Thursday, January 31, 2008

Tempe dan Pembangunan

Semoga menghilang dan mahalnya tempe akibat lonjakan harga kedelai baru-baru ini mampu melahirkan terobosan bagi perbaikan pembangunan pedesaan.Belajar dari pengalaman masa lalu, pemerintah selayaknya tidak membiarkan petani bertarung sendirian menghadapi pasar global.

Caranya, antara lain dengan memberikanjaminanhargabagipetani sehingga gairah menanam produk bahan makanan pokok akan (kembali) bergelora. Menggairahkan petani, tidak hanya memantapkan ketahanan pangan,tetapijugamembuatbangsaini tidak "didikte"oleh negara lain. Saat ini,mayoritas orang miskin, yang berjumlah sekitar 40-60 juta jiwa, hidup di pedesaan.

Sebagian besar dari mereka berstatus petani gurem atau buruh tani. Bagi World Food Programme (WPF,2005) mereka yang miskin dan kekurangan gizi di Indonesia dipastikan sulit keluar dari belenggu kemiskinan tanpa perubahan kebijakan yang signifikan. Tercapainya target pengurangan separuh orang miskin pada 2015 sesuai Millennium Development Goals (MDGs), misalnya, amat tergantung pada keberhasilan pembangunan pedesaan.

Pertanian "Bemper" Industrialisasi

Theodore W Schulz dalam buku Transforming Traditional Agriculture menerangkan konsep pertanian subsistens di negara berkembang yang "rasional karena meminimalisasi risiko." Schulz menuntut peningkatan produktivitas lewat teknologi baru yang kemudian menjadi pemicu bagi perkembangan apa yang disebut high yielding varieties (HYV), yang kemudian menjadi landasan penerapan Revolusi Hijau. Dampaknya, terutama di Asia pada 1960-an dan 1970- an, adalah terjadinya peningkatan produktivitas yang signifikan dan "lompatan besar" persediaan pangan yang nyaris seiring pertumbuhan penduduk.

Namun sejak 1981 Amartya Sen (Poverty and Famines) mengungkapkan, persyaratan bagi pengamanan pangan masyarakat,bukan pengadaan bahan pangan semata, tetapi aksesibilitas pada pangan bagi mereka yang lapar (entitlement approach). Ketimpangan distribusi dan bahayanya dalam sebuah pertumbuhan ekonomi yang sering jauh dari harapan di negara berkembang sudah jauh hari disadari. Simon Kuznets (1995) dan Gunnar Myrdal (1956) mengingatkan dan menunjukkan bahwa kesenjangan penghasilan trickle-down effect seperti yang diimpikan pendukungnya,sulit dicapai. Pada 1970-an muncul strategi pemerangan kemiskinan dalam bentuk "strategi kebutuhan pokok" atau konsep growth-withequity.

Untuk itu, pengembangan pertanian dikaitkan dengan sektor sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan terhadap air bersih. Integrated rural development (IRD) adalah slogan yang didengungkan. Orientasinya pemerataan dan multisektoral. Akhir 1980-an, sebuah laporan yang disponsori Bank Dunia (Black Wood, 1988) mengevaluasi konsep IRD sebagai "tidak matang", "tidak memadainya persyaratan kondisional"," metode perencanaan yang kaku", "teknik pemecahan masalah yang tidak tepat guna",serta "pekerja lapangan yang kurang berorientasi pada pemecahan kemiskinan

".Kesimpulan umum dari laporan itu,"IRD terlalu kompleks dan tidak kompatibel dengan kapasitas manajemen di negara berkembang." Di banyak negara berkembang,termasuk Indonesia, berbarengan dengan pengalaman itu, diberlakukan sebuah sistem kontrol oleh negara atas sektor pertanian dengan tujuan mengamankan keterjangkauan harga produk pertanian bagi penduduk kota yang kian meningkat,dan mendulang devisa dari pasar ekspor.

Pada dekade 1990-an, kritik yang mengemukakan atas "kesalahan struktural" itu mengajukan alternatif structural adjustment program yang oleh IMF dijadikan persyaratan mutlak pemberian bantuan dan utang kepada negara berkembang.Brandt (2000) menyebut program ini utamanya sebagai "masalah makropolitik, yaitu keharusan mundurnya negara dari sektor dan jasa pertanian serta liberalisasi kebijakan harga, pasar, dan perdagangan pertanian." Sejak itu, sektor pedesaan menjadi bagian makro-ekonomi yang paling menderita akibat penyunatan berbagai subsidi negara. Penyesuaian struktural, menurut Brandt, merupakan akhir dari pembangunan pedesaan.

Contoh Keberhasilan

Dilatari berbagai cerita kegagalan pengembangan pedesaan itu, ada baiknya kita menengok keberhasilan Korea Selatan,Thailand,Taiwan,Malaysia, dan (sejak 1978) China, yang menjadikan sektor pertanian sebagai "motor"pengembangan sektor lain. Strategi yang dijalankan mencakup beberapa hal penting,yaitu dukungan pada perusahaan keluarga kecil menengah, menghindari sistem kredit bersubsidi,membangun infrastruktur pedesaan, mendukung pengembangan dan penyebaran teknologi yang bermanfaat bagi petani kecil serta menghindari diskriminasi langsung dan tidak langsung terhadap sektor pertanian (Binswanger, 1998:298).

Berkat kebijakan itu terjadi lonjakan pertumbuhan di sektor pertanian, peningkatan produksi dan produktivitas, modernisasi teknologi pertanian, dan pengurangan tingkat kemiskinan di pedesaan.Meski beberapa negara itu pernah mengalami krisis moneter,namun berkat peningkatan daya beli masyarakat pedesaan pertumbuhan ekonomi pun kembali terpacu. Structural adjustment program (SAP) seperti yang dianjurkan IMF bagi sektor pertanian boleh diartikan sebagai liberalisasi berbagai institusi ekonomi pertanian dan privatisasi pasar pertanian.

Kebijakan neo-liberal ini berasumsi, dalam sebuah pasar yang berfungsi,penawaran akan disesuaikan pada permintaan. Tetapi meski tak disangkal adanya kebutuhan, pemenuhan kebutuhan orang miskin tidak terpenuhkan akibat lemahnya daya beli. Selain Amartya Sen (1981, 1999), cukup banyak pengamat yang mengingatkan masalah akut ketahanan pangan. Wolfgang Hein (1996:22) misalnya,menuntut perlunya integrated political approach.

Di satu sisi perlu memprioritaskan pembangunan pedesaan dengan perhatian pada pengentasan kemiskinan,di sisi lain selalu memperhatikan pentingnya pemerataan baik di pedesaan maupun di perkotaan. Beberapa perbaikan dan modifikasi kebijakan, juga dianjurkan Gabriele Geier (1996:119-124). Pertama, perlunya koreksi price bias yang terlalu percaya pada pengaturan produksi lewat harga pasar yang diperlukan sebenarnya adalah perbaikan struktur pertanian dan dukungan pada inovasi pertanian.

Kedua, agar mengubah kebijakan income bias yang percaya pada perbaikan pendapatan petani lewat mekanisme pasar, menjadi kebijakan stabilisasi basic subsistence dan jaminan tidak digusur. Ketiga,mengoreksi kebijakan male biasdemi memperkuat status sosialekonomi perempuan. Keberhasil "Grameen Bank" yang mengantar Muhammad Yunus memperoleh penghargaan Nobel tahun lalu, mengajarkan kita tentang "kekuatan" perempuan dalam mengelola keuangan dan usaha

(*) Dr. Ivan A. Hadar Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP)

Pilkada



Salah satu produk reformasi adalah ritual pemilihan kepala daerah (pilkada). Saya katakan ritual karena pelaksanaan yang rutin untuk setiap provinsi, kabupaten, dan kota.Pak JK bilang,pilkada itu menghabiskan dana sekitar Rp200 triliun setiap tahun.Jelas sekali pemborosan yang luar biasa.

Itu dari segi uang dan uang itu pada dasarnya menguap, meski sebagian dinikmati beberapa oknum pimpinan parpol. Yang lebih parah, justru bukan jumlah rupiah yang habis.Ada beberapa kerugian yang besar,sehingga tepat kalau saya sebut dengan self destruction( merusak diri sendiri atau bunuh diri-tahlukah).Kita perlu menengok negara lain untuk dijadikan contoh atau benchmark.Amerika Serikat (AS) biasanya disebut sebagai kampiunnya demokrasi.

Pemilu di AS

Hampir setiap hari kita membaca berita tentang pemilihan Presiden AS.Saat ini bintang beritanya adalah Hillary R Clinton yang bersaing ketat dengan Barack Obama. Keduanya dari partai Demokrat. Tampaknya, presiden yang akan datang milik Demokrat, setelah Bush kini sering terpojok dengan program-programnya yang malah dianggap merugikan kebanyakan orang AS sendiri.Jangan keliru, pemilu nanti bukan hanya pilpres, tetapi sekaligus pemilihan anggota DPR (Representatives) dan anggota Senat, DPRD provinsi dan kota (Alderman).

Begitu pun eksekutifnya, pemilihan gubernur,wali kota, juga pejabat publik yang lain. Sekali dalam empat (4) tahun diadakan pesta demokrasi untuk seluruh pejabat publik, baik sebagai wakil rakyat, pejabat eksekutif, maupun lainnya dari semua tingkatan. Dan setiap dua tahun ada pemilu antara, yaitu untuk mengganti mereka yang tidak dapat melanjutkan masa jabatan empat tahun. Sekali lagi ada pemilu antara secara langsung untuk pengganti antarwaktu, bukan atas dasar urutannya,bukan pula atas dasar kekuasaan pimpinan partainya. Efisien waktu, dana, dan segalanya,namun tetap tepat sasaran dan tepat dalam keterwakilannya.

Yang perlu dijadikan contoh lagi, di AS tidak ada kamus politik uang (money politics) atau uang sogokan untuk pemilih. Di sana, uang seperti ini adalah uang haram betulan dan malapetaka bagi mereka yang melakukannya. Pengumpulan dana yang besar-besaran kegunaannya untuk biaya kampanye yang bukan money politics tadi. Di sana juga masih berkembang teori etika deontologi yang merupakan kebalikan teleologi/utilitarianisme. Menurut teori ini, seseorang (katakanlah seorang calon) memberi sesuatu kepada anggota masyarakat (termasuk bantuan) karena ada pamrih agar mereka pada saatnya memilih dia, merupakan perbuatan tidak etis. Ada yang kaget kan?

Beberapa Kemudaratan Ritual Pilkada Kita

Praktik pilkada yang ada sekarang ini banyak mudaratnya. Pertama, menghabiskan banyak energi rakyat. Rakyat dituntut untuk memikirkan dan ikut terlibat dalam setiap pelaksanaan pilkada untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota, di samping memikirkan pemilu.Padahal,ketiganya bisa dikumpulkan menjadi sekali dalam lima tahun. Belum lagi, ada beberapa orang yang terlibat dalam pilkada daerah lain, baik provinsi atau kabupaten/kota. Energi terbuang untuk hal-hal yang tidak produktif.

Kedua, karena konsentrasi terpusat pada pilkada, banyak anggota masyarakat yang meninggalkan kegiatan-kegiatan produktif. Lebih parah lagi, jika kemudian tidak sedikit yang melakukan perjudian dalam pilkada. Padahal, untuk kemajuan masyarakat justru yang diperlukan kegiatan produktif: dari dagang atau apa saja yang mengarah pada perkembangan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.Ketiga, dampak negatif bentrok lebih sering dan lebih mengemuka beberapa kali dari sekian pilkada.Bentrok ini akan menjadi sangat berkurang jika dilakukan pemilu menyeluruh,mencakup pemilihan kepala daerah, DPR dan juga presiden.

Celakanya, undang-undang menjelaskan pilkada tidak tergolong pemilu. Ini yang harus diperbaiki. Lebih janggal (awkward) lagi, pelaksana pilkada adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah. Keempat, masih merupakan pemborosan adalah biaya dan energi untuk menjaga keamanan. Kelima, mengurus sengketa. Dari itu semua yang paling mahal mungkin menganganya lubang akibat bentrok yang merusak persatuan dan kesatuan NKRI. Mengapa Tidak Sekaligus? Ada pertanyaan, mengapa tidak mau menjadikan AS sebagai benchmarksaja? Sekali pemilu untuk pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, dan seterusnya.Sebenarnya negara yang mempunyai sistem baru tinggal meniru sistem negara yang sudah ada.

Kalau toh akan modifikasi, ya tinggal sedikit saja, sekiranya menyangkut nilai-nilai budaya dan agama.Yang lain kan bisa meniru, mengapa tidak? Ini jauh lebih baik, lebih efisien, dan lebih efektif daripada membikin sistem sendiri yang belum tentu hasil baiknya, namun jelas borosnya. Toh model demokrasi dalam sebuah sistem perwakilan itu saja sudah berarti meniru. Bahkan "meniru" model, sistem kerja, dan inovasi teknologi sudah biasa dilakukan oleh negara yang kemudian lebih cepat maju. Ada beberapa kaidah yang menjadikan meniru itu bukan menjiplak, namun menjadi temuan baru sebagai pengembangan.

Pengembangan teknologi yang dilakukan Jepang pada umumnya dengan cara atau diawali dengan "meniru" yang sudah ada,ditambah dengan pengembangan. Dalam dunia ilmu pengetahuan, yang namanya temuan tidak harus semata-mata baru sama sekali. Pengembangan teori atau temuan yang sudah ada bisa disebut dengan temuan atau contribution of knowledge (sumbangan ilmu pengetahuan). Masih ada lagi anggapan umum (sudah menjadi konsensus) bahwa temuan yang sudah menjadi milik umum atau publik berarti sudah milik bersama dan yang memakainya tidak dianggap menjiplak.

Demokrasi dan segala macam sistemnya menurut saya sudah menjadi milik publik, sehingga siapa saja atau negara mana saja bisa atau berhak memakainya. Tidak ada property right untuk sebuah sistem demokrasi.Toh dalam praktik, tidak akan ada kadar persamaannya seratus persen, oleh karena tetap saja ada nilai dan tradisi yang tidak sama dengan yang ada di negara lain.Negara-negara maju pada umumnya menganut sistem demokrasi, namun masing-masing memiliki kekhasan, sesuai dengan tradisi atau budaya mereka.(*)

Prof A. Qodri Azizy Ph.D Penulis Buku "Change Management dalam
Reformasi Birokrasi

Lahirnya NU

Menulis sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama tidak cukup hanya melihat niat para pendiri atau tujuan pendiriannya.Harus dilihat pula aspek konteks globalnya, yakni konteks yang menghubungkan pengalaman mereka (para pendiri itu) saat sebagai santri di pengajian di Mekkah dan ketika kembali ke Tanah Air.

Aspek ini menarik untuk dilihat ketika KH Hasyim Asy'ari dan para kiai pendiri NU belajar di lingkungan Masjidil Haram.Salah seorang syekh terkenal di sana adalah Syekh Ahmad Zaini Dahlan (w. 1886).Penulis buku Syarh Ajurumiyyahyangbanyakdiajarkandi pesantren-pesantren ini adalah kawan akrab Syekh Nawawi Banten dan punya banyak murid dari Nusantara. Ada sekitar dua puluhan karya tulis yang dihasilkannya.Salah satunya berjudul Khulashatul Kalam fi Bayani Umara Baladil Haram (editor Muhammad AminTawfiq,edisi Dar Al-Saqi,1993).

Buku ini berkisah tentang sejarah para penguasa di Mekkah dan Madinah sejak era Abbasiyah hingga 1884. Yang menarik untuk diulas adalah pengalaman penulis dengan sejumlah penguasa Mekkah (yang dikenal dengan sebutan "syarif") sejak 1840 hingga 1884.Pengalaman ini menjadi penting untuk melihat konteks bagaimana para ulama dan santri Masjidil Haram bergumul dengan kekuatankekuatan politik saat itu yang sedang memperebutkan hegemoni di tanah Arab.Pengalaman ini kemudian membawa dampak yang begitu besar bagi para alumni pengajian Mekkah setelah kembali ke tanah air mereka masing- masing.

Hal itu termasuk pada diri Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahab Hasbullah yang kemudian mendirikan NU di Jawa pada 1926. Ada tiga kekuatan yang sedang bertarung saat itu: kesultanan Turki-Usmaniyah, imperialismeInggrisdanPrancis, dan ekspansi dinasti Saud dengan kelompokWahabinya. Syekh Ahmad Zaini Dahlan menggambarkan dengan rinci bagaimana permainan ketiga kekuatan itu di bagian akhir bukunya itu. Cengkeraman politik Turki-Usmani sangat kuat.Ada belasan ribu pasukan Muhammad Ali Pasha dari Mesir,representasi kekuasaan Turki-Usmaniyah di sekitar Mekkah. Ada pula rongrongan pasukan Saud-Wahabi dengan dukungan Inggris-yang sewaktu-waktu bisa menyerang Mekkah seperti yang pernah terjadi pada 1802,namun sempat dihalau kembali oleh tentara Mesir- Turki di tahun berikutnya.

Lalu,kehadiran Inggris dan Prancis yang ingin mengamankanjalurekonomimerekadi pesisir timur dan barat Jazirah Arab. Kedua negara imperialis ini berupaya mengurangi pengaruh Turki- Usmani di sekitar wilayah Syria dan mengamankan jalur transportasi menuju Terusan Suez. Serangan Inggris ke Kota Jeddah di tepi Laut Merah pada 1857 menunjukkan posisi strategis kekuatan ekonomi Hijaz saat itu. Untuk menghadapi ketiga kekuatan tersebut, Syarif Mekkah mendapat dukungan para ulama Hijaz yang kebanyakan bermazhab Syafi'i.Syarif Abdullah (1858-1877) mengangkat Zaini Dahlan sebagai mufti Mekkah pada 1871.

Jabatan tersebut dipegang hingga tiga syarif berikutnya.Selama itu pula Zaini Dahlan melihat sendiri bagaimana posisi ulama bukan hanya terlibat dengan urusan pengajian, tapi juga terlibat aktif dalam pergumulan politik masa itu. Ada dua isu besar yang menjadi perhatian Syekh Zaini Dahlan waktu itu: kemandirian pengajian Masjidil Haram dan independensi Tanah Hijaz dari intervensi bangsa luar.

Isu pertama menunjukkan karakter ulama sebagai sosok yang mandiri dan faqih fi mashalilhi khalq(yang mengurus kepentingan umat), dan bukan sekadar pemberi legitimasi terhadap kekuasaan. Adapun isu kedua menunjukkan kedaulatan ekonomi-politik "lokalitas- kebangsaan" yang mencakup wilayah segitiga emas Hijaz (Jeddah- Mekkah-Madinah).Segitiga emas inilah yang kerap menjadi target kekuatan- kekuatan luar untuk merebutnya. Meski begitu, relasi antara syarif Mekkah dengan para ulama tidak bergerak lurus.Para ulama mendukung politik lokal Mekkah yang ingin merdeka dari kekuasaan Turki, namun tidak setuju dengan justifikasi penguasa tentang perbudakan.

Syarif Mekkah didukung untuk membendung ekspansi Inggris-Perancis, tapi tidak setuju kala syarif Mekah memberi konsesi apa pun bagi masuknya Inggris ke Jeddah. Mereka juga bergandengan tangan dengan Syarif untuk menahan laju pergerakan kelompok puritan Ibn Saud-Wahabi,namun tidak setuju dengan kehidupan hedonistis keluarga syarif. Meski Mekkah pada akhirnya jatuh ke tangan Ibn Saud-Wahabi pada 1925,tapi Zaini Dahlan memberi pelajaran berarti bagi kehidupan para ulama dan santri yang belajar di Tanah Haram.Mereka bukan hanya belajar agama dan urusan-urusan akhirat, tapi juga belajar pemberdayaan politik dan strategi penguatan ekonomi lokal.

Dua isu ini pula yang kemudian diterjemahkan oleh para ulama dan kiai Nusantara ketika mendirikan NU di Jawa pada 1926: kemandirian pesantren dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari imperialisme asing.Itu tercermin dari deklarasi pendirian Nahdlatul Ulama sebagaimana yang ditulis KH Muhammad Dahlan Kebondalem, salah seorang pendiri NU: "Berdirinya NU adalah untuk menegakkan syariat Islam menurut ajaran Ahlussunnah Waljamaah dan mengajak bangsa ini untuk cinta kepada tanah airnya." Dan itulah yang ditunjukkan ketika Kiai Wahab Hasbullah pulang ke Jawa.

Beliau mendirikan Nahdlatuttujjar pada 1918, forum diskusi Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, hingga Nahdlatul Ulama pada 1926.Mereka belajar dan mendalami agama,tapi juga mengajarkan ikatan kebangsaan. Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab, dan para kiai lainnya semuanya menunjukkan kemampuan memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas, melahirkan wawasan dan orientasi politik substantif. Cara NU membawa ajaran Islam tidak melalui jalan formal, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, tetapi dengan cara lentur dan akomodatif. Politik kebangsaan seperti itu secara konsisten menjadi garis politik NU sepanjang perjalanan Indonesia merdeka.

Mulai dari resolusi Jihad pada 1945 hingga ketika menghadapi gerakan- gerakan separatis berbau agama seperti DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta maupun pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan pada 1950-an hingga 1960-an. Pada semuanya itu, NU berdiri tegas di pihak republik.Mereka juga selalu siap membela keutuhan NKRI dari intervensi luar. Garis politik seperti itulah yang memudahkan kalangan NU menerima Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final perjuangan umat Islam, sebagai sesuatu yang harus dibela dan dipertahankan. Itu semua berkat pelajaran sang guru, Syekh Zaini Dahlan, almaghfurlah.(*)

Ahmad Baso Anggota Komnas HAM

NU dan Politik Kebangsaan


Pada usia yang ke-82,NU sebagai jamiah makin memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup bangsa ke depan. Corak keagamaannya yang adaptif dan estetik; dengan jumlah pengikut yang besar, kehadiran NU bisa menjadi penjaga ketahanan budaya (culture containment).

NU adalah buffer dalam menghadapi penetrasi globalisme dan lokalisme dengan berbagai anasir radikalisme dan eksklusivismenya. Paling tidak ada dua hal penting yang perlu dikemukakan ketika kita bicara mengenai keterlibatan NU dalam membentuk nilai-nilai kebangsaan.

Pertama, soal loyalitas mereka terhadap perjuangan kemerdekaan dan dukungan pada pendirian bapak bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa modern, di mana agama (Islam) tidak menjadi dasar berdirinya bangsa ini.Kedua,sebagai sebuah komunitas, NU adalah representasi autentik karakter bangsa Indonesia yang toleran terhadap kebudayaan luar sejauh tidak merusak tatanan budaya yang tersedia.

Tentang hal pertama, kita hampirhampir tidak bisa menafikan bahwa sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa ini tak lepas dari peran para ulama dengan latar pesantren yang kemudian menjadi basis inti dalam komunitas NU. Laskar Hizbullah dan Sabilillah (1945-1949) adalah tempat bagi komunitas NU berjuang untuk bangsa ini.

Namun sayang, seperti yang pernah diungkap Van Bruinessen, sumbangan besar itu tidak selalu berbanding lurus dengan pembagian partisipasi kekuasaan yang mereka terima. Dalam kontrol kekuasaan, mereka kerap menjadi kelompok yang terlempar. Alasan sebagai kelompok terbelakang yang hanya mengandalkan jumlah massa bisa menjadi penjelasan mengapa mereka tidak turut serta dalam pengaturan negara.

Dibanding kelompok lain yang memperoleh pendidikan modern ala barat, masyarakat NU masih dianggap gagap dalam menghadapi kemodernan. NU dibutuhkan hanya untuk kepentingan mobilisasi massa. Selain itu, Van Bruinessen juga mencatat bahwa rendahnya partisipasi mereka karena "para kiai di daerah tidak pernah punya ambisi mengurusi negara,membuat undangundang, atau memengaruhi kebijaksanaan sosial dan ekonomi".

Bagi mereka, mengurus pesantren dan mendidik para santri lebih penting daripada mengurus negara dengan segala kelengkapannya. Mungkin alasan ini tidak sepenuhnya benar karena NU dalam Pemilu 1955 mendirikan partai NU yang turut berkompetisi dengan partai lain, PNI,PKI dan Masyumi.Keikutsertaan mereka untuk menjadi partai politik tersendiri sebenarnya menjelaskan bahwa mereka juga ingin terlibat dalam pengaturan kekuasaan di negeri ini.

Aspirasi mereka sebagai komunitas Islam tradisional kerap tidak terakomodasi karena tergerus oleh kelompok Islam yang lebih modern. Terlepas dari pasang surut keterlibatan NU dalam kancah politik, peran NU sebagai pilar penting kelangsungan bangsa Indonesia sulit diragukan.

Seperti yang dikatakan Douglas E Ramage, NU sudah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan identitas kebangsaan yang religius tetapi tidak terjebak dalam bingkai negara agama. Kerelaan umat Islam untuk tidak memaksakan dasar negara Islam menjadi starting point yang memuluskan kita sebagai sebuah bangsa majemuk untuk hidup bersama secara setara.

Hal kedua, karakter Islam yang berakar pada tradisi lokal dan bersikap akomodatif terhadap kebudayaan baru yang dianggap lebih baik,membuat NU sulit dibayangkan menjadi ancaman bagi ikatan kebangsaan kita. Dalam interpretasi NU, Islam yang dihayati tidak harus menggeser tradisi lama tanpa terjebak pada sikap antipati dengan nilai-nilai baru.

Sikap keagamaan seperti ini seakan melahirkan sebuah varian Islam Indonesia yang memiliki ciri pada sikap moderat, toleran, dan akomodatif pada kebudayaan lokal. Pembentukan wajah Islam Indonesia yang moderat dan damai kian relevan terlebih pada saat masyarakat dunia menyaksikan serangan 9/11 atas Amerika Serikat. NU menjadi juru bicara utama bersama Muhammadiyah dalam representasinya sebagai Islam moderat.

Keberhasilan NU dalam menjaga keutuhan kita sebagai sebuah bangsa adalah sumbangan besar bagi bangsa ini. Dalam memelihara masa depan kebangsaan kita,NU dihadapkan pada tantangan yang membuat mereka harus bertarung dengan komunitasnya sendiri.Menguatnya radikalisme Islam di Indonesia adalah ancaman yang dapat mengoyak kesatuan bangsa ini.

Komitmen untuk tetap mempertahankan kemajemukan dan kesetaraan warga di hadapan negara adalah garansi yang harus tetap dijaga. Radikalisme tidak hanya mengancam kesatuan kita sebagai sebuah bangsa, tetapi juga masa depan umat Islam secara keseluruhan. Sekali dia berkembang, maka ikutan dari nilai yang antikemanusiaan ini akan menjebak kita pada friksi berkepanjangan.

NU telah menegaskan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan dalam pesantren, tempat yang sempat dicurigai menjadi persemaian Islam radikal, adalah nilai-nilai Islam yang selalu menjaga kehidupan dan kedamaian. Tantangan kedua adalah fenomena peraturan daerah syariah di beberapa daerah pascapelaksanaan otonomi daerah.

Bukan soal keputusan itu diambil oleh mayoritas legislatif daerah, melainkan masalah jaminan bahwa negara ini tidak mungkin melegalkan satu aturan yang hanya bicara pada satu kelompok agama tertentu, terlebih bila itu menyangkut soal moral. Setiap masyarakat di negeri ini selalu diisi oleh keragaman yang memiliki nilainya sendiri.

Untuk menjadi negara yang memiliki komitmen pada kesetaraan dan keadilan, kita tidak mungkin meloloskan undang-undang atau peraturan daerah yang hanya bicara pada kelompok tertentu. Kiranya hal ini cukup disadari oleh NU.Upaya untuk menangkal itu,NU, dengan keragaman paham dan sikap yang ada di dalam tubuhnya, juga dihiasi oleh munculnya kelompok muda yang progresif.

Kemunculan mereka pada sekitar dua dekade terakhir mampu mengimbangi kekuatan Islam konservatif yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Kemampuan NU untuk memelihara keseimbangan ragam pemikiran yang ada serta komitmen pada pluralitas kebangsaan perlu diperteguh oleh perhatian pada masalah keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Karena pengalamanbangsa-bangsamenunjukkan bahwa moderasi kultural memerlukan "moderasi" kesenjangan sosial.Meluasnya kelas menengah bisa menjadi moderating force yang bisa melunakkan bentrokan identitas. Itulah tantangan NU di masa depan!(*)

Dr Yudi Latif
Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Pak Harto dan Reformasi



Mantan Presiden Soeharto dulu dipuji, tetapi kini "dibenci". Sosoknya sebagai penguasa otoriter di zamannya disegani dan ditakuti oleh kawan maupun lawan. Soeharto kini berbaring sakit untuk yang kesekian kalinya.

Setiap berita mengenainya selalu memunculkan pro dan kontra.Pihak yang pro berargumentasi dengan hukum positif, bahwa orang yang sakit tidak dapat diadili. Pihak yang kontra menanggapi upaya pengadilan dapat dilakukan karena persoalan Soeharto adalah persoalan politik,bukan semata-mata persoalan hukum.Dus,ada persoalan "dosa politik"di masa lalu. Lihat saja pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegaskan bahwa silaturahminya ke RS Pertamina bukan untuk melindungi penguasa Orba,karena proses hukum, khususnya masalah perdata, akan terus berjalan.

Di lain pihak,Partai Golkar mengusulkan pengampunan Soeharto karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan. Nasib Soeharto sebagai penguasa yang dulu disegani hampir mirip dengan nasib para pemimpin otoriter sezamannya,macam Ferdinand Marcos dan sejumlah pemimpin lain yang dianggap memiliki "dosa-dosa politik" akibat cara dan tindakan mereka selama berkuasa. Tetapi zaman telah berubah.Kesalahan Soeharto yang terus maju sebagai presiden pada detik-detik akhir rezimnya menyebabkan nasibnya "dikuyo- kuyo"

. Seandainya Soeharto memilih jalur damai dengan mundur sebelum puncak gerakan reformasi membesar dengan memilih Habibie sebagai penggantinya seperti yang dilakukan Perdana Menteri Mahatir Muhammad,mungkin ceritanya akan lain.Tetapi bukankah itu kesalahan Golkar dan para tokohnya yang terus memajukan Soeharto sebagai calon presiden tanpa pilihan? Golkar dalam hal ini turut berdosa karena telah memberikan rekomendasi yang salah, sehingga bukan saja nasib Soeharto yang dipertaruhkan, tetapi nasib seluruh rakyat Indonesia.

Ini adalah suatu konsekuensi perubahan politik yang lahir dari puncak kerusuhan sosial dan gerakan massa. Implikasinya tentu mudah ditebak, pemimpin yang dijatuhkan tidak lagi memiliki tiket atas perubahan yang terjadi.Namun,bila kita melihat arah perubahan politik di Indonesia, kita masih beradab ketimbang perubahan politik di Filipina maupun di Pakistan. Soeharto jatuh dan "hanya" menerima sanksi moral karena secara hukum dan politik kurang memungkinkan. Tetapi sanksi moral ini justru lebih kejam karena dapat menjadi dosa turun- temurun yang harus ditanggung oleh keluarganya.

Nasib Golkar agak lebih baik dibandingkan Soeharto, meski Golkarlah mesin politik utama Orde Baru. Golkar dapat bangkit kembali sebagai sebuah kekuatan politik setelah tuntutan pembubaran massa pasca- 1998 dan menjelang Pemilu 1999 berlalu. Saat Pemilu 1999 berlangsung, Golkar masih menduduki urutan kedua,setelah PDIP. Perubahan politik yang dilahirkan oleh reformasi melahirkan kualitas ganda para aktor politik baru. Di satu sisi mereka mengusung agenda reformasi, di sisi lain kekuatan rezim lama terus membayangi.

Salah satu dampak dari transisi yang bermodel kompromi antara kekuatan baru dengan kekuatan lama menyebabkan politik yang serbatidak pasti.Kegamangan para penguasa baru terus terjadi, salah satunya sebagai dampak dari masih bercokolnya aktor-aktor politik lama dalam bingkai politik baru yang disebut reformasi.

Kekuatan lama- baik jaringan politik Soeharto maupun Golkar-bagaimanapun, telah meracuni upaya penyelesaian masalah politik.Salah satunya mengenai diri Soeharto. Ada gejala politik di balik hukum dan hukum di balik politik. Alasanalasan hukum positif menyebabkan persoalan ini terus berlarut-larut. Pemimpin baru-yang rendah basis dukungan politiknya takut kekuasaannya terancam,dan nasibnya lebih buruk-akhirnya mencari celahcelah kebijakan yang bersifat pembiaran. Biarlah hal itu menjadi masalah hukum dan diserahkan sepenuhnya kepada para penegak hukum.

Pada saat yang sama, sudah menjadi rahasia umum lembaga hukum sudah terkontaminasi bukan saja oleh kepentingan, tetapi juga uang. Cara-cara semacam ini menyebabkan tiga dampak yang serius.Pertama, konsolidasi demokrasi sebagai salah satu mode politik untuk menyelesaikan krisis politik tersendat-sendat karena telah terkontaminasi rezim-rezim sebelumnya.Kedua,gagasan reformasi terdekonstruksi kenyataan sosialekonomi bahwa rezim lama ternyata lebih membawa kesejahteraan ketimbang mode politik transisi/demokrasi yang sedang dijalankan.

Hal ini tampak dari hampir 10 tahun reformasi/demokrasi yang telah berjalan.Kran perubahan politik, praktik demokrasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat.Tak pelak, penyakit transisi kambuh,anganangan kembali ke masa lalu, dulu lebih baik dan lebih enak.Pekerjaan mudah didapat, tidak perlu antre sembako,minyak tanah mudah diperoleh, harga BBM tidak selangit,dan sebagainya. Problem ketiga adalah problem ketakutan para pemimpin baru yang dilahirkan oleh reformasi dalam mengambil risiko politik.

Akibatnya, para politisi baru di masa reformasi berpikir dengan cara abu-abu (grey area), bukan berpikir secara hitam putih. Ada gejala mengalihkan tanggung jawab di balik proses-proses hukum kasus Soeharto.Cara berpikir ini tentu tidak pernah akan memberikan kepastian politik dan kepastian hukum. Lebih celaka lagi, ada gejala sebagian elite yang menggiring publik agar melupakan dosa-dosa politik di masa lalu.Wacana mengampuni Soeharto yang digagas Partai Golkar dapat dianggap sebagai mobilisasi wacana terhadap publik.

Cara-cara berpikir demikian adalah khas Indonesia, safety, ingin mencari selamat dan takut mengambil risiko yang lebih besar. Kegamangan demi kegamangan terus terjadi. Apakah ini suatu karma politik sehingga kita digiring untuk melupakan peristiwa dahsyat yang terjadi tanpa sanksi hukum dan politik yang jelas yang terkesan "diambangkan"? Bukankah ini akan menjadi bibit politik yang tidak baik, bila para pemimpin reformasi gagal menyelesaikan persoalan "dosa politik Soeharto" ini? Jangan-jangan mode yang sama akan terus terjadi sepanjang waktu sebagai karma politik yang terus berulang-ulang.(*)

MOCH. NURHASIM Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Slamat Jalan Pak Harto


Jusril Ihza Mahendra


Setelah menderita sakit yang berkepanjangan sejak menyatakan berhenti sebagai Presiden, tadi siang mantan presiden Soeharto mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta.

Innalillahi wa inna ilaihi raji'un (sesungguhnya kita semua kepunyaan Allah dan kepada-Nya jua kita akan kembali).Dengan wafatnya beliau, kita telah kehilangan lagi seorang mantan presiden yang pernah memimpin bangsa dan negara kita dalam kurun waktu yang cukup lama.

Presiden Soekarno memegang jabatan presiden selama sekitar 22 tahun. Itu pun silih berganti sebagai Kepala Eksekutif dan Kepala Negara ketika kita menganut sistem parlementer.Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sjafruddin Prawiranegara hanya memegang jabatan kurang dari setahun.

Presiden Soeharto memegang jabatan selama 32 tahun,sampaiakhirnya menyatakan berhenti dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Selama memegang kekuasaan, Soeharto telah berbuat banyak dalam membangun bangsa dan negara kita sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa kita menjadi bangsa dan negara yang disegani di kawasan Asia.

Di bawah kepemimpinannya pula, pembangunan sosial dan ekonomi kita mulai dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.Banyak kemajuan yang dicapai, baik pembangunan fisik maupun pembangunan nonfisik,seperti peningkatan kualitas hidup dan sumber daya manusia bangsa kita.

Bangsa kita yang hidup sangat miskin dan terbelakang di masa Orde Lama berhasil memperbaiki keadaan internalnya di masa Orde Baru sehingga kita bergerak maju mendekati taraf negara menengah. Andaikata tidak terjadi krisis moneter pada 1997, pembangunan sosial ekonomi kita mungkin akan bergerak ke arah yang jauh lebih maju.

Namun, badai krisis yang begitu dahsyat tidak saja merontokkan sendi-sendi ekonomi, tetapi juga meruntuhkan kekuatan Orde Baru sendiri. Karena Soeharto adalah tokoh sentral dalam Orde Baru, kejatuhannya otomatis meruntuhkan seluruh tatanan yang telah berhasil dibangunnya.

Semua ini memang menjadi pelajaran berharga bagi bangsa kita.Tidak ada yang abadi di dunia ini. Jika ada awal,akan ada akhir.Demikianlah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Orde itu berakhir dan kita berada dalam masa transisi untuk memantapkan pola kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang baru di era reformasi. Biaya krisis kita sangat besar. Bukan saja biaya finansialnya, tetapi juga biaya sosial dan politiknya. Kita berupaya untuk bangkit kembali.

Sistem kita perbaiki.Konstitusi kita amandemen.Kita melihat kekeliruan masa lalu dan berupaya melangkah ke depan dengan lebih baik. Kita merumuskan kebijakan-kebijakan baru di segala bidang. Hasilnya, belum sepenuhnya memuaskan. Ketika Orde Baru runtuh seiring berhentinya Soeharto sebagai presiden, sebagian masyarakat kita cenderung melihat masa lalu itu dengan pandangan yang kelam. Berbagai hujatan dilontarkan hanya untuk menyebut kesalahan,kekeliruan,dan daftar dosa. Orang tak lagi berpikir jernih untuk melihat sisi-sisi kebaikan dan sumbangan yang telah diberikannya kepada bangsa dan negara.

Gejala seperti ini juga terjadi saat jatuhnya Soekarno dari kepemimpinannya. Beliau begitu dipuja-puja, diberi berbagai gelar dan sebutan, bahkan dikukuhkan sebagai presiden seumur hidup.Namun, ketika beliau jatuh, segala kebaikan dan sumbangannya yang begitu besar kepada bangsa dan negara seolah dilupakan. Hal yang hampir sama terjadi pula pada mantan presiden Soeharto.

Beliau terus-menerus dipilih menjadi presiden setiap lima tahun,diberi berbagai julukan,tetapi pada saat beliau jatuh, seolah kebaikan dan sumbangannya kepada bangsa dan negara tidak ada artinya sama sekali. Bangsa kita memang harus belajar banyak untuk memperlakukan mantan pemimpinnya.Tidak ada manusia yang sempurna.

Sebesar apapun seorang pemimpin,tetap saja ada kekurangan dan kekeliruan. Begitu lama Soekarno dan Soeharto memegang kekuasaan, semuanya berawal dari ketidakjelasan konstitusi kita. Presidennya juga memanfaatkan celah dan kelemahan itu untuk mempertahankan kekuasaan.Kekuasaan itu menggoda dan mudah membuat pemimpin menjadi lupa.

Sekarang kelemahan sistem itu telah kita perbaiki. Kita harus berani mengakui bahwa semua ini adalah kekurangan kita sebagai bangsa yang harus kita akui. Kita harus memperbaiki kesalahan itu dan berani melangkah ke depan tanpa harus terpenjara oleh masa lalu. Sikap terpenjara ini akan membuat bangsa kita terus-menerus bertikai, saling menghujat, saling menyalahkan, dan akhirnya tidak siap untuk melangkah ke depan.

Kini HM Soeharto telah pergi untuk selama-lamanya. Secara hukum, dengan wafatnya seseorang, segala tuntutan pidana menjadi gugur demi hukum. Dengan demikian, dilihat dari sisi hukum, seseorang haruslah dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berlaku tetap.Upaya peradilan pidana kepada HM Soeharto telah dimulai untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR No XI/1998. Proses itu terhenti dengan sakitnya beliau.

Kini beliau telah wafat.Persoalan hukum tata negara yang menyangkut beliau sudah lama selesai.Setiap lima tahun, pertanggungjawabannya diterima MPR. Beliau menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998 juga sah dilihat dari sudut hukum tata negara positif yang berlaku ketika itu. Apa yang tersisa kini ialah gugatan perdata oleh Negara Republik Indonesia terhadap HM Soeharto.

Gugatan itu tidak hanya ditujukan kepada HM Soeharto sebagai ketua dari beberapa yayasan,tetapi juga ditujukan kepada pribadi beliau,dalam bentuk gugatan ganti rugi. Saya berpendapat, sebaiknya Presiden SBY mencari penyelesaian masalah ini di luar pengadilan. Tentu bukan dengan win-win solution seperti ditawarkan Jaksa Agung Hendarman, tetapi suatu upaya damai dengan pendekatan dari hati ke hati, baik dengan pengurus yayasan yang lain maupun dengan para ahli waris HM Soeharto.

Untuk itu,semua pihak harus mendahulukan kepentingan bangsa dan negara. Jika semua berbicara dari hati ke hati dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, saya yakin pintu penyelesaian akan senantiasa terbuka. Saya ingin mengakhiri tulisan ini, dengan mengembalikan segala sesuatunya kepada perspektif keagamaan.

Dari sudut pandang agama Islam, apabila seseorang telah wafat, yang wajib dikenang untuk selamanya ialah amal kebajikan yang dilakukan orang itu. Segala kesalahannya wajib untuk dilupakan. Bangsa kita adalah bangsa yang religius. Sudah saatnya sikap religius itu kita ke depankan, pada saat HM Soeharto telah dipanggil Allah SWT untuk menghadapnya.

Segala kebaikan dan sumbangsih beliau kepada bangsa dan negara wajib kita kenang untuk selamanya.Kita wajib untuk belajar dan memetik hikmah atas semua kesalahan dan kekeliruannya agar kesalahan itu tidak terulang. Perjalanan bangsa dan negara kita masih panjang. Kita harus senantiasa menatap dan melangkah ke depan dengan segenap daya dan kemampuan. Selamat jalan Pak Harto! Semoga Allah SWT menerima segala amal kebajikan yang telah dilakukan dan mengampuni segala dosa dan kesalahan.(*)

Yusril Ihza Mahendra
Mantan Mensesneg

Kenangan Bersama Pak Harto


Sarwono KusumaAtmaja


Tulisan ini dimaksudkan semata-mata untuk mengenang Pak Harto sebagai pribadi, terutama dalam hubungan kerja saya sebagai Sekjen DPP Golkar 1983-1988, pada waktu Pak Harto menjabat Ketua Dewan Pembina Golkar. Saya tidak berselera ikut polemik masalah hukum menyangkut diri beliau. Saya yakin betul dengan berjalannya waktu beliau akan dikenang sebagai seorang tokoh besar yang memiliki banyak jasa.

Hukum perlu ditegakkan untuk memberi efek jera terhadap para pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme, siapa pun orangnya. Pak Harto adalah seorang yang berani. Andaikata beliau masih hidup dan sehat jasmani, beliau akan menaati apa pun keputusan hukum. Itulah yang beliau katakan kepada Jaksa Agung Andi Ghalib ketika masa kepresidenan BJ Habibie.

Saya juga ingat betul ketika zaman era Demokrasi Terpimpin berakhir. Caci maki terhadap Bung Karno bergelora ketika masa kepemimpinannya berakhir. Pada saat yang sama keadaan Bung Karno lemah dan tidak berdaya karena sakit. Sekarang Bung Karno telah kembali dihormati sebagaimana layaknya seorang pendiri bangsa dengan segala kelebihan dan kekurangan. Bangsa kita masih harus belajar bahwa menghargai seorang pemimpin tidak perlu dipertentangkan dengan penegakan hukum.

Pertama kali saya bertemu Pak Harto saat Musyawarah Nasional (Munas) Golkar 1983 berakhir. Munas ini menempatkan Pak Sudharmono sebagai ketua umum dan saya sebagai sekretaris jenderal (sekjen). Menjelang penetapan personalia DPP Golkar, saya adalah calon sekjen yang tidak diunggulkan dan hanya didukung oleh almarhum Jenderal Leonardus Benny Moerdani, Panglima ABRI pada waktu itu, dan beberapa teman seperti Jusuf Wanandi. Saya sendiri tidak merasa diunggulkan dan ketika pengumuman susunan DPP Golkar dibacakan, saya hanya memakai pakaian kerja lusuh yang saya gunakan seharian karena tidak menyangka saya akan menjadi sekjen. Tetapi saya kaget bukan alang-kepalang ketika Pak Benny mengatakan kepada saya bahwa dia melakukan "silent operation" untuk menjadikan saya sebagai sekjen perintah Pak Harto.

Ketika bertemu pertama kali dalam rapat gabungan Dewan Pembina dan DPP Golkar di Jalan Cendana, Pak Harto tidak menyinggung "sponsorship" beliau terhadap saya. Kami membicarakan perlunya Golkar mempunyai majalah yang diberi nama oleh beliau Media Karya, yang kemudian saya secara "ex officio" menjadi pemimpin redaksi. Selanjutnya perkembangan Media Karya beliau ikuti betul dengan berbagai komentar, kritik, dan usulan-usulan. Keberadaan saya yang seorang sipil (bukan dari militer seperti masa sebelumnya) sebagai sekjen adalah momen penting karena dalam berbagai kesempatan lain beliau mengatakan bahwa Golkar harus dipersiapkan sebagai organisasi politik sipil yang tidak tergantung dari militer maupun birokrasi, dan harus siap bersaing dalam eramultipartai. Program kerja DPP Golkar waktu itu yang disebut Tri Sukses adalah persiapan untuk era demokrasi hari ini dan di masa yang akan datang.

Yang menarik, dari mana beliau tahu tentang diri saya, Akbar Tandjung, Siswono Yudohusodo, Rahmat Witoelar, Jakob Tobing, Djoko Sudyatmiko, dan politisi sipil lain yang kemudian memegang peran di dalam politik, walaupun kami semua waktu itu tidak mengenal beliau secara pribadi. Ternyata, beliau mengikuti kiprah kami dari surat-surat kabar dari tokoh-tokoh Golkar dan dari laporan intelijen. Peran kami kaum muda waktu itu amat kontroversial karena sering tidak sejalan dengan para senior yang banyak diantaranya berlatar belakang militer. Tetapi berbagai sumber mengatakan kepada saya dan teman-teman bahwa pendirian Pak Harto tentang peran kaum muda tegas:sangat mendukung.

"Wajar kalau mereka berbeda dengan kita-kita para senior,"demikian kata Pak harto sebagaimana dikutip Pak Sugiharto, Ketua Fraksi Golkar di parlemen waktu itu."Mereka memikirkan masa depan bangsa pada waktu, saat kita-kita yang lebih tua tidak akan ada lagi di situ."

Banyak cerita yang patut diterangkan tentang beliau, dan saya memang sedang menyiapkan semacam memoar, di mana hal-hal yang menyangkut beliau akan saya tulis, siapa tahu ada gunanya bagi bekal pengetahuan bagi generasi muda. Bung Karno dan Pak Harto adalah tokoh besar, tentu jasa mereka besar. Tetapi karena memimpin bangsa dalam masa-masa sulit, tentu mereka kekeliruan besar. Bagaimanapun, harus diingat bahwa Indonesia adalah negara dan bangsa yang besar. Tidak mungkin kita tumbuh kuat dengan hanya menghadapi masalah-masalah kecil dan dipimpin oleh orang-orang biasa yang hanya mau mengambil risiko kecil. Ada saatnya kelak Indonesia akan tumbuh makmur dan berkeadilan dengan sistem politik yang mantap. Pada saat itulah Indonesia akan siap menerima orang biasa sebagai pemimpin. Tugas kita adalah untuk mempercepat masa transisi politik ke arah pematangan demokrasi dan tidak pernah melupakan para pendahulu kita.

Sekarang, kita juga harus membiasakan diri dengan berbagai wacana pro dan kontra terhadap Pak Harto. Kesempatan untuk berbeda pendapat memang tersedia luas dan mengecam seorang mantan pemimpin sekarang tidak memerlukan keberanian. Secara ironis, Pak Harto telah merintis jalan era reformasi, baik secara terencana seperti tadi saya uraikan, juga secara tidak diniatkan karena beliau dibiarkan berkuasa terlalu lama. Alhasil, momentum demokrasi dekian besar pun terbangun dan memberikan kita kesempatan menjalani masa transisi yang kompleks, tapi sekaligus merupakan bagian penting dari masa depan bangsa yang cerah di kemudian hari (*)

Sarwono Kusumaatmadja
Sekjen DPP Golkar 1983-1988
Anggota DPD RI

Pilkada tidak langsung hanya hasilkan kepala daerah lebih lemah



Selasa, 29 Januari 08

Jakarta, Koran Internet – Usulan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung dihapus, terus menuai tanggapan. Pakar dan pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Dr Cornelis Laya menanggapi bahwa Pilkada secara tidak langsung hanya akan menghasilkan kepala daerah lebih lemah.

"Ini pun bisa bermacam-macam hasilnya. Mulai dari sekadar `juru bicara` daerah yang menjalankan fungsi seremonial saja, di mana keputusan politik berada di parlemen, hingga kepala daerah yang cukup kuat, yakni ada fungsi seremonial plus kewenangan-kewenangan tertentu namun tetap dibatasi dengan posisi parlemen semakin kuat," kata Cornelis di Jakarta.

Meski begitu, Cornelis Lay menyatakan, usulan Ketua Umum PB NU tentang penghapusan Pilkada langsung amat menarik untuk diperiksa lebih lanjut, karena beberapa hal berdasarkan kondisi obyektif di lapangan, kini serta ke depan.

"Pertama, densitas pemilihannya sangat padat sekarang memang punya implikasi yang luas. Mulai dari pembiayaan deokrasi yang semakin mahal, hingga pada potensi polarisasi masyarakat," katanya.

Kedua, lanjut Corlenis Lay, secara prinsip, sesungguhnya demokrasi itu tidak identik dengan Pilkada langsung. "Baik pilihan langsung atau lewat parlemen adalah praktik normal dalam tradisi demokrasi. Namun, perbedaan metode pemilihan tidak berimplikasi pada demokrasi, tetapi pada status politik kepada daerah," ujarnya lagi.

Bagi Cornelis Lay, pemilihan langsung wajarnya menghasilkan kepala daerah yang kuat, dengan kewenangan lebih luas, sementara pemilihan tidak langsung, sebagaimana ditegaskan sebelumnya, cenderung hanya akan menghasilkan kepala daerah lebih lemah.

"Hasilnya sebagaimana saya katakan tadi, bermacam-macam. Mulai dari sekadar `juru bicara` daerah yang menjalankan fungsi seremonial saja, di mana keputusan politik berada di parlemen, hingga kepala daerah dengan posisi cukup kuat, di mana fungsi seremonial juga diikuti oleh kewenangan tertentu," urainya.

Yang ketiga, demikian Cornelis Lay menanggapi usulan penghapusan Pilkada langsung, ia tidak setuju dengan ide ini. "Tegas saja. Saya tidak setuju dengan ide untuk mengembalikan lagi Pilkada melalui pemilihan di tangan DPRD sepenuhnya. Ada lebih baik jika membuka kemungkinan bagi daerah untuk bisa memilih metode mana yang paling sesuai dengan daerah dan perkembangan masyarakatnya," usulnya.

Kesemua ini, menurut Cornelis Lay, harus dituangkan dalam regulasi mengenai Pilkada, sehingga di samping dasar hukumnya jelas, kita tidak terjebak pada `penyeragaman` metode pemilihan seperti saat sekarang atau di era Orde Baru (Orba).

Memundurkan Konsolidasi Demokrasi

Secara terpisah, sebelumnya pakar dan pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif `Sugeng Sarjadi Syndicate`, Dr Sukardi Rinakit, menandaskan, usulan Ketua Umum PB NU mengenai tidak usah Pilkada langsung, bisa menarik mundur konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung.

"Usulan pak Hasyim Muzadi ini bahwa sebaiknya eksekutif lokal dipilih hanya oleh DPRD, tidak usah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung, memang efisien jika dilihat dari sisi biaya," katanya.

Tetapi, lanjut Sukardi Rinakit, jika dimaksudkan untuk menghindari konflik, masih bisa dipertanyakan efektivitasnya. "Sebab, dari sekitar 340 Pilkada, mungkin hanya sekitar satu persen yang dilanda konflik (keras). Jadi, relatif kecil presentase fenomena konfliknya," ungkapnya.

Selain itu, menurut Sukardi Rinakit, pemilihan eksekutif oleh anggota DPR (D) juga mengandung keraguan. "Pertama, biaya Pilkada langsung belum tentu lebih mahal dibandingkan dengan Pilkada oleh parlemen lokal, karena ini merupakan daerah yang sepenuhnya abu-abu," ungkapnya.

Kedua, kata Sukardi Rinakit, tindakan itu membuat parlemen bersama partai politik menjadi semakin oligarki, karena mereka menjadi pintu pamungkas terpilihnya kandidat. "Dan ketiga, akuntabilitas publik lemah (tidak ada), karena publik tidak tahu platform politik kandidat," tandas Sukardi Rinakit.(Ken/Ant)

Aktivis Kecewa pada Berita Soeharto


Kamis, 31 januari 2008 | 02:52 WIB

Jakarta, Kompas - Sejumlah aktivis pergerakan dari berbagai angkatan mengeluhkan tidak berimbangnya pemberitaan dan pencitraan mantan Presiden Soeharto di media massa, terutama televisi. Kondisi ini diduga akibat besarnya kekuatan kapital di belakang pencitraan Soeharto.

Aktivis angkatan 1977/1978 Rizal Ramli dalam pertemuan dialog nasional antargenerasi di Jakarta, Rabu (30/1), mengatakan, rekayasa opini publik tentang Soeharto selama masa sakit hingga meninggalnya sangat luar biasa.

”Soeharto memang memiliki peran dalam membangun bangsa, tetapi human cost, social cost, dan human right cost-nya tidak bisa diabaikan begitu saja,” katanya.

Rizal menilai pertumbuhan ekonomi di masa Soeharto memang baik. Namun, itu bukan hal luar biasa, terlebih dibandingkan dengan sejumlah negara Asia lainnya yang jauh lebih melesat pertumbuhan ekonominya.

Utang luar negeri yang ditinggalkan Soeharto saat lengser mencapai 150 miliar dollar AS. Sementara utang luar negeri saat Soekarno turun 2,5 miliar dollar AS.

Aktivis 1978 S Indro Tjahyono melalui pernyataan politiknya mengatakan publikasi tentang Soeharto yang fragmentaris berlawanan dengan hak publik untuk memperoleh informasi secara adil. Pengungkapan figur Soeharto seharusnya dilakukan berdasarkan sejarah sehingga tidak menjurus pada kultus individu.

Dengan demikian, penyingkiran lawan-lawan politik Soeharto dengan kekerasan perlu juga diungkap. Ini juga untuk memberikan keadilan bagi para korban politik Soeharto dalam berbagai kasus pelanggaran HAM.

Sementara itu, aktivis angkatan 1966 Sjahrir menilai, kuatnya pencitraan Soeharto secara berlebihan tidak terlepas dari pengaruh kekuatan kapital. Saat ini, sejumlah media massa dikuasai oleh anggota keluarga Cendana, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kekuatan kapital ini pula yang membedakan pencitraan atas wafatnya Soekarno dengan Soeharto. Sejak krisis ekonomi dan turunnya Soeharto pada tahun 1998 hingga saat ini tidak terjadi perubahan pemegang kekuatan kapital di Indonesia. Bahkan, pemegang kapital yang sempat limbung saat konflik kini mulai berjaya kembali.

”Sikap elite saat Soekarno meninggal pada 1970 sangat tidak peduli, sedangkan saat Soeharto meninggal justru elitenya sangat peduli,” ujarnya.

Kemarin salah satu ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar Muladi menyatakan Partai Golkar tetap memelopori pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. (MZW/HAR)

Merenungi Kematian


Senin, 28 januari 2008 | 01:36 WIB

A Sudiarja

Semua manusia mati. Sokrates manusia. Sokrates mati.

Itulah contoh dari guru logika untuk menjelaskan silogisme, yakni hukum penalaran yang menetapkan bahwa yang partikular selalu mengikuti yang universal.

Pernyataan ”semua manusia mati” merupakan premis pertama, sebagai kenyataan universal yang diandaikan atau diterima umum. Sifatnya pasti.

Pernyataan kedua, ”Sokrates manusia” merupakan premis tengah, sebagai kenyataan baru, yakni ada seseorang (manusia) bernama Sokrates.

Pernyataan ketiga, ”Sokrates mati” merupakan kesimpulan yang ditarik dari logika bahwa Sokrates sebagai bagian dari manusia juga mengalami kematian.

Semua dokter yang merawat orang sakit mengenal logika ini. Meski demikian, mereka berusaha agar kematian bisa dicegah atau ditunda sejauh mungkin, dengan cara apa pun.

Namun, yang lebih menarik dari logika kematian Sokrates adalah moral kematian Sokrates. Sokrates mati bukan karena sakit atau karena dibunuh penguasa, seperti terjadi pada diri orang-orang yang baik, yang memperjuangkan hak asasi, tetapi karena minum racun. Dia minum racun bukan karena ”bunuh diri”, sebagaimana dikenal dalam banyak kasus sosial, misalnya karena putus asa, stres, bosan hidup, atau takut menghadapi masa depan.

Menurut keputusan pengadilan yang terdiri dari para hakim yang iri pada pengaruhnya, Sokrates didakwa merusak anak-anak muda dan dijatuhi hukuman mati karena mengajarkan cara berpikir yang kritis.

Dengan tenang ia menenggak racun, sebagai cara eksekusinya, dan sadar pada kewajibannya untuk taat pada negara. Ia tidak minta grasi untuk memperpanjang hidupnya. Ia melarang sobat-sobatnya mengumpulkan uang untuk menyogok hakim guna pembebasannya. Sokrates menerima dan mencintai nasib (amor fati), dan kelak diwarisi kaum Stoa.

Mitos kematian

Dalam buku Necrocultura (Castelvecchi, 1998). Fabio Giovannini melukiskan sikap orang zaman ini berhadapan dengan kematian. Dari kebudayaan yang dikembangkan orang zaman sekarang, misalnya dalam lirik musik, fotografi, film, lukisan, atau upacara-upacara kematian dan penguburan, tampak bahwa orang tidak lagi takut pada kematian. Mereka tidak mau memitoskan kematian sebagaimana agama-agama di masa lalu, dengan upacara-upacara yang mengelabui, menghias si mati seolah mau bepergian sebentar, membayangkan janji mengenai kehidupan di akhirat dan sebagainya.

Sebaliknya, kini budaya kematian mau memasuki realitas apa adanya, dengan seluruh tragikanya, misalnya dengan memperlihatkan darah, badan membusuk, daging yang lemah, dan sebagainya.

Analisa Giovannini tampaknya berlaku untuk dunia Barat, dengan budaya pos-religius atau poskristianismenya. Necrocultura sepertinya menawarkan penyelesaian pragmatis, di mana kematian bisa dipesan di rumah sakit melalui eutanasi, atau dalam kasus kriminal melalui pembunuhan, ditangani secara bisnis dengan kemasan peti mati, kereta pengantar jenazah, upacara penguburan yang luks dan obituari di media. Tak ada yang perlu ditakutkan, semua berjalan lancar. Tidak ada setan atau roh gentayangan sebab dunia orang mati tidak terpisahkan dari dunia orang hidup. Tidak ada lagi batas misteri antara kematian dan kehidupan.

Lain lagi gambaran kematian dalam Village of the Watermills. Dalam salah satu bagian dari delapan episode film Dreams (1990) ini, sutradara Jepang—Akira Kurosawa—melukiskan mimpinya tentang sebuah desa Kincir Air yang masyarakatnya dekat dengan alam. Mereka tidak takut pada kematian, bahkan menyambutnya dengan gembira.

Seorang petualang yang datang ke sana bertanya kepada seorang kakek tua dan mendapat keterangan, ”yang penting bekerja keras, berusaha hidup panjang. Setelah itu disyukuri.” Lalu petualang itu menyaksikan penguburan seorang nenek yang meninggal pada usia 99 tahun.

Peristiwa itu dirayakan masyarakat dengan musik dan nyanyian. Anak-anak menari dengan gembira sambil menaburkan bunga di depan arak-arakan. Jauh berbeda dari upacara penguburan militer zaman ini, yang begitu serius dan berat. Namun, ada hubungan mendalam yang perlu dipikirkan saat kakek tua dari Village of the Watermills itu mengatakan, ”yang penting bekerja keras” dan ”hidup panjang” dengan kata-kata ”disyukuri”.

Disyukuri

Orang perlu merenung untuk bisa sampai pada pengertian kata ”disyukuri” (be thanked). Apanya yang disyukuri? Hidupnya atau matinya? Lebih-lebih karena ia menambahkan kata-kata, ”kami tak mempunyai kuil, atau imam.” Namun, upacara penguburan itu justru indah dan membahagiakan (a nice happy funeral).

Sama-sama menafikan agama, yang mungkin mereka anggap sebagai lembaga yang menabukan kematian, Akira Kurosawa dan Giovannini mempunyai pandangan berbeda. Sementara Giovannini melukiskan Necrocultura sebagai kenyataan masyarakat sekuler dewasa ini, dengan kebudayaan pragmatisnya dalam segala segi kehidupan, termasuk kematian, Akira Kurosawa melukiskan kematian dengan begitu akrab, sebagai bagian proses alam yang wajar.

Namun, lebih dari itu, kata ”disyukuri” dalam film Kurosawa mempunyai bobot penilaian yang tidak bisa ditawar. Secara moral, tampaknya tidak semua kematian bisa disyukuri. Ada orang yang diperpendek hidupnya dengan paksa melalui pembunuhan, sebaliknya ada orang yang mampu memperpanjang hidupnya karena kemajuan teknologi dan tawaran bisnis medis yang luar biasa.

Namun, keduanya membuat kematian dijauhkan dari proses alami yang wajar. Film Kurosawa seperti memberi inspirasi, agar orang mau bekerja keras bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk mengabdi. Sesudah itu, kematian menjadi akrab, bisa diterima dengan ceria dan disyukuri.

Dalam novel Yasunari Kawabata, The Old Capital (1962), ada episode yang menarik, yakni saat Hideo memberi alasan mengapa ia melukis bunga tulip dalam kimono yang dihadiahkan kepada Chieko, gadis pujaannya. ”Bunga tulip itu hidup,” katanya kepada Takichiro, ayah Chieko.

Bunga tulip hanya hidup sesaat tetapi memberi keindahan penuh. Dan hidup yang diwarnai cinta seperti tulip, tak perlu berlama-lama. Sesudah menyatakan diri, dengan rona keindahan dan aroma, bunga itu mengakhiri hidupnya. Perpanjangan hidup hanya akan menjadi waktu yang sia-sia.

A Sudiarja Dekan Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta; Redaktur Pelaksana Majalah Basis

Pantang Tinggalkan Gelanggang


Kamis, 31 januari 2008 | 01:47 WIB

Emil Salim

Banyak orang menyambut jenazah Pak Harto dari Cendana hingga makam Giribangun. Banyaknya orang yang menyambut agaknya merasakan hasil pembangunan ekonomi yang menyentuh kepentingan mereka. Pak Harto pun dianggap ”wong ndeso” bagian dari mereka.

Saya juga bertemu dengan mereka yang benci dan kecewa dengan Pak Harto karena menjadi korban konflik politik. Banyak di antara mereka yang berpendidikan tinggi dan lebih suka bekerja di luar pemerintah.

Masyarakat terbelah

Menanggapi kepemimpinan Pak Harto, masyarakat terbelah.

Selama tiga Pelita (1969-1984) fokus pembangunan Pak Harto adalah mencapai swasembada pangan. Maka, dikembangkan program bimbingan massal oleh ”petani penyuluh lapangan” (PPL) memakai bibit unggul dan pupuk. Upaya ini ditopang irigasi tersier, jalan kabupaten, koperasi unit desa (KUD), serta pola kebijakan stabilitas harga pangan oleh Badan Urusan Logistik.

Sebagai wong ndeso, Pak Harto terobsesi mencapai swasembada pangan. Program ini berhasil berkat ”pembangunan berencana melalui pasar”. Jika semula campur tangan pemerintah dalam ekonomi sangat kuat, lambat laun—dengan berkembangnya ekonomi—intervensi dikurangi dan melalui deregulasi lebih ditekankan mekanisme pasar.

Kian besar peran pasar, kian besar peran masyarakat dalam mengambil keputusan ekonomi. Kebebasan ekonomi yang tumbuh ini membangkitkan dinamika masyarakat dan merangsang kebutuhan akan kebebasan politik. ”Kedaulatan ekonomi konsumen” yang tumbuh dalam demokrasi ekonomi membangkitkan ”kedaulatan politik pemilih” dalam demokrasi politik.

Ilmu ekonomi menggunakan perhitungan rasional yang terukur dalam nilai ekonomi dan harga pasar sehingga bisa direncanakan kebijakan memecahkan masalah sebelum (exante) masalahnya tumbuh lebih besar. Ilmu politik sebaliknya, bersifat kualitatif dan sulit diukur secara kuantitatif sehingga sulit membuat ramalan dan prediksi. Pengamat politik pandai membahas dan menganalisis politik sesudah (expost) masalah terselesaikan.

Keberhasilan Pak Harto mencapai sasaran perbaikan ekonomi setelah tiga Pelita memerlukan penekanan lebih lanjut pada pengembangan demokrasi politik guna menghindari dominasi kelompok politik yang mulai tumbuh. Di sinilah terletak masalah. Seberapa ketatkah demokrasi bisa dikendalikan?

Mundur

Sudah lama almarhumah Ibu Tien meminta Pak Harto mengundurkan diri dari tugas kepresidenan. Pak Harto juga berhasrat untuk lengser prabon. Namun, konstelasi politik membentuk kelompok kepentingan yang bergantung pada keberlanjutan sistem politik yang terbentuk.

Seiring perjalanan waktu, muncul angkatan pimpinan politik yang baru dan berbeda usia jauh dengan Presiden. Hubungan Presiden dengan generasi pimpinan politik bagai bapak-anak. Sang anak enggan menegur bapak. Muncullah pemeo ”asal bapak senang”. Pemimpin tidak lagi mendapat informasi akurat dan menjadi korban adagium ”dalam politik tidak ada sahabat dan sekutu permanen. Yang ada hanya kepentingan permanen”.

Akibat krisis ekonomi 1997, ketimpangan perkembangan ekonomi dan politik mengakibatkan terbukanya bendungan frustrasi politik yang menghasrati demokrasi lebih luas. Krisis ekonomi pun melebar menjadi krisis politik 1998. Pak Harto harus menghadapinya dan memilih mundur guna menghindari pertikaian lebih besar antaranak bangsa.

Tak bisa ditiru

Kini, Indonesia menerima sistem politik demokrasi, dan rakyat memilih langsung pemimpin nasional, provinsi, dan kabupaten untuk masa kerja lima tahun. Perubahan sistem politik ini menuntut pembangunan yang lebih partisipatif dan demokratis.

Maka, pola kepemimpinan Pak Harto di masa Orde Baru tak mungkin ditiru di masa reformasi. Namun, prinsip manajemen universal masih bisa diterapkan, seperti fokus kerja guna menggairahkan semangat kerja.

Kini, dalam situasi rawan pangan, usaha swasembada pangan masih relevan dibangun di daerah pedesaan dan memberantas kemiskinan. Sasaran ini perlu ditopang pengembangan infrastruktur dan pendidikan. Unsur barunya adalah menerapkan ilmu dan teknologi guna menaikkan nilai tambah sumber alam pedesaan dan kelautan khas tropis.

Menghadapi masalah-masalah baru, seperti perubahan iklim, berjangkitnya penyakit baru, dan gencarnya persaingan antarnegara Asia, ada sikap kepemimpinan Pak Harto yang bisa dikembangkan. Sikap itu ialah ”pantang meninggalkan gelanggang” dalam menanggapi krisis, tantangan, dan kesulitan, betapapun beratnya.

Dan Pak Harto telah meninggalkan gelanggang, memenuhi panggilan Ilahi.

Emil Salim Dosen Pascasarjana UI

TAJUK RENCANA


Rabu, 30 januari 2008 | 02:19 WIB

Pemerintah Bijak, Rakyat Bijak

Permasalahan dan pekerjaan seperti tak ada habisnya. Pikiran itu muncul hanya sehari setelah acara penguburan mantan Presiden H Muhammad Soeharto.

Suasana masih diwarnai rasa duka dan spontanitas masyarakat luas yang ikut menyampaikan dukacita. Namun, segera pula disampaikan pernyataan dan peringatan agar persoalan hukum presiden kedua RI itu tidak dilupakan.

Kita tidak pula ketinggalan untuk menyampaikan catatan, pandai-pandailah kita, pemerintah dan publik, menyikapinya. Jangan sampai masalah itu sempat merebak sebagai persoalan yang justru membangkitkan dan mengobarkan kegaduhan yang menghambat usaha serta konsentrasi kita membangun kebersamaan. Pandai-pandailah kita membawa diri pada posisi dan pihak mana pun kita menyikapi masalah itu.

Kita pun ragu, tidakkah terlalu pagi kita minta perhatian atas persoalan tersebut? Karena menurut gelagatnya hal itu mulai kembali muncul, kita sampaikan isyarat itu. Paling tidak, sesuai dengan tugasnya, pemerintah agar juga cermat dan mempersiapkan sikap yang bisa menjadi pegangan semua pihak. Semangat rekonsiliasi kita kembangkan bersama ketika orang menempuh jalan hukum maupun jalan musyawarah. Diperlukan sikap bijak tetapi tegas sehingga sekaligus bisa dijadikan pegangan.

Inilah warisan yang kita terima, yakni warisan mundurnya presiden pertama maupun presiden kedua tidak secara normal. Pergantian dan perubahan pun disertai gerakan massa serta meninggalkan persoalan. Pengalaman dan pelajaran juga ditinggalkan pada kita. Pandai-pandailah kita menarik pelajaran. Setiap bangsa dan negara menghadapi masalah. Masalah itu tidak terbatas pada bidang kesejahteraan, bisa juga masalah perubahan sistem pemerintahan serta tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan.

Dalam kurun waktu Indonesia merdeka berbagai sistem pemerintahan telah kita alami. Demokrasi pun pernah kita alami, yakni demokrasi parlementer dalam tahun lima puluhan. Kemudian demokrasi terpimpin, disusul sistem Orde Baru, dan kini periode Reformasi untuk Demokrasi.

Apa pun sistemnya, ternyata setiap pemerintah dihadapkan pada keserentakan tuntutan rakyat. Ya kebebasan, ya hak-hak asasi, ya kesejahteraan, ya kemajuan. Dalam abstraksinya, tuntutan-tuntutan itu sederhana. Tatkala harus diselenggarakan dan diwujudkan, tantangan dan masalahlah yang kita hadapi. Mau tidak mau kita harus pandai, cerdas, konsisten, bekerja keras.

Kematian pemimpin seperti kematian presiden pertama dan presiden kedua senantiasa meninggalkan warisan. Warisan baik, warisan buruk. Juga meninggalkan pelajaran dan pengalaman. Tidak semuanya baik, tetapi tidak semuanya buruk. Bangsa yang cerdas dan bijak akan bersikap terbuka, kritis, selektif, dan konstruktif. Yang baik diambil, yang buruk ditinggalkan.

Dengan sikap adil dan bijak disertai dukungan kita, pemerintah kiranya akan menyelesaikan permasalahan yang masih ditinggalkan oleh kepergian mantan Presiden Soeharto.

***

Thailand Kembali ke Tangan Sipil

Politik Thailand begitu berwarna. Sipil dan militer silih berganti berkuasa. Kini, sipil kembali memperoleh kepercayaan rakyat untuk memimpin negeri itu.

Terpilihnya Samak Sundaravej dari Partai Kekuatan Rakyat (PKR) sebagai perdana menteri baru menandai kembalinya Thailand ke pemerintahan sipil. Hal itu juga berarti mengakhiri 16 bulan pemerintahan militer yang merebut kekuasaan lewat kudeta tak berdarah dengan menyingkirkan PM Thaksin Shinawatra.

Partai Kekuatan Rakyat sering disebut sebagai ”inkarnasi” dari Partai Thai Rak Thai pimpinan Thaksin Shinawatra. Karena itu, banyak kalangan berkeyakinan Samak akan melanjutkan program-program Thaksin, seperti pengurangan kemiskinan di wilayah pedesaan.

Samak adalah politisi tulen. Ia terjun ke dunia politik tahun 1960 dan beberapa kali menjadi menteri, termasuk menjadi menteri dalam negeri pada zaman pemerintahan militer tahun 1970-an. Namun, ia tidak disenangi kalangan pers, cendekiawan, dan kelompok pembela hak-hak asasi manusia karena Samak membela tindakan tegas militer terhadap demonstrasi damai mahasiswa dan gerakan prodemokrasi yang menuntut kebebasan sipil yang lebih besar, pada tahun 1976 dan 1992.

Kalangan pers, cendekiawan, dan kelompok pembela hak-hak asasi manusia boleh tidak senang, tetapi Saman adalah pilihan parlemen, dan para anggota parlemen adalah hasil dari pemilu Desember lalu. Dengan kata lain, Samak adalah pilihan rakyat.

Bukankah pemilu adalah salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan, dalam kehidupan bernegara. Partisipasi masyarakat merupakan jantung demokrasi. Sungguh tidak bisa dibayangkan, demokrasi tanpa partisipasi masyarakat.

Hal itu menunjukkan betapa pentingnya peranan rakyat dalam demokrasi, karena itu kadang dirumuskan sebagai suara rakyat suara Tuhan (vox populi, vox Dei). Jika rakyat sudah berbicara, maka itulah puncak dari bangunan demokrasi.

Dukungan rakyat kepada PKR dalam pemilu merupakan sebuah pernyataan sikap menolak pemerintahan militer. Karena itu, kini terlepas dari tidak disukainya Samak oleh sementara kalangan, ini saatnya bagi Thailand untuk melangkah maju dengan pemerintahan baru, pemerintahan sipil, dan mempertanggungjawabkan kepercayaan yang diberikan rakyat. Dengan demikian, Thailand tidak perlu kembali ke masa lalu, termasuk terlibatnya militer di dunia politik, yang tidak diinginkan rakyat.

Pilkada Inkonstitusional?


Selasa, 22 januari 2008 | 02:55 WIB

YOHANES USFUNAN

Pilkada yang dilakukan tanpa menghadirkan calon perseorangan atau calon independen dianggap ilegal atau inkonstitusional.

Alasannya, dalam putusan 23 Juli, Mahkamah Konstitusi (MK) mengamanatkan dimungkinkannya calon perseorangan ikut pemilihan (Kompas, 17/12/2007).

Inkonstitusional?

Untuk menyukseskan pilkada secara demokratis, KPUD harus menolak calon independen yang spekulatif mendaftarkan diri sebagai kandidat, sebelum revisi terbatas perihal calon independen dalam UU No 32/2004 tentang Pemda diberlakukan. Maka, inkonstitusionalkah pilkada yang tidak melibatkan calon independen pascaputusan MK?

UU No 32/2004 memang diskriminatif karena hanya memberi kesempatan kepada parpol/gabungan parpol mengajukan pasangan calon. Padahal, Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945 melarang diskriminasi. Meski diskriminasi telah dicabut, putusan MK No 5/PUU-V/2007 tidak bisa dijabarkan dalam keputusan KPU. Putusan MK yang membatalkan sejumlah pasal UU No 32/2004, terkait perlunya calon independen, pengaturannya harus dengan UU.

Pandangan bahwa pilkada tanpa calon independen inkonstitusional berlawanan dengan logika hukum.

Pertama, mereka yang menghendaki penyelenggaraan pilkada melibatkan calon independen cukup menggunakan keputusan KPU/KPUD meski keputusan seperti itu tidak mungkin menjabarkan perintah putusan MK.

Pasal 7 Ayat (4) UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan, jenis peraturan perundangan selain seperti dimaksud Ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut ketentuan Ayat (1) hierarki peraturan perundang-undangan meliputi UUD 1945, UU/perpu, peraturan pemerintah, perpres, dan perda.

Kedua, KPU/KPUD hanya menerima wewenang delegasi menyelenggarakan pilkada/pemilu. Sementara pengaturan calon independen terkait penggunaan wewenang atribusi (asli) dimiliki pembentuk UU, yaitu DPR dan Presiden.

Pascaputusan MK, pilkada di sejumlah daerah belum melibatkan calon independen, seperti di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bojonegoro, dan Cimahi. Kalaupun revisi UU No 32/2004 terkait calon independen dilakukan, hal itu belum akan disahkan dan diberlakukan tahun ini, dan ini berlaku pada pilkada gubernur Bali, NTT, dan bupati/wali kota di daerah lain.

Secara sosiologis masyarakat berharap calon independen terlibat. Namun, bila persyaratan yuridis tidak terpenuhi, harapan akan terhambat mengingat keberlakuan hukum yang ideal harus memenuhi syarat filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Secara filosofis, pilkada dengan melibatkan calon independen lebih idealistik karena, pertama, meningkatkan kualitas kompetisi dan demokratisasi penjaringan calon yang bersih dan berkualitas karena selama ini kepala daerah dari parpol banyak yang gagal.

Kedua, konsekuensi politik uang menyebabkan kepala daerah terpilih cenderung mengabaikan janji untuk memajukan pembangunan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan. Mereka lebih berkonsentrasi mengembalikan ”utang” pilkada.

Putusan hakim merupakan salah satu sumber hukum yang bisa dijadikan referensi bagi hakim dalam memutus perkara dan referensi akademik. Indonesia menganut sistem hukum Eropa kontinental yang mengedepankan kodifikasi dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Maka, tidak diterapkan asas preseden seperti negara-negara dengan sistem hukum common law yang mewajibkan hakim mengikuti jurisprudensi dalam memutus perkara.

Putusan hakim selain deklaratif terkait pengenaan sanksi hukum juga konstitutif dengan membentuk norma hukum baru sebagai penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan norma hukum itu harus dirumuskan sebagai legitimasi dalam peraturan perundang-undangan oleh lembaga berwenang sesuai asas distribution of power agar mempunyai kekuatan mengikat. Karena, jurisprudensi bukan sebagai salah satu jenis dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia, putusan MK harus dijabarkan dalam revisi UU No 32/2004 agar pilkada yang melibatkan calon independen konstitusional.

YOHANES USFUNAN Guru Besar Hukum Tata Negara; Universitas Udayana, Denpasar, Bali

Demokrasi Telah Dibajak



KOMPAS/AGUS SUSANTO /

Penghuni melintas di belakang jeruji kawat di Lembaga Pemasyarakatan Narkoba Cipinang, Jakarta Timur, Kamis (24/1). Daya tampung penjara tersebut 1.084 orang, kini dihuni 2.319 tahanan dan narapidana.
Jumat, 25 januari 2008 | 03:37 WIB

Sanur, Kompas - Demokrasi masih belum mampu mengangkat Indonesia keluar dari keterpurukan meski negara ini sudah 10 tahun meninggalkan rezim otoriter Soeharto. Ini disebabkan kekuatan lama sebenarnya hanya berubah wajah. Mereka telah membajak demokrasi dan membuat lembaga demokrasi ataupun lembaga antikorupsi tidak efektif.

Hal itu disampaikan kandidat profesor National University of Singapore, Vedi R Haviz, dalam acara Forum Publik Antikorupsi di Sanur, Bali, Kamis (24/1). Forum Publik Antikorupsi ini diselenggarakan sebagai pertemuan masyarakat sipil menjelang Konferensi Internasional Negara Para Pihak Penanda Tangan Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC), 28 Januari-1 Februari 2008, di Bali.

Selain Vedi, hakim Dolores Espanol dari Filipina dan Direktur Eksekutif Kemitraan untuk Indonesia Mohammad Sobary memberi pidato pembukaan.

Menurut Vedi, ada pertanyaan besar mengapa setelah 10 tahun Indonesia memasuki masa reformasi ternyata korupsi masih marak.

”Demokrasi di Indonesia ini bukan seperti demokrasi yang diidealisasikan demokrasi liberal, tetapi demokrasi yang lebih mirip dengan yang terjadi di Filipina, Thailand, dan Rusia,” kata Vedi.

Vedi menambahkan, pembajakan demokrasi dan program antikorupsi oleh kekuatan-kekuatan lama yang disebutnya sebagai kelompok predatoris itu akibat kalangan reformis sewaktu reformasi 1998 tak berhasil menghilangkan kekuatan-kekuatan predatoris tersebut.

Yang ia maksud dengan kekuatan predatoris adalah kekuatan yang memiliki kepentingan untuk menguasai sumber daya publik demi kepentingan akumulasi kapital privat.

”Kelompok predatoris adalah kelompok-kelompok yang merupakan hasil binaan Orde Baru, seperti Golkar dan seluruh onderbouw-nya. Sekarang coba lihat siapa yang menguasai partai politik, DPR, eksekutif, dan institusi peradilan. Coba tanyakan kepada mereka apa yang mereka lakukan 10 tahun lalu pada rezim Soeharto?” kata Vedi.

Menurut Vedi, kalangan reformis gagal mengeluarkan kepentingan-kepentingan pribadi kekuatan lama yang predatoris tersebut. Kalangan reformis justru telah memberikan kepada mereka kesempatan untuk mengambil alih demokrasi Indonesia. ”Jadi tidak heran kalau Indonesia tetap pada ranking teratas korupsi,” katanya.

Hakim Dolores Espanol mengatakan, ada kegagalan hukum di Filipina dalam menangani perkara mantan Presiden Filipina Marcos.

”Ini menjadi tantangan Presiden Arroyo yang juga dianggap presiden yang paling banyak melakukan korupsi. Filipina sangat lambat dalam menangani korupsi Marcos dan kroni-kroninya,” kata Dolores. (VIN)

39 Bulan SBY


Senin, 21 januari 2008 | 04:55 WIB

SUWARDIMAN

Setelah tiga tahun pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang terus merangkak naik. Namun, publik rupanya tidak merasakan pencapaian pemerintah tersebut jika dihadapkan pada kondisi riil yang dihadapi sehari-hari.

Keyakinan publik bahwa pemerintah akan mampu mengeluarkan bangsa ini dari problem perekonomian terus merosot. Harapan dan keyakinan publik atas perbaikan kondisi perekonomian sangat tinggi pada masa-masa awal pemerintahan Yudhoyono.

Akan tetapi, keyakinan tersebut sempat turun pada periode enam bulan pemerintahan, tetapi kembali meningkat pada triwulan berikutnya. Selanjutnya, tingkat keyakinan publik terus melorot seiring dengan berbagai kegagalan pemerintah menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok.

Jika dalam Jajak Pendapat Kompas yang dilakukan pada periode sembilan bulan pemerintahan (16/7/2005) sebanyak 77,5 persen responden yakin pemerintah akan mampu memperbaiki kondisi perekonomian, pada jajak pendapat tiga bulan berikutnya hanya 64,2 persen responden yang memiliki keyakinan yang sama.

Kini, triwulan pertama di tahun keempat pemerintahan Yudhoyono, keyakinan publik kian turun. Publik yang menaruh harapan pada kemampuan pemerintah mengatasi problem ekonomi tercatat tinggal 49,9 persen.

Problem nyata

Pertumbuhan ekonomi makro Indonesia di atas kertas memang terus mengalami peningkatan. Pada awal pemerintahan Yudhoyono, pertumbuhan ekonomi triwulanan tercatat sebesar 6,4 persen, sempat melorot saat 15 bulan pemerintahan sampai 4,6 persen. Namun, pada tahun 2007 kembali menanjak menjadi 6,5 persen pada triwulan ketiga.

Pertumbuhan ekonomi tidak secara langsung meningkatkan pertumbuhan kesejahteraan. Indikator ekonomi makro yang tercatat di atas kertas ternyata terbalik dengan realitas kesejahteraan masyarakat. Dalam pidatonya pada April 2006, Yudhoyono mengatakan bahwa angka pengangguran dan kemiskinan tidak berkurang meskipun ada pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, selang beberapa bulan, kepada pers Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa kemiskinan pasti turun jika pertumbuhan semakin baik. Dua pendapat yang berlawanan dari pemimpin tertinggi negeri ini seolah mencerminkan adanya realitas terbalik antara catatan statistik dan kondisi riil masyarakat.

Selama 15 bulan pertama pemerintahan Yudhoyono-Kalla, jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 juta penduduk (Susenas Februari 2005), menjadi 39,05 juta jiwa (Susenas Maret 2006). Orientasi pertumbuhan ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Berbagai kebijakan pemerintah yang tidak populis mendorong sejumlah gejolak di tengah masyarakat. Langkah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005 berimbas pada kelangkaan minyak tanah dan bahan bakar premium. Imbas lebih jauh dari kebijakan ini bagi masyarakat kelompok bawah adalah meningkatnya harga bahan kebutuhan pokok.

Kelangkaan minyak tanah pun terus berlanjut hingga tahun 2007. Kebijakan konversi dari minyak tanah ke gas juga tidak serta-merta menjadi solusi. Harga gas yang lebih mahal dan ketidakmampuan pemerintah menjamin ketersediaan pasokan gas, malah menambah persoalan bagi rakyat kecil.

Problem lainnya, di antaranya adalah kebijakan impor beras, memberi persoalan bagi para petani akibat harga gabah anjlok. Ketika harga beras melonjak pun pemerintah sepertinya tidak cepat tanggap dengan operasi pasar. Distribusi beras bagi warga miskin banyak menghadapi masalah karena banyak salah sasaran.

Berbagai situasi ini boleh jadi meningkatkan keraguan publik bahwa pemerintah akan mampu memperbaiki perekonomian negeri ini, seperti tecermin dari terus menurunnya tingkat kepercayaan publik pascasembilan bulan pemerintahan Yudhoyono.

Kemerosotan paling signifikan adalah tingkat kepuasan publik pada pemerintah dalam mengendalikan harga barang kebutuhan pokok. Hasil jajak pendapat tiga bulan yang lalu menunjukkan, 76,2 persen responden tidak puas atas kinerja pemerintah menjaga stabilitas harga sembako. Dalam jajak pendapat kali ini responden yang berpendapat serupa meningkat jadi 81 persen. Sekitar 8 dari 10 responden juga menyatakan bahwa di bidang ekonomi, Yudhoyono belum berhasil menepati janji-janji kampanyenya.

Gejolak kebutuhan pokok, lagi-lagi, mengemuka pada awal tahun 2008. Kelangkaan kedelai menjadi masalah besar bagi produsen makanan di lapisan bawah, di antaranya produsen tempe dan tahu serta produk bawaannya. Kelangkaan kedelai ini juga disusul dengan mulai langkanya terigu.

Persoalan ini sedikit menurunkan citra Presiden Yudhoyono dibandingkan tiga bulan lalu. Sebelumnya publik yang menilai baik citra Yudhoyono sebesar 74,9 persen, kali ini turun menjadi 74, 6 persen.

(SUWARDIMAN/ LITBANG KOMPAS)

Pemimpin Harus Visioner


Senin, 21 januari 2008 | 04:56 WIB

Jakarta, Kompas - Indonesia termasuk negara yang rawan bencana. Salah satu kriteria pemimpin nasional di Indonesia haruslah yang antisipatif, visioner, melihat ke depan, bukan yang reaksioner. Demikian kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, Minggu (20/1).

Menurut Arbi Sanit, perkembangan dunia itu sesungguhnya telah menunjukkan dengan jelas berbagai kemungkinan kerusakan alam. ”Pemimpin itu harus melihat itu. Tetapi, karena tidak visioner, akhirnya jadi reaktif.”

Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa Yenny Zannuba Wahid dalam Diskusi Kamisan bertema ”Banjir Besar, Apa Solusinya” di Gedung DPR, pekan lalu mengingatkan arti penting pemimpin yang tanggap lingkungan.

Berdasarkan catatannya, selama 2006-2007 terjadi 3.367 bencana alam di Indonesia dan telah mengakibatkan 2.232 orang meninggal. ”Pemerintah saat ini telah gagal melaksanakan tugasnya,” ucap Yenny.

Arbi berpandangan, pemimpin ke depan juga harus pemimpin yang berani berkorban. Dia menilai pemerintah sekarang tidak memberikan anggaran besar untuk bencana karena 70 persen anggaran justru habis untuk aparat. ”Ini amat boros. Pemimpin nanti harus berani menghadapi birokrasi,” paparnya.

Seorang pemimpin juga tidak cukup hanya mengunjungi daerah-daerah bencana. Yang terpenting justru mampu menggerakkan mesin birokrasi dan mesin politik untuk menanggulangi berbagai bencana yang mungkin terjadi.

Berebut air

Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad juga mengingatkan ancaman kekurangan air yang akan dihadapi jutaan penduduk di Jawa. Sekarang ini, jumlah penduduk di Jawa adalah 65 persen total penduduk di Indonesia, sementara cadangan air di Jawa hanya 4 persen cadangan stok nasional akibat tangkapan air selalu dihancurkan.

Walhi mencatat, kecamatan yang terkena banjir pun semakin hari semakin meluas. Tahun 2006 ada 124 kecamatan, sedangkan tahun 2007 menjadi 260 kecamatan. Lima tahun belakangan ini banjir di Pulau Jawa pun meningkat tiga kali lipat.

Menurut Ketua Tim Peneliti Ekologi Bengawan Solo Retno Rosariastuti, Bengawan Solo yang belakangan ini menimbulkan banjir di Pulau Jawa pun kondisinya makin memprihatinkan. Berdasarkan penelitiannya, hutan di daerah aliran sungai yang memasok air ke Bengawan Solo hanya tinggal 1 persen.

Lebih besar

Kemampuan masyarakat Indonesia merusak lingkungan, papar Direktur Pengelolaan Air Departemen Pertanian Gatot Irianto, jauh lebih besar ketimbang kemampuan memperbaiki. Dia berharap para teknokrat memberikan anggaran lebih besar untuk pembangunan manusia ketimbang pembangunan fisik.

Sebagai mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso berpandangan bahwa mengatasi bencana perlu penanganan yang komprehensif dan menyeluruh. (sut)

PDI-P dan Pergeseran Dominasi


Kamis, 17 januari 2008 | 19:08 WIB

SUWARDIMAN

Kegagalan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mempertahankan kantong-kantong massanya pada Pemilu 2004 rupanya terus berlanjut. Realitas politik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung yang diselenggarakan selama tiga tahun terakhir ini belum menunjukkan gelagat partai ini melakukan perbaikan kinerja mempertahankan basis massanya. Bahkan, ada kecenderungan partai nasionalis ini sulit mempertahankan dominasi di wilayah perkotaan.

Melihat perkembangan kekuatan politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) beberapa tahun belakangan ini, timbul pertanyaan menarik, apakah gelagat kalahnya partai ini dalam sejumlah pemilihan kepala daerah (pilkada) di basis massanya akan mengarah pada kemunduran PDI-P ke titik lebih parah di tahun 2009? Atau, apakah sejumlah manuver politik yang dilakukan ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri, akhir-akhir ini akan berpengaruh pada meningkatnya kekuatan partai?

Fenomena merosotnya perolehan suara PDI-P pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 selalu mampu menarik perhatian para pakar dan praktisi politik. Partai yang sukses merebut 33,74 persen suara pada pemilu pertama pascareformasi ini mengalahkan Golkar yang hanya berhasil merebut 22,4 persen suara.

Keberhasilan partai ini ternyata hanya berlangsung satu periode. Pada pemilu berikutnya, PDI-P kalah telak oleh Partai Golkar. PDI-P, yang berhasil memimpin di sedikitnya 166 kabupaten/kota pada Pemilu 1999, melorot dominasinya di 94 daerah dan hanya mampu mempertahankan kemenangan di 72 daerah kabupaten/kota pada Pemilu 2004. Meskipun dapat menguasai 18 daerah baru, secara keseluruhan dominasinya hanya terjadi di 90 kabupaten/kota.

Kantong massa

Kantong massa PDI-P tersebar secara acak di daerah-daerah dengan karakteristik yang beragam. Hasil analisis terhadap daerah-daerah yang dimenangi PDI-P menunjukkan keragaman karakteristik tanpa keseragaman yang signifikan.

Karakteristik suatu daerah memang tidak bisa serta-merta menjawab fenomena peraihan suara sebuah partai politik. Namun, jika menggunakan pendekatan teori soal perilaku politik masyarakat pedesaan dan perkotaan, maka karakteristik suatu daerah sedikit banyak dapat menggambarkan sebuah kecenderungan masyarakat dalam menentukan pilihan politik mereka.

Dengan melalui pendekatan ini, dari analisis terhadap daerah-daerah yang dimenangi PDI-P pada pemilu-pemilu lalu dapat ditarik kesimpulan bahwa sejumlah daerah yang lepas dari dominasi partai ini adalah daerah-daerah berciri industri. Ini tampak bahwa 57 persen dari 94 kabupaten/kota yang lepas dari dominasi partai ini mayoritas penduduknya bekerja di sektor industri, jasa, atau perdagangan. Gejala ini juga diperkuat dengan daerah-daerah baru yang berhasil dikuasai oleh PDI-P yang karakteristiknya adalah kabupaten/kota yang sektor usahanya dominan di bidang pertanian atau perkebunan.

Apakah ini menjelaskan bahwa PDI-P makin berjaya di daerah-daerah pedesaan? Tentunya tidak sesederhana itu untuk menarik kesimpulan demikian. Banyak variabel yang perlu ditelaah lebih jauh. Termasuk hal-hal yang lebih substantif untuk menjelaskan fenomena merosotnya peraihan suara PDI-P.

Kantong-kantong massa partai berlambang banteng merah ini tersebar secara sporadis di daerah-daerah dengan karakteristik yang beragam. Dari hasil penelisikan terhadap 72 daerah yang berhasil dipertahankan oleh PDI-P selama dua pemilu terakhir, akan terlihat sebaran yang cenderung merata dalam pendekatan karakteristik daerah pedesaan dan perkotaan.

Pencirian karakteristik daerah perkotaan atau pedesaan di sini adalah dengan mengidentifikasi mayoritas lapangan usaha di daerah yang bersangkutan. Dua ciri lapangan usaha yang menjelaskan secara signifikan karakteristik tersebut adalah apakah daerah itu didominasi oleh lapangan usaha pertanian/perkebunan untuk daerah pedesaan dan perindustrian/perdagangan di daerah perkotaan.

Sporadisme yang serupa juga terjadi jika dipandang dari sudut mayoritas pemeluk agama. Ini boleh jadi berkorelasi dengan ciri PDI-P sebagai partai nasionalis. Tidak ada tanda-tanda signifikan yang bisa membuktikan partai ini mengusai daerah-daerah dengan mayoritas agama tertentu. Sebagai partai yang mengusung ideologi nasionalisme, selain bisa menguasai daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, juga mampu merebut daerah- daerah yang didominasi penduduk agama lain, seperti Kristen/Katolik atau Hindu dan Buddha.

Hasil pilkada

Pengalaman 2004 sebenarnya menjadi pelajaran berharga bagi PDI-P. Selain banyak kehilangan basis masa, partai ini juga gagal menancapkan kekuatan-kekuatan baru di sejumlah daerah baru hasil pemekaran. Partai pimpinan Megawati ini ”keok” oleh Golkar yang berhasil membentuk kekuatan dengan menguasai suara di mayoritas daerah otonom baru pasca-Pemilu 1999 hingga sebelum Pemilu 2004. Partai ini hanya mampu mengungguli perolehan suara di 18 daerah baru pada Pemilu 2004. Padahal, pada saat yang sama, partai ini harus kehilangan lebih dari separuh basis massanya.

Lebih jauh lagi, kegagalan PDI-P dalam mempertahankan dan membangun kekuatan politik di daerah juga tampak dari hasil pilkada langsung yang berlangsung sejak tahun 2005. Hingga pertengahan tahun 2007, sedikitnya sudah berlangsung 295 pilkada langsung di seluruh Indonesia. Sebanyak 15 gubernur, 236 bupati, dan 44 wali kota rezim pilkada langsung telah dilantik.

Berdasarkan catatan, pada pilkada yang berlangsung hingga pertengahan tahun 2007, PDI-P hanya berhasil meraih kemenangan di 73 kabupaten kota atau hanya 26 persen dari total 280 kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada. Itu pun hanya di 21 daerah PDI-P berhasil mengusung calon kepala daerahnya tanpa koalisi dengan partai lain.

Dalam pilkada langsung yang telah lalu, partai ini menerima kenyataan lepasnya basis massa yang dibentuk pada Pemilu 2004. Selama periode 2005-2006, tercatat 55 kabupaten/kota basis kemenangan PDI-P pada Pemilu 2004 yang melangsungkan pilkada. Dari jumlah tersebut, PDI-P gagal meraih kemenangan di 27 kabupaten/kota. Partai ini hanya bisa menang di 28 daerah, itu pun 10 di antaranya hasil koalisi dengan partai-partai lain.

Realitas politik pada Pemilu 2004 dan hasil pilkada tampaknya memberi pekerjaan berat untuk PDI-P menyambut pesta akbar demokrasi tahun 2009 nanti. (Litbang Kompas)

Kuatnya Nuansa Politik Ancam Karakter NU


KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO /
Diskusi untuk memperingati 82 tahun Nahdlatul Ulama (NU) bertema "Membangun NU Berbasis Umat" menghadirkan pembicara Wakil Ketua DPD Laode Ida (kiri), Ketua Umum GP Ansor Syaifullah Yusuf, dan Ketua PBNU Masdar F Mas'udi di Gedung GP Ansor, Jakarta, Rabu (16/1).
Kamis, 17 januari 2008 | 16:30 WIB

Jakarta, Kompas - Nuansa politik di kalangan warga Nahdlatul Ulama atau NU belakangan ini sangat kuat. Keadaan ini telah mengancam karakter NU yang sebenarnya bertujuan utama membangun moralitas dan mentalitas bangsa, bukan kekuasaan.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah, yang juga warga NU, Laode Ida dalam diskusi ”Membangun NU Berbasis Umat”, Rabu (16/1). Pembicara lain dalam diskusi yang digelar dalam rangka Peringatan Hari Lahir Ke-82 NU ini adalah Ketua Pengurus Besar NU Masdar Farid Mas’udi dan Ketua Umum GP Ansor Syaifullah Yusuf.

Menurut Laode, NU sebenarnya memiliki empat faksi yang saling mendukung, yaitu aktivis, kultural, intelektual, dan politik. ”Namun, hampir semua warga NU sekarang berusaha masuk ke faksi politik. Sebab, dengan menjadi politisi, diyakini akan cepat kaya,” katanya.

Perubahan orientasi ini menjadi masalah karena politik cenderung berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa mempertimbangkan moralitas. Ketika berpolitik, warga NU juga menjadi kehilangan ketegasannya.

Masdar menuturkan, banyaknya kiai NU yang berpolitik juga membuat sebagian dari mereka tidak dapat lagi diambil inspirasinya. Pada saat yang sama, jumlah kiai sepuh semakin berkurang.

”Keadaan ini adalah kesedihan NU dan harus segera diakhiri. Sebab, perubahan orientasi itu memunculkan pergeseran visi di NU, yaitu dari seharusnya melayani umat ke melayani diri sendiri. Akibat selanjutnya, hubungan kiai dengan umat menjadi renggang. Basis keumatan juga menjadi jarang disentuh,” ucap Masdar.

Dia mengingatkan, umat sudah dapat memahami apa yang dilakukan para pemimpinnya. Karena itu, jika aktivitas politik sebagian warga NU kini hanya untuk melayani diri sendiri, mereka akan ditinggalkan oleh umat. ”Jika aktivitas politik itu untuk melayani umat, mereka juga akan dilayani umat,” kata Masdar. (NWO)

Semakin Diberi "Air", Semakin "Haus"


Senin, 21 januari 2008 | 04:55 WIB

Sembari makan siang di kantin, seorang anggota Dewan menceritakan pengalamannya secara blak-blakan kepada wartawan.

Dia juga menceritakan bagaimana praktik-praktik politik uang yang terjadi di DPR yang tidak bisa diceritakan dalam tulisan ini.

Karena itu, dia termasuk yang tidak setuju dengan berbagai kebijakan anggaran di DPR yang arahnya terus menguras uang negara demi mempertebal ”kantong” anggota Dewan. Dia merasa berbagai fasilitas yang selama ini dia terima sudah lebih dari cukup.

Pemberian insentif legislasi Rp 1 juta ke semua anggota Dewan yang tidak terlibat dalam pembahasan setiap kali pengesahan rancangan undang-undang, menurut dia, salah satu kebijakan yang tidak tepat.

Dua tahun terakhir

Seorang anggota Dewan lain secara blak-blakan menunjukkan seluruh catatan penghasilan yang dia terima dari negara selama dua tahun terakhir.

Dari catatan itu diketahui, penerimaan anggota DPR terbagi menjadi tiga kategori. Ada yang bersifat rutin bulanan, ada yang rutin nonbulanan, dan ada juga yang sesekali.

Yang sifatnya rutin bulanan adalah gaji paket Rp 15.510.00; bantuan listrik Rp 5.496.000; tunjangan aspirasi Rp 7,2 juta; tunjangan kehormatan Rp 3,15 juta; tunjangan komunikasi intensif Rp 12 juta; dan tunjangan pengawasan Rp 2,1 juta. Total berjumlah Rp 46,1 juta per bulan. Jadi, setahun mencapai lebih dari setengah miliar, Rp 554 juta. ”Pendapatan bulanan ini semua anggota DPR sama,” katanya.

Penerimaan nonbulanan banyak jenisnya, mulai dari penerimaan gaji ke-13 setiap Juni Rp 16,4 juta dan dana penyerapan aspirasi setiap masa reses Rp 31,5 juta. Dalam satu tahun sidang ada empat kali masa reses. Ada juga dana perjalanan dinas komisi, perjalanan dinas ke luar negeri, atau perjalanan dinas saat reses. Total keseluruhan dalam setahun sekitar Rp 188 juta.

Sementara itu, penghasilan yang sifatnya sewaktu-waktu adalah insentif pembahasan rancangan undang-undang dan honor melakukan uji kelayakan dan kepatutan yang besarnya Rp 5 juta per kegiatan.

Dengan adanya kebijakan baru berupa uang insentif legislasi Rp 1 juta per-RUU, semakin menambah lagi pemasukan anggota DPR. Uang insentif legislasi yang dia terima Rp 39,7 juta.

Apabila keseluruhan penerimaan negara itu dihitung, total uang yang diterima seorang anggota DPR dalam setahun hampir Rp 1 miliar. Sebagai anggota DPR yang tidak terlalu aktif saja, selama tahun 2006, dia menerima Rp 761,3 juta, sedangkan tahun 2007 Rp 787, 1 juta.

Anggota Dewan yang merangkap anggota badan selain komisi juga mendapat tunjangan khusus. Demikian pula anggota yang merangkap pimpinan alat kelengkapan, banyak melakukan studi banding ke luar negeri, memimpin panitia-panitia khusus pembahasan RUU, serta menjadi pimpinan fraksi, atau pimpinan DPR.

Dengan uang yang diberikan negara itu, dia yakin semua anggota DPR bisa menjadi profesional, independen, dan bersungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat.

Namun, kalau ditanya soal cukup, menurut dia, setiap orang akan memiliki pandangan yang berbeda.

”Ibarat minum air, ada yang merasa cukup, ada juga yang malah semakin haus,” ucapnya sambil tertawa.

Idealisme 550 anggota DPR yang duduk di Senayan memang beragam. Mereka tidak bisa begitu saja digeneralisasi. Terkait pemberian insentif legislasi Rp 1 juta saja, misalnya, ada fraksi yang menolak dan ada fraksi yang menerima dengan sejumlah alasan.

Anggota yang memiliki idealisme seperti tadi sesungguhnya tak hanya satu, dua. Namun, karena jumlahnya kalah banyak, suara mereka sering kali tertelan. Seorang anggota Dewan yang dulu bergelut di dunia akademisi dan sekarang terjun ke politik praktis malah mengaku sempat juga terkena getahnya. Saat dia ke kampus, rekannya menyesalkan dirinya terjun ke dunia politik praktis karena menjadi ikut ”kotor”.

Tidak semua kotor

Menilai anggota DPR seluruhnya ”kotor” tentu tak tepat karena pada kenyataannya ada juga yang berusaha untuk ”bersih” di tengah kekeruhan. Yang perlu dilakukan adalah memberikan dukungan kepada mereka yang bersih agar mereka tak tercemar, tetapi malah membawa warna jernih.

DPR yang bersih akan membawa pemerintahan juga menjadi bersih karena salah satu fungsi DPR adalah bidang pengawasan. Anggaran di eksekutif juga beratus-ratus kali lipat anggaran di DPR.

Siapakah anggota DPR yang perlu didukung itu? Tentunya, mereka yang bisa merasakan cukup dan lebih memprioritaskan orang yang kerongkongannya kering karena dahaga. (sutta Dharmasaputra)

A r s i p