Saturday, September 22, 2007

Kontrak Sosial Telah Berlalu?


William Chang

Salah satu kritik Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri atas kepemimpinan SBY-JK adalah terkait dengan kesejahteraan rakyat kecil yang tak kunjung datang. Bagaimanakah dengan realisasi kontrak sosial negara kita?

Sebagian dari realitas sosial berupa kemiskinan, pengangguran, TKI/TKW, dan tindak kriminal mencerminkan k(p)elalaian pemenuhan kontrak sosial sejak Proklamasi Kemerdekaan RI. Rombongan pakar luar negeri datang mengeruk kekayaan negara kita, sementara putra-putri bangsa mengais sesuap nasi di negeri yang berhujan batu. "Emas" di negeri sendiri ditinggalkan dan mencari "batu" di negeri lain.

Konsensus luhur dalam kontrak sosial ini agaknya mulai dilupakan banyak aparatur negara, baik dari jajaran tertinggi maupun terendah. Dewasa ini kedudukan dan jabatan dalam pemerintahan umumnya tidak lagi dihidupi sebagai dinas (bdk. Dienst = pelayanan!), melainkan sebagai prestise dan sumber penghasilan individual. Buktinya, rasa tanggung jawab oknum pemerintah terhadap kemajuan negara masih dangkal. Kekayaan alam dijual demi kepentingan individual atau kelompok. Sedih kalau kita menyaksikan kerusakan infrastruktur di daerah-daerah pedalaman, rendahnya mutu pelayanan publik, dan belum adanya jaminan sosial bagi rakyat kecil.

Tampaknya dalam banyak bidang negara kita belum sanggup menyiapkan tenaga profesional. Perkembangan pembangunan di daerah-daerah tertentu masih memprihatinkan. Sampah berserakan. Parit-parit ditutup dan dipersempit sehingga hujan sebentar mendatangkan banjir yang mengganggu kepentingan umum. Di tengah lumbung padi, tikus-tikus mati kelaparan. Sebuah kontradiksi antara kontrak sosial dan realitas sosial.

Negara tanpa aturan

Hidup komunitarian tanpa kontrak sosial bakal melahirkan sebuah negara tanpa aturan (state of nature), yang memungkinkan setiap warga negara melakukan apa pun sesuai dengan kehendaknya. Gejala sosial ini, antara lain, hidup di kalangan kaum "intelektual" (mahasiswa) yang suka tawuran, sindikat preman dengan oknum tertentu yang mengisap masyarakat, demonstrasi-demonstrasi anarkis, dan "politisasi" hukum dalam kasus-kasus oknum tertentu. Status negara hukum mulai dipertanyakan.

Komunitas tanpa peraturan, menurut Thomas Hobbes (1588- 1679), mengundang pertikaian dan perselisihan antaranggota komunitas (Perang Sipil Inggris). Malah, dalam hidup harian manusia acap kali menjadi "serigala" bagi sesamanya (tindak kekerasan, kekejaman, permusuhan, pengisapan, dan penghancuran sesama). Hukum rimba berlaku. Dalam chaos yang membahayakan keselamatan orang banyak, acap kali aparat keamanan bingung bertindak karena takut dicap melanggar HAM.

Menghindari state of nature, Bung Karno dkk merancang suatu kontrak sosial yang berjiwa kemanusiaan universal. Kekacauan sosial akan muncul kala dimensi kemanusiaan dilalaikan dalam praksis ketatanegaraan. Sejumlah hak dan "keakuan" masyarakat dipercayakan kepada pemerintah demi terwujudnya kehidupan bersama sesuai dengan hukum dan peraturan yang menjamin kesejahteraan bersama dalam semangat kemanusiaan yang adil dan beradab. Masalahnya, apakah pemerintah, oknum penguasa, dan semua parpol kita committed dengan kontrak sosial bangsa kita?

Terapkan kontrak sosial

Terlepas dari aneka pandangan kritis (D Hume, J Madison: social compact, R Barnett), kontrak sosial sejak zaman Plato (428-347) menjadi suatu obyek persetujuan (object of an agreement) antara warga negara dan pemerintah yang wajib memenuhi tuntutan kesejahteraan sosial. Kontrak ini melibatkan hak-hak dasar rakyat dan tanggung jawab pemerintah. Bakal muncul tuntutan-tuntutan jika hak dasar rakyat tak terpenuhi oleh pemegang roda pemerintahan (J Rawls, 1972).

Tanpa melupakan sejarah pembentukan sebuah negara, legitimitas sebuah negara tetap terpaut dengan kecerdasan dalam penanganan masalah-masalah sosial aktual sekarang ini. Perubahan dan pergeseran sosial akan memengaruhi perwujudan kontrak sosial (R Nozick, 1974). Tentu, kontrak sosial dalam hampir semua bidang pelayanan umum perlu ditinjau ulang dan diterapkan sesuai dengan konteks sosial dewasa ini (penguasa-rakyat, pihak keamanan-rakyat, dokter-pasien, guru-murid, penjual-pembeli, majikan-karyawan, penulis-pembaca, pilot/sopir-penumpang).

Masalahnya, apakah setiap anggota masyarakat menyadari bahwa hubungannya dengan sesama memiliki semacam "kontrak sosial"? Tanpa kesadaran ini, aneka bentuk penyimpangan akan muncul dalam aktivitas ketatanegaraan. Kelemahan sistem kontrol sosial dengan sendirinya akan menyuburkan tindak penyelewengan dari kontrak sosial suatu bangsa.

Tampaknya plot cerita negeri kita akan lebih baik kalau cara pikir dan perilaku para "penguasa" dari Jakarta hingga ke daerah-daerah terpencil sepadan dengan epikeia kontrak sosial bangsa. Jika keadilan dan keadaban sungguh bersemi dalam kemanusiaan, putra-putri bangsa tak perlu menyusup ke negeri orang lain untuk mengais sesuap nasi, sementara di depan wajah kita tersedia tumpukan rezeki yang belum dikais.

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

Denda bagi Calon yang Mundur


Sanksi untuk Calon Perseorangan

Jakarta, Kompas - Dalam pembahasan draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di Badan Legislatif DPR, berkembang pemikiran perlunya pengenaan sanksi bagi calon perseorangan yang mundur di tengah tahapan pemilihan kepala daerah.

Dasar usul tersebut, tahapan pilkada bakal terganggu bila calon tiba-tiba mengundurkan diri.

Dalam rapat Baleg DPR yang berlangsung akhir pekan lalu, anggota Baleg, Saifullah Ma’shum (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur V), mengusulkan perlunya sanksi berupa denda dengan jumlah tertentu bagi pasangan calon yang mundur. Namun, atas pertimbangan efektivitas denda itu, Saifullah menyebutkan ada yang mengusulkan diterapkannya pemberian escrow account bagi setiap calon perseorangan.

"Deposit" di rekening itu akan dijadikan denda jika calon melanggar ketentuan. Deposit tidak akan dikembalikan jika calon mundur dari pencalonan di tengah pilkada. "Bahkan ada usul denda kalau perolehan suaranya tidak memenuhi batas tertentu," kata Saifullah, Senin (17/9).

Menurut Saifullah, kewajiban menempatkan deposit itu untuk menciptakan keseriusan calon. Sekalipun demikian, jangan sampai langkah itu justru berpotensi menyuburkan korupsi. Besarnya uang escrow account belum disepakati. "Bisa saja minimal sama dengan anggaran negara yang dikeluarkan untuk pencalonan yang bersangkutan," katanya.

Anggota Baleg lainnya, Andi Yuliani Paris (Fraksi Partai Amanat Nasional, Sulawesi Selatan II), sependapat adanya deposit dan denda untuk calon yang mengundurkan diri. Hal itu bisa menutup kemungkinan calon perseorangan "bermain mata" dan memilih mundur karena janji imbalan tertentu dari pihak lain.

Persentase dukungan

Materi krusial lain yang belum disepakati di Baleg adalah soal besaran syarat dukungan calon perseorangan. Memang disepakati perlunya keseimbangan pencalonan kepala daerah dari jalur parpol dengan jalur perseorangan. Menurut Saifullah, sebenarnya ada kesepahaman bahwa besaran persentase calon perseorangan tidak harus sama dengan calon parpol, sekalipun mentok di soal besaran persisnya.

Semula ada kutub yang bersikukuh pada 15 persen dan sekelompok fraksi lain yang usul cukup 3 persen saja, namun wacana yang berkembang berkisar pada 5-10 persen pemilih.

Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso (Jawa Tengah VII) menyebutkan, pihaknya memang masih mengusulkan agar syarat dukungan bagi calon perseorangan setara dengan calon dari parpol, yaitu 15 persen pemilih. (dik)

ANALISIS POLITIK



Menggendong Lupa

SUKARDI RINAKIT

Mencermati geliat partai-partai politik yang mulai menyebut calon presiden mereka, saya teringat kejadian tahun lalu. Sore itu, di pojok kota Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, saya minum kopi sendirian. Sambil menunggu teman yang belum datang, penulis membuka percakapan dengan lelaki yang duduk di sebelah.

"Tampaknya kota ini sekarang lebih baik ya, Pak?"

Lelaki itu kaget. Menatap sekilas, lalu mengangguk. Percakapan terjadi. Ternyata ia seorang guru. Singkatnya, ia menyatakan bahwa di antara kemajuan kota, masalah pendidikan dan kesehatan termasuk menonjol.

"Siapa bupatinya?" tanya saya. "Alex Noerdin," jawabnya pendek.

Republik ini ternyata memang mempunyai figur-figur yang mampu menjadi pulau-pulau integritas (islands of integrity). Kita mungkin belum pernah mendengar nama mereka. Akan tetapi, mereka sepenuh hati bekerja untuk rakyat. Mereka membelah antara Solok, Tanah Datar, Musi Banyuasin, Tarakan, Kebumen, Sragen, Blitar, dan Jembrana. Pada tingkat provinsi, jejaringnya adalah Sumatera Barat, Jambi, Gorontalo, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta.

Sosok alternatif

Harus diakui secara jujur bahwa para bupati, wali kota, dan gubernur yang mampu "memanusiawikan" warganya adalah sosok-sosok unggul. Mereka mempunyai kapabilitas sebagai seorang pemimpin karena mampu membuat perubahan. Mereka bukan sekadar manajer yang karakter alamiahnya adalah mempertahankan kekuasaan.

Dengan demikian, sosok-sosok bupati dan wali kota tersebut layak untuk menempati posisi gubernur, sedangkan para gubernur layak untuk bertarung di tingkat nasional memperebutkan kursi presiden.

Mereka adalah sosok-sosok alternatif yang layak bersaing dengan tokoh-tokoh nasional seperti Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Akbar Tandjung, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla. Di antara para gubernur itu, yang istimewa adalah Sultan Hamengku Buwono X. Ia lebih dulu masuk jajaran tokoh nasional sejak reformasi tahun 1998.

Republik ini sebenarnya tidak miskin pemimpin. Itu belum lagi kalau nama-nama lain seperti Ryamizard Ryacudu, Jimly Ashiddiqie, Din Syamsuddin, Hidayat Nur Wahid, dan Surya Paloh, ikut diperhitungkan. Selain itu, juga banyak tokoh muda yang berkualitas, tetapi sampai sekarang belum mau menonjolkan diri—itu bukan berarti mereka tidak siap memimpin.

Oleh sebab itu, jika partai politik ingin menang dalam pertempuran, kandidat yang dipilih (dilamar) sebaiknya mempunyai dua karakteristik utama. Pertama, kelemahannya belum menjadi catatan nasional. Kedua, karakternya harus diametral dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Jika kandidat itu belum mempunyai catatan kelemahan tingkat nasional, ruang untuk melakukan manuver politik tersedia luas. Karakter diametral diperlukan karena sifat masyarakat Indonesia adalah melodramatik. Jika presiden sekarang dicitrakan tidak tegas, misalnya, masyarakat akan memilih sosok yang dicitrakan tegas. Mereka akan menyandarkan mimpi dan harapan barunya kepada tokoh itu.

Kadar ambisi

Memilih kandidat yang kadar ambisinya lebih kecil dari cita-citanya adalah sebuah keharusan. Dalam konteks ini, ibu saya selalu mengingatkan melik gendhong lali (hasrat itu menggendong lupa). Jadi, kalau memegang kekuasaan, harus sadar itu bukanlah kebun mawar pribadi. Jadi jangan dipersonalisasi karena semua orang berhak untuk menikmati.

Secara jujur harus diakui bahwa tidak mudah mencari sosok pemimpin yang tidak menggendong lupa. Akan tetapi, yang penting adalah kadar kealpaannya. Jangan sampai komposisi untuk memersonalisasi kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan ketulusan untuk mengabdi pada rakyat. Jangan sampai derajat ketakutannya pada citra diri berbanding terbalik dengan keberaniannya untuk mengakui kesalahan kebijakan yang diambil.

Sebagai contoh, meski konversi gas mengurangi beban pemerintah karena memotong subsidi minyak tanah, tetapi jika daya beli rakyat masih rendah, sebaiknya kebijakan itu diperhitungkan lebih matang lagi. Ada fenomena yang bergerak di luar kalkulasi pemerintah. Saat ini banyak pihak mulai menjadi tukang kredit gas. Mereka menjual gas dengan harga lebih mahal, tetapi dibayar dengan cara mencicil.

Praktik itu untuk sementara ini menegasikan keinginan pemerintah untuk meringankan beban rakyat.

Dengan pertimbangan seperti itu, silakan jika para tokoh politik menerima pengajuan dirinya sebagai kandidat presiden. Bahkan, bisa dimaklumi jika tokoh lain mencalonkan diri. Namun, kalau kesadaran yang melandasinya adalah sekadar mendapatkan kekuasaan dan bukan mengabdi pada rakyat, lorong melik gendhong lali akan segera mereka masuki. Kekuasaan akan menjadi ranah pribadi.

Siapakah tokoh-tokoh yang menggendong lupa atau berpotensi melakukan itu? Sejujurnya, saya tidak mau menyebut nama mereka saat ini. Rasanya kurang elok. Maklum, saya sedang puasa dan Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur).

SUKARDI RINAKIT Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

Jajak Pendapat "Kompas"


Perubahan Kepemimpinan Nasional Dilematis

TOTO SURYANINGTYAS

Kendati ada kemauan publik yang cukup kuat untuk menerima perubahan dalam kepemimpinan nasional, hingga saat ini belum muncul nama baru yang bisa menggeser dominasi elite-elite lama dalam benak masyarakat. Demikian juga tentang gagasan pencalonan presiden dari jalur perseorangan. Meski diterima publik, hal itu belum memiliki makna konkret.

Gagasan untuk memunculkan kader baru sebagai calon pemimpin bangsa kembali menguat tatkala wacana di ruang publik berangsur-angsur dipenuhi lagi dengan berbagai gugatan ketidakpuasan atas kondisi politik dan ekonomi nasional. Kekecewaan atas kinerja presiden yang dinilai terlalu kompromistis dengan partai politik serta citra partai politik yang tidak aspiratif kian mendorong perwujudan gagasan pencalonan tanpa melalui parpol.

Secara normatif, ide tentang calon perseorangan memang belum menjadi sebuah koridor politik yang legal. Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 secara tegas menyatakan, "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum...". Artinya, kalau ada kehendak memajukan calon presiden tanpa parpol, pertama-tama harus kembali melakukan perubahan konstitusi.

Terlepas dari belum tersedianya koridor politik dan hukum untuk calon perseorangan, kemunculan tokoh perseorangan sebagai alternatif pemimpin nasional baru sebenarnya bisa menjadi jawaban atas dua hal sekaligus. Pertama adalah jalan keluar atas kiprah parpol yang selama ini dinilai kurang mampu mengartikulasikan aspirasi rakyat konstituennya. Kedua, adalah sebagai alternatif keluar dari mata rantai kekuasaan para elite politik pascareformasi yang dinilai belum mampu membawa perbaikan kondisi bangsa.

Preferensi tak berubah

Harapan ideal boleh saja tinggi, tetapi citra politik yang tertanam dalam benak publik ternyata tak selamanya sejalan dengan ide publik sendiri. Gambaran hasil jajak pendapat ini mengungkapkan preferensi pilihan tokoh nasional ternyata belum berbeda dari kondisi menjelang Pemilu 2004.

Pada saat menyatakan pilihan siapa yang dianggap paling layak dan akan dipilih sebagai presiden dalam pertarungan calon presiden tahun 2009, nama Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri kembali muncul sebagai dua nama paling favorit. Di belakangnya disebut pula nama Amien Rais dan Sultan Hamengku Buwono X, yang menjelang Pemilu 2004 juga menjadi salah satu yang difavoritkan.

Jika dilihat secara keseluruhan dari nama-nama yang muncul, tampak bahwa masyarakat saat ini belum memiliki referensi nama baru yang cukup layak bertanding melawan nama-nama elite politik lama. Bahkan, munculnya nama Sultan HB X, Hidayat Nur Wahid, dan Wiranto sebenarnya lebih mirip pola lama yang kembali berulang.

Berdasar catatan hasil jajak pendapat pertengahan tahun 2003, nama-nama itu juga sudah muncul ke permukaan membayangi Yudhoyono dan Megawati saat itu. Bedanya, nama-nama seperti Sultan HB dan Hidayat Nur Wahid tidak terkomunikasikan kepada publik dan akhirnya "tenggelam" oleh popularitas Yudhoyono maupun Megawati.

Tokoh lainnya yang memiliki basis massa atau kedudukan tertentu pun masih terlalu jauh terpaut dengan popularitas Yudhoyono dan Megawati. Nama Yusril Ihza Mahendra, Sutiyoso, atau bahkan Wapres Jusuf Kalla, dalam jajak pendapat ini hanya mendapat sedikit apresiasi responden. Ironisnya, hingga kini tidak juga muncul tokoh muda yang bisa menyegarkan suasana pertarungan politik nasional.

Gambaran ambiguitas jawaban responden makin kentara jika membandingkan preferensi mereka terhadap calon presiden yang lebih muda usia (40-50 tahun), berpendidikan minimal sarjana, berasal dari Jawa, sipil, dan laki-laki.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa belum juga muncul nama baru di luar elite-elite lama yang rekam jejak kepemimpinannya sudah sering tidak memuaskan oleh publik?

Peran parpol yang kurang mengakomodasi kaderisasi pemimpin tampaknya menjadi salah satu penyebab terbesar mandeknya kepemimpinan nasional. Lingkungan parpol sebagai tempat ideal untuk kaderisasi pemimpin tak banyak memberikan kesempatan bagi kader muda untuk menggantikan elite mapan.

Kenyataannya, hampir semua parpol besar bahkan harus mengalami krisis partai dan perpecahan saat menyelesaikan tuntutan alih generasi kepemimpinan.

Sebanyak 63,9 persen responden jajak pendapat sebelumnya tentang parpol (September 2007) bahkan menilai partai politik saat ini cenderung sudah menjadi komoditas bagi kepentingan pribadi elite penguasanya.

Penyebab lain yang mungkin menghalangi munculnya kader pemimpin nasional baru adalah pandangan publik tentang peran parpol sebagai faktor pembobot dalam demokrasi. Parpol, bagaimanapun, masih dianggap sebagai salah satu lembaga yang diharapkan dapat mengontrol kekuasaan seorang pemimpin. Dengan demikian, memberi tempat pada parpol pada akhirnya merupakan pilihan untuk memperkecil kerugian masyarakat dari risiko otoritarianisme yang mungkin timbul jika peran parpol dinisbikan dalam pemilihan pejabat publik.

Di satu sisi, publik mengakui terpilihnya pemimpin nasional tanpa dukungan parpol membuka kemungkinan terpilihnya seseorang pemimpin yang lebih bebas dari tuntutan parpol. Selain itu, karena legitimasinya yang kuat akibat dipilih langsung oleh rakyat, diharapkan pula tingkat penyerapan aspirasi rakyat kemungkinan akan menjadi lebih tinggi. Tingkat persetujuan responden terhadap hal itu mencapai 53,8-62,1 persen.

Namun, selain faktor menguntungkan, risiko-risiko politik yang muncul dari proses pencalonan presiden tanpa peran parpol menunjukkan tingkat kekhawatiran responden yang lebih besar. Kekhawatiran akan munculnya presiden yang lebih banyak mengandalkan faktor popularitas (dan uang), sebagaimana terjadi dalam pilkada di beberapa daerah, di mata publik menjadi hal pertama yang dikhawatirkan. Sebanyak 76,0 persen responden menyatakan hal itu.

Selain itu, calon dari jalur perseorangan juga diragukan oleh 80,6 persen responden akan efektif menjalankan kebijakan dan dapat menciptakan stabilitas dalam pemerintahannya. Hal tersebut sesungguhnya menjadi peluang bagi partai politik untuk menunjukkan kesungguhan dalam melakukan kaderisasi dan memunculkan pemimpin yang berkualitas.

Sayangnya, selama ini partai politik lebih banyak menjual aksi daripada isi.(Litbang Kompas)

LSM dan Pemberantasan Korupsi di Daerah

M Burhanudin

Sejak reformasi bergulir, banyak perubahan mendasar terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah lahirnya otonomi daerah yang membawa konsekuensi pembagian kekayaan dan kewenangan daerah untuk mengurus dirinya sendiri.

Akan tetapi, harapan ideal tersebut tak mudah terealisasi. Sejumlah persoalan justru muncul seiring menggeloranya otonomi daerah. Salah satu persoalan krusial yang muncul adalah merebaknya praktik korupsi di daerah.

Pejabat legislatif dan eksekutif di daerah seakan berlomba menjarah uang rakyat. Ratusan anggota DPRD pun dijadikan tersangka kasus korupsi, baik oleh kejaksaan maupun kepolisian. Tak ketinggalan, sejumlah kepala daerah, kepala dinas, dan rekanan proyek pemerintah banyak yang bernasib sama.

Di Jawa Tengah (Jateng), hingga awal 2007 tercatat 324 kasus dugaan korupsi yang terjadi di legislatif, eksekutif, badan usaha milik negara, perusahaan daerah, serta beberapa lembaga pendidikan tinggi. Dari jumlah itu, 216 kasus atau lebih dari 50 persen dikategorikan lamban, bahkan macet penanganannya.

Banyak kasus yang berkutat di penyelidikan dan penyidikan hingga lebih dari dua tahun, seperti kasus dugaan korupsi renovasi rumah dinas Bupati Kudus, dugaan korupsi pengadaan buku ajar Kabupaten Pemalang Rp 26 miliar, dan kasus asuransi jiwa fiktif Kota Semarang Rp 1,83 miliar.

Selain itu, dari 52 kasus yang sudah sampai di pengadilan sampai awal 2007, enam kasus atau 11,54 persen para terdakwanya dijatuhi vonis yang kontroversial, bebas. Pada tahun 2005, hanya dua kasus yang kontroversial, yakni divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan.

Di tengah masih lemahnya kinerja penegak hukum dalam menangani kasus korupsi, peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam mendorong dan menyosialisasikan perlunya pemberantasan korupsi tentu sangat diperlukan. Namun, tak banyak LSM antikorupsi di Jateng yang secara konsisten bertahan.

Dari segelintir LSM antikorupsi di Jateng, salah satu yang layak dikedepankan adalah Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng.

Berdiri sejak tahun 1998, LSM yang beranggotakan sejumlah praktisi hukum dan akademisi di Jateng itu hingga kini masih mampu bertahan meski dengan taruhan kehidupan ekonomi yang kurang mapan.

Berikut wawancara Kompas dengan pendiri yang kini juga menjadi Koordinator KP2KKN Jateng Abhan Misbah, Kamis (13/9), terkait pemberantasan korupsi dan tantangan LSM antikorupsi di daerah.

Bagaimana KP2KKN Jateng bisa bertahan di tengah banyaknya LSM antikorupsi lain yang timbul tenggelam?

Hingga saat ini kami masih terbantu oleh komitmen dari teman-teman di KP2KKN untuk terus memperjuangkan misi pemberantasan korupsi meski itu tak mudah. Apalagi, kami di sini bekerja dengan sistem kesukarelaan. Tanpa gaji.

Awal-awal berdirinya KP2KKN, kami bantingan untuk soal dana. Saat itu dana juga masih belum masalah karena masih mendompleng dengan LBH Semarang. Kebetulan LBH Semarang masih didukung dana dari YLBHI. Namun, setelah itu kami ingin mandiri. Ternyata tidak mudah. Pada tahun 1999, kami menerima dana dari APBD Jateng sebesar Rp 100 juta untuk tiga tahun. Hal itu sebenarnya melalui proses perdebatan yang panjang di antara kami. Tapi, karena kami berpikir dana itu dari rakyat dan yang terpenting ada pertanggungjawaban penggunaannya dengan baik, kami menerima. Dana itu hanya sampai tahun 2002.

Setelah itu, kami harus mandiri lagi. Tak mudah bagi LSM di daerah seperti kami mendapatkan sumber pendanaan dari organisasi internasional, seperti halnya LSM antikorupsi di Jakarta. LSM daerah paling hanya dapat cipratan.

Dalam kemandirian itu sebenarnya ada untungnya ada tidaknya. Untungnya, komitmen kami terbentuk untuk terus mengabdi di KP2KKN meski tak ada penghidupan yang kami peroleh. Tapi kelemahannya, kami juga dituntut harus memenuhi kebutuhan keluarga masing-masing. Istilahnya tetap ngisi kendil. Di sinilah tantangan internal terberat yang kami hadapi. Ada anggota yang tak kuat dengan kondisi tersebut dan keluar.

Apa tantangan eksternal yang dihadapi LSM di daerah dalam upaya turut mendorong pemberantasan korupsi?

Tantangan utama dari penegak hukum dan tersangka korupsi. Banyak kasus korupsi yang kami laporkan tak ditindaklanjuti. Kejaksaan, misalnya, mereka selalu meminta bukti selengkap-lengkapnya atas kasus korupsi yang dilaporkan. Terkadang, bukti sudah ada, tapi tetap tak ditindaklanjuti. Padahal, penelusuran data adalah tugas mereka. Sudah sangat sering kami diancam melakukan pencemaran nama baik setiap melaporkan kasus korupsi.

Banyak kasus korupsi yang kami laporkan ke penegak hukum justru menjadi ajang korupsi baru bagi oknum aparat. Ada pejabat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, tapi kemudian status tersangka itu lenyap begitu saja. Kasus dugaan korupsi dana tak tersangka Kota Semarang adalah buktinya. Dulu Kejaksaan Tinggi Jateng menetapkan Wali Kota Sukawi Sutarip sebagai tersangka, tapi belakangan mengatakan Sukawi bukan tersangka. Kasus di Boyolali pun demikian. Mantan bupati pernah dijadikan tersangka, tapi belakangan tak ada dalam berkas.

Setiap kasus korupsi yang melibatkan pejabat atau orang yang mempunyai akses politik yang kuat selalu berlarut-larut. Tersangka semacam ini dengan kekuasaan yang mereka miliki bisa berbuat banyak, termasuk menekan LSM atau memengaruhi kami. Ancaman-ancaman sudah biasa kami terima.

Sebagian besar dari anggota KP2KKN berlatar belakang pengacara. Dalam kode etik kami, dilarang menangani kasus korupsi. Padahal, kasus korupsi saat ini begitu merebak. Banyak tersangka korupsi yang menawari kami untuk menjadi pengacara mereka dengan imbalan yang tentu sangat besar. Tapi, sudah menjadi komitmen teman-teman untuk tak menanggapi itu semua.

Meski sudah banyak kasus korupsi yang terungkap, mengapa Jateng masih dinilai lamban dalam pemberantasan korupsi dan pelaku korupsi tak pernah berkurang?

Hasil survei Transparency Internasional menyatakan, Jateng provinsi terkorup ketiga di Indonesia. Komisi Kejaksaan juga menempatkan fenomena jaksa nakal di Jateng ketiga di Indonesia. Ini menunjukkan betapa hingga saat ini korupsi tak kunjung berkurang.

Salah satunya karena penegakan hukum terhadap perkara korupsi di daerah, termasuk Jateng, yang tak pernah memberikan efek jera. Banyak pelaku kasus korupsi di Jateng yang divonis bebas atau percobaan. Kasus dugaan korupsi dana APBD Jateng 2003 adalah contohnya.

Kalaupun ada perkara yang divonis penjara, sangat ringan. Paling-paling satu sampai dua tahun.

Itu pun sebagian besar kasus korupsi yang diputus belum in kracht (berkekuatan hukum tetap). Banyak yang menumpuk di Mahkamah Agung. Ini memunculkan kekhawatiran adanya skenario besar untuk membebaskan terdakwa korupsi. Hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum terhadap korupsi.

Faktor budaya juga menjadi salah satu penyebab. Sikap ewuh pakewuh masih menjadi kendala untuk membongkar kasus korupsi. Tak pelak, banyak kasus korupsi yang dilakukan berjemaah, tahu sama tahu. Ngono yo ngono ning ojo ngono, korupsi ya korupsi tapi jangan dimakan sendiri. Ini terjadi di legislatif maupun eksekutif. Tender proyek contohnya. Sekarang tender sistemnya bagi-bagi kepada rekanan. Ada yang jadi rekanan, yang lainnya nge-sub (sub rekanan).

Bentuk korupsinya bermacam-macam. Di legislatif umumnya anggaran ganda, di eksekutif biasanya penggelembungan dana atau penunjukan langsung.

Kendala apa yang membuat pengusutan kasus korupsi berlarut-larut di daerah?

Sumber daya manusia di kejaksaan maupun kepolisian itu salah satu kendalanya. Tak semua kejaksaan negeri atau kepolisian resor mampu menangani kasus korupsi. Apalagi terhadap kasus yang rumit dan melibatkan elite politik. Ujung- ujungnya, banyak kasus yang terbengkalai atau dakwaan yang kurang baik. Kasus dikembalikannya berkas Bupati Semarang Bambang Guritno adalah contohnya.

Lamanya proses audit di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menentukan kerugian negara atas sebuah kasus juga menjadi persoalan lain. Ada kasus yang menunggu proses audit hingga lebih dari setahun.

Bahkan, ada yang dua tahun. Belum lagi adanya prosedur perizinan yang harus ditempuh kejaksaan dan kepolisian untuk memeriksa kepala daerah atau anggota DPRD. Tak jarang, izin pemeriksaan ini datang terlambat.

Demokrasi


Catatan terhadap Pikiran Claude Lefort

Donny Gahral Adian

Dunia tempat kemungkinan perang sama sekali dihapuskan, sebuah dunia yang sepenuhnya damai, akan menjadi dunia tanpa perbedaan kawan/lawan dan oleh sebab itu: sebuah dunia tanpa politik.
(Carl Schmitt, "The Concept of the Political")

Kita tengah menyaksikan kebangkrutan filsafat politik. Itulah kira-kira keprihatinan mendasar sebagian filsuf politik dewasa ini. Keprihatinan itu melatari sebuah arus balik fundamental dalam filsafat politik.

Saya menyebut arus itu sebagai "kembalinya yang politik". Namun, sebelum mengucap selamat datang pada "yang politik", ada baiknya kita telaah dulu sebab musabab bangkrutnya filsafat politik.

Kita mulai dengan laporan untuk Library of Congress yang dibuat Pierre Manent pada Juni 1999. Di situ Manent mengatakan: "Betapa pun kita menilai tinggi kapasitas dan keluaran filsafat Heidegger, Bergson, Whitehead atau Wittgenstein, tak satu pun di antara kita menimbang sumbangsih mereka terhadap filsafat politik."

Manent tidak sendirian. Filsuf politik bernama Bernard Flyinn mengatakan bahwa apa yang kita rayakan sekarang sebagai filsafat politik tak lebih dari politisasi konsep-konsep filsafat. Politisasi ini bergerak satu rel dengan ketidakacuhan terhadap fenomena politik, seperti kodrat negara, bentuk-bentuk birokrasi, totalitarianisme, demokrasi, dan sebagainya. Flyinn memberi contoh, konsep differance yang dilontarkan Derrida.

Konsep yang bermula dari pembacaan Derrida terhadap teori semantik Husserl itu sama sekali tak memiliki napas politik sehirup pun. Konsep itu sekadar menjelaskan bahwa antara makna dan tanda terdapat jeda temporal yang tak pernah mengatup. Namun, Derrida kemudian memakainya untuk menerangkan bagaimana hukum tak pernah sebangun dengan keadilan sebab keadilan selalu tertunda untuk hadir total dalam hukum. Buku The Force of Law yang ditulis Derrida, menurut Flyinn, tak lebih dari politisasi konsep differance.

Antagonisme politik

Saya mencoba merangsek ke tengah keprihatinan kolektif ini. Menurut hemat saya, filsafat politik selama ini alpa terhadap kodrat politik, yakni antagonistik. Meminjam refleksi Schmitt, filsafat politik mencampuradukkan antara modus kawan/lawan dengan baik/jahat, menguntungkan/tak menguntungkan, dan indah/buruk.

Pengelompokan politik berdasarkan baik/jahat, misalnya, berujung pada pemusnahan yang jahat dan berkibarnya yang baik. Marx, misalnya, memandang yang jahat bersumber pada pemilikan personal alat produksi oleh pemodal yang satu ketika mesti direbut oleh kelompok proletar. Kelompok proletar dalam hal ini berlaku sebagai representasi yang baik. Ini membuat Das Kapital dan Manifesto Komunis terbaca layaknya Alkitab yang menjanjikan kerajaan Tuhan di Bumi.

Sebaliknya, Machiavelli memahami antagonisme sebagai konflik antara dua disposisi, yakni merepresi dan tak direpresi. Keduanya adalah negasi yang saling membutuhkan satu sama lain, bukan perjuangan mengatasi sesuatu (misalnya, kebaikan mengatasi kejahatan).

Dua disposisi tersebut tak bisa diselesaikan melainkan dinegosiasikan ulang. Antagonisme melekat secara abadi dalam tubuh politik. Penyelesaian antagonisme adalah berakhirnya yang politik dan dengan demikian berakhir pulalah filsafat politik. Berdasarkan itu, apa yang kita pahami selama ini sebagai filsafat politik sebenarnya tak lebih dari etika politik. Ketika filsafat politik menerangkan yang politik sebagai antagonisme permanen, etika politik justru berupaya menuntaskan antagonisme tersebut dengan prinsip normatif tertentu.

Dengan dasar semacam ini, filsuf politik Perancis, Claude Lefort, membangun pemikiran bagaimana antagonisme bukan saja tak mungkin diselesaikan, tetapi bahkan jangan pernah diselesaikan. Sebab, hasrat penyelesaian antagonisme adalah hasrat primordial yang mengeram dalam rahim totalitarianisme.

Tubuh politik

Modernitas, bagi Lefort, adalah periode disinkarnasi rakyat dari tubuh sang raja. Sang raja, sebagai figur yang menginkarnasi identitas atau kesatuan rakyat dan menghubungkannya dengan kutub transenden, telah lenyap. Namun, meski figur pemersatu (raja) telah hilang, kursi yang ia duduki masih ada. Kursi itu kosong dari yang transenden (Tuhan) sekaligus yang profan (rakyat sebagai satu kesatuan). Kekosongan itu menandakan modernitas masih merujuk pada sesuatu "yang Lain". Hanya saja "yang Lain" telah dilucuti dari segala pemaknaan transendental. "Yang Lain" di sini adalah alteritas yang tak pernah bisa diisi penuh oleh identitas.

Lalu, bagaimana dengan demokrasi? Di dalam demokrasi, sumber legitimasi kekuasaan adalah rakyat (people). Persoalannya, berdasarkan argumen ruang kosong Lefort, tidak ada yang bisa menjadi inkarnasi rakyat sebagai kesatuan, seperti sang raja pada masa monarki. Tak satu pun figur atau kelompok yang bisa menganggap dirinya paling sahih mewakili rakyat sebagai keutuhan. Setiap klaim harus mampu divalidasi secara diskursif dan terus dijadikan target kritisisme. Kesahihan politik yang tak pernah total dalam demokrasi menghasilkan kecemasan yang laten namun akut.

Kita memahami bahwa kerja kelompok oposisi adalah terus menggerus kesahihan politik penguasa. Hal yang sama berlaku di republik ini. Namun, para kritikus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sesungguhnya adalah orang-orang yang cemas. Kemerosotan kesahihan politik menandakan kemungkinannya untuk mendarat di titik nol.

Dengan kata lain, kemungkinan yang sama bisa terjadi saat kelompok oposisi berkuasa. Ruang kosong simbolik bisa jadi sungguh-sungguh kosong sehingga siapa saja yang berkuasa, apa pun caranya, tak mampu membangun kesahihan politik.

Dalam rezim totaliter, partai atau individu menginkarnasi rakyat sebagai kesatuan dengan memproyeksikan konflik keluar dari dirinya. Konflik bisa diproyeksikan keluar sebagai Yahudi, kekuatan asing, gay atau lesbian, neoliberalisme, dan lain-lain.

Di sini teror tidak berfungsi untuk memecah-belah, melainkan menyatukan rakyat di bawah ancaman kekuatan asing. Totalitarianisme bertahan dengan merawat sungguh-sungguh dua imajinasi pokoknya: rakyat sebagai kesatuan dan kekuatan asing yang merongrong.

Demokrasi dan modernitas

Dalam bukunya yang berjudul Complications (1999), Lefort mengungkapkan sesuatu yang menarik berkenaan dengan Uni Soviet. Konstitusi 1938 Uni Soviet, menurut Lefort, memberi ruang bagi hak-hak demokratis seperti hak berpendapat dan berasosiasi. Namun, hak-hak itu tidak boleh diaksentuasi tanpa merujuk pada prinsip-prinsip pokok sosialisme. Sementara, satu-satunya yang berhak menafsirkan apa itu prinsip-prinsip pokok sosialisme adalah partai berkuasa.

Masyarakat demokrasi modern, menurut Lefort, menyimpan kemungkinan totalitarianisme di dalam struktur politiknya. Memang, dalam demokrasi segalanya dipercakapkan di ruang publik. Hanya saja percakapan itu senantiasa dihantui kecemasan yang mendasar soal ruang kosong dalam demokrasi itu sendiri. Artinya, totalitarianisme bisa saja muncul tiba-tiba dari kegelapan dan mengisi secara total ruang kosong itu.

Geliat politik sektarian di republik ini lantas menyisakan pertanyaan: "Apakah kelompok politik berbasis agama bisa menjadi kandidat utama totalitarianisme?"

Berdasarkan analisis Lefort, saya meragukan itu. Kelompok politik sektarian tidak bisa muncul tiba-tiba mengatasnamakan kepentingan semua dan melindas segala ketegangan. Kalaupun secara perlahan mereka menguat, kerja totalitarian mereka takkan pernah menutup ruang kosong demokrasi secara total. Ancaman sesungguhnya datang dari kelompok politik sektarian yang mengambil bentuk politik kebangsaan.

Izinkan saya membawa kesimpulan Lefort tentang demokrasi lebih jauh. Jika demokrasi adalah ruang di mana urusan publik dibincangkan dan diputuskan, siapa yang bisa mengatasnamakan publik? Ruang kosong dalam demokrasi, menurut hemat saya, tidak memiliki satu titik koordinat, melainkan menyebar.

Setiap partisipan di ruang publik demokratis adalah ruang kosong yang tak pernah menginkarnasi yang publik secara utuh. Artinya, setiap klaim publik senantiasa digerogoti oleh ketidakpastian. Urusan publik selalu dilontarkan dari perspektif yang nonpublik.

Dengan kata lain, kerja demokrasi adalah mengelola konflik, baik secara prosedural maupun deliberatif guna mencegah yang publik hadir secara tiba-tiba dan menotalisasi segalanya. Kita tak pernah bisa serta-merta mengklaim sebagai penggotong suara publik. Namun, kita mesti percaya bahwa yang publik bisa dihampiri perlahan-lahan lewat perjumpaan sudut pandang. Akhir kata, yang publik, bagi saya adalah kehampiran, bukan kepastian.

Donny Gahral Adian Ketua Jurusan Filsafat Universitas Indonesia

Belajar Faktor X


Salah satu keuntungan PDI-P mencalonkan Bu Mega sebagai calon presiden adalah tersedianya waktu yang cukup. Parpol, capres, dan rakyat punya sekitar 21 bulan untuk ancang-ancang sebelum mencoblos pada Juli 2009.

Waktu 21 bulan lebih dari cukup untuk menyiapkan pengorganisasian kampanye. Rakyat makin leluasa menentukan pilihannya, apalagi sudah tahu kualitas Bu Mega.

Demokrasi tak menunggu siapa pun. Ia bisa dan harus dipraktikkan di sini dan saat ini juga. Tak ada istilah "demokrasi butuh waktu" atau "rakyat belum siap berdemokrasi".

Ada dua soal yang kait-mengait dan menarik dipahami setelah Bu Mega mencalonkan diri.

Soal pertama, rakyat bosan dengan mereka yang pernah jadi presiden sejak 1998 karena dianggap gagal. Selain Bu Mega, ada Pak Habibie, Gus Dur, dan Pak Bambang.

Sukar menilai Pak Habibie karena ia hanya meneruskan tugas Pak Harto sambil mengemban amanat reformasi. Ia berhak mengklaim sebagai orang yang, misalnya, memulai kebebasan pers. Namun, ia tak punya pilihan karena kebebasan pers amanat reformasi yang tak bisa ditunda lagi.

Gus Dur disebut berhasil mendemistifikasi kekuasaan istana yang terbiasa "sok suci". Sampai kini pun ia berperan mengoreksi kalangan yang antidemokrasi.

Bu Mega dinilai berhasil memperbaiki berbagai indikator ekonomi sebagai prasyarat terciptanya stabilitas politik. Ia berharap bisa "mendulang emas" dari cerita sukses ini tahun 2009.

Pak Bambang terpilih karena berhasil membuat rakyat berharap terhadap janji-janji perubahan yang ia tawarkan.

Soal kedua, keempat presiden itu dianggap gagal karena tak sanggup menyamai prestasi Pak Harto. Muncullah fenomena "hidup lebih enak pada zaman Pak Harto".

Padahal, ini sekadar political escapism. Kerinduan terhadap Pak Harto hanya terucap di bibir berhubung hidup susah melulu walau hati kecil bilang enggak mau balik ke zaman dulu.

Saya tak menyalahkan komentar di media nasional tentang rasa bosan terhadap L4 (lu lagi, lu lagi) itu. Namun, apa iya pandangan itu mencerminkan aspirasi rakyat?

Ada pendapat yang mengatakan bangsa ini mengalami krisis pemimpin. Parpol, ormas, pemerintah, legislatif, dan berbagai institusi lain memiliki pola perekrutan untuk menjaring calon pemimpin. Masalahnya, mereka menghasilkan pemimpin yang tak punya kepemimpinan. Mereka hanya memproduksi ketua, bakal calon, jenderal, doktor, birokrat, atau profesional.

Mereka mampu menjalani tugas sesuai keahlian. Jika ada yang menggerakkan, mereka langsung bekerja dan negara ini bisa sembuh dari penyakit kronisnya.

Padahal yang dibutuhkan adalah a real leader, seorang (ya, cukup satu orang saja) pemimpin sejati. Dialah yang cocok memimpin bangsa ini sebagai presiden periode 2009-2014.

Sulitkah menemukan dia? Tak ada pekerjaan yang gampang, tetapi kalau mau, selalu ada jalan keluar dari setiap masalah.

Dan, ini yang penting, syarat-syarat jadi pemimpin tidaklah susah. Anda tanya anak SD, ia pasti akan dengan lancar menjawabnya.

Sebenarnya semua orang bosan mendengar syarat itu karena isinya mengulang-ulang saja. Misalnya, salah satu syarat pemimpin adalah harus jadi panutan.

Ia mesti jujur pada diri sendiri dan orang lain, tak menyalahgunakan kekuasaan, bebas korupsi, tak merasa di atas hukum, dan seterusnya. Anda pasti merasa semua ini gombal, tetapi itulah kenyataannya.

Saya masih yakin bangsa ini mencintai pemimpin yang memberikan teladan. Alhasil, tugas sang pemimpin akan lebih mudah.

Namun, kepemimpinan itulah yang justru absen. Contohnya, para pemangku jabatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tak memiliki kepekaan sosial di tengah kesulitan hidup masyarakat.

Eksekutif menaikkan tarif tol, legislatif sibuk dengan desain Gedung DPR Rp 40 miliar, dan tunjangan bulanan Ketua MA dinaikkan sampai Rp 50 juta. Delegitimasi terjadi karena semua urusan di republik ini ternyata "UUD" (ujung-ujungnya duit).

Ibarat anak balita, suhu politik sudah kelewat tinggi dan membuat negara ini stép. Ngeri membayangkan apa yang akan terjadi kalau semua anomali ini saling tabrak saat mencapai klimaks dalam kampanye 2009.

Salah satu keuntungan Bu Mega dicalonkan dini, ia jadi katup pelepas frustrasi sosial secara rasional dan bertahap. Lebih cepat Golkar, PKB, atau PPP mengumumkan capres akan lebih baik karena massa mereka sudah dewasa dan rasional.

Pengumuman dini capres juga berpotensi mengurangi kemungkinan mobilisasi (persuasi atau intimidasi) terhadap pemilih di pedesaan. Ia mujarab mengobati kekecewaan kaum golput yang jumlahnya signifikan saat Pemilihan Gubernur DKI.

Namun, politik di sini justru sering ditentukan oleh "faktor x". Ia bilangan yang sukar dijawab kayak rumus matematika, kurang masuk akal seperti cabang olahraga x-treme, dan misterius bagai serial The X Files.

Apalagi rakyat merasa lebih pintar dibandingkan dengan pakar-pakar doktor pintar atau dukun-dukun yang diyakini para politisi sebagai golongan yang paling pintar. Bahkan, rumah, mobil, dan motor zaman kini sudah pintar.

Percuma mereka-reka siapa presiden yang menang karena menang di republik ini belum berarti mampu dan kalah hanya bermakna kurang suara. Lagi pula selama sepuluh tahun terakhir bangsa ini telah terbiasa kecewa.

Wednesday, September 12, 2007

Sistem Parlementer Mungkin Lebih Cocok



Jakarta, Kompas - Sistem presidensial yang diterapkan saat ini mempunyai banyak penyimpangan dari sistem presidensial yang ideal. Apalagi presiden mengakomodasikan semua partai politik yang dianggap punya pengaruh besar dalam kabinetnya.

Itu sebabnya, harus dibuka peluang memakai sistem pemerintahan parlementer yang mungkin lebih cocok untuk kondisi Indonesia saat ini.

"Kita menyaksikan, presiden kurang percaya diri kalau tidak mengajak partai lain masuk dalam kabinetnya. Yang lebih parah lagi, partai yang bukan menjadi pendukung presiden punya akses lebih besar dalam kabinet. Sementara partai politik yang menjadi pendukungnya dalam pemilu presiden hampir tidak diajak bicara dalam membuat kebijakan politik penting," ujar Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring, Senin (10/9).

Menurut Tifatul, ketidakjelasan dalam mekanisme presidensial saat ini bisa menjadi penyebab ketidakjelasan dalam tata negara Indonesia.

"Kita menyaksikan sendiri bagaimana keanehan dan kerancuan dalam ketatanegaraan. Kalau seperti ini, mungkin sistem parlemen lebih cocok agar lebih jelas siapa yang menjadi pendukung pemerintah dan program partai mana yang dipakai untuk mengatur bangsa ini," ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Irgan Chairul Mahfiz mengakui, sistem presidensial Indonesia memang memiliki banyak keanehan. Keanehan tersebut di antaranya disebabkan sikap pemimpin bangsa yang tidak tegas dan keinginan untuk mengakomodasi semua kekuatan politik. "Memang susah juga mengatakan sistem ini benar atau tidak. Nyatanya, seperti inilah kondisi yang diberlakukan saat ini," ujarnya.

Menurut Ketua Partai Amanat Nasional Sayuti Asyathri, sistem presidensial yang diterapkan saat ini memang mengandung kelemahan yang sering membingungkan rakyat. Kebingungan itu di antaranya, rakyat tidak tahu kapan presiden itu bertindak sebagai presiden, kepala negara, maupun perseorangan. (MAM)

PPP Februari 2008, PKB Tunggu Gus Dur


Jakarta, Kompas - Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali mengatakan, penjaringan calon presiden di PPP akan dimulai Februari 2008.

Saat ini, katanya, partai berlambang Kabah itu sedang berkonsentrasi pada konsolidasi partai. "Ini prioritas utama. Insya Allah, akhir tahun 2007 dapat diselesaikan. Kemudian, proses penjaringan capres dari PPP baru dimulai Februari 2008," ujarnya, Selasa (11/9) di Jakarta.

Ditanya soal kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang telah mencetuskan keinginan untuk mencalonkan dirinya, Suryadharma mengaku tidak dapat mencegah keinginan orang lain untuk menjadikan seseorang sebagai pemimpin bangsa ini.

Di Yogyakarta, Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menyatakan belum memiliki daftar nama calon presiden dari PKB. Hingga kini, pihaknya masih menunggu kesiapan dan kesediaan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). "Sementara ini kami belum menanyakan kesediaan dan kesiapan Gus Dur," katanya.

Secara terpisah, Ketua Partai Golkar Priyo Budi Santoso mengapresiasi langkah Megawati dan PDI-P. Namun, Partai Golkar merasa masih terlalu dini membicarakan soal calon presiden.

Titik perhatian Partai Golkar adalah bagaimana membuat pemerintahan yang kuat. Priyo pun mengaku, tidak ada hambatan antara Partai Golkar dan PDI-P. Pertemuan di Medan dan Palembang ibaratnya telah membuka "jalan tol komunikasi".

Sedangkan anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Aria Bima, berharap semua pihak melihat sikap Megawati sebagai wujud rasa keterpanggilan untuk menyelesaikan krisis bangsa yang kondisinya makin lama makin karut-marut.

Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menilai, pencalonan Megawati pada Pemilu 2009 akan menjadi ujian yang lebih terjal ketimbang 1999 dan 2004. Ia mengibaratkan, dukungan kepada Mega "masih di lereng bukit, sementara jalan menuju puncak cukup jauh". Tanpa konsolidasi yang mantap, ada kekhawatiran kekalahan tahun 2004 terulang.

Qodari juga mengingatkan sikap Mega yang tidak memberi ucapan selamat kepada Yudhoyono dan absen hadir di acara pelantikan. Hal itu bisa ditafsirkan bahwa Mega tidak siap kalah. (OSA/DIK/WKM/SUT)

Penyederhanaan Partai Jadi Titik Perhatian



Parpol Kecil dan Besar Berseberangan

Jakarta, Kompas - Keinginan penyederhanaan partai politik menjadi titik perhatian sejumlah parpol "besar-menengah" dalam pembahasan rancangan undang-undang pemilihan umum. Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta meminta DPR mempercepat pembahasan rancangan itu.

Saat rapat kerja Panitia Khusus RUU Pemilu, Selasa (11/9) siang, Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang menjadi pemuncak pada Pemilu 2004 senada dalam menggunakan ambang batas (electoral threshold) dan besaran daerah pemilihan sebagai salah satu instrumen teknis pemilu untuk menyederhanakan kepartaian.

Agenda rapat kerja pada Selasa siang adalah pengantar daftar inventarisasi masalah (DIM) masing-masing fraksi. Dalam rapat yang dipimpin Ketua Pansus Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat II), hadir Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, serta Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa selaku wakil pemerintah.

Sikap Fraksi Partai Golkar yang dibacakan Mariani Akib Baramuli, selain ketentuan electoral threshold yang menjadi syarat mengikuti pemilu berikutnya, mereka juga mengusulkan adanya ketentuan parliamentary threshold sebagai persyaratan yang harus dicapai untuk bisa duduk di DPR. Untuk electoral threshold sendiri, Partai Golkar mengusulkan 3 persen untuk Pemilu 2009 dan meningkat menjadi 5 persen dalam Pemilu 2014.

Sementara itu, Eka Santosa dari F-PDIP menekankan perlunya penyederhanaan sistem kepartaian untuk memperkuat sistem presidensial. PDI-P mengusulkan electoral threshold naik menjadi 5 persen dan juga mengusulkan penerapan parliamentary threshold sehingga hanya parpol dengan dukungan rakyat yang signifikan yang berhak mewakili rakyat di parlemen.

Selain itu, juga diusulkan untuk menurunkan besaran daerah pemilihan anggota DPR/DPRD. Partai Golkar mengusulkan alokasi kursi per daerah pemilihan 3 hingga 6 kursi, sementara PDI-P mengusulkan besarannya 3-7 kursi. Tambahan lagi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengusulkan daerah pemilihan berkursi 3-10.

Di sisi lain, sikap parpol "besar-menengah" itu berseberangan dengan parpol "kecil-menengah". Di luar Partai Golkar, PDI-P, dan PKB, fraksi selebihnya tetap mendukung ketentuan dalam RUU inisiatif pemerintah, yaitu besaran daerah pemilihan sebanyak 3-12 kursi, sebagaimana berlaku pada Pemilu 2004. Mengutip Agus Purnomo dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), misalnya, electoral threshold yang tidak terlalu tinggi untuk menjamin partisipasi politik demokratis yang lebih luas. Besaran electoral threshold yang diusulkan adalah 3 persen jumlah kursi DPR, 4 persen jumlah kursi DPRD provinsi, atau 4 persen jumlah kursi DPRD kabupaten/ kota.

Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta meminta DPR segera membahas RUU Parpol. Percepatan pembahasan sangat membantu Dephuk dan HAM serta Komisi Pemilihan Umum untuk segera melakukan verifikasi terhadap partai politik. (DIK/VIN)

Surya dan Bachtiar Calon Presiden Internal PPP



Jakarta, Kompas - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan atau PPP Teuku Taufiqulhadi mengatakan, calon presiden dari internal PPP yang muncul, antara lain, Surya Dharma Ali, ketua umum, dan Bachtiar Chamsyah, ketua majelis pertimbangan partai.

"Itu sebabnya, kami saat ini mengembangkan berbagai strategi untuk memperbesar basis dukungan partai," ujarnya.

Sementara itu, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid menyebutkan, calon presiden pastilah bukan tokoh yang "turun dari langit" yang muncul tiba-tiba. Sekalipun belum ada pernyataan resmi, para kandidat pada Pemilihan Umum 2009 nanti pastilah tokoh nasional yang sudah dikenal. "Calon satrio piningit tidak ada," kata Hidayat yang kini Ketua MPR itu kepada wartawan di Gedung MPR/DPR, Senin (10/9) pagi.

Ia menyebutkan, PKS masih menunggu hasil pemilu anggota legislatif 2009. Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) PKS pada akhir Agustus lalu menghasilkan pokok pikiran bahwa PKS berpeluang mencalonkan kader terbaiknya dalam Pemilu Presiden 2009 apabila perolehan suaranya signifikan, yakni 20 persen suara. Namun, PKS juga tetap membuka peluang berkoalisi dengan pihak mana pun yang sejalan visi-misinya. "PKS terbiasa berkoalisi dengan kekuatan politik mana pun," kata Hidayat.

Sementara itu, Presiden PKS Tifatul Sembiring di Jakarta, kemarin, juga mengatakan, calon presiden yang akan diusung PKS ditentukan oleh Majelis Syuro PKS. Namun, katanya, pilihan ini baru akan dilakukan jika PKS mendapat dukungan 20 persen dalam pemilu mendatang.

Din, Yusril, dan Jimly

Menurut Tifatul, mekanisme internal PKS memang tidak memungkinkan DPP PKS menentukan pilihan kandidat presiden meskipun sampai saat ini sudah memunculkan sejumlah nama yang berusia di atas 50 tahun dan di bawah 60 tahun untuk menjadi calon presiden.

"Di antaranya bisa saja Din Syamsuddin, Jimly, dan Yusril Ihza Mahendra. Yang jelas, kami masih terbuka dengan berbagai kemungkinan nama," ungkap Tifatul.

Sekjen Partai Persatuan Pembangunan Irgan Chairul Mahfiz mengatakan, partainya akan mengajukan kandidat presiden jika minimal berhasil mendapat dukungan 15 persen suara. "Calonnya bukan saja dari kader internal, tetapi bisa saja dari luar partai," ujarnya. (dik/MAM)

PPP Akan Rebut Kembali Basis Massanya

Jakarta, Kompas - Partai Persatuan Pembangunan atau PPP akan merebut kembali kantong pendukung yang selama ini menjadi basis massanya. Usaha ini perlu dilakukan jika PPP ingin tetap menjadi partai Islam yang berpengaruh.

"Apalagi, PPP sudah menentukan target perolehan suara 15 persen pada pemilu mendatang," ungkap Sekretaris Jenderal PPP Irgan Chairul Mahfiz di Jakarta, Senin (10/9). Dia menjelaskan mengenai hasil Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Bidang Politik PPP.

Menurut dia, target 15 persen itu hanya sebagai jembatan saja. "Sejatinya, kami ingin mengambil kembali supremasi politik umat Islam yang pernah diraih PPP," ujar Irgan.

Irgan mengungkapkan, Rakornas Bidang Politik telah membuat keputusan dan berbagai strategi untuk merebut kembali wilayah yang selama ini menjadi basis dukungan PPP. Pada saat yang sama, PPP juga harus terus memperluas wilayah dukungan.

"Kami tidak ingin tertinggal dari partai Islam lainnya. Kami menyadari kekurangan selama ini. Itu sebabnya, kami harus bekerja keras memasuki pasar konstituen yang selama ini belum digarap dengan baik," ujarnya.

PPP akan memperluas kantong suara dukungannya pada kelompok nasionalis dan sekuler. Tentu saja, pasar baru ini tidak asal dimasuki karena PPP tetap akan berpegang pada sikap dan platform yang dimiliki PPP.

"Keinginan untuk memperluas pendukung tidak seharusnya menjadi alasan untuk menggadaikan platform yang dimiliki PPP," ujarnya.

Wakil Sekjen PPP Teuku Taufiqulhadi mengatakan, PPP saat ini sudah membangun jaringan hingga ke desa yang dinamakan tingkat ranting. Jaringan ini tentu sangat besar artinya untuk mengembangkan dan memperluas dukungan PPP.

"Jaringan hingga ke desa ini belum pernah ada sebelumnya. Kepengurusannya pun sebagian besar sudah terbentuk," ujarnya. (MAM)

Membangun "Rumah" Indonesia



Suasana Persahabatan di Rakornas

Jakarta, Kompas - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P berketetapan menjadikan dirinya sebagai "rumah besar kaum nasionalis". Atas dasar itu, PDI-P juga mengajak semua elemen untuk menyusun rencana pembangunan Indonesia.

Hal itu tertuang dalam Rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakornas) II PDI-P yang juga dibacakan dalam Rakornas PDI-P di PRJ Kemayoran, Jakarta, Senin (10/9).

Butir ke-9 rekomendasi itu menyebutkan, "PDI-P berketetapan untuk menjadikan dirinya sebagai rumah besar kaum nasionalis, di mana perbedaan dan keanekaragaman budaya, bahasa, suku, dan agama adalah taman sarinya Indonesia. PDI-P tetap bertekad mengambil peran sebagai pemersatu dan penjaga kebhinnekaan Indonesia".

Selanjutnya, PDI-P mengajak para cendekiawan, teknokrat, dan para pakar untuk bahu-membahu menyusun rencana pembangunan semesta Indonesia yang dapat dijadikan pedoman bagi seluruh bangsa dalam menatap masa depan Indonesia.

Suasana persahabatan

Dalam rakornas kemarin, PDI-P mengundang banyak pihak untuk menyampaikan pandangannya. Tokoh partai yang hadir dan memberikan materi, antara lain, Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh dan Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Persatuan Indonesia (PPP) Bachtiar Chamsyah.

Pimpinan lembaga negara yang hadir, antara lain, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid, dan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah.

Taufik Kiemas selaku Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P mengajak semua kader untuk hidup berdampingan dengan partai lain. "Kita teman dalam bertanding, sahabat dalam bertanding," ucapnya.

Suasana persahabatan terasa dalam acara rakornas dengan kehadiran para politisi itu. Surya Paloh, misalnya, dengan spontan memuji PDI-P. "Kalau ada yang bertanya kader mana yang paling militan dan partai mana yang paling kokoh dan bersungguh- sungguh memperjuangkan negara kesatuan, tidak usah bertanya, jawabannya pasti PDI Perjuangan," ucapnya yang disambut gemuruh tepuk tangan.

Pada akhir pidatonya, Paloh juga menyampaikan salam persahabatan dari seluruh kader Partai Golkar.

Salam persahabatan dari PPP juga disampaikan Bachtiar. Sebagai sesama tokoh parpol, Bachtiar pun berbagi pengalaman untuk membangun kepartaian di Indonesia. Berkaca pada pengalamannya yang pernah kalah dalam muktamar, dia mengimbau seluruh kader PDI-P agar apabila dalam musyawarah kalah, tidak usah membuat partai baru.

"Malu. Rakyat sudah capek," ucapnya.

Hidayat Nur Wahid yang juga mantan Presiden Partai Keadilan menegaskan, saat ini bukan masanya untuk mengamandemen Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kerukunan hidup beragama. "Sekarang saatnya melaksanakan seluruh pasal UUD 1945," ucapnya. (SUT)

Bedah Buku


Rantai Sejarah Pemikiran Sosial di Indonesia

Jakarta, Kompas - Pemikiran Tan Malaka, tokoh gerakan revolusioner antikolonialisme, merupakan bagian dari rantai sejarah pemikiran sosial di Indonesia. Sayangnya, ketokohan dan kepahlawanan Tan Malaka lebih tersohor di dunia internasional ketimbang di negeri sendiri.

Hal itu terungkap dalam diskusi peluncuran buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura karya Zulhasril Nasir, pengajar Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI di Kampus UI Depok, Senin (10/9).

Menurut antropolog Achmad Fedyani, salah satu pembahas, dalam gerakannya Tan Malaka cenderung tampil sebagai seorang praktisi gerakan. "Namun, jika kita mencoba memaknai pergerakannya, akan terlihat pemikiran-pemikirannya," ujarnya.

Zulhasril Nasir berpendapat, ajaran Tan Malaka bertumpu pada buku Madilog yang ditulis tahun 1942. Madilog (materialisme, dialektika, dan logika) merupakan cara berpikir dan pandangan hidup untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat tanpa dogma.

Madilog dianggap hasil pemikiran terbaik Tan Malaka, paling orisinal, berbobot, dan brilian. Tan Malaka (wafat 1949) menganalisa nasib bangsanya yang malang, dan dari situ ia mencari jalan keluar dari nasib buruk itu. Dalam pandangan Tan Malaka, semua itu disebabkan feodalisme dan kolonialisme. Sebelum diperbudak dan dijajah oleh kaum kolonialis dengan sistem kapitalisnya, bangsa Indonesia mengalami perbudakan dengan sistem feodal mereka sendiri.

Tan Malaka menulis 27 buku, brosur, dan ratusan artikel di berbagai surat kabar Hindia Belanda. Gagasan-gagasan politik yang lahir dalam karyanya ditulis dalam tekanan politik dan sosial budaya terus-menerus. (INE)

Sistem Pertahanan


Peningkatan Persenjataan Indonesia Bukan untuk Kepentingan Agresi

Sydney, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta negara-negara lain untuk tidak terlalu mencurigai langkah yang ditempuh Indonesia dalam memperbaiki alat utama sistem persenjataannya. Perbaikan itu bukan untuk kepentingan agresi, melainkan untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia.

Presiden menegaskan hal itu hari Senin (10/9) menanggapi kekhawatiran banyak negara atas langkah Indonesia memperbaiki persenjataan tentara nasional. Indonesia memutuskan untuk membeli persenjataan darat, laut, dan udara senilai 1 miliar dollar AS dari Rusia.

"Saat berpamitan dengan PM Australia John Howard, ia memang mempertanyakan kebijakan pembelian senjata dari Rusia. Saya katakan, tak perlu ada yang dikhawatirkan dengan kebijakan itu. Pembelian persenjataan itu bukan untuk tujuan agresi, tetapi untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Indonesia," kata Presiden dalam perjalanan pulang setelah menghadiri pertemuan para pemimpin forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Sydney, Australia.

Menurut Presiden, tidak perlu ada kehebohan dengan pembelian senjata dari Rusia. Apa yang dilakukan bukan dimaksudkan untuk memacu perlombaan senjata, melainkan Indonesia ingin membenahi alat utama sistem persenjataan yang selama ini sudah jauh tertinggal.

Embargo senjata yang dijatuhkan negara-negara Barat membuat kemampuan TNI menjadi sangat terbatas. Bahkan, untuk operasi kemanusiaan, seperti ketika terjadi bencana alam, TNI tidak bisa menjalankan tugasnya secara optimal.

Mengenai pilihan untuk membeli persenjataan dari Rusia, Presiden menjelaskan, hal itu sebagai bagian dari langkah diversifikasi agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada satu negara.

Kepentingan nasional

Saat menjelaskan hasil-hasil yang dicapai dalam pertemuan APEC, Yudhoyono menegaskan, kepentingan nasional selalu menjadi pertimbangan dan diupayakan untuk diperjuangkan pada setiap kali menghadiri pertemuan internasional.

"Seperti pada pertemuan APEC di Sydney ini, pemerintah mempunyai tujuan dan sasaran bagi kepentingan nasional, baik untuk ekonomi maupun yang lain. Bahkan, dalam pertemuan bilateral, baik dengan Presiden Korsel Roh Myun-hoo, Presiden China Hu Jintao, maupun Presiden AS George W Bush, saya mencoba menarik manfaat bagi kepentingan nasional Indonesia," kata Presiden.

Yudhoyono menunjuk contoh pertemuannya dengan Hu Jintao. Pada pertemuan itu dibahas cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan perdagangan di antara kedua negara.

"Kami sama-sama mempunyai keinginan untuk mendorong peningkatan perdagangan hingga mencapai 30 miliar dollar AS pada tahun 2010 dan 20 miliar dollar AS pada tahun 2008. Saya percaya angka itu akan tercapai karena tahun ini nilai perdagangan antara Indonesia dan China sudah mencapai angka 16 miliar dollar AS," ujar Yudhoyono.

Pada dua kali mengikuti pertemuan para pemimpin APEC, menurut Presiden, setiap kali menyampaikan pandangan, dirinya selalu berpijak pada kondisi Indonesia dan kepentingan nasional Indonesia. Seperti dalam isu perubahan iklim, Indonesia menyampaikan pandangan mengenai pentingnya menjaga lingkungan untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim. Pandangan itu bahkan tidak hanya terbatas pada pengelolaan hutan, tetapi juga terumbu karang, khususnya yang ada di kawasan yang disebut sebagai Amazon of the sea, yakni kawasan yang berbentang dari Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Solomon.

Hanya saja, menurut Yudhoyono, hutan jangan hanya untuk kepentingan lingkungan, tetapi juga harus bisa dipakai sebagai alat peningkatan kesejahteraan. "Untuk itulah saya merencanakan membuat 8F Summit, yakni pertemuan antara 8 negara yang memiliki hutan, seperti Indonesia, Brasil, Papua Niugini, Gabon, dan Kamerun," ujar Presiden.

Mengenai isu Putaran Doha, Presiden mengatakan, posisi Indonesia jelas, yakni menginginkan adanya sistem perdagangan yang bebas, tetapi juga adil. Dengan perdagangan yang lebih adil, negara-negara berkembang mempunyai kesempatan untuk bisa bersaing dan memanfaatkan kesempatan guna memperbaiki kesejahteraan rakyat melalui pengurangan angka pengangguran dan tingkat kemiskinan.

Menghadapi kebuntuan yang terjadi dalam pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Yudhoyono mengajak semua negara untuk mau memperbaiki posisinya. Tak ada salahnya jika semua negara mundur dulu selangkah dan kemudian mau memberi dan menerima bagi keberhasilan Putaran Doha.

Hal yang sama disampaikan Presiden dalam menanggapi keinginan anggota APEC untuk membentuk Wilayah Perdagangan Bebas Asia Pasifik. "Saya mengingatkan agar gagasan ini jangan dipaksakan karena harus mempertimbangkan kesetaraan di antara negara anggota APEC. Apalagi jika wilayah perdagangan bebas ini ingin menggantikan WTO," kata Presiden.

ANALISIS POLITIK


Moratorium Perburuan Kekuasaan

J KRISTIADI

Principes et senatores discite exemplum populorum. Et agite pro
republica populorum.
(Para pemimpin dan wakil rakyat belajarlah dari teladan rakyat, dan bekerjalah demi kepentingan masyarakat.)

Dahaga kekuasaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merebut kembali kedudukan presiden tak terbendung dalam Rapat Kerja Nasional II PDI-P. Pertemuan itu mengajukan Megawati sebagai kandidat presiden tahun 2009. Konsolidasi kekuatan akan ditingkatkan dengan penyelenggaraan rapat koordinasi nasional yang dihadiri belasan ribu kader PDI-P seluruh Indonesia.

Pada awalnya Megawati seakan tak menggubris tuntutan tersebut, bahkan mengajak bangsa ini jangan berpikiran pragmatis dan berpikir jauh ke depan karena bangsa ini masih mempunyai persoalan besar, seperti martabat dan kedaulatan bangsa yang semakin merosot.

Namun, Megawati akhirnya tidak tahan bujukan peserta rakernas dan menerima keputusan tersebut dengan mengatakan, "Insya Allah sesuai seperti apa yang ada di sanubari Anda semua." (Republika, Senin, 10 September 2007)

Selain itu, ia terlebih dahulu akan bertanya kepada pemimpin besarnya (almarhum Bung Karno). Megawati juga menambahkan, ia tidak ingin hanya menjadi presiden, tetapi seorang pemimpin. Suatu sikap pragmatis yang semula ingin dihindari Megawati sebagaimana disampaikan dalam pidato hari pertama.

Dalam keadaan normal, sebenarnya tidak ada yang aneh bagi sebuah partai politik mengajukan ketua umumnya sebagai calon presiden. Namun, persoalan menjadi lain kalau itu dilakukan saat rakyat sudah hampir sampai pada ambang batas kesabaran menahan derita hidup yang semakin sulit. Lebih-lebih apabila PDI-P yang mengaku sebagai partai wong cilik secara terburu-buru berancang-ancang memperebutkan kursi presiden.

Pemilihan calon presiden harus dilakukan melalui evaluasi mendalam, termasuk kegagalan kepemimpinan Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P dalam Pemilu 2004 dan kekalahan telak dalam pemilihan presiden pada tahun yang sama.

Namun, pragmatisme politik bukan monopoli PDI-P. Secara keseluruhan perilaku partai politik, baik yang besar maupun kecil, sudah terjebak pada sikap memanfaatkan momentum kompetisi politik untuk merebut kekuasaan dan kemudian dinikmati secara bersama-sama oleh kelompok dan kroninya.

Mereka menyalahgunakan ranah politik sebagai sekadar medan pertarungan memperebutkan kekuasaan. Partai hanya menjadi instrumen mencari kekuasaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan berbagai jajak pendapat selalu menunjukkan kemerosotan kredibilitas parpol.

Pemimpin dadakan

Merebaknya perburuan kekuasaan dirasakan semakin meningkat dan gamblang jika mencermati lebih dari tiga ratus kali pemilihan kepala daerah yang dilakukan sejak tahun 2005 hingga sekarang ini.

Dalam mempersiapkan calon, parpol hanya mengandalkan survei popularitas tanpa mengindahkan kualitas, khususnya komitmen calon terhadap perjuangan mereka menyuarakan penderitaan rakyat. Karena itu, yang dilakukan adalah memoles calon menjadi tokoh dadakan yang seakan-akan berperilaku santun, mempunyai empati kepada rakyat, serta menyebar janji muluk yang memabukkan guna mendapatkan simpati publik.

Pemimpin yang diproduksi hanya atas dasar rekayasa untuk mendapatkan popularitas jelas tidak dijamin mempunyai kompetensi, apalagi komitmen terhadap kesulitan rakyat. Lebih-lebih kalau alam rekayasa itu melibatkan permainan uang.

Hal yang sama terjadi dalam pemekaran daerah yang telah menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia tumbuh seperti kecambah. Kolusi di antara elite politik yang haus kekuasaan memberikan bukti bahwa pemekaran daerah hanya menciptakan kemakmuran bagi elite politik lokal dan menjadikan masyarakat sebagai tumbal bagi mereka yang ingin memperoleh kekuasaan.

Demokrasi popularitas

Pengalaman sepuluh tahun reformasi membuktikan popularitas pemimpin tidak berkorelasi dengan kompetensi. Oleh karena itu, bangsa Indonesia jangan sampai terjebak pada demokrasi popularitas. Demokrasi memang memerlukan popularitas, tetapi membangun kelembagaan, pendidikan kader partai yang mempunyai kompetensi dan komitmen terhadap cita-cita partai adalah agenda yang jauh lebih fundamental untuk dilakukan.

Konsolidasi partai harus dimaknai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia partai politik agar mempunyai kemampuan dan kepekaan terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat.

Konsolidasi harus pula berarti peningkatan demokratisasi internal partai serta ideologi kebijakan partai terhadap kelompok marjinal dan miskin yang berjumlah puluhan juta orang.

Artinya, perburuan kekuasaan demi kekuasaan harus dihentikan. Seluruh bangsa, terutama elitenya, harus bekerja keras, membangun institusi, kompetensi, serta komitmen terhadap ideologi kebijakan yang memihak rakyat.

Mudah-mudahan dalam suasana hening, jernih, dan tenang, pada saat Megawati menanyakan kepada pemimpin besarnya, ia memperoleh bisikan agar tidak tergoda bujukan orang di sekitarnya yang masih memanfaatkan kekuasaan kalau Mega terpilih menjadi presiden.

Semoga pemimpin besar mengingatkan Megawati untuk melakukan konsolidasi organisasi, ideologi, membangun kader yang tangguh agar cita-cita Bung Karno dapat diwujudkan.

Ketergesaan menerima tawaran sebagai calon presiden 2009, meskipun menggoda, sebaiknya dipertimbangkan secara lebih matang. Kekalahan telak sebagai incumbent pada Pemilu Presiden 2004 serta kemerosotan perolehan dalam Pemilu Legislatif 1999 harus dijadikan pelajaran berharga.

J Kristiadi Peneliti Centre for Strategic and International Studies

A r s i p