaku jaksa-jaksa tertentu yang dikategorikan sebagai cruelty by orders alias memaksakan orang-orang tertentu menjadi tersangka atau terdakwa hanya atas dasar 'order' seseorang. Demikian juga harus mulai dihentikan apa yang dikritik keras oleh publik nasional maupun internasional sebagai perilaku tebang pilih alias diskriminasi. Saya yakin, sang Jaksa Agung Hendarman memiliki keberanian dan ketegasan untuk mengakhiri kedua praktik hukum yang menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat selama jni terhadap proses penegakan hukum.

Sudah saatnya, ketiga bawahan Presiden SBY di bidang penegakan hukum yaitu Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, serta Kapolri, merentangkan jalan mulus reformasi penegakan hukum dengan memfungsikan hukum sebagai a tool of social engineering untuk turut serta mengobati perekonomian kita. Mereka tidak bisa hanya berpegang erat-erat pada pemeo kuno bahwa hukum untuk hukum, tapi harus berpegang bahwa hukum itu untuk rakyat dan hukum itu untuk kesejahteraan bangsa.

Sulit Jadi Bangsa Besar


Masih Transisi dari Masyarakat Agraris ke Modern

Jakarta, Kompas - Hingga saat ini Indonesia masih belum mampu menjadi bangsa yang solid, besar, dan punya "mimpi besar" bersama untuk diwujudkan, seperti yang terjadi pada bangsa-bangsa lain semacam China, Jepang, dan India.

Menurut Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat, seluruh bangsa yang dicontohkannya tadi sama-sama punya kepercayaan diri serta etos kerja yang tinggi lantaran mereka masing-masing merasa menjadi bangsa pilihan.

Pernyataan itu disampaikan Komaruddin, Selasa (28/8), saat berbicara dalam diskusi "Pemantapan Nilai-nilai Kebangsaan dalam Kehidupan Berdemokrasi" yang digelar Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.

"Tembok Besar China dibangun ratusan tahun oleh dinasti yang berbeda-beda. Pembangunannya bisa berkesinambungan karena bangsa China sama-sama punya mimpi besar untuk diwujudkan. Begitu juga Jepang yang menyatakan bangsanya keturunan Dewa Matahari," ujar Komaruddin.

Menurut Komaruddin, bangsa Indonesia masih hanya sebatas mampu bernegara, namun dengan kemampuan membangun bangsa (state building) yang terus bermasalah. Belum lagi soal rasa keindonesiaan yang terbilang rapuh. Akibatnya, dalam bernegara, Indonesia seolah tidak punya agenda yang jelas.

Komaruddin juga menyayangkan sikap masyarakat yang masih selalu mengacu pada masa lalu. Akibatnya, tanpa sadar mereka alpa, tidak pernah memikirkan bagaimana cara untuk bisa bertahan hidup (survive) di tengah persaingan global.

Kondisi itu diperparah dengan kenyataan bangsa Indonesia masih bermental agraris yang individual dan komunalistik, sementara pada saat yang sama bangsa Indonesia juga harus hidup di era globalisasi dan informasi. Untuk bisa bertahan, bangsa Indonesia harus mampu hidup dalam suatu jaringan kerja yang mensyaratkan adanya kepercayaan, keterampilan, dan wawasan global.

Masih transisi

Berbeda dengan Komaruddin, Siswono Yudo Husodo, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), menilai, bangsa Indonesia masih dalam masa transisi dari suatu masyarakat pedesaan, agraris, tradisional, dan paternalistik menjadi masyarakat perkotaan, industri dan jasa, modern, serta demokratis.

"Kita patut menghargai berbagai kemajuan yang telah dicapai 10 tahun terakhir. Indonesia mengalami perubahan luar biasa dalam banyak hal, seperti demokratisasi dan transparansi," katanya.

Namun begitu, Siswono mengingatkan, proses demokratisasi tetap tidak akan berhasil tanpa diikuti kemampuan negara menyetarakan warga negaranya, terutama secara ekonomi.

Sedangkan rohaniwan Benny Susetyo, yang menjadi peserta diskusi, menekankan persoalan utama yang dialami sekarang adalah tidak adanya jaminan kesamaan dalam memperoleh kesempatan di kalangan berbagai suku bangsa di Indonesia. Hanya suku tertentu saja yang punya kesempatan lebih besar. (DWA)

Rakyat Tunggu Moral Parpol


Partai Golkar agar Tanggap terhadap Nasib Rakyat

Jakarta, Kompas - Sebagai satu-satunya partai politik yang mampu memenangi pemilu pada zaman Orde Baru maupun sesudahnya, profesionalitas berpolitik kader Partai Golongan Karya sudah teruji. Namun, moral politik tetap harus dijaga dan diingatkan agar partai yang menjadi tumpuan harapan sebagian besar rakyat Indonesia itu tetap ingat akan amanat rakyat.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi saat menerima kunjungan sejumlah pengurus Partai Golkar di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (28/8). Rombongan fungsionaris Partai Golkar dipimpin Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Priyo Budi Santoso.

Hasyim mengingatkan, rakyat memilih Golkar karena percaya Golkar mampu memperjuangkan aspirasi mereka. Namun, yang sering terjadi, setelah kader partai politik memiliki kekuasaan di lembaga legislatif dan eksekutif, mereka lupa akan janji yang pernah diberikan kepada rakyat.

"Moral politik yang memegang amanat rakyat ini sedang ditunggu oleh rakyat. Kalau tidak segera dipenuhi, rakyat bisa putus asa dan keputusasaan ini bisa membahayakan bagi semua partai politik," katanya.

Karena itu, NU mengetuk hati para kader Partai Golkar untuk lebih tanggap terhadap nasib rakyat. Korban luapan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, harus segera ditangani hingga tuntas. Melonjaknya harga berbagai kebutuhan pokok juga harus segera diatasi dengan solusi tepat dan komprehensif.

Selain bertemu dengan PBNU, rombongan Golkar itu juga menemui Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin.

Priyo mengatakan, kedatangannya ke PP Muhammadiyah itu untuk menjalin tali silaturahmi dengan tokoh agama dan organisasi massa besar.

Mereka juga mengunjungi Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Masjid Istiqlal serta Pimpinan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI).

Menurut Priyo, kunjungan ke PBNU, Muhammadiyah, dan MUI dimaksudkan guna konsolidasi dengan para pemuka agama untuk melawan unsur-unsur radikalisasi agama yang bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinilai bermunculan saat ini.

"Jadi, Golkar sebagai partai moderat yang berbasis nasionalis religius sangat berkepentingan dalam hal ini," ujarnya.(mzw/ANTara)

Alatas: Isu TKI Jadi Bom Waktu


Indonesia-Malaysia Harus Segera Mengatasinya


Jakarta, Kompas - Mantan Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas mengemukakan, perlakuan buruk terhadap para TKI di Malaysia berpotensi menjadi titik api yang bisa merusak hubungan Indonesia-Malaysia. Ini, kata Ali Alatas, adalah "sebuah bom yang bisa meledak kapan saja". Karena itu, kedua negara harus mengatasi masalah ini sesegera mungkin.

Pernyataan itu diungkapkan mantan Menlu Ali Alatas dalam seminar "50 Tahun Hubungan Indonesia-Malaysia" yang diadakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Institute of Strategic and International Studies (ISIS) Malaysia, Selasa (28/8) di Jakarta. Acara itu juga dihadiri Menlu Malaysia Syed Hamid Albar.

Pernyataan Ali Alatas tersebut muncul ketika rakyat Indonesia kembali tersentak dengan laporan terbaru mengenai kematian TKI Malaysia. Kali ini korbannya adalah TKI asal Demak bernama Kurniasih, yang diduga tewas karena dianiaya majikannya, pertengahan Agustus lalu. Sebelumnya, Juni, TKI bernama Ceriyati nekat meluncur dengan potongan kain dari lantai 15 sebuah apartemen di Kuala Lumpur karena tidak tahan dengan perlakuan kasar majikannya.

Data Kaukus Parlemen untuk HAM menyebutkan, selama semester I-2007 ada 14 kasus kekerasan fisik terhadap TKI dan 36 kasus kematian TKI di Malaysia.

Ali Alatas berpendapat, perlakuan buruk terhadap TKI muncul karena adanya stereotip negatif. TKI dicitrakan memiliki sikap mental tidak kompeten dalam bekerja, bodoh, tidak berpendidikan, tidak memiliki dokumen, dan menambah persoalan sosial di Malaysia. Gambaran semacam itu kemudian menjadi persepsi umum terhadap Indonesia dan rakyat Indonesia yang berkembang di banyak kalangan orang Malaysia.

Sebaliknya, orang Indonesia menganggap orang Malaysia arogan. Persepsi ini terbentuk karena orang Indonesia menganggap TKI, bahkan, warga Indonesia umumnya, sering dihina dan diperlakukan kasar di Malaysia.

"Seperti kebanyakan stereotip, gambaran mental semacam ini pada dasarnya salah dan keliru," ujar Ali Alatas. Karena itu, lanjut Ali Alatas, stereotip negatif semacam ini harus dibicarakan bersama-sama.

"Sepanjang stereotip seperti ini ada, ini akan membuat hubungan kedua negara tegang dan menghambat upaya kita untuk menyelesaikan semua masalah lainnya," kata Ali Alatas.

Selain masalah TKI, Ali Alatas juga menyoroti beberapa persoalan lain yang bisa mengancam hubungan kedua negara, yakni pembalakan liar, isu perbatasan (khususnya di laut), dan kabut asap.

Kekhawatiran

Kekhawatiran bahwa isu-isu tersebut dapat mengganggu hubungan Indonesia-Malaysia juga disadari Menlu Syed Hamid Albar. Lebih jauh, dia melihat isu TKI, perbatasan, dan pembalakan liar dapat memicu konfrontasi di antara kedua negara.

Kepada wartawan, seusai seminar, Hamid Albar mengatakan, hubungan kedua negara jangan sampai dirusak oleh kasus-kasus yang menimpa TKI. "Rakyat Malaysia sendiri marah karena ini (kekerasan terhadap TKI) bukan cara Malaysia memperlakukan orang-orang yang bekerja dan memberi sumbangan pada perekonomian Malaysia," katanya.

Hamid Albar mencoba meyakinkan bahwa secara umum sekitar 1,5 juta TKI diperlakukan dengan baik dan mendapat perlindungan di Malaysia. Banyak di antara mereka sukses dalam bekerja.

"Janganlah 10 kasus (kekerasan) ditonjolkan, sementara jumlah yang banyak (TKI yang sukses) diabaikan," ujarnya.

Ditanya soal lambatnya proses hukum terhadap para pelaku kekerasan terhadap TKI, Hamid Albar mengatakan, Pemerintah Malaysia tidak bisa ikut campur dalam proses pengadilan. "Pengadilan memiliki kaidah hukum. Mereka memerlukan bukti-bukti. Tapi, bukan berarti masalah itu dibiarkan saja dan tidak ada tindakan," katanya. (bsw)

Mendagri Baru


Mardiyanto Prioritaskan Revisi UU

Jakarta, Kompas - Mardiyanto, yang ditetapkan sebagai Menteri Dalam Negeri yang baru menggantikan Moh Ma’ruf, akan memprioritaskan revisi undang- undang, termasuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terkait dengan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah.

"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan agar revisi UU politik, pengaturan calon perseorangan, dan pemekaran daerah menjadi hal-hal yang harus diperhatikan dan diprioritaskan. Tentu saya akan memerhatikan hal-hal itu, selain persoalan lainnya," ujar Mardiyanto di Jakarta, Selasa (28/8) malam.

Pengalaman pemerintahan

Presiden Yudhoyono memutuskan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Mardiyanto untuk menduduki jabatan Mendagri, Selasa petang. Putusan tersebut diambil setelah mendengarkan pendapat dan saran Wakil Presiden Jusuf Kalla, tiga menteri koordinator (menko), dan pihak lainnya.

Presiden, yang saat pengumuman di Istana Negara, Jakarta, ditemani Wapres, Menko Bidang Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS, serta Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, tidak merinci alasan penunjukan Mardiyanto. Namun, secara terpisah, Wapres mengatakan pertimbangan pengangkatan adalah Mardiyanto dinilai cakap dan memiliki pengalaman dalam pemerintahan.

Presiden mengatakan, 1,5 bulan lalu ia sudah menyebutkan rencana penggantian itu kepada keluarga Moh Ma’ruf, khususnya Ny Susiyati dan tiga putrinya. Penggantian dilakukan agar keluarga bisa berkonsentrasi melakukan pengobatan dan terapi kepada Ma’ruf yang mengalami sakit serta untuk memastikan berjalannya roda pemerintahan.

Mardiyanto pun mengakui tugas Mendagri tidak ringan. DPR dan pemerintah sedang membahas revisi empat undang-undang bidang politik, selain revisi UU No 32/2004 yang disiapkan DPR. "Dengan dukungan semua pihak, saya akan melaksanakan tugas sebaik-baiknya," jelasnya.

Ia juga bersyukur karena Mendagri ad interim Widodo AS sudah mempersiapkan berbagai langkah untuk menyelesaikan tugas itu, termasuk menyiapkan rancangan revisi UU.

Mardiyanto mengakui, ia harus bergerak dengan cepat. "Apa yang sudah dijalankan selama ini dan yang baik, saya akan teruskan. Namun, tentunya, saya harus berkonsultasi lebih dulu dengan Menko Polhukam," katanya.

Rabu pagi ini Mardiyanto bertemu Widodo AS. Ia akan dilantik Presiden di Istana pukul 14.00, dilanjutkan serah terima jabatan di Departemen Dalam Negeri.

Dari Semarang dilaporkan, pascapengumuman Mardiyanto menjadi Mendagri, kediaman resmi Gubernur Jateng, Puri Gedeh, semalam tampak lengang, tiada aktivitas dari penghuninya. Ny Effi Mardiyanto pun berangkat ke Jakarta.

Semalam di rumah Wakil Gubernur Jateng Ali Mufiz terlihat beberapa kepala dinas di Pemerintah Provinsi Jateng datang, tetapi mereka tak mau berkomentar. (har/gal/who/hen/lkt/tra)

Tuesday, August 28, 2007

Kapitalisasi Politik


Oleh : Haedar Nashir

Apa yang paling laris dijual di negeri ini? Boleh jadi politik. Politik sejatinya merupakan pekerjaan yang mulia. Melalui politiklah urusan-urusan publik dapat dikelola secara efektif, sehingga negara dengan seluruh alatnya dapat difungsikan untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat. Apa yang musykil dilakukan oleh tangan-tangan sosial masyarakat, dapat dilakukan dengan mudah oleh tangan partai politik maupun para politisi. Itu idealnya.

Kenyataannya? Tak semudah retorika. Kini, politik berubah drastis fungsinya. Politik jadi ajang komoditi, sekaligus alat-tukar yang paling menjanjikan. Dunia politik sungguh telah berubah menjadi pasar bebas, sekaligus pasar taruhan yang paling menggiurkan. Tengoklah bagaimana para calon dalam pilkada di mana saja. Selalu ada obral uang, sekaligus bual janji, untuk menuju tangga jabatan puncak di pemerintahan daerah. Lalu, lahirlah para pialang sekaligus broker politik yang kian mengawetkan dan menggelembungkan budaya politik uang.

Politik uang bukan malah berhenti, tapi kian menjadi-jadi. Kita sungguh miris mendengar kabar, bagaimana uang miliaran begitu mudah jadi alat jaul-beli kepentingan politik dalam berbagai pilkada di negeri ini. Baru mau mendaftar jadi calon saja konon sudah harus mengeluarkan fulus sangat besar, apalagi sudah jadi calon dan terpilih. Tak dapat dibayangkan, bagaimana para pejabat negara/politik itu manakala sesudah terpilih kemudian harus "melunasi utang-utang politik". Lalu, kapan berkonsentrasi untuk mengemban amanat publik secara serius tanpa diganggu oleh tagihan-tagihan "kas-bon politik"? Jabatan publik jadi sulit kembali ke hulunya, yakni rakyat pemberi mandat. Bisa-bisa malah memanjakan cukong.

Kita sungguh sulit memahami denyut nadi politik saat ini. Bukan hanya pragmatis sebagaimana watak dasar politik: who gets what, when and how. Politik, menurut Machiavelli, laksana perjuangan ala Rubah, menempuh apa saja untuk menuju singgasana. Guna menjadi sangat perkasa, virtouse. Tak peduli apakah politik itu dimainkan partai atau politisi "sekuler" atau yang membawa klaim agama, jalan dan hasil akhirnya tetap sama: menempuh segala macam cara. Segala hal menjadi serba boleh, yang beda tampilan dan klaim politiknya.

Kini politik selain pragmatis, menjadi sangat materialistik. Tak ada uang, tak ada jabatan publik. Setiap jengkal langkah, harus ada duit. Dunia politik jadi rimba ber-uang. Uang begitu tampak mudah, entah dari mana? Padahal, konon negeri ini sedang jatuh krisis dan miskin, hingga orang miskin dan penganggur kian membengkak, dan tentu saja utang luar negeri masih tetap jadi beban terberat hingga berapa generasi.

Boleh jadi ini memang zaman kapital? Selamat datang di dunia kapitalisme politik. Suatu era ketika politik memang menjadi bagian dari kerja kaptilalisme neoliberal, yang semakin menggurita dan digdaya. Apa pun menjadi bagian dari kegiatan ekonomi-uang, termasuk politik. Politik menjadi bagian dari ekonomi mengejar serba profit, keuntungan materi, di luar kepentingan kekuasaan dan prestise sosial. Jadi bagian dari mesin produksi yang berorientasi pasar, bahkan pasar bebas dalam cengkeraman nafsu dan sistem liberalisme bahkan neo-liberalisme. Semua kegiatan politik dan yang berkaitan dengannya menjadi proses kapitalisasi.

Para politisi atau orang partai politik tidak lagi risih menggunakan kosakata kapitalisasi politik. Maksudnya mungkin modal politik dari suatu kegiatan politik yang akan menghasilkan akumulasi raihan kekuasaan setelah itu. Tapi, secara tidak sadar sesungguhnya menunjukkan wajah "kapital" dari perpolitikan di negeri ini. Politik jadi bagian tak terpisahkan dengan kegiatan ekonomi dan menggunakan prinsip dan cara kerja bisnis sebagaimana hukum kapitalisme bekerja. Politik semata-mata ingin meraih "profit" akumulasi kekuasaan dan dukungan. Dengan siapa pun berkongsi tak mengapa, yang penting target-target keuntungan politik dapat diraih, jika tidak saat ini maka untuk tahun 2009.

Kejarlah keuntungan sebesar-besarnya, bila perlu dengan menggunakan segala cara. Bila perlu menjual klaim moral dan agama untuk politik. Dengan klaim moral dan agama, kapitalisasi politik bahkan menjadi berwajah ganda: propan dan sakral. "Sakralisasi" politik atas nama moral, agama, dan Tuhan bahkan makin membuat laris atau tinggi harganya, hingga masuk ke dunia propan tak kepalang tanggung. Tangan yang satu berwajah "langit" hingga tampak seperti Malaikat yang turun ke jagad politik, sedang tangan yang lain berlumuran pragmatisme politik yang tak kalah propan ketimbang politik "sekuler". Jika dalam hukum Machiavelli segala cara dibolehkan untuk meraih "virtouse" (kedigdayaan kuasa), maka dalam hukum "politik keagamaan" segala cara dibolehkan karena ada dalil moral atau agama. Tapi muaranya sama: melipatgandakan dan meraih keuntungan politik sebesar-besarnya dengan menggunakan hukum-hukum ekonomi kapitalisme.

Maka tak mengherankan jika dunia politik di negeri ini semakin elitis, tidak populis. Baik elitis berlabel pragmatis, maupun ala "rahbaniah" ideologi politik keagamaan. Elitisme politik keagamaan bergaya "rahbaniah" ingin menciptakan genre atau jamaah politik yang kental "kesantriannya" atau "keislamannya" dalam formalisme dan paham Islam puritan-ideologis, yang membedakan secara kategoris dan ekslusif dari yang lain. Suatu logika politik-keagamaan beraroma teori poskolonial dalam era misi Zending di negeri-negeri jajahan pada masa lampau. Setiap rumah harus dimasuki dengan semangat "mendakwahi" orang, yang hasil akhirnya sesungguhnya kapitalisasi politik yang berorientasi elitis itu.

Kapitalisasi politik yang serba berorientasi target-kuasa plus militansi ideologi yang membara, akan melahirkan hegemoni baru. Tak ada celah dan ruang kultural yang longgar, kecuali politik. Tak ada relasi sosial yang lentur, kecuali politik yang serba serius. Bahkan agama pun, yang semestinya memberi ruang dan pandangan yang serba melintasi dan melampaui mulai kehilangan autentisitasnya, diinterupsi absolutisme ideologi politik.

Tahun 2009 seolah dekat. Kekuatan-kekuatan dan elite nasional kian bergairah saling memposisikan diri melalui beragam simulasi peran. Calon mencalonkan sudah dimulai, ada yang serius ada pula yang sekadar menanam saham. Memang itulah dunia politik dan hingga batas tertentu wajar adanya. Partai dan politisi memang dilahirkan untuk perjuangan kekuasaan, dan itu sah adanya. Tapi selalu ada harga yang harus dibayar atau lebih tepatnya dikorbankan, yakni kepentingan-kepentingan rakyat yang bersifat nyata, yang sesungguhnya memerlukan kebijakan-kebijakan politik yang autentik prorakyat.

Para politisi dan partai politik memang banyak yang menyapa rakyat dengan ramah. Tetapi terbatas ketika ada keperluan hajatan politik seperti Pemilu dan Pilkada. Atau ketika ada maunya. Sapaan ramah seperti itu pun sifatnya sumir atau parsial saja, tidak masuk ke wilayah fundamental dan substansial.

Partai politik dan politisi yang jualan politik tampaknya tak sungguh-sungguh masuk ke pembuatan keputusan dan kebijakan politik yang prorakyat. Bagaimana kebijakan untuk memecahkan kemiskinan, menghentikan perusakan aset-aset negara, menjaga kedaulatan bangsa, memecahkan pengangguran, menyelesaikan utang luar negeri, menghentikan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, dan sebagainya. Soal kelangkaan minyak tanah saja tak begitu diperhatikan. Masak di usia kemerdekaan 62 tahun negeri ini rakyat masih dililit kelangkaan minyak tanah? Seolah negeri ini belum merdeka.

Agaknya banyak perspektif yang lepas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini. Selain politisi dan partai politik, pemimpin pemerintahan pun seolah kehilangan "world-view" dalam mengelola dan mengarahkan jalannya negara. Soal satu Mendagri saja begitu berlarut-larut, yang mengesankan negara disubordinasikan ke dalam rasa sentimental dan bukan urusan tata kelola pemerintahan yang semestinya mengutamakan kepentingan publik. Banyak hal kecil menjadi heboh, sebaliknya yang urusan-urusan besar seolah dibiarkan berlalu bersama waktu.

Publik dininabobokan dengan retorika yang kehilangan perspektif, kecuali sebatas ornamen polesan dan kerja-kerja politik sesaat. Sementara bangsa dan negara ini semakin kehilangan banyak momentum untuk bangkit dan maju setara dengan bangsa dan negara lain. Politik dan juga pemerintahan, meminjam logika Michel Foucault, sekadar melakukan reproduksi kekuasaaan. Malah bukan sekadar mendaur-ulang, sekaligus kapitalisasi nafsu-kuasa. Para pelaku politik lantas menjadi serba bebal dan ajimungpung, di tengah banyak rakyat kecil yang hidup kian terengah-engah.

PAN dan Beban Pluralisme


Cetak E-mail

Oleh: Asep Purnama Bahtiar

Partai Amanat Nasional (PAN) pada 23 Agustus 2007 ini memasuki usia yang ke-9. Sebuah usia yang masih sangat belia kalau dibandingkan dengan partai politik yang lahir di era Orde Baru, seperti PPP, Partai Golkar, dan PDI.

Namun begitu, keberadaan dan prestasi sebuah partai politik tentu bukan sekadar diukur dari umurnya yang sudah tua, tetapi juga dari kinerja dan kontribusinya yang signifikan bagi bangsa ini. Dibandingkan dengan partai-partai politik lainnya, baik yang berwajah lama maupun baru, PAN mempunyai karakteristik tersendiri yang bisa menjadi keunggulan daya saing. Pertama,PAN lahir di era reformasi dan pertama kali diketuai Amien Rais, sang lokomotif reformasi. Kedua, PAN mengusung ideologi pluralisme ketika banyak partai politik yang masih berkutat pada ideologi sektarianisme dan primordialisme atau berlindung di bawah kekuatan ormas keagamaan.

Dalam konteks sosial politik, secara umum pluralisme menggambarkan masyarakat dengan kekuatan politik yang disebar di antara kelompok yang berbeda (Craig Calhoun, 2002). Menurut Kuntowijoyo (1997), dalam Pancasila disebutkan ìPersatuan Indonesiaî—bukan kesatuan Indonesia—artinya bahwa keragaman itu diakui, pluralisme bukan melting pot. Pluralisme berarti bahwa semua daerah, semua tradisi, dan semua kebudayaan patut dilestarikan dan dikembangkan.

Ideologi Pluralisme?

Agaknya besar kemungkinan daya saing yang dimiliki partai ini tidak dikelola secara optimal oleh elite PAN, baik di pusat maupun daerah sehingga dalam dua kali pemilu (1999 dan 2004) partai politik yang dideklarasikan oleh tokoh-tokoh lintas agama dan kelompok ini tidak berhasil meraih dukungan dan suara yang mayoritas. Sekarang, sekiranya masih banyak peluang, sudah saatnya PAN melakukan koreksi ke dalam untuk melakukan pembenahan dan penataan ulang yang strategis.

Banyak masalah dan agenda partai yang tidak mendapatkan perhatian dan sekaligus penanganan yang serius oleh para elite dan pimpinan PAN. Karena terabaikan terus, secara internal PAN sendiri mengalami kerapuhan identitas dan secara eksternal menunjukkan kegamangan dalam bersikap. Dalam hal ini, akar masalahnya,menurut hemat saya, terletak pada lemahnya penyikapan dan respons kreatif terhadap ideologi pluralisme. PAN belum berhasil (jika tidak dikatakan telah gagal) dalam mengusung dan memanifestasikan ideologi pluralismenya kepada masyarakat luas.

Padahal, salah satu ide awal dan latar belakang berdirinya PAN adalah kesadaran tentang Indonesia yang majemuk atau plural— Bhinneka Tunggal Ika. Karena mengusung ideologi pluralisme, tidak heran jika kehadiran PAN waktu itu memperoleh perhatian yang apresiatif dari berbagai kalangan dan kelompok masyarakat yang berbeda-beda dalam agama, budaya, profesi, dan sebagainya. Dengan pluralisme yang diusungnya, PAN merupakan partai yang terbuka dan inklusif untuk semua komponen bangsa ini. Seperti yang pernah diungkapkan Amien Rais (1999), PAN adalah sebuah partai dengan wajah Indonesia, wajah yang majemuk, yang bersumberkan pada moral keagamaan dan kemanusiaan.

Kemajemukan dan inklusivitas inilah yang terabaikan dan tidak memperoleh program tindak lanjut yang konkret dan strategis dari pengurus dan elite PAN. Sebab, ideologi pluralisme ini memerlukan penerjemahan dan penafsiran yang tepat pula ketika harus berhadapan dengan persepsi yang majemuk dari masyarakat dan konstituen PAN yang plural. Dalam kenyataannya, ideologi pluralisme ini tidak diberi sentuhan transformatif sehingga di dalam tubuh PAN sendiri kemudian mengalami kontroversi dan polemik yang tidak produktif.

Sebagai contoh, di kalangan pimpinan dan kader PAN yang muslim, tidak sepenuhnya bisa membangun kesadaran di lingkungannya sendiri, agar umat Islam tidak perlu alergi atau merasa risih ketika harus berinteraksi dengan nonmuslim dalam sebuah partai politik yang bernama PAN. Begitu juga dengan pimpinan dan kader PAN nonmuslim, mereka tidak intensif untuk merekrut dan mendulang dukungan dengan semangat pluralisme dari kelompok dan komunitasnya untuk terlibat membesarkan partai bersama saudara-saudaranya yang Muslim. Keengganan seperti ini bukan saja tidak mendorong sosialisasi PAN ke masyarakat luas, tetapi juga mempersulit agregasi kepentingan publik secara luas dan kemudian mempersempit captive market politiknya di waktu pemilu.

Relasi dengan Muhammadiyah?

Nonsektarian dan nondiskriminatif dalam pluralisme semestinya menjadi semangat kebersamaan dan konsolidasi partai ketika masing-masing pihak yang majemuk di tubuh PAN harus melakukan interaksi dan komunikasi politik. Pluralisme dengan prinsip nilai yang terbuka dan merangkul semua golongan secara bijak dan cerdas, sebetulnya merupakan sumber daya yang luar biasa bagi PAN. Namun sayang, karena tidak memperoleh emphasis dalam takaran yang tepat, pluralisme di tubuh PAN itu malah menjadi beban.

Akhirnya, disadari atau tidak, PAN kemudian secara perlahan seolah memojokkan diri dalam skup dukungan yang sempit dan tertutup. Ketidakmampuan dalam menjelaskan pluralisme kepada publik secara efektif dan bersahaja ini kemudian diperkeruh dengan persepsi dan sikap yang dibangun untuk selalu mengaitkan diri dengan Muhammadiyah. Hingga sekarang, masih ada mispersepsi tentang hubungan PAN dengan Muhammadiyah, yang oleh banyak kalangan sering dianggap sama kasusnya seperti antara PKB dengan NU. PAN dianggap sebagai partai yang didirikan oleh PP Muhammadiyah, dan karena itu menjadi partai politik yang resmi bagi warga Muhammadiyah.

Padahal, berdirinya PAN itu tidak ada hubungan ideologis dan organisatoris dengan Muhammadiyah. Berdirinya PAN sejak awal lebih banyak didesain oleh Majelis Amanat Rakyat (MARA), PPSK Yogyakarta dan Kelompok Tebet. Nama-nama seperti Goenawan Mohammad, Albert Hasibuan, Zumrotin, Nursyahbani Katjasungkana, dan Ismed Haddad adalah sebagian dari MARA. Sementara dari PPSK, antara lain diwakili oleh Mohtar Mas’ud, Rizal Panggabean, Chairil Anwar, dan Machfud MD.

Kemudian, kelompok Tebet diwakili oleh Amin Aziz, Dawam Raharjo, AM Fatwa, Abdillah Toha dan AM Lutfi. Jadi, gagasan dan rintisan untuk mendirikan PAN sesungguhnya tidak memiliki relasi apapun dengan Muhammadiyah. Jika banyak pimpinan dan warga Muhammadiyah yang tertarik dengan PAN, itu lebih karena daya tarik Amien Rais sebagai tokoh reformasi dan mantan Ketua PP Muhammadiyah. Karena itu, andaikata tetap dianggap ada relasi, hubungan tersebut lebih tepat disebut sebagai pilihan politik sebagian pimpinan dan warga Muhammadiyah dalam mengartikulasikan aspirasi dan kepentingannya.

Isu dan opini yang dikembangkan bahwa PAN adalah partai politiknya Muhammadiyah itu adalah kontraproduktif dengan inklusivisme dan pluralisme yang diusung PAN. Hal ini juga akan mendiskreditkan sifat dan identitas politik PAN yang menjunjung tinggi keterbukaan, kemandirian, kemanusiaan, dan kemajemukan. Elite dan pimpinan PAN harus menyadari hal ini agar punya berbagai akses untuk menjaring massa dan konstituen yang lebih luas serta lebih banyak dari berbagai lapisan dan golongan masyarakat secara lintas agama, lintas suku, dan lintas etnis. Kalau hanya berkutat di Muhammadiyah, selain menyempitkan diri dan tidak konsisten dengan pluralisme, juga di Muhammadiyah sendiri aspirasi politik warganya beragam, tidak cuma memilih PAN.

Pamungkas, di usianya yang ke-9 ini PAN harus segera melakukan transformasi ideologis, bahwa pluralisme dan inklusivisme dalam berpolitik sudah urgen menjadi kesadaran berpolitik semua pimpinan, kader, dan anggota PAN di semua tingkatan. Kesadaran ini bukan sekadar dalam ranah pemahaman kognitif, tetapi juga pada sikap dan kebijakan politik yang rela berbagi untuk menjadi payung kemajemukan di Indonesia. Kesadaran inilah yang menjadi bagian dari pluralisme aktif-dinamis sehingga bisa menjadi daya bagi PAN untuk konsolidasi demokrasi, bukan sebagai beban. (*)

Asep Purnama Bahtiar
Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

A r s i p