Friday, February 29, 2008

Think Tanks



Oleh : Azyumardi Azra

Mungkin tidak banyak kalangan publik Indonesia yang tahu, bahwa salah satu think tank Indonesia, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta termasuk 30 think tanks paling top secara global. Dalam laporan 'The Global "Go-to Think Tanks": The Leading Public Policy Research Organizations in the World' yang dirilis James G. McGann akhir 2007 lalu dan diulas Sam Folk dalam artikel Jakarta-based Think Tank CSIS Receives International Accolade (The Jakarta Post, 29 Januari 2008), CSIS menjadi salah satu dari empat think tanks asal Asia dan satu-satunya dari Asia Tenggara yang termasuk barisan think thanks paling unggul di dunia.

Pemilihan lembaga think tanks tersebut berdasarkan nominasi yang diajukan kelompok lembaga sejenis yang menghasilkan 228 lembaga terpilih di antara 5.080 think tanks di seluruh dunia. Terbanyak terdapat di Amerika Utara (1924 lembaga atau 37,87 persen), Eropa Barat (1198/23,58 persen), Asia (601/11,83 persen), Eropa Timur 483/9,51 persen), Amerika Latin (408/8,03 persen), Afrika (274/5,39 persen), dan Timur Tengah (192/3,78 persen). Daftar itu juga mencatat 19 lembaga think tanks Indonesia.

Apakah lembaga think tanks tersebut? Menurut McGann, think tanks adalah lembaga riset, analisis, dan engagement tentang kebijakan publik. Lembaga semacam ini menghasilkan riset, analisis, dan saran yang berorientasi pada kebijakan publik tentang berbagai masalah domestik dan internasional. Dengan begitu, pengambil kebijakan dan publik umumnya dapat mengambil keputusan yang tepat tentang berbagai isu kebijakan publik.

Lembaga think tanks dapat merupakan institusi yang independen atau berafiliasi kepada pemerintah dengan struktur kelembagaan permanen, bukan merupakan komisi ad hoc. Lembaga ini juga sering menjadi jembatan antara akademisi dan pengambil keputusan; melayani kepentingan publik sebagai suara independen yang menerjemahkan hasil riset ke dalam bahasa yang bisa dipahami dan tepercaya.

Berdiri sejak 1971, tidak terlalu mengejutkan jika CSIS Jakarta menjadi think tank Indonesia yang terkemuka secara global. Lembaga ini pernah sangat berpengaruh pada Orde Baru, setidaknya sampai menjelang akhir dasawarsa 1980-an. Kini, meski pengaruhnya tidak lagi sekuat dulu, CSIS tetap merupakan lembaga penelitian paling terkemuka di Indonesia.

Memang tidak banyak lembaga think tank yang eksis pada masa Orde Baru, karena kuatnya pembatasan yang diberlakukan rezim pemerintahan dan militer. Tetapi, dalam masa pasca-Soeharto terlihat pertumbuhan signifikan lembaga semacam ini, termasuk yang didirikan mantan pejabat, sipil maupun militer dan politisi. Hal ini karena politik Indonesia menjadi lebih demokratis; pemerintah bukan hanya tidak mampu lagi mengontrol arus informasi, tetapi juga tidak dapat membendung kemunculan berbagai lembaga, termasuk lembaga think tank.

Banyak di antara lembaga yang didirikan pasca-Soeharto memiliki pretensi untuk mempengaruhi pendapat dan pertimbangan publik. Tetapi, kebanyakan mereka gagal melakukan riset dan kajian serius dan mendalam untuk menjadi pertimbangan pengambilan keputusan publik. Akhirnya, menjadi sekadar alat untuk pencapaian target politik tertentu.

Salah satu penyebab kegagalan adalah para pimpinan dan penelitinya bekerja paruh waktu. Sebagian besar mereka resminya bekerja pada instansi dan lembaga lain; universitas, lembaga penelitian pemerintah, birokrasi pemerintahan, atau lembaga nonpemerintah. Karenanya, mereka tidak bisa memberikan perhatian penuh pada lembaga think tank yang juga mereka tangani, sehingga hanya menghasilkan kajian dan riset yang tidak mendalam, dan karena itu, tidak memiliki bobot meyakinkan sebagai pertimbangan publik.

Sebuah think tank hanya bisa berhasil, jika para pengelola dan peneliti bekerja sepenuh waktu; dan mengabdikan seluruh perhatian dan kemampuan penelitian dan pengkajiannya pada lembaganya. Dengan begitu, mereka dapat menghasilkan kajian dan riset yang serius, mendalam, dan komprehensif tentang berbagai hal strategis.

Agar sebuah think tank dapat memiliki tenaga pengelola dan peneliti full-time dengan kualifikasi kompetitif, maka pendanaan menjadi hal sangat vital. Untuk itu, perlu dana endowment (hibah/wakaf) yang memadai, tidak hanya untuk membuat lembaga bisa berdiri dan maju, tapi juga untuk membiayai para pengelola dan penelitinya secara layak, dan juga agar dapat menjalankan program penelitian, kajian, dan penerbitannya secara baik. Jika hal ini bisa dilakukan, maka Indonesia dapat memiliki lebih banyak think tank yang hebat dan top.

Penyederhanaan Partai



Saat ini berkembang wacana revisi sistem pemilu proporsional yang digunakan pada Pemilu 2004. Langkah itu dilakukan agar aspek proporsionalitas lebih adil: jumlah suara berbanding lurus dengan jumlah kursi dapat tercipta.

Muncul usulan agar bilangan pembagi pemilihan (BPP), sebagai salah satu sumber persoalan, diterapkan dengan lebih ketat. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai yang merasa paling dirugikan, misalnya, mengusulkan agar partai yang memiliki suara minimal 3 persen di suatu daerah pemilihan saja yang berhak mendapatkan sisa suara.

Adapun bagi partai yang suaranya kurang dari usulan electoral threshold itu tidak bisa mendapatkan sisa suara dan otomatis akan sulit mendapatkan kursi. Usulan ini secara eksplisit mendapat dukungan dari dua partai besar, Partai Golkar dan PDI Perjuangan, yang merasa tercuri kursinya dengan sistem pemilihan yang diterapkan saat ini.

Dari perdebatan yang berkembang, isu utama yang memicu usulan PKB dan dua partai besar adalah soal proporsionalitas atau kesetaraan antara jumlah suara dengan jumlah kursi. Logikanya, partai yang bersuara besar harus mendapatkan kursi yang besar, begitu pula sebaliknya.

Sementara contoh konkret yang terjadi saat ini adalah justru beberapa partai seperti PPP, Partai Demokrat, dan PAN, yang jumlah suaranya lebih kecil dari PKB, mendapatkan kursi lebih banyak dari partai yang disebut belakangan. Begitu pula dengan kasus Partai PDK dan PKPB. Meski suara Partai PDK hanya sekitar setengah saja dibanding suara PKPB, namun jumlah kursinya malah dua kali lipat lebih banyak dari PKPB.

Efek Distorsi dalam Sistem Proporsional

Secara teoretis, sistem pemilihan proporsional (multi-member constituency) sesungguhnya justru merupakan sistem yang mengecilkan peluang terjadinya disproporsionalitas antara jumlah suara dan jumlah kursi.

Dalam sejarah perkembangan sistem pemilihan, salah satu alasan munculnya sistem proporsional adalah reaksi terhadap mekanisme sistem distrik (singlemember constituency) yang cenderung menghasilkan sebuah efek distorsi (distortion effect). Efek distorsi adalah munculnya ketidakproporsionalan antara jumlah suara yang diraih dengan jumlah kursi yang didapatkan.

Berdasarkan pengalaman yang kerap terjadi di Inggris, sebuah partai yang memiliki jumlah suara lebih sedikit mungkin saja justru mendapatkan kursi lebih banyak di parlemen. Kehadiran efek distorsi ini karena adanya prinsip the winner takes all dan keterwakilan ruang/atau distrik. Negara dibagi menjadi beberapa distrik, kemudian partai pemenang akan mengambil jatah kursi yang ada di distrik itu (takes all), sedangkan jumlah suara yang didapatkan oleh partai yang tidak menang akan hangus dan tidak bisa diakumulasikan dengan suara yang dimilikinya di distrik lain.

Dalam situasi ini, mungkin saja sebuah partai yang sebenarnya mendapatkan suara merata dan secara akumulatif di tingkat nasional lebih banyak namun selalu tidak berhasil menjadi nomor satu di distrik-distrik yang ada, mendapatkan jumlah kursi yang sangat minim di parlemen. Dalam kasus Indonesia, efek distorsi ternyata juga dapat terjadi pada sistem proporsional.

Munculnya efek distorsi itu pada dasarnya disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, keinginan agar suara di luar Jawa lebih diperhatikan dan berimbang dengan suara di Jawa, yang lebih padat penduduknya. Akibatnya "harga" kursi di Jawa lebih mahal ketimbang di luar Jawa. Tampaknya, semangat menghargai pluralisme dan proporsionalitas Jawa-non-Jawa menjadi pertimbangan utama saat UU Pemilu ditetapkan, kemudian menjadi landasan bagi Pemilu 2004.

Namun, memang belakangan partai yang memiliki konsentrasi suara di Pulau Jawa, seperti PKB, harus membayar mahal mengingat tingginya harga kursi di Jawa. Kedua, mekanisme pelaksanaan BPP yang cenderung longgar dan memberikan angin terhadap partaipartai kecil dan menengah. Hal ini karena prinsip yang digunakan adalah kursi atas dasar sisa suara dibagikan secara berurutan dimulai dari parpol yang memiliki sisa suara terbanyak sampai yang tersedikit.

Hal yang menjadi persoalan adalah jumlah suara sah partai kecil yang tidak mencapai BPP pun dianggap sebagai sisa suara. Akibatnya, mungkin saja sebuah partai yang tidak dapat menyentuh BPP, namun karena suara sahnya (sisa suara) termasuk paling banyak, partai tersebut justru mendapatkan kursi di parlemen.

Atas dasar ini, menurut PKB, perlu ada mekanisme ambang batas suara yang harus dilampaui sebuah partai sebelum dinyatakan layak untuk mendapatkan kursi atas dasar sisa suara, dengan akumulasi sisa suara ditarik sampai tingkat provinsi atau pada level nasional, sebagaimana yang diusulkan oleh Partai Golkar dan PDIP.

Mengapa Tidak?

Spirit dari usulan PKB dan partai-partai yang sepakat dengan perevisian UU Pemilu dalam konteks BPP dan electoral treshold tampaknya perlu mendapatkan dukungan. Mengingat, tujuan jangka panjang spirit usulan itu adalah perampingan jumlah partai, penguatan sistem politik, dan pelajaran untuk menciptakan partai modern. Adapun secara spesifik, dukungan atas usulan itu terkait dengan beberapa hal.

Pertama, mengingat pada dasarnya tidak ada perbedaan program dan ideologi yang signifikan antara satu partai dengan yang lain hingga saat ini, maka "terkorbankannya" partai-partai menengah dan gurem. Akibat usulan ini sejatinya tidak meluruhkan aspek keterwakilan ataupun mengorbankan kemungkinan alternatif pemikiran dalam proses pembuatan kebijakan.

Kedua, masih terkait dengan poin pertama, aspek pluralisme keterwakilan juga tidak terganggu. Hal ini mengingat prinsip kepartaian yang umum dijalani oleh partai-partai di Indonesia saat ini adalah bersifat partai terbuka dan bukan partai kader atau partai yang mewakili kalangan minoritas tertentu, apakah minoritas keagamaan, kesukuan, ataupun gender. Di samping itu, keberadaan DPD saat ini relatif mampu dan memang ditujukan untuk lebih terwakilinya kepentingan lokal.

Ketiga, menghindari efek distorsi yang dapat mengganggu aspek keadilan dan mengaburkan konstelasi politik sesungguhnya. Keempat, memungkinkan terjadinya penyederhanaan jumlah partai, yang pada gilirannya akan dapat menggiring efisiensi kerja parlemen, rasionalisasi pembiayaan peserta pemilu, penguatan stabilitas politik, dan keseriusan dalam membentuk partai politik.

Kelima, terkait dengan poin penyederhanaan partai ini, diharapkan di kemudian hari para "pemilik modal" dapat memfokuskan dirinya dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan perbaikan kualitas kehidupan bangsa melalui cara-cara yang lebih efektif dan down to earthdi luar partai politik. (*)

Firman Noor MA
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

Thursday, February 28, 2008

Jika Ulama Memilih Jalur Politik


Oleh Mu'arif


Selasa, 26 Februari 2007
Akhir-akhir ini, fenomena keterlibatan kaum ulama ke dalam politik praktis (partai) mulai marak. Fenomena semacam ini jelas mengundang sejumlah kritik dan tanggapan. Jika ulama berpolitik praktis, apalagi sampai membentuk partai berbasis ulama, identitas dan fungsinya menjadi hilang. Sebab, yang namanya politik praktis selalu berorientasi kepada kekuasaan. Ulama yang masuk ke dalam partai politik, maka identitasnya sudah bukan lagi sebagai "tempat bertanya" (ahlu adz-dzikr) bagi umat. Fungsinya pun berubah menjadi "ulama partisan".
Kata ulama, dalam bahasa Arab, berasal dari kata 'alim (orang yang berilmu). Bentuk pluralnya (jamak) berubah menjadi kata 'ulama. Secara harfiah, kata ulama berarti "orang-orang yang berilmu." Di samping itu, kata 'alim juga sering digunakan untuk menyebut orang yang memiliki kapastitas keilmuan tertentu (Nurcholish Madjid, 1994: 96).
Peran ulama makin kentara pascawafat Nabi Muhammad saw. Bersamaan dengan wafat Nabi Saw, wahyu Tuhan terputus. Tetapi, kebenaran wahyu terus memancar di Bumi. Tidak pernah redup apalagi sirna. Sebab, Nabi saw telah mewasiatkan bahwa peran menyampaikan kebenaran Tuhan diteruskan oleh ulama. Dalam sebuah hadis menyatakan bahwa "Ulama adalah pewaris para nabi" (Al'ulama warasatul anbiya).
Konsep ulama, dalam tradisi Islam, berbeda dengan rahib (Yahudi). Jika dalam tradisi Yahudi, rahib memiliki institusi formal. Institusi kerahiban memiliki kekuatan politik tertentu, dan peran institusi kerahiban pun tidak netral. Tetapi, dalam tradisi Islam tidak mengenal konsep semacam itu. Ulama hanya berperan lewat proses penyadaran, bimbingan, dan peneguhan, tetapi tanpa melalui institusi keagamaan yang memborong seluruh kebenaran. Dalam catatan sejarah umat Islam, peran ulama melewati jalur-jalur kultural untuk melakukan proses penyadaran, bimbingan, dan peneguhan terhadap umat.
Memang selama ini terdapat penyempitan makna di kalangan umat Islam dalam memahami peran dan fungsi ulama. Peran dan fungsinya lebih dikonotasikan sebagai pakar atau ahli agama. Padahal sesungguhnya peran dan fungsi ulama lebih luas dari sekedar mengurusi persoalan-persoalan keagamaan. Peran dan fungsi ulama ialah sebagai tempat bertanya (ahlu adz-dzikr) bagi umat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi. Di sinilah ulama menjalankan fungsinya lewat proses penyadaran, bimbingan, dan peneguhan. Dalam posisi seperti ini, ulama harus netral dan menempatkan diri di tengah-tengah umat.
Dalam tradisi Islam di Indonesia, peran ulama sering dipadankan dengan "kiai". Secara harfiah, istilah kiai memang lebih tepat untuk menunjuk kepada seorang syaikh. Yaitu tokoh terhormat (status sosial) yang memiliki peran penting dalam sebuah masyarakat.
Akan tetapi, dalam konteks keindonesiaan, istilah kyai atau syaikh sepadan dengan ulama. Bahkan, peran ulama sudah menjelma menjadi "status sosial" sekaligus berfungsi sebagai "tempat bertanya" (ahlu adz-dzikr) untuk permasalahan-permasalahan keumatan. Dalam tradisi di pondok pesantren, peran kiai sebagai pemangku pondok sekaligus pendidik dan pembimbing umat merepresentasikan peran dari ulama sekaligus sebagai tokoh terhormat yang amat disegani.
Fenomena keterlibatan para ulama atau kiai ke dalam politik praktis tampak jelas sekali akhir-akhir ini. Kelahiran PKNU, misalnya. Sekalipun di kalangan NU sendiri partai ini masih menjadi polemik, tetapi beberapa ulama berpengaruh turut andil dalam membesarkan partai ini. Pertanyaannya kemudian, apakah ulama yang terlibat dalam politik praktis akan mampu menjalankan fungsinya atau malah larut dalam ingar-bingar kekuasaan?
Baru-baru ini, KH Abdul Muhaimin, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Yogyakarta, lewat statement-nya menyesalkan keterlibatan para ulama dalam politik praktis ini. Menurut dia, jika sebuah partai lahir karena aspirasi rakyat, maka itu sudah wajar. Tetapi, kelahiran sebuah partai karena kekecewaan para ulama, maka itu menjadi tidak wajar. Apalagi perjuangan para ulama bukan lewat jalur politik praktis (Suara Muhammadiyah, 16-29/2/2008).
Dengan demikian, adalah sebuah tantangan berat bagi para ulama ketika memasuki dunia politik praktis (kekuasaan). Terdapat beberapa konsekuensi yang harus dipikul sekalipun secara terpaksa dan harus mengingkari hati nurani. Pertama, seorang ulama yang terlibat dalam politik praktis dikhawatirkan bakal memanfaatkan agama sebagai legitimasi politik. Yang demikian jelas cukup riskan bagi umat Islam sendiri.
Kedua, ulama harus tunduk kepada kebijakan partai. Inilah yang kemudian mengubah posisi seorang ulama dari sikap netral menjadi partisan. Ulama sudah bukan menjadi milik umat, tetapi milik partai politik tertentu.
Ketiga, dalam dunia politik terkait dengan prinsip-prinsip moral yang sering diabaikan. Kalkulasi-kalkulasi politik sering mengaburkan komitmen seseorang. Seorang ulama yang terlibat dalam politik praktis, komitmennya sering menjadi tidak jelas. Integritas-moralnya pun jadi buram.
Di samping itu, keterlibatan para ulama ke dalam politik praktis juga mencerminkan bahwa mereka telah kehilangan identitas dan jati diri. Sebab, para ulama yang terlibat di partai politik sudah menjadi milik partai, bukan milik umat secara keseluruhan. Identitas mereka pun sudah menjadi ulama partisan. Sementara jati diri ulama sebagai ahlu adz-dzikr bagi umat sudah hilang. Ulama yang terlibat politik praktis sudah tidak lagi melakukan proses penyadaran, bimbingan, dan peneguhan, tetapi malah melakukan pembodohan dan memecah-belah umat.
Oleh karena itu, benar pesan KH. Abdul Muhaimin. Kepada para ulama, ia berpesan agar tetap menjadi kekuatan moral yang konsisten. Sebab, dunia politik itu penuh dengan intrik, di samping memang dapat mendatangkan materi yang amat menggiurkan. Tetapi, peran dan fungsi keulamaan harus selalu netral agar umat tidak terpecah-belah.***
Penulis adalah Ketua Bidang Kader Dewan Pimpinan Wilayah
Partai Matahari Bangsa (PMB) DIY

Korupsi dan Paradoks Demokrasi


Oleh Geger Riyanto


Selasa, 26 Februari 2007
Freedom House, sebuah lembaga internasional, berpandangan bahwa korupsi bertentangan dengan demokrasi. Dalam surveinya di 30 negara Afrika, Freedom House menemukan bahwa dengan akuntabilitas dan keterbukaan sektor publik, korupsi dapat diminimalisir. Fenomena tersebut dapat dilihat pada negara-negara Afrika Selatan dan Kenya. Sedangkan negara Zimbabwe yang menempati peringkat terendah dalam pemberantasan korupsi, memiliki sistem pemerintahan yang patrimonial dalam rezim Mugabe.
Namun, mirisnya, meski telah mencuat julukan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga, setelah India dan AS, di mata dunia Indonesia tetap dipandang sebagai negara yang korup, bahkan salah satu yang terkorup. Berbagai pemberitaan maupun penelitian yang telah diakukan hanya mengekalkan pandangan tentang Indonesia yang korup. Apa pasal?
Affan Gaffar (1993) membedakan dua dimensi tinjauan demokrasi dalam ilmu politik. Pertama, secara normatif, demokrasi diidentikkan dengan pemerintahan dari rakyat. Di Indonesia, aspek tersebut tercantum pada UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yang menegaskan, "Kedaulatan adalah di tangan rakyat". Nada-nada filsafat pencerahan ala Rosseauian memang sangat kental mewarnai perumusan demokrasi secara normatif.
Sedangkan secara prosedural, demokrasi merupakan mekanisme pemilihan pejabat publik yang akuntabel oleh rakyat melalui pemungutan suara. Perumusan ini bertitik tolak pada konsep demokrasi menurut Joseph Schumpeter (1942). Demokrasi bukanlah pemerintahan oleh rakyat, melainkan pemerintahan yang dijalankan oleh elite dengan bermodal dukungan dari rakyat. Bila disederhanakan, maka rakyatlah yang tampak memerintah. Nada realistik dalam perumusan Schumpeter ini, dielaborasi oleh Robert A Dahl (1971, 1989) dengan merumuskan demokrasi sebagai poliarki. Poliarki merupakan pemerintahan yang kekuatannya dipegang oleh beberapa orang, tetapi tentu tidak oleh semua rakyat.
Melalui perumusan tersebut, kita melihat bahwa dinamika antara demokrasi dengan korupsi tak terlepas dari peran nyata rakyat dalam ranah sosial-politik. Pada umumnya, semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat, maka rakyatnya akan semakin sensitif dalam mempersepsikan bahwa korupsi bisa berdampak tidak baik bagi stabilitas politik jangka panjang di negaranya dan bagi dirinya sendiri. Dalam hal ini, hubungan demokratisasi dengan penurunan tingkat korupsi, tidak terlepas dari trend tuntutan rakyat di beberapa negara terhadap pemberantasan korupsi dalam sektor publik.
Oleh karena itulah, dalam beberapa literatur ilmu politik, seperti yang ditulis Seymour Martin Lipset (1959, 1960), Karl W Deutsch (1968) dan Bingham Powell (1984), variabel-variabel seperti pendapatan perkapita masyarakat, tinggi-rendahnya kemampuan baca-tulis, urbanisasi, dan besar-kecilnya masyarakat yang terekspose di media massa, merupakan fondasi yang penting untuk kualitas dan berlangsungnya demokrasi.
Tetapi ada trend lain pada hubungan antara demokrasi dan korupsi. Sebagaimana pernah diwacanakan oleh George Soros, bahwa kalangan bisnis lebih memilih untuk berinvestasi dalam negara yang bersih, ketimbang demokratis. Sebagai seorang usahawan, dapat diduga Soros mendasari pernyataannya kepada kenyataan bahwa negara demokratis belum tentu bersih dari korupsi.
Dalam hal ini, Singapura dapat menjadi contohnya. Dalam penelitian Freedom House, Negeri Singa tersebut ditempatkan sebagai negara yang semi-otoriter. Di sisi lain, negara tersebut menempati posisi negara ke-5 negara terbersih dari korupsi dalam CPI. Bagaimana menjelaskan fenomena ini?
Teori tentang sistem politik yang dirumuskan oleh David Easton (1953) sangat relevan untuk menjelaskannya. Dalam kerangka analisisnya, kita dapat melihat bahwa kecenderungan aksiomatik dari sistem politik adalah bersifat artikulatif, bahkan pada pemerintahan yang otoriter. Asumsinya, rakyat awam merupakan subjek yang menginginkan keteraturan dalam hidupnya, maka untuk memenuhi hukum permintaan, pemerintah muncul dari tubuh masyarakat itu sendiri sebagai penyedianya.
Dalam negara yang otoriter, pemerintah dapat menarik aspirasi rakyatnya tanpa prosedur-prosedur yang demokratis. Bandingkan fenomena ini, dengan fenomena kerajaan tradisional yang belum memiliki sistem demokrasi yang prosedural. Tindakan kolektif simbolik, seperti mogok bertani, merupakan sarana bagi rakyat untuk mengomunikasikan aspirasinya. Tanpa artikulasi yang baik, sistem politik tersebut akan hancur, entah melalui revolusi ataupun karena keruntuhan fondasi ekonominya.
Dalam proses modernisasi, pola-pola artikulasi terus diperbaharui menjadi lebih baik dan rasional melalui penetapan prosedur formal atau pembentukan institusi untuk menjalankannya. Tetapi sebagai eksponen dalam proses ini, rakyat memiliki peran yang signifikan. Misalnya dengan mengorganisasi diri sehingga memiliki kekuatan politik untuk bertindak menuntut perubahan dalam sistem.
Untuk konteks Indonesia saya kira sistem demokrasi prosedural memiliki potensi lebih baik untuk memajukan pemberantasan korupsi. Pasalnya dalam sejarah, sistem yang otoriter atau semi-otoriter membuka peluang korupsi. Sedangkan dalam periode demokrasi parlementer yang relatif singkat, mekanisme kontrol politik dapat dilakukan dengan baik, meski pemerintahan terasa kurang stabil karena perbedaan ideologis yang tajam.
Sedangkan dalam konteks Singapura, anatomi sosiologis untuk mempertimbangkan hal ini tentu berbeda. Singapura merupakan negara yang secara geografis seukuran kota, sehingga lebih mudah bagi pemerintah untuk memantau dan mengembangkan kehidupan warganya. Artikulasi politik yang baik lebih dimungkinkan tanpa perlu memenuhi prosedur demokrasi.
Untuk itu, saya kira pengukuran lain terhadap demokrasi yang dilakukan The Economist lebih relevan dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam penelitiannya, Litbang majalah tersebut menemukan bahwa Indonesia merupakan negara yang demokrasinya cacat (flawed democracy). Perhitungan tersebut ditinjau dari beberapa indikator, seperti proses elektoral, berjalannya pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.***
Penulis adalah penekun Sosiologi Pengetahuan Universitas Indonesia

Tuesday, February 26, 2008

Megawati, Sultan HB X, dan Wiranto


Sidang pembaca, ini survei sederhana dan bersifat pribadi. Mendekati Pemilu 2009 sekarang ini, teman-teman yang dekat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri mendorong saya untuk segera merapat ke kubu Mega. Alasannya, Soekarnois dan nasionalis. Yang dekat dengan Partai Hanura mendorong agar mendekat ke Pak Wiranto karena hubungan baik kami selama ini. Sementara itu, saya dihantui oleh waham ”Sentot” (Sentot syndrome).

Bapak (almarhum) dulu pernah berpesan. Jika suatu masa saya dihadapkan pada pilihan-pilihan, sebagai anak Madiun, sikap Sentot Prawirodirjo yang harus dipilih, yaitu mengabdi pada Pangeran Diponegoro sebagai panglima perang. Dalam konteks sekarang, itu berarti mengabdi kepada Orang Agung Mataram (Sultan Hamengku Buwono X). Tentu saja ini hanya berlaku jika Sultan maju sebagai kandidat presiden nantinya.

Betapa ribetnya pilihan-pilihan itu. Tidak tertutup kemungkinan, besok atau lusa, teman-teman yang dekat dengan Partai Kebangkitan Bangsa akan menyarankan penulis untuk menjadi salah satu sekrup kecil dalam tim sukses Gus Dur. Karena, meskipun jauh di pinggiran, saya tetap bagian dari nahdliyin. Siapa tokoh yang harus saya dukung?

Tak mungkin netral

Sejujurnya saya tidak bisa mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu nanti. Tidak ada hubungan emosional apa pun yang bisa dijadikan pijakan komitmen. Tidak ada getar-getar batin yang bersambung selama ini. Mungkin kebatinan publik (cara merasakan penderitaan rakyat) kami memang berbeda.

Kalau melihat kondisi republik saat ini, rasanya tidak pantas kalau kita hanya diam saja. Sehebat apa pun sikap netral seorang akademisi, kata sahabat saya, Ketua Umum Pemuda Ansor Saifullah Yusuf, bandul secara otomatis akan miring pada pilihan-pilihan kerakyatan.

Faktanya, kemiskinan dan pengangguran memang beringsut terlalu lambat untuk menuju perbaikan. Bahkan, kedelai dan daging sapi pun sempat langka di pasaran. Ini belum lagi kalau beberapa faktor, seperti pemadaman listrik, rencana pemotongan anggaran pertahanan, dan keputusan pemerintah untuk menyewakan lahan hutan dengan harga murah, ikut diperhitungkan. Pendeknya, situasinya memang patologis.

Dalam kondisi masyarakat yang secara umum sulit mesem (tersenyum) itu, pemihakan nurani untuk memilih figur yang bisa membangkitkan optimisme sulit dihindari. Ilmu ”langit” yang berpijak pada tatanan dan etika obyektif terpaksa harus diurai menjadi ilmu ”bumi”. Di sini subyektivitas jadi pilihan.

Idealnya, tentu seorang pemuda yang cerdas, berkarakter, dan didukung oleh massa rakyat tampil memimpin Indonesia guna mengatasi kurewetan bangsa. Tapi, riil politik bicara lain. Kentalnya budaya paternalistik dan oligarki partai tampaknya hanya akan mendorong munculnya tiga nama yang potensial menjadi lawan tangguh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka adalah Megawati Soekarnoputri, Sultan Hamengku Buwono X, dan Wiranto.

Megawati Soekarnoputri, meskipun hanya tidur, misalnya, secara otomatis sudah mengantongi modal politik 17 persen pemilih. Mereka adalah para Soekarnois yang setia terhadap PDI-P. Terlepas dari kelemahan Megawati karena pernah menjadi presiden, jumlah itu pasti bertambah besar karena sikap partai yang beroposisi terhadap pemerintah.

Lawan kedua adalah Sultan Hamengku Buwono X. Sultan memang belum punya partai. Tapi, kalau popularitasnya menanjak terus, dan saya yakin itu, dia tidak akan terbendung. Akan banyak partai mendekati. Posisi Sultan yang belum mempunyai ”catatan” nasional justru menjadi kekuatan luar biasa. Ruang geraknya untuk melakukan manuver politik terbuka sangat luas, terlebih lagi dia tercatat sebagai salah satu tokoh reformasi.

Terakhir adalah Wiranto. Partainya, Hanura, mencoba membangun sistem organik berbasis inisiatif dari bawah. Infrastruktur partainya terbangun baik, menyebar hampir di pelosok republik. Di dunia militer, figur Wiranto dianggap sebagai ”atasan” Presiden SBY. Oleh sebab itu, dia dianggap sebuah antitesis. Jika Presiden SBY dicitrakan ”tak tegas”, Wiranto dicitrakan sebaliknya. Oleh sebab itu, ia juga lawan potensial dalam kontestasi politik 2009.

Salah satu dari ketiga nama tersebut sejujurnya diuntungkan keadaan, yaitu situasi patologis sekarang ini. Sebagai modal politik, kontribusi situasi bagi kemenangan kontestasi sekitar 50 persen. Sisanya, tinggal kerja keras dan komunikasi politik yang sensitif pada publik.

Sedangkan untuk nama-nama lain yang beredar selama ini, sejatinya ”setrum” mereka lemah di ranah publik. Namun, kalau mereka tetap memaksakan diri, ya, silakan.

SUKARDI RINAKIT Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

Monday, February 25, 2008

TAJUK RENCANA

Dilema Pemerintahan

Sudah di beberapa departemen, Presiden dan Wakil Presiden memimpin langsung rapat. Yang terakhir minggu lalu di Departemen Keuangan.

Langkah diambil dalam mengusahakan terselenggaranya pemerintahan secara efektif dan efisien. Pendekatan itu kita hargai. Perhatian langsung itu diharapkan dan diupayakan agar pemerintahan bekerja lebih efektif dan lebih efisien, tidak terhambat birokratisme dan tidak pula mudah terbawa arus birokratisasi yang, jika tanpa konsentrasi terus-menerus, mudah terbawa arus rutin. Sikap rutin tidak memadai karena kita semakin dihadapkan pada urgensi persoalan dan tantangan.

Contoh amat banyak. Setiap hari kita alami, misalnya kemacetan di jalan, hujan lebat, dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Menyelenggarakan pemerintahan demokrasi dalam transisi bagi siapa pun tidak mudah. Tidak mungkin lagi main tekan tombol, lantas beres.

Jika hal itu kita kemukakan, maksudnya justru untuk mengentakkan kesadaran betapa efektivitas dan efisiensi semakin rumit untuk dilaksanakan. Sebaliknya, efektivitas dan efisiensi justru semakin dituntut oleh publik sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawab pemerintahan dalam demokrasi.

Untunglah, kita juga dipicu komitmen dan semangat reformasi. Sudah berjalan 10 tahun, tetapi tantangan dan persoalan tidak juga surut, justru berlipat.

Kecuali pemerintahan yang efektif dan efisien sehingga menjurus pada get things done, terlaksananya kebijakan dan keputusan, dalam masa transisi pemerintahan juga acap kali dihadapkan pada pilihan dilematis. Contoh, seberapa jauh kasus yang menyangkut Gubernur BI dan pimpinan BI lainnya bisa diangkat sebagai contoh kasus dan persoalan yang dilematis itu. Bukan terutama substansinya, tetapi timing-nya.

Jika hal itu kita angkat, bukan siapa yang bertanggung jawab dan siapa yang salah yang kita persoalkan. Dalam konteks ulasan ini, terutama bijakkah atau tepatkah timing-nya. Tentu saja, penilaian semacam itu subyektif.

Dapatkah kasus itu kita angkat sebagai kasus yang melukiskan adakalanya bisa timbul kontroversi antara prinsip dan oportunitas. Cenderung muskillah pilihannya jika hal semacam itu terjadi. Prinsip pemberantasan korupsi sedang gencar bahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru berganti pimpinan dan anggota.

Apa reaksi publik jika dalam kasus ini ditempuh pertimbangan oportunitas, pertimbangan prioritas masalah, dan prinsip antikorupsi. Karena hal semacam itu, maka menyelenggarakan pemerintahan juga disebut the art of government, seni memerintah.

Sekadar membuat analisis tentu saja lebih sederhana. Dihadapkan pada tugas mengambil keputusan dan memilih alternatif, pastilah lebih pelik. Namun, pengayaan nuansa dan pertimbangan ada juga manfaatnya. Manfaat bagi semua pihak, bagi pemerintah, lembaga yang bersangkutan, maupun publik.

Parlemen-MPR dan Parlemen-Legislatif




Senin, 25 Februari 2008 | 01:21 WIB

Mohammad Fajrul Falaakh

Kepada Pansus RUU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pimpinan MPR menyampaikan usulan resmi tentang pimpinan MPR permanen yang hanya terdiri atas seorang ketua dan dua wakil ketua (Kompas, 14/2/2008). Pimpinan MPR mengusung gagasan sendiri, bukan dari sidang MPR dan bukan wewenang MPR untuk mengusulkan perubahan legislasi.

UUD 1945 tidak cukup tegas menyamakan MPR dan DPR praamandemen konstitusi, maupun MPR, DPR, dan DPD pascaamandemen, sebagai parlemen dengan perbedaan kedudukan dan fungsi masing-masing. Keberadaan pimpinan MPR, pimpinan DPR, dan pimpinan DPD bahkan mengaburkan pemahaman tentang satu parlemen di Indonesia.

Tulisan ini menjernihkannya dengan membahas dua fungsi parlemen, parlemen bernama MPR (parliament-assembly) dan parlemen-legislatif (parliament-legislature) yang terdiri atas DPR dan DPD.

Parlemen-MPR

”MPR baru” merupakan pelembagaan fungsi khusus parlemen yang keanggotaannya bersumber ganda, yaitu utusan partai politik di DPR dan utusan daerah di DPD yang semuanya dipilih (amandemen konstitusi membersihkan anggota yang diangkat, yaitu utusan golongan, termasuk militer dan kepolisian). Parlemen-MPR merupakan representasi rakyat dan melaksanakan kedaulatan rakyat.

MPR melantik, tepatnya menyaksikan pelantikan, presiden-wapres yang sudah dipilih langsung oleh rakyat, melantik wapres sebagai presiden saat presiden berhalangan tetap, atau menetapkan mendagri, menhan, dan menlu sebagai pelaksana kepresidenan saat presiden-wapres berhalangan tetap secara bersamaan.

MPR berperan sebagai kelompok pemilih untuk mengisi lowongan jabatan kepresidenan karena presiden dan atau wapres berhalangan tetap.

MPR berfungsi sebagai majelis konstitusi karena berwenang mengubah dan menetapkan konstitusi. MPR juga merupakan majelis pemakzulan presiden/wapres (seperti Kongres Amerika Serikat), dalam hal diusulkan oleh DPR. Usul DPR bermakna undangan bersidang kepada semua anggota MPR untuk memberhentikan presiden/wapres.

Alasan pemakzulan telah mengubah fungsi MPR dalam pemerintahan parlementer menjadi MPR dalam sistem presidensial, yaitu jika presiden/wapres terbukti melanggar hukum, melakukan perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat jabatannya.

Meski terdiri atas anggota DPR dan DPD, ”MPR baru” bukan merupakan hubungan DPR-DPD, DPD-MPR, maupun DPR-MPR. UUD 1945 tidak mengatur kerja bersama MPR, DPR, dan DPD untuk menghasilkan produk hukum atau keputusan politik. Pelaksanaan fungsi parlemen-MPR merupakan persidangan khusus (special sessions) untuk tujuan tertentu (ad hoc), bukan fungsi rutin legislatif (ad interim).

Parlemen-MPR bersifat independen, berdiri sendiri, dan permanen. Namun, pelaksanaan fungsi MPR memberhentikan fungsi rutin lembaga legislatif karena persamaan keanggotaan MPR dengan DPR-DPD.

Parlemen-legislatif

Parlemen Indonesia juga terdiri atas DPR dan DPD. Anggota parlemen-legislatif bikameral ini berhubungan secara berkelompok dan melembaga. Parlemen ini berdiri sendiri, independen, permanen, dan ”sehari-hari” melaksanakan fungsinya (bukan ad interim maupun ad hoc). Namun, postur, wewenang, ranah kekuasaan masing-masing, dan pola hubungan keduanya amat timpang (asymmetric).

Anggota DPR dipilih melalui pemilu yang pesertanya adalah partai-partai politik (sistem proporsional). Anggota DPD dipilih di setiap provinsi melalui pemilu yang diikuti peserta perorangan (sistem distrik dengan keanggotaan majemuk).

UU Susduk mematok jumlah anggota DPD kurang dari sepertiga jumlah anggota DPR saat ini tidak tercapai sehingga kekompakannya tidak akan mendorong amandemen konstitusi.

DPD hanya membahas bersama DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

DPD hanya memberi pertimbangan kepada DPR atas Rancangan APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Peran DPD dalam fungsi penganggaran tampak sangat terbatas.

Ketimpangan makin mencolok karena presiden dilibatkan sebagai pembahas dan pengambil keputusan bersama DPR, sedangkan DPD dipinggirkan (Pasal 20 Ayat 2 UUD 1945).

Pola hubungan ini boleh disebut tipe hibrida, yaitu proses legislasi tiga kamar (three-chamber legislative process) yang pengambilan keputusannya di tangan DPR dan presiden (president-executive in parliament). Pola legislasi parlementer yang ganjil ini dimungkinkan karena amandemen konstitusi tidak menegaskan bahwa ”kekuasaan legislatif” dilaksanakan bersama oleh DPR dan DPD.

Bukan komandan

Jelas bahwa pelaksanaan fungsi parlemen-MPR memberhentikan fungsi rutin parlemen-legislatif, dan sebaliknya, sehingga semua fungsi parlemen dapat dilayani oleh sebuah birokrasi parlemen yang andal. Parlemen Indonesia tidak memerlukan tiga sekretariat jenderal (setjen) dan tiga kepemimpinan seperti sekarang.

Tiga kepemimpinan itu bahkan tidak diperlukan dalam tanggung jawab pengelolaan keuangan parlemen karena tanggung jawab pengelolaan keuangan negara sudah langsung (by law) dilaksanakan setjen. Anggota parlemen bukan bawahan presiden, kepala pemerintahan pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan negara.

Secara fungsional, kepemimpinan di parlemen dibutuhkan dalam sidang paripurna, komisi, dan lainnya, baik pada parlemen-MPR maupun parlemen-legislatif, yang ditundukkan kepada konfigurasi politik parlemen. Tetapi, kepemimpinan parlemen yang hierarkis bersitegang dengan prinsip kesetaraan suara anggota. Pendapat pimpinan tak menghapus pendapat anggota, apalagi hasil sidang paripurna.

Komandan parlemen dalam demokrasi bukanlah pimpinan parlemen, tetapi konsensus politik (hikmat kebijaksanaan) atau suara terbanyak dalam permusyawaratan/perwakilan.

Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas Hukum UGM

Korupsi, Investor Jepang, dan PKS



Oleh :Purwadi Raharjo

Ketua Komisi Dagang dan Investasi Pusat Informasi dan Pelayanan PKS di Jepang

Entah kebetulan atau tidak, tapi yang jelas di Bali dalam beberapa pekan lalu secara berurutan berlangsung dua pertemuan besar yang sebenarnya sangat berkaitan erat. Pertama ialah Konferensi II Negara-Negara Pihak Konvensi PBB Menentang Korupsi (The Second Conference of State Parties to the United Nations Convention Against Coruption/CSP-2 UNCAC) yang berlangsung pada tanggal 28 Januari sampai 1 Februari 2008.

Peristiwa kedua adalah Musyawarah Kerja Nasional Partai Keadilan Sejahtera (Mukernas PKS) yang digelar mulai tanggal 1 hingga 3 Februari 2008. Yang menghubungkan antara keduanya ialah masalah korupsi.

Konferensi PBB itu membicarakan masalah pengembalian aset korupsi internasional, sedangkan mukernas diadakan oleh PKS, sebuah partai yang selama ini dikenal sebagai partai antikorupsi dengan jargonnya terkenal 'Bersih, Peduli dan Terbuka'.

Korupsi memang telah lama menjadi musuh besar yang seharusnya diperangi oleh setiap anak bangsa ini. Tidak saja oleh PKS, tetapi semestinya juga oleh semua partai, organisasi, birokrasi, LSM, bahkan setiap individu yang mau menciptakan kemajuan bagi Indonesia. Telah malu muka ini karena sudah sering dicap sebagai negara paling korup di dunia. Sebagai salah satu dampak dari pencitraan yang buruk ini, investor asing terpaksa berpikir beribu kali ketika hendak membuka perusahaannya di Indonesia.

Korupsi dan investasi Jepang
Perusahaan-perusahaan Jepang adalah yang termasuk yang kurang nyaman dengan bisnis yang mengandung praktek korupsi ini. Mengapa? Karena faktor X ini akan membuat pusing perusahaan dalam perencanaan anggaran dan pertanggungjawaban pengeluaran.

Apalagi kalau pengeluaran speed money (facilitation payment) ini memakan porsi cukup besar dalam total pengeluaran perusahaan. Lonceng kematian perusahaan sewaktu-waktu bisa datang akibat kerugian selama berinvestasi.

Lebih-lebih untuk mengharapkan investasi Jepang, borok korupsi ini bertambah sulit ditutupi karena telanjur muncul berbagai masukan miring yang disampaikan oleh orang-orang yang pernah melakukan investasi di Indonesia. Sampai-sampai telah beredar buku di Jepang mengenai borok bisnis di Indonesia yang berjudul Korupsi dan Toleransi dalam Bisnis Indonesia (Fuhai to Kanyo Indonesia Bisunesu).

Buku ini menggambarkan sifat orang Indonesia yang ramah dan tinggi sifat tolerannya. Sayangnya, dikotori oleh korupsi yang telah merajalela.

Buku yang ditulis oleh orang Jepang yang pernah tinggal lama di Indonesia ini mengungkapkan bahwa sikap toleransi orang Indonesia terlalu berlebihan sehingga malah memperkuat terjadinya korupsi dan mengganggu kelancaran bisnis profesional. Memang dalam pergaulan sesama manusia, sifat toleransi ini adalah sifat yang bagus, tapi hal ini tidak berlaku kalau muncul di dalam dunia bisnis.

'Budaya' jam karet adalah salah satu contoh sifat toleransi yang tidak bisa diterapkan pada masalah bisnis. Sebab mengapa hukuman terhadap orang yang melakukan korupsi masih saja ragu-ragu untuk diberikan, mungkin karena sifat orang kita yang terlalu baik hati dan bertoleransi.

Sebenarnya ada cara sangat mudah untuk menarik investor dari Jepang, jelas penulis buku ini, yaitu cukup dengan memberikan perasaan puas dan nyaman pada investor yang sekarang sedang membuka perusahaan di Indonesia. Jika mereka puas, maka mereka nantinya secara otomatis akan mengundang perusahaan-perusahaan penyokong lain yang terkait dengan produksi mereka ke Indonesia.

Namun, masalahnya perasaan nyaman dan keuntungan perusahaan tidak pernah didapat karena faktor korupsi/suap. Bayangkan, bagaimana bisa mendapat keuntungan kalau anggaran yang harus dikeluarkan untuk membayar suap ini bisa sampai melebihi 10 persen pengeluaran.

Ambil contoh pada i tahun 2000 karena upah buruh lebih rendah dibandingkan Malaysia, maka harga produksi Indonesia bisa lebih murah sebesar 30 persen. Tapi, kemudian dipotong biaya pengiriman, maka sebenarnya keuntungan melakukan produksi di Indonesia hanya sebesar 10 persen. Jadi, jika dipotong lagi untuk membayar uang siluman suap yang 10 persen tadi, maka habislah keuntungan berinvestasi di Indonesia (Nakahara, 2005).

Harapan pada PKS
Sejak dideklarasikan Partai Keadilan Sejahtera yang terkenal dengan slogan Bersih dan Peduli ini, sebenarnya banyak orang telah memberi harapan pada partai ini. Tidak ketinggalan juga harapan datang dari para investor Jepang. Miichi Ken dalam bukunya berjudul Indonesia isuramu shugi no yukue (Miichi, 2004), yang merupakan disertasi doktornya di Kobe University, menantang PKS dengan visi 'bersihnya' agar mampu merumuskan program-program nyata dalam pemberantasan korupsi ini, bukan semata slogan dalam pepesan kosong.

Bagaimana program PKS untuk membasmi praktek korupsi yang sudah menggurita ini? Dalam mukernas yang lalu disosialisasikan platform PKS yang kiranya bisa menjawab tantangan-tantangan di atas.

Dalam salah satu platform PKS bidang politik, dirumuskan tiga agenda strategis untuk mewujudkan komitmen pemberantasan korupsi ini. Pertama, menuntaskan reformasi birokrasi.

PK Sejahtera akan menempuh berbagai langkah untuk meningkatkan kinerja aparatur pemerintah, yaitu dengan perbaikan sistem rekruitmen dan promosi berdasarkan merit-based system, menurunkan jumlah pegawai negeri melalui kebijakan zero-growth dan pemfokusan pada fungsi pelayanan publik, seperti tenaga pendidik dan medis, meningkatkan koordinasi dan sinergi antarinstitusi, seperti Menpan, BKN, Depkeu, dan Depdagri untuk reformasi birokrasi yang efektif.

Kalau ini bisa dilakukan, secara otomatis jumlah pegawai negeri tidak terlalu gemuk. Dengan demikian, gaji PNS bisa dinaikkan yang dampaknya diharapkan korupsi/suap akan berkurang.

Kedua, menghilangkan inefisiensi sektor publik. Inefisiensi sektor publik yang biasanya menjadi sumber pemborosan dana dan korupsi ini akan dicoba dihilangkan dengan kebijakan yang komprihensif, yakni tidak hanya berkait pada masalah manajemen personal dan anggaran, tetapi juga meliputi aspek moral dan spiritual.

Perubahan paradigma aparatur negara melalui pembinaan mental dan spiritual yang terus-menerus dan sistematis, pengenalan budaya organisasi modern, penegakkan peraturan dan sanksi yang tegas atas setiap penyalahgunaan jabatan publik, akan menjadi bagian pembinaan ini. Melalui reformasi moral ini, kekhawatiran investor Jepang tentang budaya Indonesia yang menghambat bisnis profesional, seperti jam karet, disiplin kerja yang kurang, budaya toleransi yang berlebihan pada aparat negara diharapkan akan hilang.

Ketiga, menegakkan supremasi hukum yang meliputi kepemimpinan yang kuat dan tegas untuk penegakan hukum nasional, baik di tingkat pemerintahan maupun lembaga peradilan, menghapus korupsi dan penyalahgunaan jabatan di institusi peradilan, meningkatkan kompetensi aparat penegak hukum.

Harapan kembali ditujukan pada PKS. Platform yang terkait dengan pemberantasan korupsi ini hanyalah salah satu hal yang mencerminkan keseriusan PKS dalam pembangunan bangsa.

Mukernas PKS pun sudah berakhir. Berbagai rumusan platform partai yang selaras dengan slogannya siap dilaksanakan. Kita percaya PKS dengan jiwa mudanya dan intelektual yang tinggi bisa mengimplementasikan seluruh platform dengan sungguh-sungguh. Mudah-mudahan pelaksanaan seluruh platform tersebut membangkitkan kembali harga diri bangsa Indonesia yang selama ini terpuruk. Bangkitlah negeriku, harapan itu masih ada.

Ikhtisar:
- Korupsi sudah lama menjadi musuh besar.
- Masih banyak budaya buruk orang Indonesia yang mengganggu praktik bisnis.
- Supremasi hukum juga masih belum berjalan sesuai harapan.

Saturday, February 23, 2008

Kekerasan terhadap Fungsi Pers


Sabtu, 23 Februari 2008 | 02:12 WIB

Oleh Leo Batubara

Persoalan yang dihadapi wartawan dalam melaksanakan profesinya adalah kesenjangan antara apa yang diamanatkan dan apa yang terjadi dalam praktik.

Dalam acara puncak Hari Pers Nasional 2008 di kompleks kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang (9/2/2008), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, ”Terima kasih kepada insan pers yang telah memberi dukungan kritis terhadap pemerintah. Kalau saya harus memilih antara pers yang bebas dan pers yang dikontrol atau dipasung, saya pilih yang bebas.”

Baru delapan hari setelah amanat itu disiarkan, wartawan Pos Kupang, NTT—Yacobus Lewanmeru (Obby)—yang bertugas di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, dianiaya empat laki-laki (17/2). Bibir Obby luka parah, beberapa bagian tubuh dan kepala memar terkena pukulan. Keempat penganiaya ditahan untuk penyidikan.

Menurut Kepala Bagian Operasional Polres Manggarai Barat Ajun Komisaris Victor Jemada, kasus itu diduga dendam pribadi. Sementara dalam suratnya ke Kepala Polres Manggarai Barat, Pos Kupang meminta Polres mengungkap motif penganiayaan, termasuk pihak-pihak yang ”mungkin” menjadi otak penganiayaan dan pengeroyokan karena amat mungkin, peristiwa itu terkait kegiatan jurnalistik Obby.

Kemungkinan itu ada nalarnya karena berdasar dugaan beberapa pihak di Labuan Bajo, kasus penganiayaan terhadap Obby terkait pemberitaan dugaan korupsi proyek singkong senilai Rp 2,8 miliar. Sejak awal Februari, Pos Kupang gencar memberitakan proyek yang diduga fiktif itu. Dugaan penyimpangan proyek singkong itu dilaporkan oleh DPRD Manggarai Barat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta (Kompas, 18/2).

453 tindak kekerasan

Penganiayaan terhadap Obby mengingatkan kita akan nasib wartawan harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Ia tewas dianiaya orang tak dikenal (16/8/1996). Sebelumnya ia menulis terjadinya penyogokan dalam pemilihan Bupati Bantul. Tim Pencari Fakta PWI berpendapat, pembunuhan itu terkait kegiatan jurnalistik Udin. Namun, penegak hukum berkilah, kematian Udin tidak terkait pekerjaan pers.

Di era pemerintahan Orde Baru, saat tidak ada kebebasan pers, dapat dimengerti pengungkapan keterkaitan tewasnya Udin dengan pemberitaan tentang dugaan KKN dalam pemilihan Bupati Bantul sulit dilakukan. Namun, saat Presiden SBY menegaskan komitmennya tentang kebebasan pers dan apresiasinya terhadap kritik pers, tidakkah kebijakan itu menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum di NTT untuk fokus mengungkap siapa otak penganiayaan terhadap Obby?

Penderitaan wartawan dalam pekerjaan profesinya belum berakhir. UU Pers (No 40/1999) sebenarnya memberi perlindungan. Pasal 8 menyebutkan, ”Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.” Pasal 18 Ayat 1 mengamanatkan, ”Setiap orang yang menghambat pelaksanaan kegiatan jurnalistik dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.”

Kenyataannya, kekerasan terhadap pers dan wartawan terus berlanjut. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melaporkan, dari Mei 1999 sampai 2007 terdapat 453 tindak kekerasan terhadap pers dan wartawan. Pada tahun 2004 tercatat 27 kasus, 2005 (43), 2006 (53), dan 2007 (42). Pelaku kekerasan hingga 2005, 42,4 persen oleh polisi, aparat pemerintah, TNI, parlemen, jaksa, dan 39,7 persen oleh massa.

Banyaknya tindak kekerasan terhadap wartawan dan pers, selain puluhan diancam atau divonis masuk penjara atau diancam denda miliaran sampai triliunan rupiah. Ini memperburuk peringkat kemerdekaan pers Indonesia. (lihat tabel)

Sinar terang

Presiden SBY di Semarang lebih lanjut mengamanatkan, ”Ada pelajaran yang amat berharga, ketika di satu era di negeri ini, insan pers merasa sangat sakit karena kekuasaan politik pers dibredel, ditahan, dipenjarakan tanpa proses hukum. Penderitaan itu barangkali tidak terbayangkan. Menjadi catatan sejarah dan Tuhan Maha Besar, bangsa ini sadar itu tidak sepatutnya terus terjadi di negeri kita ini.”

Amanat itu adalah perintah Presiden kepada jajaran polisi dan kepala daerah di seluruh Indonesia, termasuk NTT, agar tindakan kekerasan terhadap pers dan wartawan tidak lagi terjadi dan polisi memberi perlindungan hukum terhadap pers.

Jika penegak hukum masih melakukan pembiaran tindak kekerasan terhadap wartawan dan pers, dan memberi perlindungan terhadap pejabat yang diberitakan pers sebagai bermasalah, fungsi kontrol sosial pers menjadi tidak efektif. Rakyat akan terus menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara.

Leo Batubara Wakil Ketua Dewan Pers

Merasa Kecewa, DPD Surati DPR dan Presiden


Lobi Akhir Pekan Jadi Penentu RUU Pemilu


Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Ferry Mursyidan Baldan (kedua dari kiri) bersalaman dengan Wakil Ketua Andi Yuliani Paris seusai konferensi pers di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (22/2). Konferensi pers tersebut juga dihadiri wakil ketua lainnya, seperti Yasonna H Laoly (kiri), dan Ignatius Mulyono.
Sabtu, 23 Februari 2008 | 02:14 WIB

Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Daerah merasa kecewa dengan perkembangan yang terjadi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum. Protes DPD disajikan dengan mengirim surat kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang juga ditembuskan kepada Presiden Republik Indonesia.

Kekecewaan yang disampaikan melalui surat itu diambil dalam rapat pimpinan DPD dengan pimpinan Alat Kelengkapan DPD, Jumat (22/2). Surat ditandatangani langsung oleh Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita dan ditembuskan juga kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Hukum dan HAM, serta pimpinan Panitia Khusus RUU Pemilu DPR.

DPD mengharapkan ada kesetaraan dalam pengaturan persyaratan peserta pemilu untuk DPR dan DPD. Berdasarkan prinsip tersebut, DPD meminta Pansus agar ambang batas (electoral threshold/ET) yang diberlakukan kepada partai politik peserta Pemilu 2009 juga diberlakukan kepada calon perseorangan anggota DPD. ET untuk calon perseorangan yang diusulkan DPD adalah sesuai dengan ET yang diberlakukan untuk parpol peserta Pemilu 2009, yaitu 3 persen.

Penentu

Lobi antarfraksi di DPR atau antara fraksi DPR dan pemerintah pada akhir pekan ini akan menjadi penentu nasib RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perbedaan di antara fraksi-fraksi di DPR soal ambang batas berikut besaran daerah pemilihan tetap menjadi materi yang sulit dikompromikan.

Setidaknya, hal itu tercermin dari pandangan akhir mini fraksi DPR saat pengambilan keputusan tingkat pertama di tingkat Pansus RUU, Kamis malam.

Fraksi Partai Golkar, misalnya, menyetujui diberlakukannya parliamentary threshold (ambang batas bagi parpol menempatkan wakilnya di parlemen), sementara electoral threshold (ambang batas bagi parpol untuk ikut pemilu) tetap berlaku untuk Pemilu 2009.

Fraksi PDI-P juga mendukung penerapan parliamentary threshold (PT) untuk membuat persaingan antarparpol semakin sehat. Sebaliknya, Fraksi Partai Damai Sejahtera tegas meminta agar tidak ada aturan PT yang memberatkan.

Daerah pemilihan

Soal daerah pemilihan, sikap fraksi berbeda-beda. Misalnya saja, Fraksi Partai Amanat Nasional menekankan, daerah pemilihan pada Pemilu 2004 bisa dipertahankan demi kesinambungan daerah pemilihan, terutama untuk pertanggungjawaban anggota lembaga legislatif yang akan maju lagi.

Sebaliknya, seperti Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera setuju ada pemetaan ulang daerah pemilihan.

Sekalipun masih terdapat sejumlah materi krusial yang belum disepakati antarfraksi DPR, pengambilan keputusan tingkat pertama RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sudah dilaksanakan dalam rapat kerja Pansus RUU dengan pemerintah pada Kamis (21/2) malam. Seluruh fraksi di DPR sepakat meneruskan RUU ke rapat paripurna DPR yang dijadwalkan 26 Februari.

Menurut Ketua Pansus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan (F-PG), jika ada hal-hal yang berubah dan jauh dari naskah RUU, Menteri Dalam Negeri selaku wakil pemerintah meminta waktu untuk mengonsultasikannya dengan Presiden. (DIK/SUT)

Berdikari


Sabtu, 23 Februari 2008 | 02:15 WIB

Oleh Budiarto Shambazy

Buku Surrendering to Symbols (2006) karangan Stig Aga Aanstad menguak bukti tentang masa keemasan Orde Lama 1960-1965. Aanstad, Indonesianis asal Norwegia, mengingatkan bahwa RI bangsa besar.

Bagi Amerika Serikat (AS), Uni Soviet, dan China, RI mustahil diabaikan. Jumlah penduduknya terbesar kelima di dunia, perairannya jalur perdagangan internasional terpenting di Timur Jauh.

Kekayaan alamnya, seperti kata Koes Plus, bagai ”kolam susu”. Sepertiga ekspor karet dunia dari sini, timah dan kopra diincar siapa saja.

Tahun 1963, ekspor migas 94 juta barrel atau 1,7 persen dari kebutuhan dunia. Eksportirnya dua perusahaan AS, Caltex dan Stanvac, serta Shell (Belanda).

Timah dan kopra menyumbangkan 10 persen dari total ekspor, 10 persen lainnya dari kopi, teh, tembakau, dan minyak goreng. Mantra yang sohor kala itu: RI sarang karet-migas-timah-kopra.

Siapa yang menguasai RI memegang kendali atas Samudra Hindia-Pasifik. Jika Soviet membantu 1 miliar dollar AS untuk alutsista TNI, AS lebih berminat dengan hegemoni ekonomi.

Ekonomi Malaysia tergantung dari barter dengan RI, Singapura hidup sebagai pelabuhan terbesar ekspor dari sini. Jepang menanam modal karena alternatif migas dari Timur Tengah makin terbatas.

Pengelolaan ekonomi RI belum modern karena pengusiran warga Belanda 1957-1958 dan keturunan China 1959-1960. Pemberontakan PRRI/Permesta 1957-1958 menimbulkan black economy.

Separuh anggaran habis untuk penumpasan PRRI/Permesta, perjuangan merebut Irian Barat, dan Konfrontasi. Sejak 1960 cadangan devisa menipis, membuat inflasi tak terkendali.

Meski begitu, impor beras hanya 10 persen dari kebutuhan domestik dan stoknya jauh lebih baik dibandingkan dengan periode 1935-1939. RI negara ketiga terkaya di dunia dengan ekonomi yang amat menjanjikan jika dikelola benar.

Seperti pernah ditulis di sini, tingkat melék huruf naik drastis sampai 50 persen hanya dalam beberapa tahun. ”Pendidikan salah satu sukses luar biasa... mereka mampu bersaing melawan sistem pendidikan Barat,” tulis Aanstad.

Rencana Pembangunan Nasional (RPN) 1961-1968 melanjutkan RPN 1951 dan 1956. Ada dua tahap: swasembada sandang-pangan dan industrialisasi.

Aanstad khusus menyimak bagaimana Bung Karno mengancam akan menasionalisasi sektor migas. Ia mengintrodusir Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1961 yang menegaskan, ”Eksplorasi migas hanya dilakukan negara dan Permigan serta Pertamin berhak menambangnya atas nama negara.”

Tahun 1962 Permina bahkan telah mendirikan akademi perminyakan independen. Ini pertanda RI bebas dari ketergantungan teknologi asing.

UU itu membuat multi-national corporation (MNC) kalang kabut. Caltex dipaksa menyuplai 53 persen kebutuhan domestik (BBM dan minyak tanah) yang dipasarkan Pertamin dan menyerahkan seluruh fasilitas produksi dalam waktu 10 tahun.

Formula keuntungan 60 persen untuk RI, 40 persen sisa untuk Caltex dihitung dalam nilai rupiah sesuai dengan kurs saat itu. Presiden AS John F Kennedy kebakaran jenggot dan mengirim utusan khusus, Wilson Wyatt, menemui Bung Karno.

Nikita Khrushchev mengutus Menhan Rodion Malinovsky untuk bersaing dengan AS. Mao Zedong tak ketinggalan, mengutus Presiden Liu Shaoqi untuk tujuan serupa.

Akhirnya AS ”menang” dan September 1963 Bung Karno- Kennedy menyepakati ”Kontrak Karya”. MNC harus menyerahkan 25 persen wilayah eksplorasi dalam lima tahun ke Pemerintah RI dan 25 persen lagi dalam 10 tahun.

Pemerintah RI tetap berhak atas 60 persen profit, MNC wajib menyuplai kebutuhan domestik. Shell dan Stanvac dipaksa menjual aset distribusi dan pemasaran setelah jangka waktu tertentu.

Presdir Permina Kolonel Ibnu Sutowo menolak Kontrak Karya karena menganggap masih menguntungkan MNC. Di lain pihak, Gedung Putih puas karena paling tidak MNC tak kehilangan muka dan lisensi.

Bung Karno pandai ”memainkan” kompetisi AS-Uni Soviet- China. Tatkala melancarkan serbuan pertama ke Malaysia 17 Agustus 1964, alutsista TNI beraroma ”internasional”.

Pesawatnya Mitchell B-25 (buatan AS) dan Dornier (Jerman Barat), rudalnya Kuba (Uni Soviet) dan Kappa (Jepang). Bantuan teknologi AS dan China dimanfaatkan untuk membuat rudal darat-ke-darat yang mampu menjangkau Kuala Lumpur, Malaysia.

Jakarta kala itu ditengarai akan mampu menguji coba senjata nuklir sekitar 1965-1966. Banyak yang curiga uraniumnya dari Beijing, yang mendapat kompensasi uji coba bawah laut di perairan Mentawai.

Washington tidak mau kalah langkah: menawari Bung Karno pembangunan reaktor nuklir tujuan damai di ITB. Kennedy langsung memerintahkan pengiriman 2,3 kg uranium-235 untuk reaktor yang dijadwalkan operasional 100 persen 1972-1973.

Sejak 1964, RI eksportir senjata ke Afrika dan jadi tempat berlatih militer mancanegara. Pilot-pilot Korea Utara, Vietnam Utara, Laos, Kamboja, dan Myanmar latihan menerbangkan MiG-17 ke sini.

Orla menyuburkan Berdikari (Berdiri di Atas Kaki Sendiri). Tiga makna Berdikari: berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Berdikari tetap relevan sampai kini. Untuk elite penguasa, ”Berebut Pundi-pundi Kekayaan Negeri Ini”.

Untuk Anda sekalian, ”Bersama atau Sendiri Kita...?”

Presiden: Pikir Ulang


Parmusi Nyaris Tenggelam di Antara Islam Modernis

SBJ didampingi Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Bachtiar Chamsyah membuka Muktamar II Parmusi di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Jumat (22/2) malam.
Sabtu, 23 Februari 2008 | 02:16 WIB

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta para pendukungnya berpikir ulang jika hendak mencalonkannya pada Pemilihan Presiden 2009.

Kepastian Yudhoyono maju atau tidak dalam Pilpres 2009 baru akan disampaikan tiga bulan sebelum pemilu berlangsung.

”Akan banyak pilihan pada Pemilu 2009 nanti. Jangan tergesa-gesa untuk mengatakan harus memilih ini atau mencalonkan ini. Baca hati dan pikiran calon pemimpin nanti dengan hati dan pikiran saudara. Apa yang akan dilakukan jika calon pemimpin itu terpilih,” ujar Presiden dalam sambutan pembukaan Muktamar II Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) di Hotel Mercure, Jakarta, Jumat (22/2) malam.

Presiden menyebut apa yang dikemukakan adalah pernyataan pertama soal Pilpres 2009. Presiden merasa harus mengemukakan itu karena Ketua Umum Parmusi Bachtiar Chamsyah mengemukakan akan mendukung Yudhoyono kembali maju dalam Pilpres 2009.

”Terbuka bagi saudara. Tidak usah terburu-buru. Ikuti saja perkembangan dinamika meskipun sekarang belum saatnya berkampanye. Masih panjang,” ujarnya. Untuk tugas dalam sisa waktu 20 bulan itu, Presiden minta doa restu Parmusi agar berhasil.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menilai Muktamar Parmusi merupakan langkah penting untuk menjaga posisi tawar kekuasaan bagi elite-elite Parmusi di Partai Persatuan Pembangunan. Muktamar merupakan sarana pengelolaan kesan tentang eksistensinya sehingga representasi faksi Parmusi di PPP tetap diakomodasi.

”Posisi berdiri Parmusi yang masih bisa diperhitungkan memang tinggal di PPP,” ujar Yudi.

Sosiolog Musni Umar mengatakan, Parmusi tampaknya ingin menghimpun kekuatan menuju Pemilu 2009. Kondisi ini tentu menguntungkan PPP jika Parmusi betul-betul menjadi pendukung PPP.

”Tetapi, seperti halnya partai Islam lain, PPP dan PKS, termasuk juga Parmusi, harus bisa membuat program yang realistis bagi masyarakat. Artinya, parpol Islam ini harus bisa melaksanakan program yang menjadi kebutuhan publik, seperti mengatasi mahalnya harga kebutuhan pokok, banyaknya penggusuran, kemiskinan yang meluas, dan pengangguran,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations Abdul Mu’ti mengatakan, secara historis Parmusi memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam sejarah dan dinamika politik umat Islam di Indonesia. Parmusi yang memiliki akar kuat dari Masyumi mampu tampil sebagai partai yang tidak hanya mengusung aspirasi politik umat Islam. ”Tetapi, yang lebih penting lagi menjadi kekuatan moral yang berani bersikap kritis terhadap pemerintah,” kata Mu’ti. (inu/MAM)

Agar Partai Islam Menjadi Besar



Oleh :Muhammad Qodari

Direktur Eksekutif Indo Barometer, Jakarta

Pengamat politik Indonesia dari Australian National University (ANU), Greg Fealy, menyatakan pesimistis terhadap prospek partai Islam atau partai berbasis massa Islam dalam Pemilu 2009 yang akan datang. Pesimisme Greg Fealy ini menarik karena kontras dengan target yang telah dicanangkan aneka partai Islam.

PKS, misalnya, menargetkan angka 20 persen semenjak tahun 2005 yang lalu. PPP mencanangkan 15 persen pada Juni 2007 lalu, sementara PAN mengincar 18, 2 persen pada April 2006. Yang paling fenomenal dari semua partai Islam adalah target PKB seperti dinyatakan Gus Dur. Gus Dur menargetkan perolehan suara PKB sebesar 61 persen.

Target-target yang dipasang partai-partai Islam sejauh ini memang jauh dari hasil-hasil survei beberapa lembaga. Survei Indo Barometer Desember 2007, misalnya, menunjukkan komposisi suara PDIP 25,3 persen, Golkar 18 persen, Demokrat 13,8 persen, PKB 7,5 persen, PKS 5,2 persen, PPP 3,5 persen, PAN 3,4 persen, partai lainnya 6 persen, dan 17,7 persen tidak menjawab atau belum memutuskan.

Hasil survei Desember 2007 itu memiliki persamaan dengan sejumlah survei sebelumnya. Pertama, tujuh partai dengan suara terbesar masih identik dengan tujuh partai terbesar pemilu 2004. Artinya, partai Islam baru seperti PKNU dan PMB belum masuk hitungan. Kedua, Demokrat adalah satu-satunya partai yang hasil surveinya selalu di atas perolehan suara pemilu 2004.

Partai-partai yang lain semuanya mengalami fluktuasi. Khusus partai Islam, tren umum angka mereka disurvei lebih rendah dari perolehan 2004. Ketiga, jajaran tiga besar selalu didominasi oleh partai 'nasionalis' (PDIP, Golkar, dan Demokrat) dan bukan partai-partai Islam atau berbasis massa Islam.

Dengan realitas politik seperti ini, sesungguhnya apa yang harus dilakukan partai Islam agar jadi partai besar? Pertama, menjual program-program kerja yang sesuai dengan kebutuhan publik luas. Menurut aneka survei, ternyata yang dibutuhkan masyarakat adalah program-program terkait masalah pengangguran dan ketersediaan sembako dengan harga yang terjangkau.

Melihat hal ini, untuk bisa besar partai-partai Islam tidak bisa berjualan syariat Islam atau negara Islam. Apalagi ada survei yang menunjukkan bahwa 85 persen pemilih Muslim menganggap Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan agama Islam dan hanya 3,5 persen yang menganggapnya tidak sejalan (LSI, Oktober 2006).

Kedua, melahirkan atau merekrut tokoh partai yang sangat populer di masyarakat. Populer di sini artinya dikenal oleh seluruh masyarakat, disukai oleh mayoritas, dan memiliki potensi elektabiliti yang tinggi dalam pilpres. Berdasarkan pengalaman 1999 dan 2004 serta aneka studi yang ada, ternyata di Indonesia faktor kesukaan atau identifikasi terhadap tokoh partai ini merupakan variabel yang paling mampu mendongrak suara partai dalam waktu singkat.

Kasus yang paling nyata tampak pada Partai Demokrat. Ketika ikut Pemilu 2004, Demokrat baru berusia dua tahun. Namun, perolehannya langsung melejit ke angka 7,5 persen. Bandingkan dengan PAN yang sudah berusia enam tahun, tetapi hanya memperoleh enam persen dalam Pemilu 2004.

Dampak dari variabel tokoh ini semakin nyata bila kita bandingkan usia Demokrat dengan Muhammadiyah, organisasi massa Islam yang dianggap menjadi basis massa PAN, yang notabene telah berdiri semenjak 90 tahun yang lalu. Peran dari tokoh itu semakin tampak ketika dilakukan survei dukungan partai pada awal tahun 2005.

Mungkin karena euforia kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam survei tersebut Demokrat melejit menjadi partai yang paling banyak dipilih (24 persen). Bahkan, ketika popularitas Pemerintahan SBY menurun pada masa sekarang ini, dukungan terhadap Demokrat telah meningkat dua kali lipat dibanding 2004.

Kita belum tahu pasti berapa perolehan suara Demokrat dalam pemilu tahun depan. Namun, jelas teori 'determinisme tokoh' berlaku dalam politik elektoral Indonesia masa kini.

Ketiga, citra partai yang positif dan kuat di masyarakat. Karena pasar politik begitu ramai dan masyarakat membutuhkan shortcut untuk mengingat partai, citra yang melekat pada partai tertentu sangatlah membantu dalam kompetisi pemilu. Itulah mungkin yang menjadi salah satu alasan mengapa PDIP menjadi partai yang sekarang paling populer di Indonesia.

Di satu sisi, pilihannya sebagai partai oposisi membuatnya menjadi kontras dengan partai lain dan pemerintah berkuasa. Di sisi lain, hal ini mengembalikan citra PDIP sebelumnya sebagai partainya wong cilik.

PKS sebagai salah satu partai baru termasuk partai yang pernah diuntungkan oleh citra politik dan politik citra yang baik. Pada periode 1999-2004, PKS berhasil membangun reputasi sebagai partai yang bersih dan peduli. Pada periode 2004-2009 citra ini masih perlu dipertahankan, baik karena kebutuhan objektif partai dan masyarakat maupun alasan strategi pemasaran di mana kedua citra ini merupakan kompetensi inti dari PKS. Namun, di sisi lain PKS perlu membangun citra lain untuk memperluas pasar sekaligus menghindari stigmatisasi politik oleh lawan.

Citra itu misalnya profesional untuk membangun kepercayaan bahwa PKS mampu memegang amanat pemerintahan atau terbuka untuk menghilangkan hambatan psikologis dari orang-orang yang simpati pada citra bersih, peduli, dan profesional dari PKS, tetapi tidak jadi memilih PKS karena takut PKS akan menjadi 'taliban ala Indonesia' kalau menang pemilu. Pilihan menjadi partai terbuka tidak menjamin PKS untuk mencapai target 20 persen.

Namun, pilihan itu menjadi prasyarat dasar bagi PKS untuk bisa menjangkau pemilih yang lebih luas dari sekarang. Survei yang dilakukan LSI pada Oktober 2007 menunjukkan bahwa pada pada tahun 2006 sebanyak 1,5 persen responden mengaku menjadi anggota aktif dan tidak aktif dari PKS. Jika pemilih Muslim Indonesia ada 130 juta maka angka 1,5 persen itu sama dengan 1,95 juta orang. Pada 2007 angka itu menjadi 2,2 persen atau setara dengan 2,86 juta orang.

Angka-angka itu menunjukkan bahwa jika PKS hanya berkonsentrasi pada aktifisnya yang pernah mengaji (ikut mentoring agama di kampus yang dikenal sebagai usrah, liqa, atau tarbiyah), maka suara PKS akan sangat terbatas. Pada periode 1999-2004 PKS besar bukan karena identitas keislamannya, melainkan identitas moral yang universal.

Fakta bahwa suara PKS sampai akhir 2007 masih jauh dari target 20 persen, bahkan mengalami penurunan, mengundang pertanyaan. Jangan-jangan hal ini terkait dengan makin berkembangnya pencitraan PKS sebagai partai yang eksklusif, bahkan taliban.

Akhirnya, memang tidak mudah bagi partai-partai partai-partai Islam untuk bisa menjadi partai besar seperi dulu pernah dicapai oleh Masyumi dalam Pemilu 1955. Namun, syarat dan peta jalan ke arah tujuan itu sebetulnya telah dapat diidentifikasi dan dipahami. Apakah partai Islam mau mengadopsi dan melakukannya? Umat menyaksikan dari sekarang sampai 2009.

Ikhtisar:

- Target partai Islam jauh dari hasil-hasil survei beberapa lembaga.
- Masyarakat membutuhkan realisasi program yang terkait dengan pengangguran.
- Survei menunjukkan 85 persen pemilih Muslim menganggap Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan Islam.

Friday, February 22, 2008

Komnas Perempuan Minta Presiden Tinjau Kebijakan



Jumat, 22 Februari 2008 | 02:24 WIB

Jakarta, Kompas - Komisi Nasional Perempuan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninjau 25 kebijakan di 16 wilayah pemerintahan daerah yang mereka nilai diskriminatif terhadap perempuan sehingga bertentangan dengan konstitusi. Peninjauan itu sebaiknya dilakukan segera.

Presiden Yudhoyono pun berjanji mempertemukan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dengan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk peninjauan kebijakan daerah itu.

”Presiden Yudhoyono menilai, kebijakan daerah yang diskriminatif merupakan akibat dari proses bernegara. Oleh Presiden, negara kita sedang dalam fase in the making. Presiden juga siap mempertemukan kami dengan Depdagri,” papar Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (20/2).

Bersama Depdagri, lanjutnya, Komnas Perempuan akan meningkatkan kemampuan legal drafting seluruh kebijakan agar tetap konsisten dengan konstitusi dan hukum nasional lainnya.

Selain masalah kebijakan yang diskriminatif, Komnas Perempuan juga menyoroti empat isu kritis yang berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia (HAM) perempuan. Keempat isu itu adalah kekerasan terhadap perempuan di daerah konflik, migrasi tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan 80 persen TKI adalah perempuan, pemenuhan hak perempuan korban kekerasan, serta penguatan mekanisme HAM yang efektif.

Terhadap sorotan dan rekomendasi itu, Presiden Yudhoyono mengundang Komnas Perempuan hadir dalam sidang kabinet terbatas untuk melakukan sinergi dalam pengambilan langkah konkret yang diperlukan untuk melindungi dan memenuhi hak

Pilkada Jateng




PDI-P Calonkan Bibit Waluyo
Jumat, 22 Februari 2008 | 02:24 WIB

Semarang, Kompas - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P memutuskan mencalonkan Bibit Waluyo, mantan Panglima Kodam IV/Diponegoro, dan Rustriningsih (Bupati Kebumen) sebagai gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah pada pemilihan kepala daerah atau pilkada, 22 Juni 2008. Dengan putusan itu, berarti Gubernur Jateng Ali Mufiz tak akan mengikuti pilkada karena partai lain sudah mengumumkan calonnya.

Empat pasangan lain yang pasti maju dalam Pilkada Jateng adalah Bambang Sadono-HM Adnan yang dicalonkan Partai Golkar, Agus Soeyitno-Kholiq Arif yang diajukan Partai Kebangkitan Bangsa, Sukawi Sutarip-Sudharto yang dicalonkan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, serta HM Tamzil-Rozaq Rais diajukan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional.

Pencalonan Bibit-Rustriningsih diputuskan dalam rapat yang dipimpin langsung oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri di Jakarta, Kamis (21/2). Sekretaris Jenderal PDI-P Pramono Anung Wibowo menyatakan, Bibit dipilih karena hasil survei internal yang dilaksanakan tiga kali menempatkan dia di atas calon lain, termasuk Ali Mufiz.

Selain itu, secara ideologis, sikap politik Bibit dianggap sesuai dengan PDI-P. ”Kepemimpinan Pak Bibit yang berlatar belakang militer juga cocok untuk memimpin Jateng,” kata Pramono. Sedangkan Rustriningsih selain sebagai kader PDI-P, juga pengalamannya cukup lama di birokrasi.

Ali Mufiz yang sempat menjadi bakal calon favorit untuk diajukan PDI-P, Kamis, mengaku tidak terkejut dengan keputusan PDI-P. ”Alhamdulillah kalau benar rekomendasi PDI-P tak diberikan kepada saya. Saya legowo,” ujarnya. (WHO/EGI/BUR)

Materi Lobi Malah Bertambah



Debat soal Terpidana Jadi Caleg
Jumat, 22 Februari 2008 | 02:25 WIB

Jakarta, Kompas - Belum seluruh materi Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tuntas disepakati dalam rapat kerja Panitia Khusus, Kamis (21/2) malam. Bahkan, materi lobi semakin bertambah terkait dengan boleh tidaknya terpidana menjadi calon anggota legislatif.

Rapat yang dipimpin Ketua Pansus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar) mengagendakan pengambilan keputusan tingkat pertama atas RUU.

Hadir dalam rapat kerja itu Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, serta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta.

Agenda pertama adalah laporan Panitia Kerja RUU yang disampaikan Ketua Panitia Kerja Yasonna H Laoly (F-PDIP).

Rapat sempat diselingi jeda sekitar satu jam untuk lobi fraksi dengan pemerintah menyangkut materi yang belum disepakati di forum Panitia Kerja.

Rumusan yang awalnya ditawarkan adalah bahwa salah satu syarat menjadi calon anggota lembaga legislatif (caleg) adalah ”tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali karena melakukan tindakan pidana yang timbul karena kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana politik”.

Namun, dalam lobi antarfraksi DPR dengan pemerintah, Fraksi Partai Golkar bersikukuh untuk mengganti frasa ”tidak pernah” menjadi ”tidak sedang”.

Sebelum Selasa

Belum ada kepastian kapan akan digelar lobi antara pimpinan fraksi DPR dan pemerintah. DPR bersama pemerintah masih berkesempatan melakukan lobi sebelum pelaksanaan rapat paripurna DPR, Selasa (26/2).

Kalaupun tidak juga tercapai kesepakatan, setidaknya dapat dihasilkan rumusan yang akan divoting saat rapat paripurna DPR.

Seluruh varian yang muncul dalam forum lobi antarfraksi DPR akan langsung dibawa dalam pertemuan dengan pemerintah.

Materi yang paling alot diperdebatkan adalah soal penerapan ketentuan ambang batas (parliamentary threshold dan electoral threshold) berikut metode penghitungan suara dan pembagian kursi.

Ketentuan lain yang belum diputuskan adalah soal besaran daerah pemilihan.

Sejak pagi

Persoalan boleh tidaknya terpidana menjadi caleg sudah menjadi bahan perdebatan sejak pagi hari dalam rapat Panitia Kerja RUU untuk membahas hasil kerja Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi.

Selain itu juga syarat calon anggota DPD dikaitkan dengan posisi anggota DPD dan DPR saat ini.

Soal perlakuan khusus menyangkut pencalonan anggota DPD, rumusan Tim Perumus menyebutkan, anggota DPD yang mendapatkan minimal 10 persen jumlah pemilih bisa langsung menjadi calon anggota DPD pada pemilu berikutnya.

Demikian juga anggota DPR dengan perolehan suara minimal 10 persen bilangan pembagi pemilihan (BPP) dapat mencalonkan diri sebagai anggota DPD tanpa harus mendapat dukungan minimal pemilih sebagai bakal calon.

Rapat akhirnya memutuskan bahwa materi tersebut dibawa dalam forum rapat kerja Panitia Khusus dengan pemerintah. (dik)

Thursday, February 21, 2008

Liberalisme sebagai Ideologi Pragmatis

Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua pengertian mengenai ideologi, yaitu ideologi secara fungsional dan secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama; atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik, sedangkan ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa. Menurut pendekatan struktural konflik, kelas yang memiliki sarana produksi materiil dengan sendirinya memiliki sarana produksi mental, seperti gagasan, budaya dan hukum. Gagasan kelas yang berkuasa di manapun dan kapanpun merupakan gagasan yang dominan. Gagasan, budaya, hukum dan sebagainya sadar atau tidak merupakan pembenaran atas kepentingan materiil pihak yang memiliki gagasan yang dominan. Sistem pembenaran ini disebut ideologi.

Dalam bahasa Indonesia, ideologi sering disebut sebagai “dasar negara” atau “falsafah negara”, di Malaysia disebut “rukun negara”. Karena memberikan pengesahan kepada pemerintah, ideologi membenarkan adanya status quo. Tetapi ideologi juga bisa digunakan oleh pihak lainnya (pihak pemberontak, pihak oposisi atau pihak reformasi) guna menyalahkan pemerintahan, menyerang kebijakan pemerintah sampai kepada mengubah status quo. Sekalipun pemerintah bisa menindas warga negaranya dengan menggunakan dalih ”hak ketuhanan raja” atau ”kehendak sejarah”, tetapi pihak lainnya bisa membenarkan tindakan kekerasan mereka dengan bersandar pada prinsip ”hak-hak dasar” atau ”kehendak yang kuasa”. Ideologi yang dianggap sarat dengan kepentingan kelas pekerja bukan tidak bisa digunakan untuk menentang kekuasaan negara borjuis, selain juga untuk mensahkan kekuasaan diktator terhadap kelas pekerja. Ideologi dalam arti fungsional dapat digambarkan secara singkat dengan contoh berikut. Di Amerika Serikat, menjamin keamanan nasional berarti peningkatan produksi persenjataan yang bermakna pula menguntungkan industri-industri senjata. Peningkatan pertumbuhan pertanian berarti peningkatan produksi pupuk dan bahan kimia yang lain, yang berarti menguntungkan industri-industri pupuk dan bahan kimia. Demi stabilitas nasional di negara-negara berkembang acap kali berarti mengurangi kebebasan politik warga negara. Ideologi dalam arti fungsional digolongkan secara tipologi dengan dua tipe, yakni ideologi yang doktriner dan ideologi yang pragmatis.

Suatu ideologi dapat digolongkan doktriner apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas, diindoktrinasikan kepada warga masyarakat, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah. Biasanya sistem nilai atau ideologi yang diperkenankan hidup dalam masyarakat seperti ini hanyalah ideologi yang doktriner tersebut. Akan tetapi, apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, melainkan dirumuskan secara umum (prinsip-prinsipnya saja) maka ideologi tersebut digolongkan sebagai ideologi pragmatis. Dalam hal ini, ideologi itu tidak diindoktrinasikan, tetapi disosialisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik. Atas dasar itu, pelaksanaannya tidak diawasi oleh aparat partai atau pemerintah, melainkan dengan pengaturan kelembagaan. Maksudnya, siapa saja yang tidak menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi tidak akan hidup secara wajar. Liberalisme merupakan salah satu contoh ideologi pragmatis. Biasanya tidak satu ideologi saja yang diperkenankan berkembang dalam masyarakat ini, tetapi ada satu yang dominan.

Liberalisme sebagai suatu ideologi pragmatis muncul pada abad pertengahan di kalangan masyarakat Eropa. Masyarakat Eropa pada saat itu secara garis besar terbagi atas dua, yakni kaum aristokrat dan para petani. Kaum aristokrat diperkenankan untuk memiliki tanah, golongan feodal ini pula yang menguasai proses politik dan ekonomi, sedangkan para petani berkedudukan sebagai penggarap tanah yang dimiliki oleh patronnya, yang harus membayar pajak dan menyumbangkan tenaga bagi sang patron. Bahkan di beberapa tempat di Eropa, para petani tidak diperkenankan pindah ke tempat lain yang dikehendaki tanpa persetujuan sang patron (bangsawan). Akibatnya, mereka tidak lebih sebagai milik pribadi sang patron. Sebaliknya, kesejahteraan para penggarap itu seharusnya ditanggung oleh sang patron. Industri dikelola dalam bentuk gilde-gilde yang mengatur secara ketat, bagaimana suatu barang diproduksi, berapa jumlah dan distribusinya. Kegiatan itu dimonopoli oleh kaum aristokrat. Maksudnya, pemilikan tanah oleh kaum bangsawan, hak-hak istimewa gereja, peranan politik raja dan kaum bangsawan, dan kekuasaan gilde-gilde dalam ekonomi merupakan bentuk-bentuk dominasi yang melembaga atas individu. Dalam konteks perkembangan masyarakat itu muncul industri dan perdagangan dalam skala besar, setelah ditemukan beberapa teknologi baru. Untuk mengelola industri dan perdagangan dalam skala besar-besaran ini jelas diperlukan buruh yang bebas dan dalam jumlah yang banyak, ruang gerak yang leluasa, mobilitas yang tinggi dan kebebasan berkreasi. Kebutuhan-kebutuhan baru itu terbentur pada aturan-aturan yang diberlakukan secara melembaga oleh golongan feodal. Yang membantu golongan ekonomi baru terlepas dari kesukaran itu ialah munculnya paham liberal.

Liberalisme tidak diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan diciptakan oleh golongan intelektual yang digerakkan oleh keresahan ilmiah dan artistik umum pada zaman itu. Keresahan intelektual tersebut disambut oleh golongan pedagang dan industri, bahkan hal itu digunakan untuk membenarkan tuntutan politik yang membatasi kekuasaan bangsawan, gereja dan gilde-gilde. Mereka tidak bertujuan semata-mata untuk dapat menjalankan kegiatan ekonomi secara bebas, tetapi juga mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat yang terbaik (rezim terbaik), menurut paham liberal adalah yang memungkinkan individu mengembangkan kemampuan-kemampuan individu sepenuhnya. Dalam masyarakat yang baik, semua individu harus dapat mengembangkan pikiran dan bakat-bakatnya. Hal ini mengharuskan para individu untuk bertanggung jawab pada segala tindakannya baik itu merupakan sesuatu untuknya atau seseorang. Seseorang yang bertindak atas tanggung jawab sendiri dapat mengembangkan kemampuan bertindak. Menurut asumsi liberalisme inilah, John Stuart Mill mengajukan argumen yang lebih mendukung pemerintahan berdasarkan demokrasi liberal. Dia mengemukakan tujuan utama politik ialah mendorong setiap anggota masyarakat untuk bertanggung jawab dan menjadi dewasa. Hal ini hanya dapat terjadi manakalah mereka ikut serta dalam pembuatan keputusan yang menyangkut hidup mereka. Oleh karena itu, walaupun seorang raja yang bijaksana dan baik hati, mungkin dapat membuat putusan yang lebih baik atas nama rakyat dari pada rakyat itu sendiri, bagaimana pun juga demokrasi jauh lebih baik karena dalam demokrasi rakyat membuat sendiri keputusan bagi diri mereka, terlepas dari baik buruknya keputusan tersebut. Jadi, ciri-ciri ideologi liberal sebagai berikut :

  • Pertama, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik.
  • Kedua, anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama dan kebebasan pers.
  • Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri sendiri.
  • Keempat, kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Pendek kata, kekuasaan dicurigai sebagai hal yang cenderung disalahgunakan, dan karena itu, sejauh mungkin dibatasi.
  • Kelima, suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian besar individu berbahagia. Walau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagian sebagian besar individu belum tentu maksimal. Dengan demikian, kebaikan suatu masyarakat atau rezim diukur dari seberapa tinggi indivivu berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan dan bakat-bakatnya. Ideologi liberalisme ini dianut di Inggris dan koloni-koloninya termasuk Amerika Serikat.


Referensi :
  • Rudi, M. 2003. Pengantar Ilmu Politik
  • Surbakti, R. 1992. Memahami Ilmu Politik.

A r s i p