Thursday, November 29, 2007

ruang peradaban


Kota Tanpa Spirit Kekotaan


Triyono Lukmantoro


Masih layakkah sebuah wilayah dinamakan kota jika masalah klasik semacam kemacetan dan banjir selalu datang menghantui? Sebenarnya, tidak. Namun, itulah problem abadi yang harus segera ditangani Jakarta, suatu wilayah yang telanjur mendapatkan predikat sebagai kota metropolitan. Kota-kota lain di Indonesia pasti akan menghadapi masalah serupa. Jumlah penduduk semakin bertambah banyak. Aneka ragam kendaraan bermotor terus berjejalan. Perusakan lingkungan menjadi-jadi. Polusi sulit dikendalikan. Puncaknya, nilai-nilai kemanusiaan pun diempaskan.

Semua itu dapat berlangsung berkepanjangan tanpa mampu dijinakkan. Sebab, kota sekadar dipandang dan dikelola secara fisik. Kota hanya dibangun untuk membedakannya dari kategori geografis yang menjadi kutub oposisionalnya, yakni desa.

Memang benar bahwa kota sangat berbeda dengan desa. Kota lahir dan hadir dengan menggelar sejumlah perumahan mewah, pusat-pusat perbelanjaan, bangunan-bangunan menjulang tinggi, dan jalan-jalan yang lebar. Namun, persoalan yang selalu diabaikan oleh kalangan birokrat yang menjadi penguasa perkotaan adalah kota bukan hanya bermakna fisiologis.

Kota pada dasarnya memiliki makna filosofis sebagai lokasi bagi aktivitas-aktivitas berbobot strategis, seperti pendidikan, kebudayaan, perekonomian, dan bahkan keagamaan. Semua aktivitas ini hanya dapat dijalankan dengan baik apabila kalangan pengelola perkotaan mampu menjalankan kekuasaan dengan bijak. Ini karena kota tidak mampu berdiri kokoh tanpa disangga wilayah-wilayah pedesaan yang berada di sekitarnya.

Konsentrasi modal-finansial

Kemacetan yang terjadi di Jakarta bukan semata-mata akibat jumlah kendaraan meningkat setiap tahun. Kemacetan itu tidak juga sekadar disebabkan oleh jumlah ruas-ruas jalan yang dibangun tidak sebanding dengan jumlah kendaraan bermotor yang berlalu-lalang. Seluruh kejadian tragis itu dipicu oleh terkonsentrasinya modal-finansial di kota ini. Padahal, modal-finansial tidak mungkin dibiarkan menganggur. Modal-finansial harus diakumulasikan untuk mencapai profit secara maksimal. Ironisnya, modal-finansial itu tidak pernah bergerak keluar dari Jakarta. Artinya, Jakarta dimanjakan modal-finansial secara eksklusif.

Akhirnya, Jakarta menjadi tujuan utama migrasi yang lazim disebut sebagai urbanisasi. Migrasi disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, faktor pendorong (push factor) yang menjadikan penduduk berpindah karena alasan untuk mendapatkan pekerjaan atau pendidikan yang layak. Hal ini memberikan pengertian bahwa di desa dan kota-kota kecil tidak tersedia lapangan kerja dan fasilitas pendidikan yang baik. Kedua, faktor penarik (pull factor) yang mengakibatkan penduduk tersedot ke Jakarta karena semua fasilitas kehidupan memang tersaji secara sempurna di kota ini. Untuk meraih apa yang dicita-citakan, atau mengukur perolehan kesuksesan, seolah-olah penduduk harus berpindah ke Jakarta.

Oleh karena itu, tepat apa yang dikatakan Vidal de la Blache (sebagaimana dikutip Ira Katznelson, Marxism and the City, 1992: 1) ketika menuliskan masalah perkotaan pada 1898: "Alam menyiapkan ruangan dan manusia mengorganisasikannya dalam bentuk tertentu untuk memenuhi hasrat dan keinginan mereka."

Kalau Jakarta masuk dalam perangkap kemacetan bukanlah karena kekeliruan geografis yang telah tersedia dengan baik. Jika Jakarta berulang kali terendam banjir bukan pula karena alam tidak lagi menunjukkan keramahan. Demikian juga, bukan kesalahan lingkungan jika penduduk Jakarta terkerangkeng polusi yang tiada terperi. Itu semua menunjukkan atau memberikan cerminan yang sangat sempurna bagaimana kota dikelola hanya untuk melunasi hasrat dan keinginan para pengelolanya yang bersifat sesaat.

Ruang peradaban

Sebuah wilayah hanya pantas disebut kota jika di sana terjadi gerak peradaban yang menghormati dan meluhurkan nilai-nilai kemanusiaan. Bukan berarti kota jenis ini tidak ada presedennya dalam sejarah umat manusia. Kota semacam ini pernah hadir dalam ruang histori manusia yang terwujud sebagai polis (negara-kota) dengan nama Athena atau Sparta.

Dari nama polis inilah muncul dan populer kegiatan-kegiatan peradaban manusia yang dinamakan dengan politik. Memang benar bahwa polis berkembang secara mapan dalam periode sejarah pra-industrial. Ukuran polis sangat kecil dan unit-unit aktivitas manusia, seperti kekuasaan, keagamaan, dan kebudayaan, mampu membentuk jalinan yang kohesif.

Membalikkan Jakarta menjadi polis sebagaimana yang pernah terjadi pada era Athena atau Sparta tentu saja adalah utopia. Pesan penting yang hendak diberikan penegasan adalah kota selayaknya bernapas dan berkembang bagaikan polis yang memberikan keluhuran bagi perkembangan peradaban. Ini dikarenakan munculnya terminologi peradaban (civilization) hanya bisa dipahami jika dikaitkan dengan kehadiran kota (city) itu sendiri.

Definisi civilization, sebagaimana diungkapkan Michael Payne (dalam A Dictionary of Cultural and Critical Theory, 1996: 1), memiliki relevansi erat dengan konsep civis, civilis, civitas, atau civilitas, yang memiliki rujukan pada kehidupan warga dalam kota-kota yang secara politik berkembang dengan baik. Kehidupan yang serba beradab dan sangat memuliakan manusia itu sangat kontras dengan kenyataan yang terjadi di pedesaan, wilayah barbarian, atau pola pastoral yang dianut manusia-manusia dari suku-suku pedalaman.

Jadi, konklusinya adalah kota merupakan ruang peradaban (city is space of civilization). Jika Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia memungkiri sifat dasar ini, maka pantas disebut sebagai kota yang hidup bagaikan monster yang menggeliat dengan menebarkan segala jenis ancaman menakutkan, seperti kemacetan, banjir bandang, polusi, atau kejahatan. Itulah yang dinamakan kota tanpa spirit kekotaan.

Triyono Lukmantoro, Pengajar Sosiologi Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang

"Gerontocracy"


Oligarki Angkatan Babe Gue


HANDRAWAN NADESUL


Di perpolitikan kita masih hidup citra yang tua yang laik berkuasa. Orang ramai membincangkan selaiknya yang tua ABG—"angkatan babe gue"—kah yang berkuasa (gerontocracy) atau saatnya diduduki mereka yang "anak baru gede" (mandatory retirement ages)?

Motivasi konflik generasi punya banyak muatan. Bisa jadi betul sebuah kebutuhan, melihat angkatan babe gue yang berkuasa itu-itu lagi dinilai memble. Atau menginsafi seiring dengan nilai sosial di dunia tahun 60-an sudah bergeser, perlu ada yang berubah.

Belum pernah terjadi dalam sejarah waktu itu, kaum muda masuk ke dalam suatu pengaruh. Gerakan revolusi seksual, dan perlawanan mahasiswa di mana-mana, termasuk yang terjadi di sini, memperkuat arti kaum muda. Sayang momentum indah ini gagal ditembus mahasiswa kita karena kuatnya pentungan otoriter rezim Orde Baru waktu itu.

Atau lebih dari sebuah kebutuhan, di penglihatan psychopolitics, pemimpin uzur berisiko keracunan kekuasaan. Berambut putih di arena politik sekarang bukan lagi ikon panutan, kepemimpinan, dan kematangan, tetapi memberi peluang jahat bagaimana kekuasaan dijadikan perabot buat bikin cepat kaya. Dalam politik putih, adagium kian tua kian bersantan kini tak boleh lagi dipercaya. Untuk alasan itu pula mesin politik perlu tukar gigi agar yang sudah beruban turun dari tribun.

Di mata biopolitics tua kalender hanya menyisakan kearifan. Normal, sejalan bertambahnya umur, ratusan miliar sel otak rusak dan mati, dan kemampuan intelektual menyusut. Apalagi kalau pikun. Pengakuan Ronald Reagan setelah tidak menjadi Presiden AS, ia gamang bukan main karena sudah alzheimer semasih memerintah. Contoh betapa rawan kalau presiden sudah uzur. Keputusan presiden sekecil apa pun perlu otak bugar.

Plato seorang pendukung gerontocracy. Ia berujar, yang paling tua harus memerintah dan yang muda tunduk. Pujangga Lucretius melihat usia tua faktor penting menjaga oligarki, serta tidak mengizinkan kaum muda mendapatkan posisi dan haknya.

Berbeda pendapat Aristoteles. Katanya, orang uzur lebih baik menjauh dari kekuasaan. Ia merujuk pada tokoh Alexander Agung yang berhasil melebarkan kekuasaan sejak usia 22 tahun, lebih sebelas tahun lamanya.

Sejak abad ke-3 kaum tua yang dihormati semakin kehilangan pamornya. Faktor tua hanya sebuah nilai dalam masyarakat sebagai panutan dan pemberi nasihat saja. Kendati seorang John F Kennedy memperjuangkan hak kaum tua ("Grey Panther"), tetapi zaman kemudian tidak sepenuhnya mengharapkan itu lagi. Isu ageism lalu membara.

Pasca-Baby Boomers?

Angkatan berjuluk Baby Boomers yang meledak seusai Perang Dunia II, tergolong angkatan seumur Bill Clinton. Angkatan yang lahir sebelum 1964, setelah 1945. Merekakah yang sekarang sudah digolongkan uzur seturut X-Generation?

Merujuk kepada Confusius, ia mendalami pendidikan kearifan pada usia 15 tahun. Pada usia 30 tahun ia memperoleh rasa aman. Sudah tak mempunyai keraguan hidup pada usia 40 tahun. Pada usia 60 tahun sudah merasa tidak ada satu di dunia yang dapat mengguncangkan dirinya. Dan ia ingin menuruti semua keinginan dirinya setelah ia menginjak usia 70 tahun.

Di AS sendiri kualitas kepemimpinan (leadership) dianggap matang untuk jabatan kongres setelah berumur 25 tahun, setelah umur 30 tahun untuk senator, dan setelah umur 35 tahun untuk calon presiden. Tak ada lagi keberpihakan pada citra gerontocracy di kalangan posmo Amerika Serikat. Faktor pencapaian pendidikan seseorang lebih dijadikan indikator kapabilitas menduduki suatu jabatan melebihi faktor ras, jender, geografis, dan umur.

Sekarang tergantung dari muatan motivasi kita, konflik generasi yang berkembang apakah lebih sebagai kebutuhan, tren, atau ada faktor terselubung lainnya. Isu munculnya ageism sendiri tentu tidak bisa ditampik karena faktanya memang tidak sama kondisi angkatan babe gue dengan mereka yang lebih muda. Seberapa mudakah laiknya?

Kalau isu ageism yang mungkin dirasakan menyudutkan kaum tua dinilai demi menyelamatkan bangsa dan bukan ego pribadi, harus dinilai mulia tujuan mencari jalan baru supaya hidup berbangsa menjadi lebih berarti, seperti kata pujangga Lucretius, seabad Sebelum Masehi.

Jika kaum muda dalam berpolitik berani menafikan makna senioritas, sebagai kaum yang lebih berpengalaman, berkearifan, sembari punya keniscayaan pada muatan intelektualitas diri, konflik generasi dan isu ageism secara damai perlu dirundingkan dan diselesaikan. Kalau sintesa kearifan dan kekuasaan saja diniscayai tidak kunjung menyelesaikan masalah bangsa, mengapa tidak?

HANDRAWAN NADESUL Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan, Penulis Buku

Sistem Politik


Mencari Demokrasi


Budiman Tanuredjo


...di semua negeri modern itu kapitalisme subur dan meradjalela! Disemua negeri modern itu kaum proletar ditindas hidupnya. Disemua negeri modern itu kini hidup miljunan kaum penganggur, upah dan nasib kaum buruh adalah upah dan nasib kokoro,-disemua negeri modern itu rakjat tidak selamat, bahkan sengsara-sengsaranya. Inikah hatsilnya "demokrasi jang dikeramatkan orang."

Amboi,--parlemen! Tiap-tiap kaum proletar kini bisa ikut memilih wakil kedalam parlemen itu, tiap-tiap kaum proletar kini bisa "ikut memerintah"! Ja, tiap-tiap kaum proletar kini, kalau dia mau, bisa mengusir minister, mendjatuhkan minister itu terpelanting daripada kursinja. Tetapi pada saat jang ia bisa menjadi "radja" diparlemen itu, pada saat itu djuga ia bisa sendiri bisa diusir dari paberik dimana ia bekerdja dengan upah kokoro-dilemparkan diatas jalan, menjadi orang pengangguran.

Inikah "demokrasi" jang dikeramatkan itu? Ir Soekarno, "Di Bawah Bendera Revolusi" (1965), halaman 172-173

Demokrasi (tanpa kata sifat) kembali menjadi perdebatan dalam politik Indonesia. Adalah Ketua Umum Partai Golkar Muhammad Jusuf Kalla yang memancing perdebatan publik soal demokrasi.

Saat menutup Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, Jusuf Kalla mengemukakan, demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses dan bukan tujuan sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan kesejahteraan rakyat. "Demokrasi harus membawa manfaat. Sebab itu cara (demokrasi) bisa berubah, tetapi tujuan tidak!" ujar Kalla (Kompas, 26/11/2007).

Pernyataan Kalla itu memicu kritik karena dianggap membahayakan kelangsungan demokrasi Indonesia. Apa yang dikatakan Kalla itu dapat dibaca sebagai ketidakpercayaan pemimpin Indonesia atas demokrasi. Bahkan, ada pula tudingan pikiran itu sebagai inti otoritarianisme Partai Golkar. Namun, bagi sosiolog Kastorius Sinaga dalam percakapan dengan Kompas di Jakarta, Rabu (28/11), pernyataan Kalla hanyalah sebagai respons atas dinamika internal Partai Golkar soal polarisasi pro-konvensi dan anti-konvensi.

Diskursus soal demokrasi sebenarnya terus mengiringi perjalanan bangsa Indonesia. Dalam kumpulan buku Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno menolak demokrasi model Barat. Soekarno menulis, demokrasi politik sahaja, belumlah menjelamatkan rakjat. Kaum nasionalis Indonesia tidak mengeramatkan "demokrasi" jang demikian itu. "Nasionalisme kita haruslah nasionalisme jang tidak mentjari gebjarnja atau kilaunja sahadja, tetapi ia haruslah mentjari selamat semua manusia."

Saat memimpin Soekarno kemudian mengintrodusir Demokrasi Terpimpin (1959-1966) sebagai koreksi atas Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal (1950-1959) yang dinilainya kebablasan. Soeharto kemudian memperkenalkan Demokrasi Pancasila (1967-1998).

Bagi Kastorius Sinaga, dalam perjalanan sejarah demokrasi—yang merupakan konsep Barat—tidak diterapkan secara murni di Indonesia. Ada penyesuaian dari kekuatan politik yang berkuasa. Soeharto memperkenalkan Demokrasi Pancasila dengan segala motif kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan memang mempunyai keleluasaan untuk memberikan tafsir mengenai demokrasi.

Demokrasi dan konstitusi

Demokrasi bukanlah kata asli Indonesia. Bahkan, dalam dokumen resmi Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945—yang merupakan kontrak sosial bangsa—tak tercantum satu patah kata pun mengenai demokrasi. Kata demokrasi—dalam bentuk kata sifat—baru muncul dalam dua pasal Perubahan UUD 1945. Itu tertuang dalam Pasal 18 Ayat 4 yang berbunyi: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Tak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan dipilih secara demokratis.

Jika menggunakan analogi pemilihan presiden pada Pasal 6A Perubahan UUD 1945 disebut, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Apakah itu berarti demokratis sama artinya dipilih secara langsung oleh rakyat?

Pasal lainnya adalah Pasal 28J Ayat 2 Perubahan UUD 1945. Dalam pasal itu disebutkan, Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Tak ada juga penjelasan apa itu masyarakat yang demokratis.

Mengenai bentuk negara, Pasal 1 (1) UUD 1945 menegaskan, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik, dan (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar, serta (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Dalam tafsiran Kastorius Sinaga, demokirasi Indonesia adalah Demokrasi Konstitusional dan tujuan bernegara dikembalikan kepada Pembukaan UUD 1945. Itu berarti, konstitusi menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Politisi senior Abdul Madjid dalam perayaan ulang tahun ke-90 di Jakarta beberapa waktu lalu mengajak elite politik untuk kembali pada lima tujuan kemerdekaan Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Kelima tujuan itu adalah menghapuskan penjajahan di atas dunia; melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Ia mengajak agar lima tujuan kemerdekaan sebagai tertera dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan sebagai tujuan pemerintah yang berkuasa di Indonesia, siapa pun itu. Namun, kenyataannya, saat ini, presiden menetapkan visi dan misinya sendiri yang disampaikan dalam kampanye.

Kegamangan

Bagi Kastorius, sebagian elite politik—dalam pernyataan politiknya—terlihat mulai gamang dengan sistem demokrasi yang dihayatinya hanyalah prosedur politik yang melelahkan dan memakan biaya mahal.

Dukungan terhadap sistem politik demokrasi sekarang ini, berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia Mei 2006, sebanyak 72 persen. Mayoritas responden (72%) memandang demokrasi dipandang sebagai sistem pemerintahan terbaik. Posisi Indonesia itu dekat dengan Meksiko (71%) dan Filipina (72%), tetapi persentase Indonesia itu masih di bawah negara demokrasi yang sudah mapan seperti Jerman (93%), Amerika Serikat (88%), Jepang (88%), dan Afrika Selatan (85%).

Belum tingginya dukungan terhadap sistem politik demokrasi tercermin dalam survei tingkat kepuasan terhadap praktik demokrasi. Pada tahun 2006, berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia, 62 persen responden puas dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Teoretisi politik George Sorensen pernah memperkenalkan konsep demokrasi beku (frozen democracy) yang menggambarkan suatu kondisi masyarakat di mana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada.

Sorensen sebagaimana dikutip Heru Nugroho saat mengantarkan buku John Markoff, Gelombang Demokrasi Dunia (2002) menyebutkan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku. Keempat indikator itu adalah kondisi perekonomian yang tak kunjung baik, mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial-politik yang tak pernah mencapai soliditas, dan penyelesaian masalah sosial-politik-hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas.

Dari sisi kondisi ekonomi banyak pihak sepakat tak kunjung membaik sejak gerakan reformasi digulirkan sembilan tahun lalu. Jumlah orang miskin dan penganggur masih besar. Masyarakat sipil memang tumbuh seiring dengan melemahnya negara. Namun, tumbuhnya masyarakat sipil itu tak disertai dengan adanya ketertiban sosial dan keberadaban masyarakat. Itu bisa dilihat dengan adanya penghancuran satu kelompok oleh kelompok lain tanpa negara bisa mencegah. Kebebasan beragama yang merupakan kebebasan sipil yang dijamin konstitusi menjadi tidak punya arti bagi kelompok minoritas.

Mengenai konsolidasi elite, yang terjadi justru fragmentasi elite politik. Pemberantasan korupsi tersendat karena pertarungan kepentingan di kalangan elite politik. Problem politik dan hukum masa lalu tetap saja menyandera. Meskipun reformasi sudah bergulir sembilan tahun, orang yang diduga melanggar HAM dan korupsi tetap bebas berkeliaran.

Orang yang ikut menikmati bagian dari sistem koruptif masa lalu, ikut berpesta pora pada masa lalu, kini berteriak lantang, mengecam praktik masa lalu, di mana ia sendiri ikut berada di sana dan menjadi bagian darinya.

Mengacu pada empat indikator Sorensen, boleh jadi Indonesia sedang menuju ke demokrasi yang beku. Demokrasi yang tidak memberi makna apa-apa bagi bangsanya. Itu bisa terjadi karena minimnya aktor-aktor demokrasi dan pemahaman demokrasi hanya semata-mata pada soal kebebasan dan prosedur. Untuk memperjuangkan sistem politik demokratis dibutuhkan seorang demokrat yang punya keyakinan, bukan sebuah kegamangan.

Demokrasi bukan hanya untuk demokrasi! Kelima tujuan negara sebagaimana tertera dalam Pembukaan UUD 1945 itu harus dicapai dengan jalan demokrasi! Melahirkan demokrasi di Indonesia, di mana rakyat menikmati kembali kedaulatannya, telah membawa banyak korban dan itu mahal harganya! Sistem politik demokrasi justru harus mampu bekerja untuk merespons penderitaan rakyat.

Teriakan korban Lapindo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat patut direnungkan. "Lengkap sudah. Eksekutif, legislatif, dan pengadilan sudah tak dapat diharapkan." Kalau itu terjadi, lalu ke mana rakyat bisa menaruh harapan.

Isyarat dari Istanbul



Oleh : Dzikrullah W Pramudya

Wartawan Harian The Brunei Times yang meliput Al Quds International Forum di Istanbul



Pemerintah Republik Indonesia memang patut dikecam karena sikap plin-plan-nya. Kecaman itu datang dari Mahmoud Al Zahar, menteri luar negeri dalam kabinet Palestina Hamas pimpinan Ismail Haniyah. Betapa tidak patut? Di satu sisi, ke mana-mana Indonesia mengaku mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk merebut kemerdekaannya dari penjajahan Zionis Israel. Di sisi lain Indonesia, disengaja atau tidak, ikut mendukung makar yang dilakukan Amerika Serikat dan Israel dengan menggunakan pemerintahan boneka Presiden Mahmoud Abbas.

Mahmoud Abbas adalah Presiden Palestina yang secara sengaja mendukung embargo ekonomi terhadap rakyatnya sendiri, karena partainya kalah pemilu. Beliau juga ngotot berdamai dengan Zionis Israel yang telah habis-habisan selama 60 tahun ini menindas rakyat Palestina. Dukungan terhadap makar itu menjadi terbuka ketika Indonesia menyatakan bersedia hadir dalam konferensi Annapolis, Maryland, yang tak lain dan tak bukan merupakan kesinambungan siasat AS dan Israel agar kekuatan perlawanan rakyat Palestina tetap menjadi marjinal.

Secara formal, mudah-mudahan niat Indonesia untuk mengikuti konferensi di Annapolis berdasarkan iktikad baik. Namun, disadari atau tidak, langkah Indonesia ini sama saja dengan seandainya pada tahun 1948 ada negara-negara yang mendukung posisi Belanda untuk kembali mengklaim dan menjajah kepulauan Hindia Belanda.

Parameter baru untuk menegaskan ke-plin-plan-an diplomasi Indonesia itu baru saja dibubuhkan di Istanbul, Sabtu (17/11). Deklarasi Istanbul merupakan hasil puncak dari pertemuan tiga hari (15-17 November) bertajuk Al Quds International Forum. Forum ini dihadiri sekitar 5.000 cendekiawan, ulama, aktivis, dan pemimpin organisasi massa dari 65 negara baik Islam maupun Kristen.

Angin optimisme
Pada pembukaan Forum tersebut, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hidayat Nur Wahid menegaskan, bahwa dukungan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina tidak bergeser sejengkal pun dari apa yang ditekadkan lewar Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung. Di antara butir Deklarasi Istanbul yang berjumlah dua belas itu, Forum menuntut agar semua pihak menghentikan segala bentuk normalisasi hubungan dengan bangsa Zionis serta menegaskan bahwa menurut sejarah, cara paling berhasil dalam menghadapi penjajah adalah dengan perlawanan.

Selain para cendekiawan dan ulama Muslim, di antara para pembicara penting dan pemimpin sidang dalam konferensi itu adalah Uskup Attallah Hana, Pemimpin Gereja Ortodoks Palestina, Uskup Greygorius dari Gereja Katolik Lebanon, dan George Galloway, anggota parlemen Inggris dari Partai Respect. Diselenggarakan di bekas ibukota Khilafah Uthmaniyyah, Al Quds International Forum juga menggelar pameran yang diikuti oleh 103 organisasi wakaf pendukung pembebasan Palestina dari 65 negara dan dikunjungi sekitar 10 ribu orang dari dalam dan luar Turki.

Mungkin sebagian orang berpendapat, apalah artinya sebuah konferensi lagi untuk Al Quds? Bukankah sudah belasan bahkan puluhan konferensi digelar, dan keadaan Palestina tetap saja begitu? Pertanyaan provokatif yang sama saya ajukan kepada beberapa tokoh di Forum ini, "Bukankah Forum ini hanya panggung pidato?"

Syeikh Ikrimah Sabri, Ketua Majelis Ulama Tertinggi Palestina; Syeikh Raid Salah, pemimpin gerakan Islam di Palestina versi tahun 1948; dan Uskup Attallah Hana, pemimpin Gereja Ortodoks Palestina, yang merupakan saksi mata pertama kezhaliman Zionis Israel menampik keraguan itu.

"Tidak," kata Syeikh Ikrimah yang pernah jadi Imam Besar Masjidil Aqsa. Menurut dia, konferensi ini berbeda dengan yang lain, karena, tujuan konferensi ini lebih terarah. Tujuan utamanya adalah membekali para aktivis organisasi yang hadir dari 70 negara dengan berbagai materi penting untuk dipakai mendorong pemerintah negara masing-masing bergerak lebih aktif membela kota suci Al Quds dan negeri Palestina yang masih terus didzalimi sejak tahun 1948.

Uskup Attallah Hana menegaskan, "Para peserta konferensi membawa pulang kewajiban besar untuk menyampaikan kepada rakyat dan pemimpin negaranya, bahwa kolonialisme dalam bentuknya yang terburuk masih terjadi di tanah suci itu, dan didukung oleh negara-negara besar." Syeikh Raid Salah malah secara khusus bermaksud menindaklanjuti konferensi itu dengan mengunjungi negeri-negeri Muslim. "Saya ingin berkunjung untuk menjelaskan betapa gawatnya keadaan kota suci Al Quds dan Masjidil Aqsa saat ini," ujar dia. Informasi dan perspektif Syeikh Raid yang baru saja dibebaskan sesudah dua setengah tahun dipenjara oleh Zionis Israel, dan sehari-hari bergumul langsung dengan permasalahan rakyat Palestina akan sangat berbeda dengan yang dibawa oleh Presiden Abbas yang baru-baru ini berkunjung ke Indonesia.

Pembekalan penting
Selama tiga hari, para peserta konferensi dibekali dengan berbagai laporan berisi fakta-fakta penting langsung dari tempat kejadian perkara. Sekelompok ilmuwan Turki memperesentasikan temuan mereka langsung dari lapangan, mengenai penggalian terowongan di bawah Masjidil Aqsa yang secara ilmiah bisa ditebak hasilnya dalam beberapa waktu mendatang mengakibatkan ambruknya tempat suci ketiga sesudah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi itu.

Sejumlah saksi mata yang dihadirkan di forum ini melaporkan penghancuran rumah-rumah rakyat Palestina begitu saja dan pembangunan permukiman Yahudi dari hasil rampokan itu, berlangsung setiap hari. Penangkapan sewenang-wenang juga berlangsung setiap hari sehingga rakyat Palestina yang kini disekap dan disiksa di penjara Zionis Israel berjumlah sekitar 11 ribu orang, 200 di antaranya para wanita.

Dilaporkan juga, pembangunan 'tembok apartheid' setinggi 10 meter kini sudah mencapai panjang 200 kilometer. Tembok ini memisah-misahkan kampung rakyat Palestina dari sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, dan pasar-pasarnya. Berbagai kejadian itu terus dilakukan oleh Zionis Israel, di bawah perlindungan politik dan dukungan persenjataan dari Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.

George Galloway mengingatkan, "Dulu kita diminta percaya oleh media bahwa masalah Palestina adalah semata-mata konflik antara Arab dan Israel, atau bahkan antara orang Arab Palestina dan orang Yahudi saja. Forum ini harus membuka mata dunia bahwa penjajahan atas Palestina adalah masalah yang mengganggu seluruh umat manusia yang cinta kemerdekaan. Ada kedzaliman besar dan berlangsung lama di sini, dan kita tidak boleh diam."

Deklarasi ini juga mengingatkan bangsa Palestina untuk bersatu dalam perjuangannya dengan mengingatkan mereka ayat Alquran, "Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah bercerai-berai, sehingga kamu akan kehilangan keberanian dan kekuatan..." (terjemahan surat Al Anfaal[8]: 46). Deklarasi Istanbul adalah gerakan rakyat yang seyogianya menjadi paramater Indonesia dalam bersikap dan berpihak. Apakah Indonesia akan berpihak kepada kepentingan rakyat Palestina, atau memihak kepada arus yang dibuat Amerika Serikat, Israel, dan pemerintahan bonekaya sebagai kekuasaan yang dzalim.

Ikhtisar
- Selama tiga hari (15-17 November 2007) 5.000 peserta konferensi Al Quds dari berbagai negara berkumpul di Istanbul, Turki untuk membahas masa depan Palestina.
- Dalam acara ini, sikap Indonesia dalam menangani masalah Palestina sempat mendapat kecaman.
- Di satu sisi Indonesia mengatakan membela penuh rakyat Palestina, tapi di sisi lain mendukung skenario AS dan Israel.
- Deklarasi Istanbul bisa menjadi alat ukur keberpihakan Indonesia dalam isu tersebut

Demokrasi untuk Siapa?

Surwandono
Dosen Fisipol UMY dan Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM


Istilah demokrasi senantiasa disenandungkan sebagai hubungan antara demos dan kratein, sebuah relasi yang menempatkan rakyat sebagai subjek dan objek, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Apakah senandung manis istilah demokrasi ini telah mawujud dalam bangsa Indonesia, yang sedang senang-senangnya mendapat anugerah sebagai negara yang demokratis.

Siapakah yang mendapat keuntungan spesifik dari konsep yang bernama demokrasi, rakyatkah atau yang lain. Jika rakyat yang dapat, mengapa rakyat hanya jadi pelanduk demokrasi, juga menjadi korban demokrasi. Rakyat masih lapar dan miskin, sementara para elite yang berperan sebagai gajah sudah tidak lapar, bahkan sangat kekenyangan atas fasilitas yang menumpuk sebagai bagian dari apa yang disebut demokrasi. Wajib hukumnya bagi bangsa ini untuk mencoba mawas diri terhadap demokrasi.

Kilas balik
Adalah seorang Riswandha Imawan (almarhum) dalam pidato guru besar di Fisipol UGM menyampaikan kritik yang sangat kritis kepada apa yang disebut dengan demokrasi. Demokrasi Indonesia mulai bergerak jauh untuk tidak mengabdi kepada kepentingan rakyat. Demokrasi telah menjadi kendaraan efektif bagi elite untuk mempertahankan kekuasaan, dan bukan lagi diikhtiarkan untuk rakyat. Kalaupun ada konsep ikhtiar untuk rakyat, semua hanya dalam lips service dan gincu dalam janji-janji kampanye dan sederet visi misi dalam kerangka mimpi. Ingat, hanya dalam mimpi, bukan kenyataan.

Sebagai sebuah konsep, demokrasi telah mengalami dinamika yang sangat berarti. Setting demokrasi Yunani yang dianggap sebagai tonggak awal demokrasi sangatlah berbeda dengan setting demokrasi dalam sejarah Eropa. Mari kita lihat sejatinya tonggak demokrasi yang bernama Magna Charta. Magna Charta sejatinya merupakan persekutuan antara pedagang dan para pangeran dari para selir yang tidak mendapatkan ascribed status untuk menjadi top elite. Dengan sistem kerajaan Inggris yang konservatif, yang berhak menjadi top elite adalah putra pertama dari permaisuri, bukan yang lain.

Persekutuan itu sejatinya, jauh panggang dari api, jauh dari kepentingan rakyat. Para pedagang ketika berkongsi dengan para pangeran, agar jika para pangeran nanti mendapatkan peluang untuk berkuasa maka akan mendapat fasilitas, minimal mendapatkan pengurangan pajak-pajak. Demikian pula bagi pangeran kerajaan berkongsi dengan para pedagang bisa memaksa raja untuk memberikan ruang besar bagi transformasi kekuasaan secara lebih terbuka. Pedagang sebagai representasi kelas menengah, diyakini para pangeran sebagai kelompok masyarakat yang pragmatis untuk mendapatkan keuntungan.

Untuk menurunkan pajak, para pedagang tidak berkongsi dengan masyarakat luas, karena banyaknya masalah yang akan timbul. Pedagang dengan rakyat hakikatnya sangat berjarak, sehingga kongsi pedagang dengan masyarakat luas sangat sulit dijumpai dalam realitas politik. Demikian pula para pangeran tidak memilih berkongsi dengan rakyat, karena justru akan membuat reputasi pangeran jatuh. Pangeran akan mudah kena stigma sebagai gila kekuasaan, tidak tahu diri dan sederet cacian yang memerahkan telinga.

Bagaimana dengan dinamika demokrasi di Indonesia? Apakah demokrasi di Indonesia digerakkan oleh nalar dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat? Untuk ukuran prosedural, kita bisa menjawab ya, namun jika kita tilik secara substantif, sangat jauh dari nalar itu. Mari kita lihat satu per satu. Pertama, dalam proses pilkada, pemilu, dan pilpres, peran elite dan kongsi kekuatan ekonomi pedagang jauh lebih diperhatikan oleh DPP, DPW, dan DPD suatu partai politik dibandingkan kongsi dengan rakyat. Partai menjadi eksekutor dalam menentukan nomor urut calon sebelum dieksekusi oleh rakyat. Seorang kandidat yang populer di mata rakyat namun tidak bisa menjalin kongsi dengan pedagang dan elite, akan mudah disingkirkan.

Kedua, dalam konteks berjalannya pemerintahan, teramat sering rakyat harus gigit jari secara dalam-dalam untuk menahan kemarahan yang meledak, dan kelaparan yang amat sangat akibat kebijakan elite terpilih yang jauh dari sikap pro-rakyat. Nama-nama rakyat yang terpajang dalam sejumlah nama lembaga ternyata tidak membangun kesadaran kelembagaan untuk mengembangkan sikap pro-rakyat. Lembaga politik justru lebih berempati dengan memberikan jalan tol kepada para pedagang. Namun jika rakyat hendak menuntut pertanggungjawaban lembaga politik, maka rakyat harus melewati jalan yang terjal, melelahkan, penuh pengorbanan, untuk sekadar menyampaikan aspirasi.

Hakikatnya yang melaksanakan pemerintahan cenderung menggunakan nalar-nalar elite daripada nalar rakyat. Inilah yang sering disebut Robert Mitchel sebagai fenomena hukum besi oligharki. Ketiga, para elite politik sedemikian bangga ketika Indonesia dikategorikan sebagai salah satu negara paling demokratis di dunia. Namun, rakyat justru tidak bangga dengan gelar kosong tersebut. Bagaimana bangga dengan gelar itu, jika masih banyak rakyat menjerit karena kemiskinan dan ketidakadilan kebijakan pemerintah. Demokrasi tidak bisa membuat rakyat bisa tidur nyenyak, makan kenyang, hidup aman dan tentram.

Demokrasi justru semakin menyejahterakan elite daripada menyejahterakan rakyat. Demokrasi justru banyak mempopulerkan elite daripada menentramkan elite. Rakyat telah menjadi kuda troya bagi elite untuk mendapatkan kekuasaan. Banyak telah kita saksikan pesta demokrasi dalam pentas pilkades atau pilkada justru melahirkan ketegangan dan kekerasan di tingkat rakyat untuk mendukung elite. Beberapa kasus pilkada dalam sebulan terakhir, cukup memberikan bukti bahwa para elite justru memainkan peran massa untuk menggoyang proses pilkada demi memuluskan pencapaian kekuasaan.

Kembalikan ke rakyat
Bandingkan antara Magna Charta dan Revolusi Prancis. Teramat berbeda jika merenungkan dua tonggak demokrasi dunia tersebut. Magna Charta telah memapankan kongsi pedagang dengan pangeran, Sedang Revolusi Prancis telah memapankan sistem demokrasi untuk memerankan rakyat sebagai aktor utama, jauh dari kongsi-kongsi elite pangeran dan pedagang.

Sudah selayaknya bangsa ini dalam menatap proses demokrasi, mulai melakukan kaji ulang dan kaji tindak atas semua peristiwa demokrasi. Bohong besar mereka yang menyatakan seorang elite yang demokratis dan amanah, jika ia bisa tidur nyenyak di tengah rintihan rakyat yang tidak bisa tidur karena menahan lapar. Adalah juga tidak demokratis, jika elite bisa tenteram hati dan pikiran karena melakukan refreshing dan menikmati fasilitas demokrasi nan megah di tengah rakyat yang mengais rezeki dari onggokan sampah yang bau, panas, dan anyir.

Adalah pantas seorang elite yang mengaku demokratis, jika ia bisa meneladani perilaku Umar bin Khattab yang tidak bisa tidur karena memikirkan nasib kesengsaraan rakyat. Untuk bisa tidur nyenyak dan makan secara nyaman, Umar bin Khattab telah mengikhtiarkan dirinya untuk diwakafkan kepada rakyat. Sikap ini akhirnya diwarisi oleh seorang Umar bin Abdul Aziz, yang sedemikian rigid dan amanah dalam menjalankan perannya. Sampai-sampai Khalifah Umar bin Abdul Aziz harus bersikap ekstrem kepada keluarga jika menyangkut penggunaan fasilitas negara.

SIkap demokratis Umar bin Aziz ini kemudian terabadikan dalam sejarah keemasannya. Dengan menerapkan kepemimpinan yang amanah dan dengan mengabdikan hidupnya untuk kesejahteraan rakyat atas ridha Allah, di zamannya sangat sulit ditemukan orang yang pantas menerima zakat atau menerima daging kurban. Artinya, menerapkan prinsis demokratis yang berketuhanan akan mampu membawa nalar demokrasi menjadi nalar kesejahteraan.

Namun, jangan-jangan para elite kita, justru menggunakan nalar Lipset yang menyatakan bahwa kesejahteraan menjadi pendorong nalar demokrasi bukan sebaliknya, untuk menutupi aib-aib kegagalan demokrasi. Nalar tersebut dengan mudahnya bisa digunakan para elite untuk mengelak dari tanggung jawab moral. Jika sudah demikian nalar demokrasi yang diyakini oleh para elite, rakyat bersama-sama harus meminta pemerintah untuk mengubah pengertian demokrasi sebagai upaya dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat, menjadi sebuah upaya dari elit, oleh elit, dan untuk elit.

Ikhtisar

- Demokrasi yang kini berjalan di Indonesia, belum bisa diartikan sebagai sebuah proses dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
- Proses demoktasi yang berlangsung saat ini lebih banyak membawa keuntungan bagi para elite, saat rakyat semakin sengsara.
- Prinsip-prinsip kepemimpinan Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz menjadi sangat penting untuk diterapkan dalam kondisi seperti itu.

Monday, November 26, 2007

Perempuan, Politik & Kekuasaan

Pada 20-22 November 2007, Nasyiatul Aisyiyah (Nasyiah) menyelenggarakan tanwir di Medan, Sumatra Utara. Tanwir kali ini mengusung tema "Membangun Mainstream Berkesetaraan dalam Pendidikan untuk Mewujudkan Karakter Bangsa". Tema ini cukup menarik.

Pertama, meski belum menjadi mainstream, tapi upaya melakukan pembangunan dengan memerhatikan kesetaraan gender dalam satu dekade terakhir mulai mendapat tempat, terlebih di kalangan pembuat kebijakan. Apalagi dalam konteks global, Deklarasi Beijing telah memberikan penguatan akan wacana ini.

Kedua, tema ini diangkat ketika bangsa ini tengah kehilangan karakter dan jati dirinya dalam aspek apa pun, terlebih dalam konteks politik. Ketiga, tema ini diusung organisasi perempuan yang mempunyai keanggotaan hingga massa akar rumput (ranting/desa). Hal ini tentu akan lebih mempunyai makna dan bobot yang kuat, ketimbang yang mengusung organisasi papan nama.

Konteks tulisan ini akan lebih menyoroti kaitan tema tanwir dengan politik dan kekuasaan. Kenapa? Berdasarkan penelitian di banyak negara, diperoleh data bahwa ada nilai-nilai khas perempuan seperti kepekaan terhadap kehidupan orang miskin, anak maupun kelompok minoritas, tidak menyukai caracara militeristik, lebih pada upaya damai, bersedia bekerja secara kolektif, dan mendorong tercapainya perubahan.

Nah, nilai-nilai khas inilah yang saat ini nyaris tidak dimiliki oleh hampir kebanyakan politisi yang dipenuhi kaum laki-laki dan hanya sedikit perempuan. Akibatnya, selain kebijakan-kebijakan yang dibuatnya cenderung bias gender, juga kepekaan dan ruh keberpihakan kepada masyarakat nyaris tidak ada.

Kenyataan ini merupakan kesempatan dan sekaligus tantangan tersendiri bagi kaum perempuan untuk tampil ke panggung politik praktis, tentu dengan kemampuan yang dimilikinya dan ditopang dengan nilai-nilai khas tadi serta bila perlu tidak usah "mengemis" meminta affirmative actionyang selama ini kerap diteriakkan sebagian dari penggiat gender lain yang notabene juga perempuan.

Hambatan Kultural

Memang tidak mudah untuk bisa menggapai kesempatan tersebut mengingat adanya faktor-faktor krusial yang selama ini terbukti cukup ampuh menghambat keterlibatan perempuan dalam politik. Dua faktor berikut merupakan faktor paling determinan. Pertama, doktrin dan tafsir keagamaan yang mapan cenderung bias gender.

Dalam konteks historis, doktrin dan tafsir keagamaan mapan tersebut muncul lantaran sebagian besar ulama (fiqh) yang banyak mengeluarkan fatwa hukum banyak didominasi kaum laki-laki. Meskipun mulai "diabaikan" masyarakat, namun membuminya doktrin dan tafsir mapan tersebut masih terlihat ketika misalnya terjadi perhelatan politik, seperti pilpres, pilgub, pilbup/wali kota, saat fatwa-fatwa agama akan bermunculan bila dalam perhelatan politik tersebut muncul calon dari kaum perempuan. Kedua, budaya politik patrimonial.

Dalam budaya politik seperti ini, "garis laki-laki" akan mempunyai posisi yang sangat menentukan. Sehingga tidak mengherankan kalau dalam budaya seperti ini laki-laki tampil dominan. Sementara hambatan lainnya lebih bersifat pribadi yang melekat pada diri perempuan.

Pertama, kenyataan bahwa keterampilan politik perempuan masih rendah. Penyebabnya tidak lain karena perempuan sejak kecil jarang dihadapkan pada dunia politik yang sangat kompetitif dan dianggap sebagai negatif, kotor dan "tidak pantas" bagi perempuan. Kedua, perempuan tidak memiliki akses yang cukup.

Ketiga, beban pekerjaan rumah tangga yang pada batas tertentu bisa menghambat partisipasi politik. Keempat, adanya stereotip negatif terhadap partisipasi politik perempuan atau menganggap rendah kemampuan politik perempuan yang terkadang dipercayai oleh perempuan sendiri. Kelima, adanya kecenderungan dari lembaga formal, terlebih partai politik untuk membuat aturan yang tidak bersahabat bagi kepentingan politik perempuan.

Nasyiah dan Politik

Kenyataan di atas merupakan tantangan tersendiri bagi organisasi seperti Nasyiah. Di sini dibutuhkan akselerasi bagi terwujudnya "maistream berkesetaraan". Dan untuk bisa mewujudkan hal ini tentu tidak harus diperoleh melalui jalan affirmative action yang cenderung instan.

Yang dibutuhkan adalah adanya keseriusan di kalangan organisasi atau elemen perempuan lain untuk melakukan pembelajaran politik maupun advokasi publik lain yang muaranya pada maksimalisasi peran dan pemberdayaan perempuan. Yakinlah bahwa perempuan mampu melakukan semuanya.

Terpilihnya tiga perempuan dari tujuh (enam sudah dilantik) anggota KPU merupakan gambaran tentang kemampuan perempuan. Faktor mereka terpilih pun rasanya bukan dominan karena "politik belas kasihan" dari kebanyakan kaum laki-laki (di Komisi II DPR RI), tapi lebih karena kemampuan yang mereka miliki.

Bagi Nasyiah sendiri, tentu tidak cukup sekadar melakukan pembelajaran dan advokasi publik. Keterlibatannya secara aktif pada ranah politik praktis juga sudah saatnya dipikirkan dan dilakukan. Kesan selama ini, Nasyiah cenderung mengambil posisi pasif, bahkan emoh pada politik praktis.

Nasyiah, misalnya, hingga saat ini masih "melarang" anggota pimpinannya untuk terlibat secara aktif di politik praktis. Padahal, bila melihat keberadaan Nasyiah, yang mempunyai hierarki kepengurusan hingga level ranting, tentu merupakan potensi besar untuk melakukan pemberdayaan politik perempuan.

Karenanya, sikap pasif dan cenderung emoh pada politik praktis patut disayangkan. Nasyiah semestinya harus berani mengambil peran-peran strategis yang tidak hanya berkutat pada pembelajaran dan advokasi, tapi juga mulai berani masuk pada ranah politik praktis. Hal ini penting dilakukan.

Pertama, impact globalisasi dan demokratisasi. Pemerintah maupun lembaga politik lainnya dituntut mempunyai political will untuk melakukan pembangunan dengan memerhatikan pengarusutamaan gender.Tentu ini merupakan kesempatan bagi kaum perempuan untuk merebut dan mengambil peran-peran politik strategis tersebut.

Kedua, politik sekarang telah kembali menjadi panglima. Karenanya untuk membangun mainstream berkesetaraan tidak cukup hanya mengandalkan pendidikan maupun advokasi publik, tapi kekuasaan itu sendiri harus direbut. Dan untuk bisa merebut, pilihan yang rasional dan sesuai langgam demokrasi adalah dengan terlibat aktif di partai politik maupun lembaga politik lain yang memungkinkan kaum perempuan dapat mengapresiasikan kemampuan politiknya.

Inilah pembenaran kenapa Nasyiah perlu berpikir serius mengambil peran-peran politik yang bersifat praksis. Bila organisasi seperti Nasyiah saja tidak atau belum mau terlibat aktif di ranah politik praktis atau wilayah publik lain, tentu tidak bisa dipersalahkan bila-saat ini dan nantinya-kebanyakan perempuan yang tampil di ranah publik akan diisi oleh mereka yang tidak mumpuni.

Bila ini terjadi, tentu akan semakin memperkuat stereotip rendahnya kemampuan politik perempuan. Menyikapi hal ini, Tanwir kali ini bisa menjadi media bagi Nasyiah untuk membuat keputusan-keputusan politik yang tidak saja berguna bagi pemberdayaan politik perempuan, tapi juga bermanfaat bagi kemaslahatan bangsa. Semoga! (*)

Ma'mun Murod Al-Barbasy
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah dan
Direktur Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
(mbs)

Polisi Pentungi Etnis India


Sebagian Etnis China dan Melayu Dukung Aksi Protes


Kuala Lumpur, Minggu - Polisi Malaysia mementungi dan menyemprot sekitar 10.000 pengunjuk rasa etnis India yang melakukan protes di Kuala Lumpur, Minggu (25/11). Pemerintah mengatakan, aksi itu harus dihentikan karena dapat makin memicu kebencian rasial di negara yang terancam perpecahan etnis.

Aksi etnis India itu (yang mayoritas dari Tamil) bertujuan mendukung gugatan yang diajukan ke sebuah pengadilan di London pada Agustus lalu oleh organisasi bernama Kekuatan Aksi Hak-hak Hindu (Hindu Rights Action Force). Aksi protes juga mengecam diskriminasi yang dilakukan Pemerintah Malaysia.

Kelompok itu menuntut kompensasi 4 triliun dollar AS (Rp 36.000 triliun) dari Inggris. Kelompok itu mengatakan, mereka dirugikan karena Inggris mendatangkan nenek moyang mereka ke Malaysia, yang kemudian diperlakukan sebagai budak dan dieksploitasi.

Etnis India itu mengatakan, mereka telah dirugikan sejak Malaysia merdeka dari Inggris 31 Agustus 1957. Etnis India mengalami perlakuan diskriminasi serta banyak warganya kecanduan alkohol dan terlibat kejahatan.

"Sekitar 50 tahun etnis India sudah terpinggirkan. Kami ingin menuntut hak yang dinikmati etnis lain," kata M Kulasegaran, anggota oposisi di parlemen Malaysia. "Mereka tidak berhak menghentikan kami."

Pemrotes membawa gambar Mahatma Gandhi, tokoh besar dunia asal India. Mereka juga membawa poster bertuliskan, "Kami menginginkan hak-hak kami."

Salah seorang pemrotes, Singam Suppiah, mengatakan aksi ini adalah refleksi dari ketidaksabaran yang sudah mengkristal. "Saatnya tiba, bom waktu akan meledak. Kami tak bisa lagi bersabar," katanya.

N Vijayan (40), teknisi, yang turun ke jalan, mengatakan aksi ini seharusnya membangunkan pemerintah bahwa kebijakan pemerintah mengganggu mereka.

Sebagian pemrotes meneriakkan ungkapan tidak ada demokrasi di Malaysia, tidak ada hak asasi di Malaysia. "Kami berjuang untuk meraih kemerdekaan di negara ini. Mengapa mengabaikan hak-hak kami?"

KK Krishna, pemrotes lain, mengatakan hanya sedikit warga India yang duduk di universitas. "Mengapa demikian, apakah etnis India bodoh?"

P Uthaya Kumar, oposisi dari parlemen, dan penyelenggara protes mengatakan kelompoknya sudah mengirimkan surat kepada pemerintah selama lima tahun terakhir, isinya meminta dialog. "Permintaan ditolak. Mereka tak menghargai kami," katanya.

Artifisial

"Aksi ini belum pernah terjadi," kata P Uthaya Kumar. "Ini adalah sebuah aksi komunitas yang sudah tidak bisa lagi menerima diskriminasi."

Aksi ini memperlihatkan kampanye gencar, tetapi artifisial, yang dilakukan PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi di CNN. Badawi menggambarkan Malaysia sebagai negara yang menghormati keharmonisan etnis.

Saat hendak menyampaikan protes ke Kedubes Inggris di Kuala Lumpur, aksi mereka diredam polisi. Polisi Malaysia lebih kuat dan berhasil meredam aksi yang berlangsung delapan jam di sekitar Menara Kembar Petronas. Etnis India itu dipentungi dan disemproti dengan gas air mata serta air bercampur bahan kimia yang merusak konsentrasi.

Polisi mengatakan telah menangkap sekitar 400 demonstran. Setengah dari jumlah itu kemudian dilepas setelah identitas pribadi mereka dicatat.

Aparat dikecam

Etnis India juga meminta kebijakan Dasar Ekonomi Baru (New Economic Policy/NEP) diakhiri. NEP pernah diakhiri tahun 2005. Politisi dari Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) memperpanjang NEP 15 tahun lagi hingga 2020. NEP bahkan dijadikan sebagai Agenda Nasional Baru. Tujuannya, memberdayakan Melayu, dengan alasan penguasaan aset ekonomi yang kalah dari etnis China.

Samy Vellu, politisi keturunan India yang propemerintah, mengecam aksi itu sebagai merusak citra pemerintah. "Kami tak mendukung aksi ini. Kami sudah bekerja di dalam sistem untuk mengatasi persoalan yang dihadapi etnis India," kata Samy.

Mohamed Nazri Abdul Aziz, pejabat dari Kantor Perdana Menteri, mendukung tindakan polisi. "Aksi protes ini ilegal."

Namun, Lim Kit Siang, oposisi dari parlemen dan Ketua Partai Aksi Demokrasi, mengecam tindakan aparat, yang digambarkan sebagai refleksi dari pemerintahan yang tidak demokratis.

ALIRAN, kelompok pembela hak asasi manusia di Malaysia, mendukung aksi etnis India itu.

Partai Keadilan, yang diketuai Wan Azizah Wan Ismail, istri Anwar Ibrahim, meminta polisi menghentikan tindak kekerasan.(REUTERS/AP/AFP/MON)

Rapimnas Golkar


Demokrasi Hanya Cara, Dapat Dinomorduakan


Jakarta, Kompas - Rapat Pimpinan Nasional III Partai Golkar menyimpulkan, demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses, dan bukan tujuan, sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat.

Demikian diutarakan Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla dalam pidato politiknya pada penutupan Rapimnas di Jakarta, Minggu (25/11) malam. "Demokrasi harus membawa manfaat. Sebab itu, cara (demokrasi) bisa berubah, tetapi tujuan tidak!" ujar Kalla.

Oleh karena demokrasi dengan segala turunannya, termasuk pemilihan umum, adalah cara, proses, dan alat, Kalla menyerukan dilakukannya evaluasi agar tidak keluar dari tujuan. "Pemilu bukan hanya ongkos, tetapi investasi dengan efisien," ujarnya.

Kesimpulan itu juga dikuatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam arahannya, Presiden memuji dan berterima kasih kepada Partai Golkar atas pernyataan politik dan dukungannya untuk pemerintah hingga Oktober 2009. Presiden minta partai lain meniru yang dinyatakan Partai Golkar. "Untuk bangsa yang utama, baru partai politik. Jangan dibalik!" ujarnya.

Kalla dan Yudhoyono mengakui masih adanya kekurangan di pemerintahan yang mereka pimpin. Kekurangan itu akan diatasi dengan kerja keras, percaya diri, dan kebanggaan. Jaminan keduanya tetap akan satu hingga 2009 memudahkan kerja keras mengatasi kekurangan itu.

Yudhoyono dan Kalla, yang juga wakil presiden, menyebutkan akan berdua hingga akhir masa bakti. Pada saatnya nanti ada peluang untuk calon presiden berkompetisi secara sehat dan ditentukan siapa yang dipilih rakyat. Demokrasi memerlukan persiapan, tetapi harus dilakukan secara etis dan mengikuti aturan main, sehingga rakyat tetap kompak untuk menyukseskan pembangunan.

Ketua Panitia Rapimnas III Enggartiasto Lukito menjelaskan, hasil rapimnas yang menegaskan pengumuman calon presiden dari Partai Golkar dilakukan setelah pemilu legislatif 2009 membantah ada rivalitas kepemimpinan nasional. Partai Golkar mendukung pemerintahan Yudhoyono- Kalla hingga Oktober 2009.

Dalam Rapimnas, Golkar mengeluarkan 10 pokok pernyataan politik yang disarikan dari dinamika masyarakat, sambutan Kalla, dan pandangan semua peserta. Pernyataan politik yang dibacakan Syamsul Muarif itu merupakan penegasan atas komitmen lama, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan mengatasi ketertinggalan dari bangsa lain dengan karya nyata.

Dijumpai terpisah, Sabtu, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Sumarsono menjelaskan, rapimnas juga membuat kebijakan baru terkait pemilihan kepala daerah sehingga tak memunculkan lagi dualisme calon. (INU/A01)

Saturday, November 24, 2007

Mayoritas DPD I Tolak Konvensi


Kalla, Paloh, dan Akbar Dikritik

Jakarta, Kompas - Mayoritas Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I Partai Golkar yang hadir dalam Rapat Pimpinan Nasional III menolak melanjutkan mekanisme konvensi untuk merekrut calon presiden dari Partai Golkar dalam Pemilu 2009.

Mekanisme konvensi yang pernah diadakan dalam Pemilu 2004 lalu dinilai sudah tidak sesuai, boros, bahkan menyuburkan politik uang.

Juru bicara Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Lampung dalam laporannya menyebutkan secara terbuka ada yang menerima uang hingga miliaran rupiah dari peserta konvensi.

DPD I lain yang dengan tegas menolak konvensi selain Lampung adalah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Papua, Sulawesi Barat dan Jawa Barat. DPD I Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III kemarin bahkan telah mencalonkan Kalla sebagai calon presiden 2009. "Maaf ini belum forumnya, tetapi Sultra sudah memutuskan itu," ujar juru bicara DPD I Sultra.

Hanya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang secara tegas mendukung konvensi dilanjutkan. Adapun untuk sejumlah DPD lainnya, ada yang belum bersikap, ada yang bersikap tidak tegas, dan ada yang menyerahkan kepada DPP untuk memutuskan. "Kelemahan harus dipangkas hingga tercipta konvensi yang sehat, dinamis, efektif, dan efisien," kata Ketua DPD Partai Golkar DIY Gandung Pardiman.

Gandung juga menuturkan, penentuan bakal calon presiden dari Partai Golkar harus diputuskan pada tahun 2008.

"Tidak logis jika calon presiden Partai Golkar ditentukan tiga bulan sebelumnya. Untuk pilkada, bupati atau gubernur saja memerlukan (persiapan) dua tahun," katanya.

Belum tentu Kalla

Sekretaris Jenderal Partai Golkar Sumarsono menuturkan, meski untuk menentukan calon presiden yang diusung pada Pemilu 2009 Golkar tak lagi memakai konvensi, metode penggantinya tidak kalah demokratis.

Dalam metode itu, pertama-tama rakyat akan ditanya siapa yang akan dipilih menjadi presiden. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menuliskan nama yang dikehendaki atau memilih nama yang sudah didaftar. Daftar nama ini berasal dari pengajuan daerah-daerah dan dapat berasal dari luar Partai Golkar.

Hasil survei lalu dibawa ke rapimnas khusus yang akan digelar setelah pemilu legislatif untuk memutuskan siapa yang akan dipilih.

Ketua Panitia Pelaksana Rapimnas III Partai Golkar Syamsul Muarif menambahkan, dengan mekanisme ini, calon presiden yang akan diajukan Partai Golkar belum tentu Jusuf Kalla. "Semua tergantung dari hasil rapimnas khusus," tuturnya.

Melelahkan

Syamsul menambahkan, proses perekrutan calon presiden yang pernah dilakukan Golkar sangat melelahkan. Calon diajukan dari tingkat dua, kemudian dikonvensikan secara bertahap hingga ke tingkat pusat. "Proses itu sangat melelahkan. Konvensi pada tahun 2004 lalu mungkin cocok untuk saat itu, tetapi mungkin sekarang enggak tepat," ujarnya.

Menurut dia, ada salah pengertian dari istilah konvensi dan rapimnas khusus. Proses rapimnas dinilai tidak demokratis, padahal prosesnya sudah melibatkan masyarakat secara langsung melalui survei yang dilakukan. "Dulu kan lebih elitis," ujarnya.

Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, penggunaan survei untuk menjaring kandidat bukan hal baru bagi Partai Golkar.

Jika nanti hasil survei menjadi salah satu patokan Partai Golkar dalam menentukan calon presiden, yang terpenting nanti adalah soal komposisi suara, termasuk seberapa besar akomodasi atas suara pengurus daerah.

Jika pengurus partai di tingkat kabupaten/kota juga diberi hak suara, bisa jadi situasinya menjadi sangat cair. Jika kondisi itu terjadi, bisa jadi calon terpopuler versi survei justru tidak terpilih untuk dicalonkan.

Qodari juga menyebutkan empat skenario yang bakal dihadapi Partai Golkar dalam Pemilu 2009. Skenario pertama, jika calonnya menurut survei populer dan didukung rakyat, bisa jadi Partai Golkar akan mengajukan calon presidennya sendiri.

Tiga skenario lain, Partai Golkar bisa jadi hanya memilih mengambil kursi wakil presiden. Calon presiden yang digandeng bisa Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, atau calon lain. Yang terpenting, pasangan calon itu populer dan punya peluang besar memenangi Pemilu 2009.

Otokritik terbuka

Selain soal konvensi, DPD I juga banyak menyampaikan kritik terbuka, baik kepada Ketua Umum, Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Penasihat, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, maupun mereka yang duduk di jajaran kabinet.

Juru bicara DPD I Lampung, misalnya, menilai Jusuf Kalla terlalu percaya diri karena pernah mengatakan baru akan mengumumkan pencalonan dalam pilpres tiga bulan sebelum pemilu legislatif. Padahal, situasi sekarang sudah berbeda dengan 2004. "Ini sangat pede," ujarnya.

Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh juga dinilai telah melangkah lebih maju dari ketua umum karena mengajak partai lain berkoalisi. "Betul... betul...!!," ujar beberapa peserta.

Mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung juga tidak lolos kritik. Akbar diminta untuk tidak menyampaikan kritik secara terbuka di media. "Datanglah ke rapim ini," ujarnya.

Para anggota DPR diminta tidak banyak ke luar negeri, tetapi lebih memperbanyak kunjungan ke daerah untuk menemui konstituen.

Kekalahan Partai Golkar dalam sejumlah pilkada juga banyak mendapat perhatian. Ketika juru bicara DPD I Kalbar menceritakan kekalahannya di Pilkada Singkawang dan Provinsi Kalbar belum lama ini, suasana rapimnas terasa lesu.

Juru bicara Kalbar itu menceritakan kesalahan Pilkada Singkawang yang kurang memperhitungkan aspirasi warga keturunan Tionghoa sehingga suaranya beralih ke calon yang diusung PDI-P. (SUT/NWO/DIK/MAM)

Survei LAKSNU: Yudhoyono dan Megawati Lebih Banyak Dipilih


Jakarta, NTT Online - Jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Kajian dan Survei Nusantara (LAKSNU) menunjukkan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri paling banyak dipilih responden jika pemilihan presiden dilakukan hari ini.

“Secara statistik posisi elektabilitas Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati berimbang. SBY mendapat dukungan kurang lebih 32,2 persen sementara dukungan Megawati mencapai 29,1 persen,” kata peneliti LAKSNU, A. Agung Prihatna, dalam presentasi hasil survei, di Jakarta, Jumat.

Posisi ketiga calon presiden yang dipilih responden adalah Abdurrahman Wahid dengan dukungan 7,9 persen, kemudian Wiranto (5 persen), Jusuf Kalla (4,9 persen), Amien Rais (4,9 persen), Hidayat Nurwahid (4,1 persen), Hamengkubuono X (1,5 persen), Akbar Tanjung (1,4 persen), dan Yusril Ihza Mahendra (1,2 persen).

Agung mengatakan, hasil survei tersebut didapatkan dengan memberikan pertanyaan terbuka kepada responden, siapa yang akan dipilih jika pemilihan presiden dilakukan hari ini.

Sedangkan, ia merinci, ketika diajukan enam nama calon presiden, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, Hidayat Nurwahid, Wiranto, Jusuf Kalla, dan Sutiyoso, maka sebanyak 34,3 persen dari responden memilih Susilo Bambang Yudhoyono dan 30,3 persen mendukung Megawati.

“Dari nama tersebut SBY dan Mega tetap mendominasi dukungan, dan tokoh lainnya tampaknya harus bekerja keras untuk meraih dukungan, agar mampu bersaing dengan SBY dan Mega,” ujarnya.

Hasil survei juga menunjukkan pasangan calon presiden dan wakil presiden pilihan yang mendapat dukungan terbanyak dari responden, yaitu pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Akbar Tandjung 33,7 persen, dan 31,8 persen memilih Megawati-Dien Syamsuddin.

“Ini menunjukkan memilih pasang presiden sangat menentukan jumlah dukungan. SBY akan mengalami kekalahan, jika salah memilih pasangan,” kata Agung.

Jika dihadapkan langsung, maka survei menunjukkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Akbar Tandjung lebih unggul dibandingkan dengan pasangan Megawati dan Dien Syamsuddin, katanya menambahkan. antara

Survei LAKSNU: Partai Baru Kurang Diminati




Kapanlagi.com - Meski banyak partai baru yang muncul, jajak pendapat Lembaga Kajian dan Survei Nusantara (Laksnu) menunjukkan 84,1% suara dari 1.000 responden menyatakan lebih memilih partai yang sudah ada saat ini.

Menurut Peneliti Ahli Laksnu A. Agung Prihatna, di Jakarta, Jumat (23/11), kecenderungan ini timbul karena masyarakat mulai tidak ingin lagi berspekulasi dengan pilihan politiknya. Sebanyak 4,0% dari responden menyatakan memilih partai yang baru berdiri dan sisanya 11,9% mengatakan tidak tahu.

"Kendati hanya sedikit masyarakat yang berminat memilih partai baru, ketika masyarakat diminta memilih sejumlah partai baru yang kita berikan, Hanura dan Partai Islam Persatuan agak menonjol," katanya.

Agung mengatakan dari survei yang dilakukan mulai 24 September hingga 4 Oktober 2007 ini mengenai pilihan terhadap partai baru, 2,6% responden memilih partai Hanura, 2,1% untuk Partai Islam Persatuan, 1,8% Partai Kebangkitan Nasional Ulama, 1,2% untuk Partai Demokrasi Indonesia, dan 9,6% responden memilih partai lain.

Sementara sekitar 31,4% responden menyatakan tidak tahu, 5,8% mengatakan rahasia, dan sisanya 45,5% menyatakan tidak ada partai baru yang dapat dipilih.

Dalam jajak pendapat yang dilaksanakan Laksnu, responden juga diminta untuk memilih partai yang simpatik dari tujuh partai yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Survei menunjukkan PDIP dan Golkar mendominasi perolehan suara. Sebanyak 19,7% suara memilih PDIP sebagai partai yang dapat memperjuangkan aspirasi rakyat, disusul dengan Golkar yang memperoleh 17,4% suara. Di posisi ketiga, Partai Demokrat mendapatkan 15,7% suara responden dan PKB mendapatkan 7,6% suara, PKS 7,3 persen suara, PAN 4,5% suara serta PPP hanya 3,0% suara.

"Secara keseluruhan, partai politik masih dianggap mampu mengemban aspirasi masyarakat. Sebanyak 53,8% responden mengatakan setuju bahwa partai politik yang ada selama ini mampu menyuarakan kepentingan rakyat, 27,2% responden menyatakan tidak setuju," kata Agung.

Citra Partai

Hasil survei ini mendapatkan tanggapan dari Ketua DPP Partai Demokrat Anar Urbaningrum yang juga hadir dalam publikasi hasil survei Laksnu. Hasil survei ini, katanya, bertolak belakang dari hasil survei sebelumnya yang dilakukan lembaga survei lainnya.

"Hasil survei dari lembaga survei tentang partai, angkanya fluktuatif. Survei yang lain mengatakan citra partai baik sementara yang lain mengatakan tidak," ujarnya.

Menurut Anas, berdasarkan hasil survei tersebut diketahui publik cenderung memilih partai yang tidak "berlabel" agama. Hasil survei yang dimaksud adalah survei kepercayaan masyarakat terhadap partai.

"Hasil survei menunjukkan kalau PPP, PAN, dan PKB, lebih sedikit dipilih daripada PDIP, Golkar dan Partai Demokrat," katanya.

Anas mengatakan arus pemilih cenderung menuju ke arah yang moderat dan peluang partai "tengah" lebih besar dibandingkan dengan partai "berlabel" agama. (*/lpk)

Yang Muda atau Yang Mumpuni



Pada awal era Reformasi,kita mendengar semboyan “potong satu generasi”. Waktu itu timbul perdebatan, maksudnya dalam kaitan usia atau dalam kaitan mental atau perilaku Orde Baru?

Ternyata, tidak terjadi potong satu generasi, baik dalam pengertian usia maupun perilaku.Anak muda memang banyak yang muncul, tetapi lebih banyak muka lama (dari kalangan Orde Baru) yang bertahan di panggung kekuasaan. Pemain politik memang banyak yang berganti, terutama di lembaga legislatif, tetapi perilakunya masih Orde Baru. Kebijakan ekonominya juga masih kebijakan Orde Baru yang wujudnya adalah kenyataan bahwa kesejahteraan masyarakat lebih jelek.

Tak heran bila lebih banyak warga masyarakat yang mengatakan bahwa zaman Pak Harto lebih baik dibanding sekarang.Tak satu presiden pun pasca-Soeharto yang mengatakan bahwa kebijakan ekonomi Orde Baru harus diganti secara total dan menerapkan kebijakan yang berbeda itu. Padahal,kebijakan ekonomi Orba itulah (ditambah mental korup pejabat dan kroni keluarga Presiden) yang membawa Indonesia ke jurang keterpurukan. Pemilihan presiden dan pilkada secara langsung tampaknya dianggap sebagai obat mujarab terhadap kondisi bangsa yang terpuruk ini.Tampaknya, harapan menggunung itu telah menuai hasil yang mengecewakan.

Kini,muncul kembali tuntutan dari generasi muda, termasuk beberapa pimpinan parpol, supaya kaum mudalah yang memimpin bangsa dan negara kita kalau ingin bangkit kembali. Dikemukakan sejumlah contoh, Bung Karno dan Jenderal Soeharto terpilih menjadi Presiden saat berusia 40-an. Sayangnya, para pimpinan parpol itu tidak konsisten. Dalam memilih calon gubernur DKI (yang paling baik diambil sebagai representasi), para pimpinan parpol itu ternyata memilih tokoh yang hampir berusia 60 tahun. Mengapa mereka memilih cagub yang tua itu?

Realitas politik dan pragmatisme lebih menonjol daripada idealisme mencari pemimpin muda. Tampaknya, dalam memilih capres, pertimbangan realitas politik dan pragmatisme juga akan menjadi acuan.Paling jauh,para kaum muda yang memimpin parpol, hanya akan mengincar posisi cawapres. *** Survei LaKSNU (Lembaga Kajian dan Survei Nusantara) pada akhir September 2007 menunjukkan bahwa lebih dari 60 responden menyatakan bahwa era Pak Harto lebih baik dari pada era sekarang, terutama dalam kehidupan ekonomi.

Padahal, keterpurukan kita di bidang ekonomi tidak lepas dari kebijakan era Pak Harto. Harus diakui bahwa kebijakan ekonomi dan penerapannya saat ini tidak berhasil mewujudkan kesejahteraan ekonomi sebagian besar masyarakat. Kita melihat data hasil survei bahwa peluang SBY untuk memenangi Pilpres 2009 amat besar. Hampir tak ada lawan seimbang, kecuali Megawati. Padahal, banyak cendekiawan mengatakan bahwa kalau SBY terpilih kembali, RI akan mengalami masa lima tahun tanpa kejelasan akan adanya tindakan efektif dalam mengatasi berbagai masalah utama kita yang bertumpu pada masalah ekonomi.

Artinya, kita harus berjuang mencari pengganti SBY yang diyakini bisa mengatasi masalah yang bertumpu pada masalah ekonomi yang salah arah.Masalahnya, para calon yang sudah muncul juga tidak punya tawaran kebijakan ekonomi yang bisa meyakinkan para pemilih bahwa kebijakan tersebut akan segera mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kita tidak menentang munculnya tokoh muda, tetapi pemunculan itu adalah hasil dari prestasi mereka, bukan pemberian para tokoh tua atau tokoh lama. Bung Karno dan Pak Harto dulu muncul juga akibat prestasi mereka, bukan pemberian siapa pun. Jadi, kata kuncinya ialah kemampuan, bukan kemudaan.

Kata mumpuni sebagai judul tulisan dipakai sebagai pengganti dari kata kompeten, atau lebih tepat lagi, keyakinan orang terhadap kemampuan seorang tokoh. Di negara lain, banyak tokoh terpilih menjadi presiden bukan semata-mata karena usia muda atau tua,tetapi karena prestasinya diakui dan sebagian besar pemilih yakin akan kemampuannya itu. Di Amerika Serikat yang punya tradisi panjang pemilihan presiden secara langsung, umumnya presiden terpilih saat berusia di bawah 55 tahun seperti Kennedy yang terpilih saat berusia 43 tahun (sembilan tahun lebih muda dari pada lawannya, Nixon) dan Clinton yang terpilih saat berusia 46 tahun (lebih muda 24 tahun dibanding lawannya,Bush senior).

Tetapi, Eisenhower terpilih pertama kali saat berusia 72 tahun (lebih tua belasan tahun dibanding lawannya, Stevenson) dan Reagan terpilih pertama kali saat berusia 69 tahun (lebih tua 13 tahun dibanding lawannya, Carter yang sedang menjabat presiden). *** Kita punya tiga kesimpulan.Pertama, kata kuncinya adalah kemampuan sang tokoh dan keyakinan pemilih pada kemampuan itu. Kedua, masalah utama kita adalah pembangunan ekonomi ala Orde Baru yang telah terbukti salah arah karena tidak berhasil membuat rakyat kebanyakan menjadi sejahtera.

Ketiga, adanya keinginan memunculkan tokoh muda.Yang terakhir ini tidak mutlak, lebih baik kalau tokohnya berusia muda. Masih harus ada kejelasan,yang disebut muda itu berusia berapa? Apakah usia awal 60 tahun itu bisa disebut muda? Kalau usia di bawah 60 tahun tetapi mengidap penyakit serius, apakah layak ditampilkan? Kalau berusia mendekati 70 tahun tetapi sehat,seperti JK,apakah tidak layak untuk ditampilkan? Bagaimana cara mencari tokoh yang punya kemampuan dan punya kebijakan ekonomi yang betul-betul berpotensi mampu membuat rakyat sejahtera?

Sebetulnya tidak sulit.Tokoh-tokoh yang selama ini sudah muncul didorong untuk menawarkan konsep pembangunan ekonomi mereka, lalu kita kritisi supaya menjadi lebih kaya dan lebih realistis untuk dapat diterapkan.Tokoh-tokoh itu lalu kita perkenalkan kepada masyarakat sebagai pemimpin alternatif masa depan. Tentunya, tidak cukup hanya dengan menawarkan konsep. Para tokoh itu harus berpengalaman menjadi eksekutif dan punya kepemimpinan. Karakter mereka juga harus menjadi pertimbangan, terutama integritas dan ketegasan serta keberanian.

Masalah ini tentu memerlukan kajian yang lebih mendalam. Apa yang diuraikan di atas secara singkat bisa menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Saya yakin banyak calon potensial yang bisa kita tampilkan, antara lain (menurut abjad) Burhanuddin Abdullah, Drajat Wibowo, Faisal Basri, Kwik Kian Gie, Laksamana Sukardi, Revrisond Baswir,Rizal Ramli, Sri Edi Swasono. Tentu kita tidak bisa menolak tokoh seperti Jusuf Kalla yang memahami masalah ekonomi walaupun bukan ahli ekonomi dan punya dukungan politik yang kuat.

Kita harus menguji sejauh mana gagasan ekonomi mereka akan mampu menyejahterakan masyarakat dan sejauh mana kebijakan mereka selama ini betul-betul memihak rakyat. Hanya dengan cara itulah kita bisa punya alternatif terhadap tokoh-tokoh yang bisa memberi janji tetapi tidak tahu bagaimana cara mewujudkan janji kampanye itu.Apalagi, tokoh yang kebijakannya sebagai pejabat negara terbukti tidak memihak rakyat seperti nampak dalam pemihakan terhadap kepentingan pengusaha besar dibanding nasib pedagang kecil dalam kasus Pasar Blok M dan Pasar Tanah Abang.(*)

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuiren

Friday, November 23, 2007

RUU Pemilu


Nomor Urut Calon Masih Dipertahankan


Jakarta, Kompas - Dalam Pemilihan Umum 2009 mendatang, nomor urut calon anggota DPR dan DPRD tetap dipertahankan. Namun, seperti dinyatakan Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat II), Kamis (22/11), daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut itu terkait dengan pengadministrasian penyusunan daftar calon semata.

Menurut Ferry, daftar calon nanti disusun berdasarkan nomor urut. Adapun daftar calon yang ditempelkan di tempat pemungutan suara (TPS) dan bukan surat suara mesti memuat tanda gambar parpol, nomor urut parpol, pasfoto, dan nomor urut serta nama calon tiap daerah pemilihan.

Namun, seperti juga dinyatakan anggota Panja RUU Andi Yuliani Paris (Fraksi Partai Amanat Nasional, Sulawesi Selatan II) dan Saifullah Ma’shum (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur V) secara terpisah, pembahasan belum sampai pada pilihan sistem pemilu, antara proporsional daftar calon terbuka murni atau terbuka terbatas.

Persoalan nomor urut sangat terkait dengan pilihan sistem pemilu. Jika akhirnya sistem pemilu terbuka terbatas yang disepakati, nomor urut menjadi sangat menentukan. Dengan sistem proporsional terbuka terbatas, jika tidak ada yang mencapai persentase tertentu dari bilangan pembagi pemilihan (BPP), penetapan calon terpilih didasarkan pada nomor urut.

Akan tetapi, Ferry menyebutkan, sistem yang akan dipilih tidak akan terpengaruh oleh cara penyusunan daftar calon dengan nomor urut. Lebih baik jika daftar tetap dengan nomor urut sehingga parpol dapat menyusun daftar urutan sebagai bagian dari strategi parpol bersangkutan. "Dengan pemilu sebagai ajang kompetisi politik, toh rakyat yang akan memilih," ungkap Ferry.

Rapat Panja pada Rabu malam sampai Kamis pagi merampungkan materi persyaratan calon anggota lembaga legislatif, kelengkapan dokumen persyaratan, pengajuan calon, dan penyusunan daftar calon tetap (DCT).(dik)

Pemogokan Para Buruh Kereta Api


Moch S Hendrowijono

Pemogokan buruh kereta api di Perancis yang memasuki hari kedelapan mengingatkan kita pada rencana mogok nasional anggota Serikat Pekerja Kereta Api, 3-5 Desember mendatang. Pemicunya sama, perbaikan sistem dana pensiun.

Pemogokan pekerja KA di mana pun akan berdampak serius karena KA berperan mengangkut penumpang dalam jumlah besar. Maka, ancaman mogok Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA) tidak bisa dianggap main-main.

SPKA kesal kepada pemerintah yang lamban menangani penyesuaian pensiun karyawan bekas pegawai negeri sipil (PNS). Rencana peraturan pemerintah yang menyamakan besaran pensiun pegawai PT Kereta Api Indonesia (PT KA) dengan pensiun PNS tak kunjung usai. Padahal, setelah ditandatangani Presiden, Peraturan Pemerintah Penyesuaian Pensiun Eks PNS Departemen Perhubungan baru berlaku enam bulan kemudian.

Tahun 1992 semua karyawan KA harus menanggalkan status PNS menjadi pegawai perusahaan karena Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT KA, kecuali yang berusia di atas 50 tahun atau anggota direksi.

Dalam keputusan 2 November, SPKA memutuskan akan mogok kerja nasional 3-5 Desember 2007. Ini berarti 28.000 karyawan PT KA, separuhnya eks PNS, akan menelantarkan lebih dari 1,8 juta penumpang KA selama tiga hari mogok.

Dari rata-rata 600.000 penumpang KA per hari, 500.000 di antaranya adalah penumpang KA Jabodetabek dan sekitarnya. Di kawasan padat ini, jika KA berhenti beroperasi, harus dikerahkan sekitar 10.000 bus, asumsinya setiap bus mengangkut 50 orang. Bagaimana jika sepertiganya memilih kendaraan pribadi yang daya angkutnya hanya lima orang pada Senin, Selasa, dan Rabu awal Desember nanti?

Di sisi lain karyawan PT KA adalah karyawan yang boleh dikata tersia-siakan akibat ketidakseriusan pemerintah mengurus perkeretaapian. Meski pemerintah mengakui KA merupakan salah satu solusi angkutan umum untuk mengatasi kemacetan, upaya meningkatkan peran KA tidak pernah tuntas.

Pemerintah tak pernah berani membela perkeretaapian jika dibenturkan masalah penumpang kelas ekonomi, yang tarifnya amat rendah karena diatur pemerintah. Tarif rendah kelas yang paling banyak penumpangnya (88 persen) itu membuat pendapatan PT KA tak menutup biaya operasi sehingga pos-pos lain harus dipotong, termasuk biaya perawatan dan biaya pegawai. Iuran perusahaan untuk tabungan dana pensiun pegawai pun kecil sehingga penerimaan pensiunan menjadi amat sedikit.

Di sisi manajerial, karyawan PT KA belum tertangani dengan baik. Boleh dikata tidak ada pengecekan keahlian karyawan untuk melihat apakah ia tetap andal melakukan tugas. Padahal, untuk usaha jasa yang mengutamakan keselamatan penumpang, pengecekan ini harus dilakukan seperti dalam penerbangan. Di penerbangan, sejago apa pun pilot, secara periodik dia harus menjalani uji keahlian dan bisa tidak boleh terbang jika tidak lulus.

Setelah lulus, seorang masinis dianggap tidak perlu dites lagi meski kenyataan kecelakaan sering terjadi akibat kesalahan masinis yang mungkin sudah masuk masa jenuh. Uji jabatan pun jarang dilakukan. Beberapa kasus memberi contoh, bagaimana seorang pemimpin perjalanan KA (PPKA) diangkat langsung menjadi kepala stasiun tanpa melalui pendidikan. Tanggung jawab memang ada yang mirip, tetapi cakupan tugas kepala stasiun lebih luas dibandingkan cakupan tugas PPKA.

Seorang karyawan staf keuangan ditunjuk menjadi kepala daerah operasi tanpa melalui pendidikan khusus karena pendidikan semacam itu tidak ada.

Penyegaran atau peningkatan pendidikan di BUMN ini bukan sesuatu yang wajib, selain amat minim. Dalam suatu dialog terungkap, seorang karyawan yang sudah bekerja 15 tahun belum pernah masuk kelas untuk penyegaran atau mendapat ilmu baru. Ada yang selama itu hanya sekali, itu pun hanya tiga hari.

Belum ada penelitian, tetapi bukan tidak mungkin, banyak kecelakaan KA akibat minimnya penyegaran dan pendidikan keterampilan meski disebutkan, karyawan PT KA profesional di bidangnya, bekerja all out tanpa mempertimbangkan waktu.

Karyawan (lapangan) PT KA menjadi ahli karena lama menggeluti pekerjaan, misalnya karyawan regu yang bertugas memperbaiki rel KA. Jika menemui masalah, naluri menuntun mereka untuk menyelesaikannya.

Untuk meningkatkan karyawan regu menjadi karyawan staf, amat sulit karena umumnya berpendidikan formal rendah. Dari 28.000 karyawan PT KA saat ini, 17.323 (62 persen) berpendidikan SD dan SLTP, hanya 633 karyawan (2,27 persen) S-1, S-2, dan S-3, sementara SMA dan D-3 sekitar 10.000 (35,75 persen).

Makin terpuruk lagi, lapangan pekerjaan kereta api bukan pilihan utama karena SDM kualitas prima jarang yang mau bergabung. Akibatnya, 75 persen lebih karyawan PT KA kini berusia di atas 41 tahun, produktivitasnya menurun, dan diperparah kurangnya pelatihan memadai. Siapa yang harus disalahkan, dan mana yang harus dibenahi? Yang penting, hak-hak karyawan, termasuk yang dituntut SPKA, segera dipenuhi manajemen. Memang sulit karena terkait dana, tetapi itu pilihan yang terbaik.

Moch S Hendrowijono Wartawan, Tinggal di Cisarua, Bandung