Tuesday, May 27, 2008

Profesional di Balik Strategi Pencitraan Soetrisno Bachir (1)

Seperti Barack Obama, Fox Garap Hulu sampai Hilir
Iklan politik tokoh nasional di media massa semakin menjamur. Salah satu yang gencar mempromosikan diri adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir. Siapakah orang-orang di balik bisnis pencitraan tersebut?

CANDRA K. - A. BOKHIN, Jakarta

KALAU Anda nonton di bioskop jaringan Studio 21 sekarang, jangan heran jika tiba-tiba muncul wajah Soetrisno Bachir. Ketua umum PAN yang namanya kerap disingkat SB itu terjun ke dunia film? Bukan. Untuk menggencarkan kampanye pencitraan diri, kini tim SB tidak cukup hanya menggunakan televisi dan media cetak, tapi juga media-media populer yang lain.

Seperti yang terjadi pada hari libur Waisak di Studio 21 Hollywood, Kartika Candra, Jakarta Pusat, Selasa (20/5) pukul 13.00 lalu. Slide iklan tentang SB diputar usai kampanye anti penyebaran HIV/AIDS. Sebuah gambar bendera Merah Putih tampak berkibar, diselingi narasi dan petikan puisi penyair Chairil Anwar.

"Sekali berarti sudah itu mati," bunyi penggalan puisi terkenal penyair Angkatan 45 yang juga muncul dalam iklan-iklan warna satu halaman penuh di berbagai media cetak. Berikutnya muncul rangkaian potongan gambar yang ternyata iklan sosialisasi figur Soetrisno Bachir, seperti yang sering tayang di televisi.

"Apa bedanya dengan nonton televisi?" ujar salah seorang penonton dengan kesal, yang siang itu harus membayar tiket tanda masuk Rp 30 ribu.

Meski memunculkan polemik, ide memasang iklan politik di bioskop itu cukup brilian. Target pasarnya jelas: anak muda belasan sampai 30-an tahun. Merekalah pemilih potensial dalam pemilu. Sebagian besar pemilih pemula adalah swing voter yang belum menentukan memilih partai apa atau tokoh siapa dalam pemilu.

Setelah ditelisik, otak di balik penggarapan iklan politik tersebut adalah Fox Indonesia di bawah pimpinan Rizal Mallarangeng. Ditemui Jawa Pos di kantornya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rizal mengaku telah menandatangani kontrak dengan Soetrisno Bachir hingga April 2009. "Fox Indonesia merupakan lembaga strategic and political consulting profesional pertama di Indonesia," klaim pria yang juga direktur Freedom Institute tersebut.

Profesionalitas dalam pengertian Rizal adalah bisnis. Bisnis kampanye modern dan konsultan murni. Lembaga yang dipimpinannya akan melayani keperluan klien mulai hulu hingga hilir. Mulai pencitraan, iklan, pemberitaan di media, kampanye, sampai strategi pemenangan suksesi.

"Kita coba, bikin lembaga yang benar-benar profesional. Seperti lawyer (pengacara), you bayar, kami yang susun konsep kampanyenya," tambah alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut.

Dalam mengerjakan bisnisnya, Fox Indonesia menggunakan sistem outsourcing. Beberapa elemen dalam proses produksi diserahkan kepada profesional. Misalnya, pemenangan pilkada diperlukan elemen survei. Untuk tugas itu, Fox Indonesia menyerahkan kepada LSI (Lembaga Survei Indonesia) milik Saiful Mudjani. "Saya tinggal kontrol metodenya," katanya.

Begitu juga dalam pembuatan iklan di TV, doktor lulusan Ohio State University, Amerika, itu melibatkan sutradara muda Ipang Wahid. Untuk fotografi, Fox Indonesia mempercayakan kepada fotografer kawakan Darwis Triadi. Bahkan, menurut Rizal, dalam waktu dekat, sutradara beken Garin Nugroho akan bergabung dengan lembaganya.

Staf Ahli Menko Kesra tersebut menyatakan, puncak demokrasi adalah sebuah festival tempat berbagai komunitas masyarakat bisa bergabung dan menikmati kebebasan menuangkan kreasi. "Termasuk para seniman," tambahnya.

Untuk menunjang pekerjaannya, dibentuk beberapa divisi. Salah satu yang paling krusial adalah divisi think tank. Merekalah yang menggagas ide-ide dalam membangun citra tokoh dalam iklan. Termasuk pemilihan puisi Chairil Anwar dan ide memasang iklan di Studio 21. "Ada empat doktor dan dua master yang mendukung divisi-divisi kami," kata bapak dua anak itu.

Meski profesional, Rizal menegaskan, pihaknya tetap selektif dalam memilih calon klien. Menurut dia, timnya baru bisa bekerja ketika ada kecocokan dengan calon klien. "Wiranto sama Prabowo minta saya jadi think tank-nya. Tapi, dengan hormat saya menolak. Mereka sudah gagal memimpin di masa lalu, lebih baik pensiun saja," tegasnya.

Rizal yang juga direktur Freedom Institute itu menambahkan, kecocokan dengan klien bisa diukur dalam penyatuan visi sebelum tanda tangan kontrak.

Dalam kaitannya dengan Soetrisno Bachir, kontrak ditandatangani dengan target meningkatkan popularitas figur ketua umum dan partai (PAN). "Dalam klausul kontraknya disebutkan, membantu tokoh dan partai," ungkapnya.

Untuk mengetahui perkembangan hasil pencitraan, pertengahan minggu lalu tim Fox Indonesia dan Soetrisno Bachir melakukan safari ke beberapa kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. "Hasilnya mencengangkan. Dengan memasang iklan tiga minggu saja, 2/3 audiens yang kita temui sudah mengenal Soetrisno Bachir," katanya.

Rizal tak membantah jasa konsultan politiknya tidak murah. Bahkan, dia mengklaim Fox Indonesia mematok harga paling mahal di Indonesia. Selain iklan TV, Fox memasang iklan Soetrisno di koran-koran utama, media luar ruang, pemasangan baliho di seluruh Indonesia, dan bioskop. Belum termasuk program road show ke berbagai daerah di Indonesia.

Untuk iklan televisi, misalnya, dalam sehari rata-rata 180 kali tayang. Iklan tersebut ditayangkan di jam-jam utama (prime time) dengan program yang memiliki rating tinggi. Belum lagi iklan di radio dan TV lokal. Jadi, wajar jika anggarannya sangat besar.

"Demokrasi itu mahal Bung. Untuk pemilihan internal saja, Obama (Barack Obama, capres Partai Demokrat di AS) hingga saat ini sudah menghabiskan Rp 2 triliun. Kalau di Indonesia, ya kami masih termahal," katanya. (el/bersambung)

Wednesday, May 14, 2008

Amien Rais: Reformasi Sudah Kandas dan Gagal


Jakarta, Kompas - Mantan Ketua MPR Amien Rais menilai, proses reformasi selama 10 tahun terakhir telah kandas dan gagal. Dari sejumlah aspek yang seharusnya direformasi, baru aspek politik yang mengalami perubahan.

Pernyataan itu disampaikan Amien, Selasa (13/5), saat peluncuran dan bedah bukunya, Selamatkan Indonesia. Turut hadir tokoh oposisi Malaysia Anwar Ibrahim, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir, serta Saurip Kadi.

”Ada kebebasan pers, orang bebas mengkritik pemerintah, tidak ada lagi yang dipenjarakan. Namun reformasi di bidang sosial, dan ekonomi belum tersentuh,” papar Amien.

Tebang pilih

Amien juga menilai bahwa kondisi perekonomian semakin merosot, penegakan hukum semakin lembek dan tebang pilih, keadilan sosial serta kesenjangan sosial yang semakin menganga, serta aspek pendidikan semakin tertinggal.

Menurut dia, ketika konstitusi mengatur minimal 20 persen APBN untuk pendidikan nasional, biaya pendidikan pada kenyataannya malah melambung. ”Belum lagi soal penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tidak jelas, seperti kasus pembunuhan Munir, kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, serta kasus-kasus lain,” ujar Amien.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin juga menilai, reformasi yang berjalan selama 10 tahun ini salah arah. Tidak hanya itu, figur kepemimpinan yang ada selama ini tidak menjadi figur pemimpin yang mampu menggerakkan dan menggalang potensi bangsa. (DWA)

Jangan Biarkan Indonesia Jadi Negara Gagal


Oleh MT ZEN

Majalah The Economist terbitan London edisi 6 Mei 2008 menerbitkan makalah khusus sepanjang 14 halaman mengenai kebangkitan Vietnam sebagai negara di Asia Tenggara yang menakjubkan. Negara yang satu ini sudah hancur luluh oleh peperangan. Yang dilawan bukan tentara KNIL, melainkan negara adidaya Amerika Serikat.

Negara itu dihujani dengan bom biasa dan bom napalm dari pesawat B-52 dalam puluhan serangan mendadak dalam satu minggu, sedangkan mereka sendiri memanggul meriam yang sudah dilepas menjadi bagian-bagian lebih kecil lewat bukan jalan setapak, melainkan jalan binatang yang disebut Ho Chi Minh Trail. Kini mereka sudah bangkit secara spektakuler, memang belum setaraf dengan Malaysia atau Thailand.

Apa saja yang digariskan oleh Bank Dunia dan badan internasional mereka ikuti sebanyak dan sebaik mungkin. Rumah-rumah tinggal yang mendapatkan aliran listrik sudah berlipat dua sejak awal 1990 menjadi 94 persen. Menurut ”The World in 2008” terbitan The Economist juga, GDP per kepala masih 953 dollar AS (PPP: 3.990 dollar AS) pada Januari 2008. Yang menakjubkan adalah kesungguhan mereka membangun kembali negaranya. Dalam hal ini Indonesia perlu belajar dari Vietnam.

Negara gagal

Apa yang disebut dengan negara gagal? Definisi dapat bermacam-macam dan orang dapat berdebat mengenai hal itu tanpa henti. Jadi, lebih baik disebutkan beberapa kriteria atau ciri khas yang banyak disepakati di dunia ini mengenai apa yang disebut sebagai negara gagal. Yang terpenting adalah hal-hal berikut ini.

Terasa tidak ada lagi jaminan keamanan: orang merasa tidak aman dan tidak nyaman dan ingin mengungsi ke negeri orang. Kasus perusakan tempat-tempat ibadah merupakan salah satu hal yang khas bagi negara gagal.

Pemerintah seakan-akan tidak lagi dapat menyediakan kebutuhan pokok, seperti pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, penyediaan bahan kebutuhan pokok (Indonesia: gas dan minyak tanah seperti yang terjadi belakangan ini). Infrastruktur menjadi semakin tak keruan dan tidak efektif lagi.

Korupsi merajalela dan justru dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya mempunyai tugas pokok melindungi rakyat, masyarakat, dan negara terhadap gangguan korupsi itu, seperti DPR, DPRD, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, kepolisian, dan anggota kabinet. Di negara-negara gagal sebenarnya justru negara itu bersekongkol dengan para preman, mafia, dan teroris.

Bentrokan-bentrokan horizontal di antara kelompok etnisitas yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Hal itu menunjukkan ketidakberdayaan aparat negara.

Kehilangan kepercayaan masyarakat yang merata dan menyeluruh.

Apakah Indonesia sudah menjadi negara gagal? Tidak! Atau be- lum setidak-tidaknya, tetapi Indonesia menuju dengan cepat ke arah itu.

Di dunia ini sudah didaftar beberapa negara gagal. Indonesia belum termasuk. Namun, jika dibiarkan terus tanpa ada tindakan drastis untuk mencegahnya, hal itu akan menjadi kenyataan. Beberapa orang ahli atau beberapa lembaga internasional sudah mulai menyebut-nyebut bahwa Indonesia sudah harus sangat waspada dan berhati-hati. Berusahalah sekuat tenaga agar Indonesia tak jatuh menjadi negara gagal.

Resep untuk Indonesia

Pertama, Indonesia sudah harus mempunyai pemimpin baru: seorang pemimpin yang tegas, jelas, dan keras, di mana perlu kejam, tetapi adil. Sosok pemimpin seperti ini berani bertindak dan berani mempertanggungjawabkan tindakannya tanpa banyak cingcong.

Kedua, melihat keadaan yang semrawut dan kaotis di sekeliling kita, sebenarnya pada saat ini sudah harus ada sense of emergency and sense of urgency. Bahkan, negara Indonesia ini sudah harus berada dalam keadaan darurat. Jadi, pemerintah yang mencoba menegakkan benang yang sudah basah ini sudah harus memerintah dengan dekret.

Ketiga, mulai membenahi perekonomian nasional. Ini berarti, langkah perekonomian nasional yang tidak dihalangi oleh kesenjangan aturan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Masalah otonomi Indonesia kini merupakan struktur federal yang sangat kacau, suatu bom waktu yang ditinggalkan Orde Baru.

Keempat, hentikan korupsi besar-besaran dari pusat hingga daerah, dari yang tertinggi hingga ke yang terendah. Bila perlu, terapkan hukuman mati. Di Indonesia, orang berkorupsi karena yakin bahwa dia akan lolos asal saja cukup duit untuk menyogok para hakim dan lain-lain. Jadi, persyaratannya korupsi itu harus besar.

Kelima, hentikan pertikaian horizontal antarkelompok, antarkampung; pertikaian sewaktu menonton pertandingan sepak bola: antarpenonton, antara penonton dan pemain, mengejar dan memukuli wasit, melempar batu; pertikaian antarsuku, antarmahasiswa yang saling lempar batu; melempar batu ke gedung- gedung yang dibangun dengan uang rakyat; dan hentikan main hakim sendiri.

Kita ini manusia biasa. Hidup rakyat sudah sedemikian berat dan keadaan Indonesia ini sudah sedemikian terpuruk, janganlah kita perburuk keadaan dengan tindakan-tindakan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tugas para pejabat Indonesia sudah sedemikian berat dan sukar. Jangan ditambah lagi dengan tindakan yang tidak perlu. Bangsa dan negara sudah demikian miskin, janganlah merusak kantor, pagar-pagar kantor atau sekolah, gedung sekolah atau gedung yang dibangun dengan darah rakyat.

Keenam, embuskan kembali semangat juang yang pernah kita miliki dan bangkitkan kembali patriotisme dengan definisi dan nilai-nilai baru sesuai dengan panggilan zaman atau Zeitgeist. Inilah saat bagi kita semua di ma- na-mana untuk memetakan 100 tahun berikutnya bagi Kebangkitan Nasional yang kedua.

Kita butuh apa yang disebut Umwertung aller Werten (perombakan semua tata nilai) dan suatu Umwertung von Grund aus (perombakan menyeluruh dari akar- akarnya). Mari kita bangun masyarakat berbasiskan pengetahuan karena abad ke-21 ini sarat dengan pengetahuan dan teknologi. Kita harus berubah secara menyeluruh: sikap hidup, cara hidup, gaya hidup, pola pikir, dan mindset kita.

Secara keseluruhan bangsa Indonesia sangat membutuhkan suatu perubahan budaya ke budaya teknologi dengan masyarakat berbasiskan pengetahuan. Cara lain tidak ada!

MT ZEN Pensiunan Guru Besar ITB

Indonesia Masih Terpuruk

Filsuf Prof Dr Franz Magnis-Suseno (kiri) dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom menjadi pembicara pada seminar nasional Inteligensia Indonesia di Universitas Katolik Parahyangan, Jalan Ciumbuleuit, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (10/5). Para pembicara menyampaikan berbagai sudut pandang mereka tentang 100 tahun Kebangkitan Nasional.
Minggu, 11 Mei 2008 | 15:28 WIB

BANDUNG, KOMPAS - Seratus tahun setelah Kebangkitan Nasional tahun 1908, Indonesia dinilai belum bangkit dari keterpurukan. Ini terbukti dengan kegagalan bangsa Indonesia menegakkan keadilan sosial dan demokrasi.

Ahli filsafat Franz Magnis-Suseno SJ mengemukakan itu pada seminar nasional Satu Abad Kebangkitan Nasional Indonesia ”Inteligensia Indonesia” di Universitas Parahyangan, Bandung, Sabtu (10/5). Menurut Franz, keberadaan bangsa Indonesia kini cenderung mengalami stagnasi terutama di bidang demokrasi dan keadilan sosial.

”Bangsa Indonesia harus menghadapi krisis pangan dan bahan bakar minyak (BBM). Ironisnya negara ini begitu kaya akan sumber daya alam. Ditambah pula kini kebebasan beragama di Indonesia semakin mengalami kemunduran,” ujar Franz.

Menurut Franz, berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini berakar pada ketidakkuatan pemimpin bangsa Indonesia dalam menegakkan hukum dan keadilan sosial. Oleh karena itu, Indonesia dinilai membutuhkan pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan tegas.

Dalam kemunduran


Sementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom berpendapat bangsa Indonesia saat ini juga berada dalam kemunduran. Pada saat negara-negara Asia Tenggara lain menempati daya saing global pada posisi di atas 48 dari 131 negara, Indonesia hanya mampu bertengger di nomor 54, atau 23 posisi di bawah Malaysia.

Miranda menilai, keterpurukan ini berakar pada ketiadaan visi bangsa yang dirumuskan tanpa mengedepankan aspek ilmu pengetahuan yang inovatif. ”Singapura membasiskan visi bangsanya pada masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan, begitu pula Malaysia yang mendasarkan ekonominya pada ilmu pengetahuan,” kata Miranda.

Miranda mengutip Yayasan Indonesia Forum 2007, dikatakan visi Indonesia 2030 menjadi negara unggul dalam pengelolaan kekayaan alam, ditopang dengan pencapaian menjadi lima negara besar dalam kekuatan perekonomian dunia, dan mewujudkan kualitas hidup modern yang merata.

Menurut Miranda, visi itu terlalu muluk dan tidak nyata karena Indonesia menargetkan tanpa mengukur kemampuan diri. ”Indonesia tidak memiliki dasar apa-apa, seperti ilmu pengetahuan yang harus dijadikan fondasi bangsa, tetapi menargetkan sesuatu yang begitu tinggi,” kata Miranda.

Guru besar filsafat Universitas Parahyangan Bambang Sugiharto mengemukakan, di tengah kekisruhan di bidang politik ekonomi dan keadilan sosial seperti ini, Indonesia masih harus menghadapi beberapa tantangan. Tantangan itu antara lain tantangan globalisasi, tantangan keapatisan masyarakat terhadap penegakan hukum internal, dan tantangan keegoisan setiap individu.

Franz menambahkan, tantangan Indonesia lebih mengarah kepada tantangan kepicikan rasa kedaerahan, budaya hedonis, dan eksklusivisme keagamaan.

Bambang dan Franz berpendapat, masalah stagnasi bangsa pascaseabad Kebangkitan Nasional ini dapat dipecahkan dengan adanya komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menegakkan demokrasi dan keadilan sosial, melalui pengembangan sikap toleransi antarindividu. (A01/A15)

Kipling, Ratu Wilhelmina, dan Budi Utomo



Mulyawan Karim

”Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi Hindia Belanda.”

Dalam pidatonya, September 1901, Ratu Wilhelmina dengan tegas menyatakan, Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi Hindia Belanda. Orasi Ratu Belanda dalam sidang pembukaan parlemen itu kemudian umum disepakati sebagai momentum kelahiran faham atau aliran etis dalam kancah politik kolonial Belanda.

Banyak pihak meyakini, Ratu Wilhelmina mendapat inspirasi bagi pidatonya dari puisi The White Man’s Burden karya sastrawan Inggris, Rudyard Kipling, yang dipublikasikan untuk pertama kali dua tahun sebelumnya. The White Man’s Burden merupakan percikan permenungan Kipling atas nasib rakyat Filipina di tengah perang Amerika Serikat-Spanyol, 1898, untuk memperebutkan negeri mereka. Pesan yang ingin disampaikan Kipling lewat syair tujuh baitnya itu adalah bangsa-bangsa Barat memikul tugas suci untuk menyejahterakan dan mengangkat derajat bangsa jajahannya di seluruh muka bumi.

Kalaupun tidak sama sekali, puisi Kipling setidaknya bukan satu-satunya mata air inspirasi Ratu Wilhelmina. ”Sebelum The White Man’s Burden diterbitkan dalam majalah McClure’s pada 1899, sejumlah pejabat pemerintah, politisi, cendekiawan, dan sastrawan Belanda sudah mewacanakan gagasan itu.

Tunas pertama gagasan etis di Belanda muncul dari Pieter Brooshooft (1845-1921), wartawan yang pada masanya dikenal kritis terhadap pemerintah dan masyarakat Belanda. Seperti disebutkan sastrawan Indo-Belanda, Rob Nieuwenhuys, dalam buku Oost Indische Spiegel (Cermin Hinda Timur), antara 1883 dan 1884 Brooshooft menulis karangan sindiran yang menyoroti sikap masa bodoh warga Eropa di Hindia Belanda saat terjadi wabah kolera yang banyak menewaskan warga pribumi. Mereka baru peduli setelah ada warga kulit putih yang ikut jadi korban penyakit tropis itu.

Pada 1887, Brooshooft juga melakukan perjalanan berkeliling Pulau Jawa dan terkejut melihat kondisi kehidupan kaum pribumi. Ia kemudian menyampaikan imbauan kepada 12 tokoh terkemuka di Belanda untuk memahami dan memerhatikan ”keadaan yang sangat menyedihkan di Hinda Belanda, yang terjadi akibat kebijakan pemerintah Den Haag”.

Namun, di antara para etisis, tak dapat disangkal Theodore van Deventer (1857-1915) adalah yang paling dikenal dan berpengaruh di Belanda. Van Deventer adalah seorang praktisi hukum di Hindia Belanda yang kemudian menjadi politisi di negeri asalnya. Saat masih menjadi penasihat hukum bagi berbagai perusahaan swasta di Hindia Belanda, Van Deventer pernah menulis surat kepada orangtuanya. Di sana ia bilang, harus dilakukan sesuatu untuk kaum pribumi. ”Jika tidak, suatu hari bendungan akan jebol dan lautan manusia akan menelan kita semua,” seperti tertulis dalam surat tertanggal 30 April 1886.

Beberapa tahun kemudian, Van Deventer membuat karangan terkenal yang muncul dalam majalah De Gids (Panduan) pada 1899. Dalam tulisan berjudul ”Een Ereschuld” (Utang Budi) itu, ia menjelaskan, Nederland menjadi negara makmur dan aman karena adanya dana yang mengalir dari tanah jajahan di Asia Tenggara. Jadi, sudah sepantasnya Belanda mengembalikannya.

Dalam tulisan itu Deventer, yang kemudian menjadi anggota parlemen dari Partai Liberal, bahkan mendesak dikembalikannya semua dana hasil keuntungan yang diraup pemerintah Den Haag dari Hindia Timur sejak 1867.

Balas budi setengah hati

Meski difatwakan ratunya, Belanda tak pernah sampai menerjemahkan faham etis ke dalam kebijakan kolonial yang dilaksanakan secara konsekuen. Gagasan itu juga tidak mengakar secara luas dalam masyarakat Belanda di Hindia Belanda. Di negeri jajahan yang kemudian bernama Indonesia itu, faham etis hanya dipahami sekelompok kecil pejabat, cendekiawan, sastrawan, dan wartawan yang, meski jumlahnya kecil, memiliki pengaruh yang besar.

Padahal, faham etis sempat lama jadi wacana politik yang hangat. Seperti diungkap sejarawan Inggris, DGE Hall, dalam buku Sejarah Asia Tenggara (1988), politisi sosialis di parlemen Belanda bahkan sempat menjadikannya titik tolak untuk mengampanyekan doktrin ”Pemerintah Hindia untuk Hindia” yang berisi gagasan untuk memberikan hak desentralisasi atau otonomi bagi Hindia Belanda.

Dalam buku Nieuwenhuys di atas, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko, disebutkan, dalam praktiknya, haluan etis hanya menghasilkan perbaikan sistem persekolahan dan sejumlah usaha lain yang dilakukan secara hati-hati untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa pribumi. Pembangunan sarana irigasi, pendirian bank perkreditan rakyat, dan pengucuran bantuan bagi industri kerajinan rakyat adalah beberapa di antaranya.

Meski lewat politik etis kaum pribumi memiliki peluang lebih besar menikmati berbagai fasilitas ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, hal itu sama sekali tak bertujuan untuk benar-benar menyejahterakan rakyat Hindia Belada. Pendidikan yang ditujukan bagi kaum pribumi hanyalah bertujuan untuk menghasilkan tenaga birokrat rendahan yang diperlukan dalam struktur pemerintah kolonial. Politik etis tak lebih dari politik balas budi setengah hati.

Faktor eksternal

Bagaimanapun, faham politik etis dan berbagai kemajuan bagi kaum bumiputera yang dibawanya merupakan masa mulai memudarnya faham kolonialisme dan kekuasaan Belanda yang menyengsarakan. Kian terbukanya kesempatan bagi putra-putri Indonesia untuk mengenyam pendidikan menengah dan tinggi, termasuk di STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen/Sekolah Kedokteran Bumiputera), yang sudah berdiri sejak 1898 tak saja menghasilkan pemuda Indonesia yang berilmu, tetapi juga berwawasan luas dan sadar politik.

Meski tak dimaksud demikian, munculmya faham politik etis merupakan faktor internal Hindia Belanda yang memicu lahirnya kesadaran kebangsaan.

Kalau saja faham politik etis tak pernah muncul di Belanda, juga jika peristiwa internasional yang berdampak luas di atas tak pernah terjadi, mungkin tak akan lahir pula Dr Wahidin Sudirohusodo dan Dr Sutomo, pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan modern Indonesia yang pertama, yang hari berdirinya, 20 Mei 1908, sampai kini kita sepakati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Renaisans Asia Lahirkan Patriotisme Bangsa-bangsa

Senin, 12 Mei 2008 | 01:34 WIB

Oleh Ninok Leksono

Dalam seri pertama tulisan mengenai ”100 Tahun Kebangkitan Nasional” pekan lalu disinggung, Kebangkitan Nasional tak bisa dilepaskan dari munculnya elite berpendidikan di Bumi Nusantara. Ulasan mendalam mengenai hal ini dapat dijumpai, antara lain, dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite oleh Robert van Niel (1960, terjemahan Pustaka Jaya, 1984).

Dikemukakan pula, pada akhirnya Pemerintah Belanda merasa terpanggil secara moral untuk memperbaiki peri kehidupan pribumi di tanah jajahan Hindia Belanda. Ini pula semangat dari pidato tahunan kerajaan, September 1901, di mana Ratu Wilhelmina menyebut tentang ”satu kewajiban luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat di Hindia Belanda”. Laporan wartawan Belanda, Pieter Brooshooft (bekerja di redaksi harian De Locomotief di Semarang), yang pada tahun 1888 menyaksikan sendiri kehidupan sengsara rakyat pribumi, dipercayai ikut memengaruhi lahirnya kebijakan baru tersebut.

Saat itu, tentangan terhadap praktik ekonomi liberal yang mulai diterapkan tahun 1870 bertambah luas, sampai akhirnya tahun 1899 muncul tulisan CT van Deventer yang terkenal, ”Een Eereschuld” (Utang Budi). Tulisan ini mengimbau Pemerintah Belanda membuat perhitungan keuangan bagi tanah jajahan yang miskin sebagai kompensasi atas keuntungan yang sudah dikeruk dari Jawa melalui Sistem Tanam Paksa, yang pada tahun 1900 jumlahnya sekitar 200 juta dollar.

Sementara peri kehidupan di Jawa terus menurun, melahirkan kemiskinan akut. Pimpinan urusan jajahan dari Partai Sosial Demokrat Belanda, HH van Kol, juga banyak menyerang kebijakan kolonial dan politik jajahan, dan dalam soal kemiskinan ungkapannya mengingatkan orang pada ucapan tokoh Perancis, Mirabeau, yang dikutip Van Niel, ”La misere, la hideuse misere est la, et vous, vous deliberez.” (Kesengsaraan, kesengsaraan mengerikan itu, ada di sana dan Anda, Anda harus bebaskan itu.)

Meski hasilnya disebut kurang signifikan, sekurang-kurangnya arah baru di atas berperan dalam peningkatan kesadaran orang pribumi di Nusantara. Putra-putri pribumi menjadi punya kesempatan merasakan pendidikan menengah dan tinggi, memungkinkan munculnya sosok seperti Dr Wahidin Sudirohusodo dan Dr Sutomo mendirikan Budi Utomo.

Seperti juga diakui sarjana Belanda, WF Wertheim, ”Pendidikan Barat punya efek dinamit terhadap sistem status kolonial.” (Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change, 1956).

Pendidikan membuka pikiran kaum muda terhadap ide-ide politik Barat, termasuk pemerintahan sendiri dan kebebasan dasar bagi pers, untuk berserikat dan berbicara. Pendidikan pula yang membuat riwayat tentang revolusi di tempat lain diketahui, khususnya Revolusi Perancis dan Amerika, juga gerakan gegap-gempita pada pertengahan abad ke-19 di Eropa yang bisa menggantikan otokrasi dengan hak individu.

Bangkitnya nasionalisme

Budi Utomo telah seabad dipandang sebagai simbol ikhtiar lahirnya kesadaran kebangsaan. Untuk hal terakhir ini, sejumlah faktor eksternal tampak besar peranannya. Pengaruh yang dimunculkannya pun tidak saja dirasakan di Hindia Belanda, tetapi juga Asia Tenggara dan bahkan di Asia secara umum.

Dalam Southeast Asia–Past and Present (Macmillan, 1989), sejarawan DR SarDesai dari Universitas California di Los Angeles menulis, ”Nasionalisme tak diragukan lagi merupakan elemen tunggal paling kuat, dinamik, emotif (menggugah) yang telah mengubah konfigurasi politik Asia dan Afrika pada abad ke-20.” Nasionalisme merupakan respons atas imperialisme dan eksploitasi politik dan ekonomi atas pihak yang diperintah.

Menarik juga apa yang dicatat SarDesai bahwa kekuasaan kolonial Barat juga melakukan aktivitas yang dampaknya justru membangunkan ingatan bangsa-bangsa Asia Tenggara terhadap kejayaan masa lalu. Yang dimaksud di sini adalah penggalian arkeologi yang lalu menemukan kembali benda antik bersejarah, candi-candi direstorasi, kesenian dipelajari. Semuanya— khususnya yang dilakukan Thomas Stamford Raffles di Malaya dan Jawa pada awal Abad ke-20—ikut berperan mengobarkan kebanggaan kaum nasionalis, bahwa di masa lalu pun sudah ada kejayaan di tanah mereka.

Kejayaan di tempat lain

Akses terhadap informasi juga memungkinkan warga Asia Tenggara mengetahui peristiwa penting di negara tetangga, dan ini pun ikut membesarkan rasa nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa Asia Tenggara. Pemberontakan Boxer melawan kehadiran dan dominasi bangsa Barat di China tahun 1899 menumbuhkan simpati di berbagai tempat di Asia, demikian pula bangkitnya perlawanan Filipina terhadap Spanyol. Yang lebih hebat lagi pengaruhnya adalah kemenangan militer Jepang atas Rusia pada tahun 1905.

Dengan contoh itu, mitos bahwa bangsa Eropa tidak bisa dikalahkan runtuh. Lebih dari itu juga muncul harapan, kalau ada kesempatan, bangsa Asia juga bisa membangun kekuatan militer dan ekonominya hingga ke tingkat maju.

Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1911, terjadi penggulingan Dinasti Manchu di China dan proklamasi Republik China. Pemimpinnya, Dr Sun Yat-Sen, dan partainya (Kuomintang, KMT) kemudian amat memengaruhi banyak nasionalis di berbagai wilayah Asia Tenggara, terutama di Vietnam.

Akhirnya yang juga harus disebut adalah perjuangan nasionalis di India, di mana Kongres Nasional India (KNI) yang sudah muncul sejak tahun 1885 dan masuknya Mahatma Gandhi ke kancah politik selama Perang Dunia I membangkitkan semangat jutaan warga. Tidak sedikit kaum nasionalis Asia Tenggara yang menghadiri acara tahunan KNI dan berkonsultasi dengan Gandhi dan Nehru. Keberhasilan perjuangan nasionalis India menimbulkan efek gelombang di Asia Tenggara dan Afrika dalam dua dekade berikutnya.

Semua disemaikan dalam satu proses fermentasi yang merebak pada awal abad ke-20. Saat itulah Asia, menurut sejarawan DGE Hall (dalam A History of South-east Asia, 1988), secara menyeluruh menjadi sadar atas dirinya. Persemaian itu sendiri mengingatkan orang pada apa yang untuk sejarah Eropa dikenal sebagai Renaisans atau kelahiran kembali yang terjadi pada abad ke-15 dan ke-16. Bedanya dengan Eropa, di Asia Tenggara serangan terhadap tradisionalisme, pengenalan terhadap cara berpikir baru, dan runtuhnya tata sosial feodal lama merupakan hasil dominasi politik dan ekonomi asing.

Seabad kemudian

Hasil fermentasi satu abad silam itu sekarang justru sedang dihadapkan pada tantangan yang amat hebat. Bila seabad silam kekuatan kolonial mempersatukan bangsa terjajah untuk bangkit melawan dominasi asing, kini kekuatan asing yang ada bukan lagi invasi atau okupasi kekuatan kolonial Eropa baru, tetapi gelombang kapitalisme global yang dengan amat dahsyat menerobos batas-batas ekonomi dan politik bangsa- bangsa, termasuk di Asia Tenggara.

Dalam pidatonya ketika memperingati Peringatan Emas Konferensi Asia-Afrika Bandung tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono mengenangkan kembali tumbuh dan berkembangnya solidaritas bangsa- bangsa di dua kontinen, betapa mereka di paruh kedua dekade 1940-an memberikan sokongan terhadap RI, republik muda yang waktu itu terancam oleh kekuasaan kolonial yang ingin kembali.

Nasionalisme Indonesia yang telah lahir karena diilhami oleh perkembangan dunia kemudian berbalik menjadi salah satu inspirasi dunia, khususnya bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika yang—meminjam pidato Presiden Yudhoyono di atas—melihat RI sebagai anak pertama dari solidaritas kedua benua.

Kaum Merah Muncul dari Sudut Peneleh

Gedung Nasional Indonesia di Jalan Bubutan Surabaya.
Senin, 12 Mei 2008 | 08:36 WIB

Laporan Wartawan Surya Kuncarsono Prasetyo

SUDAH sering saya datang ke Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jl Bubutan . Namun ternyata selama ini saya luput memperhatikan tanda sejarah di bangunan pendopo yang sebenarnya lebih sederhana ketimbang bangunan bergaya joglo kebanyakan.

Sebab baru kemarin saya melihat sebuah prasasti yang terselip di beton pagar bagian depan GNI. Begini tulisannya: Batoe Partama dari: Pagar Gedoeng Nasional Indonesia . Terpasang oleh Keoem Istri Indonesia, pada 13 Juli 1930. Peringetan ini terpasang oleh Dames Congressisten PPII pada 13 December 1930.

“Sejak dipasang pertama kali, prasasti itu tidak pernah dipindah. Bahkan ada dua prasasti bersejarah lain yang tetap di tempatnya,” kata Kepala Balai Pemuda dan GNI Nirwana Juda, saat saya temui beberapa waktu lalu.

Dua prasasti ini adalah tahapan pemugaran GNI yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 1961 dan prasastri tertanggal 30 Juli 1965 oleh Kepala Biro Teknik Pemugaran Soedjasmono.

GNI adalah simbol pergerakan nasional baru kaum priyayi pascaperiode Kebangkitan Nasional 1908. Motornya adalah Dr Soetomo, seorang dokter lulusan Belanda yang sejak 1923 mengajar di Nederlandsche Indische Artesen School (NIAS). Kelak menjadi Faktultas Kedokteran, Unair.

Saya melihat foto asli Dr Soetomo yang kondisinya lusuh namun masih dipajang di tembok ruangan di belakang pendopo GNI. GNI lahir di masa kota ini menjadi sentra gerakan nasional. Beberapa tahun sebelum perkumpulan di GNI berdiri dan organisasi Nahdlatoel Olema (NO) lahir pada 1926, sebuah gerakan massa yang lebih masif dihimpun Hadji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto (Pak Tjokro) dalam wadah Sjarekat Islam (SI).

Pusatnya di Peneleh VII, sebuah kampung yang berjarak 500 meter dari GNI. Di rumah bercat hijau yang masih ada hingga sekarang ini Pak Tjokro mengubah Sjarekat Dagang Islam menjadi SI pada Mei 1912. Delapan bulan kemudian, pada 26 Januari 1913 digelar Kongres SI pertama di Kebun Bintang Surabaya atau Dierentuin. Surabaya kembali menjadi tuan rumah Kongres SI ketiga pada 1918 dan Kongres SI ke empat pada 1919. SI yang pada 1923 berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) juga menggelar kongres luar biasa di Surabaya pada 24-26 Desember 1924.

Saya tidak bisa membayangkan Tjokro memimpin satu juta anggota SI dari sebuah rumah yang seukuran tipe 36. Sebuah organisasi paling besar yang tercatat pada jamannya. Namun dari rumah sempit ini, banyak tokoh sejarah lahir. Selain Ir Soekarno dan Ki Hajar Dewantoro , juga Semaoen, Alimin dan Darsono, pemuda SI merah yang hilang dari ingatan sejarah.

Kelompok ini menyempal dan mengagas berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Begitu kuatnya pengaruh SI dari Surabaya, aktivis antikapitalis berdarah Belanda sempat cemburu. Di Surabaya-lah embrio PKI lahir dengan nama Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) pada 9 Mei 1914.

Pendirinya adalah HJFM Sneeveliet, HW Dekker, P Bergsma, dan JA Brandsteder. Menurut catatan sejarah, kelak pada 23 Maret 1920 ISDV berubah nama menjadi Perserikatan Komunis di Hindia dan kemudian menjadi. Hingga tahun 1920-an, kekuatan Surabaya sebagai pusat gerakan semakin tinggi. Dr Soetomo (Pak Tom) mendirikan Indische Studieclub pada 1924 di Bubutan .

Pada 16 Oktober 1930 perkumpulan ini menjadi Persatuan Bangsa Indonesia yang setahun kemudian menjadi partai politik disingkat PBI . Sentra gerakan dipusatkan di GNI. Kompleks ini dibangun dengan dana patungan termasuk hasil iuran pergerakan perempuan yang dibuktikan dengan prasasti yang tersebut di awal tulisan ini.

Rapat tahunan PBI pertama dilakukan di GNI pada 14-16 Mei 1932. PBI kemudian menjadi parpol termodern yang pernah ada bahkan tidak tertandingi sampai sekarang. PBI mendirikan Bank Negara Indonesia , memiliki koran agitasi Soeara Oemoem dan Panjebar Semangat yang ada hingga sekarang, lembaga pendidikan Lembaga Pergoeroean Rakjat, membuka toko Pertoekangan, kamar dagang dan Industri yang bernama Madjelis Sodagar, dan masih banyak lagi, yang semuanya berpusat di GNI.

Bersama Kita Bisa Apa, Ya?


Pendiri Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, berkampanye di hadapan ribuan massa yang datang ke Stadion Gelora 10 Nopember, Surabaya, pada kampanye Pemilu 2004.
Selasa, 13 Mei 2008 | 07:07 WIB

Oleh Budiarto Shambazy

Pada awal dekade 1980-an, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew sebal kepada warganya sendiri, terutama yang berkecimpung di sektor layanan umum. Mereka punya dua kebiasaan buruk: kurang ramah dan suka buang dahak di sembarang tempat.

PM Lee lalu melancarkan kampanye nasional mengajak warga belajar senyum lagi. Ia memanfaatkan Mr Groovy, ikon asosiatif berwajah kuning serupa matahari dengan kedua ujung bibir ditarik ke atas pertanda senyum. Ikon itu ditambahi tulisan ”Smile, Please!” Tanda seru sengaja ditampilkan untuk menimbulkan kesan paksaan karena PM Lee tahu sukarnya mengubah tabiat warga Singapura yang kurang ramah itu.

Ia menerbitkan jutaan stiker, spanduk, pin, lambang, dan aneka barang cetakan dengan beragam ukuran yang bergambar ikon itu. Ada stiker di taksi, gambar besar di atas mesin kasir, dan spanduk di jembatan penyeberangan.

Pada awalnya kampanye senyum itu sempat ditentang karena kalau orang tersenyum terus bisa dibilang kurang waras. Namun, sikap ramah paling tidak membuat betah wisman dari sini rajin berbelanja ke Singapura.

Andaikan produk yang dicari tak ada, pelayan toko rela mencarikan alamat toko-toko lain— bahkan menelepon—untuk Anda. Beda dengan pelayan toko di sini yang kalau ditanya telah terbiasa menjawab, ”Wah, saya enggak tahu.”

Soal buang dahak, PM Lee menerapkan aturan denda yang nilainya besar. Denda besar diberlakukan pula untuk yang tertangkap tangan merokok, lupa menyiram kloset sehabis buang hajat, dan sebagainya.

PM Malaysia Mahathir Mohamad hebat ketika mencanangkan ”Malaysia Boleh!”. Tujuannya satu: membangkitkan patriotisme rakyat untuk mencetak prestasi di berbagai bidang, termasuk olahraga dan pariwisata. Hasilnya antara lain sukses kampanye pariwisata ”Malaysia, Truly Asia”. Di bidang olahraga, prestasi mereka menjulang di tingkat dunia, Asia, dan Asia Tenggara.

Amerika Serikat (AS), bangsa penemu internet, sejak 1993 telah menyiapkan ”manusia analis-simbolik” untuk mempertahankan daya saing pada abad ke-21. Mereka mendagangkan simbol-simbol yang dimanipulasi—data, kata, atau isyarat oral-visual.

Mereka peneliti, perancang, ahli perangkat lunak komputer, ahli bioteknologi, pakar suara, konsultan, musisi, penulis, dan lainnya. Mereka menjual jasa menyelesaikan, mengidentifikasi, dan memperantarai simbol-simbol yang telah dimanipulasi itu. Mereka menyederhanakan semua abstraksi yang potensial dijual. Abstraksi itu diatur ulang, diolah tuntas, dieksperimentasi, dikomunikasikan dengan analis-simbolik lainnya, dan diubah menjadi produk baru yang siap dipasarkan.

Banyak jalan menuju Roma, banyak cara bagi bangsa untuk bangkit. Pas Mei 2008 ini kita memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional sekaligus 10 tahun reformasi dan lengser ing keprabon. Bangsa ini sejak 1908 mendapat kesempatan bangkit karena sempat ”tidak hidup lagi” dua kali, tahun 1965 dan 1998. Namun, kebangkitan tahun 1965 dan 1998 tak berlangsung lama.

Kebangkitan 1965 dan 1998 berlangsung sebentar saja karena yang bangkit cuma segelintir orang yang punya kuasa dan uang. Sisanya, kayak Anda dan saya, tidur lagi seperti habis digigit lalat tsetse dari Afrika. Anda dan saya dipaksa ikut ”Kesetiakawanan Sosial”, ”Gerakan Disiplin Nasional”, atau ”Aku Cinta Produk Indonesia”. Ya, sudahlah.

Kebangkitan ala 1908 masih akan tetap susah karena, seperti ditulis Mochtar Lubis tahun 1977, ada enam ciri manusia Indonesia. Selama 31 tahun kita masih terbelenggu kultur yang lama sekalipun sistem dan struktur telah berubah-ubah.

Ciri pertama manusia Indonesia munafik. Pak Mochtar menulis ”kata sakti” itu dengan huruf-huruf kapital—mungkin pertanda saking sebalnya dia. Setiap kali mendengar kata munafik, saya langsung ingat watak presiden kita yang kedua. Bagaimana dengan Anda?

Ciri kedua, enggan bertanggung jawab. Dalam setiap pemeriksaan kasus korupsi sang pejabat biasanya enggan ”menjawab” interogasi, apalagi ”menanggung” kesalahan dia. Sampai kini tak ada yang mengaku bertanggung jawab atas tragedi 12 Mei, padahal militer mengajarkan pentingnya bersikap ksatria. Ciri ketiga, feodal.

Ciri keempat, masih percaya takhayul dan jago bikin perlambang tanpa makna. Masih percaya takhayul dalam bahasa abad ke-21 artinya ”masih menunggu kedatangan Ratu Adil/ Satria Piningit untuk memimpin bangsa”.

Jauh sebelum Pak Mochtar sudah ada yang menulis parahnya watak memercayai takhayul, yakni Pahlawan Nasional Tan Malaka. ”Dunia mistis dan takhayul menyebabkan orang mudah menyerah,” tulis Tan Malaka.

Ciri kelima, artistik. ”Bagi saya ciri artistik ini yang paling memesonakan, merupakan sumber dan tumpuan harapan bagi hari depan,” tulis Pak Mochtar.

Ciri keenam, punya watak yang lemah sehingga mudah dipaksa berubah keyakinannya demi kelangsungan hidup manusia Indonesia.

Momentum bangkit bagi setiap bangsa selalu tersedia. AS saja kini bangkit lagi lewat slogan ”Ya Kita Bisa!” ala Barack Obama.

Dalam rangka 10 tahun Reformasi, ada mahasiswa bertanya tentang kelanjutan slogan SBY-JK, ”Bersama Kita Bisa”. Saya menjawab, ”Bersama Kita Bisa Apa, Ya?” Nah, marilah kita temukan jawabannya bersama-sama.

Thursday, May 8, 2008

Paling Menguntungkan NU


Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur mana yang paling menguntungkan NU? Itulah pertanyaan dari dua orang jurnalis di Surabaya kepada saya.

Pertanyaan itu diajukan karena satu calon gubernur berasal dari kalangan NU, satu calon gubernur lain tokoh struktural NU, dua calon wakil gubernur tokoh struktural NU, dan satu calon wakil gubernur berasal dari kalangan NU kultural.

Saya jawab, yang paling menguntungkan NU ialah pasangan yang paling menguntungkan rakyat. Mengapa demikian? Kita meyakini bahwa warga Jawa Timur mayoritas warga NU. Berapa jumlahnya? Tidak ada angka yang pasti. Saya ingin mendekati jumlah warga NU Jatim secara tidak langsung, melalui hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ciputat (2002) dengan sekira 2.000 responden dari seluruh Indonesia.

Ada pertanyaan: apakah Anda merasa menjadi bagian dari komunitas (jama'ah) NU? Yang menjawab positif berjumlah sekira 42 persen. Karena jumlah terbesar warga NU ada di Jawa Timur, jumlah mereka yang merasa menjadi bagian dari jamaah NU di sini secara persentase tentu lebih besar.

Secara ekstrem bisa mencapai 60 persen dari warga keseluruhan provinsi ini. Mereka biasa disebut sebagai NU kultural,bukan anggota resmi organisasi (jam'iyah) NU atau NU struktural. Mungkin yang anggota resmi hanya separuh dari jumlah itu. Kalau selama ini diperkirakan jumlah warga NU ada 40 juta, maka yang dimaksud adalah warga organisasi NU.

Kalau warga NU kultural mencapai 60 persen dari warga Jawa Timur, tidak salah kalau saya mengatakan bahwa kandidat yang menguntungkan NU adalah yang menguntungkan rakyat- yang 60 persennya adalah warga NU-bukan yang menguntungkan organisasi NU apalagi tokoh struktural NU. Pertanyaan berikutnya, siapa pasangan calon gubernur yang menguntungkan rakyat? Bagaimana kita dapat mengenalinya?

Yang paling awal tentu melihat dari visi dan misi yang diajukan oleh pasangan calon itu. Kalau kita lihat visi dan misi pasangan calon gubernur dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat yang disampaikan dalam debat di TV, tidak terlalu banyak bedanya. Debat itu hanya terbatas waktunya sehingga tidak mungkin kita mengetahui secara lengkap visi dan misi tokoh. Yang di sampaikan dalam debat atau visi dan misi secara tertulis yang di-bagikan, tentu semuanya bagus.

Kita melihat bahwa materi kampanye Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) amat bagus, tetapi ternyata survei menunjukkan bahwa kebanyakan rakyat kini tidak puas terhadap kinerja SBY. Jadi materi kampanye yang bagus tidak menjamin kinerja yang bagus. Indikator kedua ialah paradigma calon gubernur,apakah memihak rakyat atau tidak?

Bagaimana kita mendeteksi atau mengetahui hal itu? Ada calon yang memasang slogan "APBD untuk Rakyat" untuk meyakinkan pemilih bahwa calon itu prorakyat.Apakah itu berarti bahwa APBD 2003- 2008 tidak untuk rakyat, padahal calon tersebut juga ikut menyusun APBD 2003-2008.

Paradigma para kandidat (terutama calon gubernur) dapat juga dilihat dari rekam jejak (track record) mereka selama ini, baik sebagai pejabat pemerintah, anggota DPR,kepala daerah, maupun tokoh partai atau tokoh organisasi kemasyarakatan. Di dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, rekam jejak para bakal calon dilacak dan dipertentangkan dengan apa yang mereka sampaikan dalam kampanye mereka saat ini.

Pers dan para cendekiawan dapat berperan dalam mengungkap rekam jejak para calon. Yang amat penting ialah karakter, integritas,dan etika para calon.Faktor utama integritas ialah kejujuran. Ini pun dapat ditelusuri melalui rekam jejak para calon. Kembali kita perlu mengangkat pentingnya peran pers dan cendekiawan dalam masalah itu.

Memang di dalam masyarakat kita upaya mengungkap hal semacam itu bukanlah sesuatu yang dinilai positif oleh masyarakat. Tetapi tujuan dari upaya itu sebetulnya untuk melindungi masyarakat dari potensi masalah yang dimiliki para calon pemimpin kita.

Banyaksekalimasalahyangdihadapi rakyat Jawa Timur yang perlu mendapat perhatian dan dikuasai oleh calon gubernur,seperti pengangguran, kemiskinan, mahalnya kebutuhan pokok masyarakat, kerusakan lingkungan, pendidikan yang bermutu dan merata, tersedianya pupuk pada waktunya dalam jumlah yang cukup dan harganya terjangkau, perlindungan terhadap buruh migran di LN (yang kabarnya terbanyak berasal dari provinsi ini),penanggulangan masalah sosial Lapindo, dan masih banyak lagi.

Terhadap sejumlah masalah tersebut di atas, sejauh mana penguasaan para calon gubernur dan komitmennya? Kalau selama ini mereka tidak pada posisi yang mengharuskan mereka menaruh perhatian terhadap sejumlah masalah di atas, tidak apa-apa. Tetapi mereka yang selama ini menduduki posisi yang mengharuskan mereka untuk memberi perhatian dan komitmen terhadap sejumlah masalah itu, bisa kita lacak sejauh mana komitmen mereka. Bisa diteliti sejauh mana komitmen mereka terhadap tugas yang mereka pikul selama ini.

Dengan memperhatikan rekam jejak para calon itu, kita akan menemukan siapa yang akan menguntungkan rakyat, yang berarti juga menguntungkan NU. Rakyat sudah kritis dan mengetahui siapa yang layak dipilih dan siapa yang tidak. Kalau diberi uang atau sesuatu secara in-natura, mereka akan menerimanya tetapi belum tentu akan memilih calon yang memberi. Dukungan partai besar tidak menjadi jaminan. Pemilihan Gubernur Jawa Barat dan Sumatra Utara memberi kita, dan para calon, pelajaran yang berharga. (*)

Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng
(//mbs)

Dekade (Tanpa) Reformasi


Memasuki tahun kesepuluh, reformasi masih jauh panggang dari api. Berbagai kebijakan pemerintah yang berjalan selama ini terkesan kuat masih lebih menampakkan sikap akrobatik ketimbang capaian-capaian yang bersifat substantif.

Sebagai misal, persoalan-persoalan masa lalu dalam masyarakat seperti kasus kerusuhan Mei 1998 (termasuk kekerasan seksual) belum ditangani secara serius, sistematis, dan tuntas. Sejalan dengan itu, penegakan hukum yang sejatinya merupakan salah satu dasar utama reformasi justru mengalami hambatan, bahkan dari unsur negara sendiri. Ambil contoh, upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menguak merebaknya korupsi di lembaga perwakilan rakyat terkesan kuat (agak) dihalanghalangi oleh elite di lembaga tersebut.

Elite Layar Kaca


Melihat fenomena yang menggejala kuat semacam itu, reformasi bukan hanya berjalan di tempat, tapi justru mengalami keguguran dini. Sejauh ini reformasi tak lebih dari semacam ilusi yang sulit diwujudkan ke dalam realitas konkret. Di atas kertas, kebijakan hukum dan pembentukan lembaga yang bernuansa reformasi telah banyak mengalami "perkembangan".

Ada undang-undang tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perlindungan korban dan saksi, ada KPK dan sebagainya. Namun, dalam pelaksanaannya masih sangat jauh dari harapan. Jika digali, akar tunggang persoalan semua itu tampaknya berujung pada saratnya negara yang dijejali dengan- meminjam ungkapan Sindhunata- para politikus sinetron.

Orang dan para tokoh yang bertanggung jawab atas kelangsungan negara (entah di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif), menurut Romo Sindhu (Basis, 2007), senang bermain dengan perang semboyan, tidak tahan kritik, dan sulit untuk mengaca diri. Kalaupun mereka mau becermin, mereka hanya mau melihat kebaikan dan tidak mau melihat keburukan mereka, yang sejatinya memang buruk dan busuk.

Di sini mereka nyaris tidak ada bedanya dengan artis sinetron. Bedanya, mereka bukan menjual kecantikan atau ketampanan, tapi omong kosong yang membujuk rakyat. Tengok saja para wakil rakyat yang terhormat. Mereka banyak yang asyik memperkaya diri, terlibat tindak kejahatan korupsi, dan sejenisnya tinimbang mendengarkan keluhan masyarakat dan menindaklanjutinya melalui kebijakan konkret.

Pada sisi itu pula kita melihat korban kerusuhan Mei 1998 yang cenderung diabaikan dan kurang mendapat perhatian dan penanganan sebagaimana mestinya. Bahkan sebagian lembaga negara cenderung resisten dalam menyikapi hal itu. Dari sini tampak sekali bahwa perhatian mereka hanya pada hal-hal yang bersifat permukaan.

Mereka selalu berbicara pengembangan demokrasi, kepentingan rakyat, penegakan hukum dan keadilan, dan ungkapan-ungkapan lain yang bernuansa profetik. Namun di saat yang sama, mereka menjadikan wacana itu sebagai tameng untuk menutupi perilaku mereka yang sarat dengan kepentingan diri sendiri dan kelompok, bahkan bejat dan tidak bermoral.

Mereka tampaknya mendukung reformasi bukan untuk pencapaian misi reformasi, tapi sekadar aji mumpung; mengambil kesempatan berkah kebebasan reformasi (yang sering kebablasan) untuk menikmati kue kekuasaan. Mereka masuk ke dalam lingkaran kekuasaan sekadar mengejar status, fasilitas, dan kekayaan. Di sana mereka lalu mereguk kekuasaan sepuas-puasnya, yang nyaris semuanya menusuk telak hati nurani sebagian besar masyarakat.

Tanggung Jawab Negara


Karut-marut persoalan yang dihadapi negara dan masyarakat, serta wajah buram negeri ini tentu tidak bisa dibiarkan berlanjut terus. Selain mengkhianati cita-cita reformasi, pembiaran juga akan mengantarkan kepada kebangkrutan negara. Bukan hanya bangkrut ekonomi, tapi juga bangkrut sosial, dan tentu saja moral.

Secara moral bangsa ini memang pernah mengalami kebangkrutan. Di antaranya kejadian kekerasan seksual, perkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998. Saat itu, moralitas bangsa mencapai titik nadir yang benar-benar memalukan sebagai bangsa taat beragama. Ironisnya, banyak kalangan meragukan realitas tragedi itu.

Padahal Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sudah menemukan bukti-bukti konkret. Memetieskan persoalan semacam itu, selain bertentangan diametral dengan visi reformasi, juga akan memperlihatkan bahwa moralitas bangsa memang sedang menuju keambrukan. Pembiaran terhadap kejadian serupa itu menunjukkan bahwa bangsa ini sudah mengalami pemudaran dalam rasa keadilan dan moralitas universal sejenis.

Pada sisi itu, upaya serius untuk menindaklanjuti misi reformasi menjadi tidak terelakkan. Upaya bukan hanya berputar-putar pada masalah permukaan, tapi menukik pada inti visi reformasi. Dalam kerangka itu, dasar untuk melangkah terletak pada pengembangan reformasi yang harus berujung pada tindakan konkret.

Sebagai tindakan, reformasi beserta pelbagai turunannya-termasuk persoalan yang ada di dalamnya-meniscayakan adanya tanggung jawab. Negara yang sebermula sekali hadir untuk melindungi warga negara tentu harus menjadi penanggung jawab pertama.

Sebagai lembaga yang bukan personal, negara dalam melaksanakan tanggungjawabnya perlu diurai kepada organ-organ negara, yang masing-masing dilaksanakan oleh orang per orang, pejabat sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. Person-person ini yang harus memikul tanggung jawab sesuai peran dan beban di pundak mereka.

Masing-masing tidak bisa berkilah mereka hanya sebagai pembuat kebijakan yang tidak bertanggung jawab dalam pelaksanaannya; atau mereka hanya sebagai pelaksana yang tidak bertanggung jawab atas sukses-gagalnya program, atau terjadinya persoalan dan tragedi. Tanggung jawab semacam itu harus dilabuh-kokohkan saat ini dan terus ke depan. Tanpa tanggung jawab dalam arti hakiki semacam itu, mereka bukan hanya sebagai artis sinetron.

Lebih dari itu mereka seutuhnya adalah penjual obat pinggir jalan, yang menjajakan obat antikanker tapi sesungguhnya mereka sedang menjual bahan kimia penyebab kanker. Tentu semua itu harus mendapat dukungan dari masyarakat sipil dan masyarakat secara luas. Sikap Komnas Perempuan, misalnya, membentuk pelapor khusus untuk perempuan korban kerusuhan Mei 1998 merupakan upaya yang seutuhnya mengarah kepada hal tersebut.

Demikian pula dukungan masyarakat luas yang begitu kuat atas langkah-langkah KPK. Sekarang semuanya tergantung pada seluruh elemen negara untuk merespons hal semacam itu secara sungguh-sungguh. Hanya dengan cara demikian reformasi akan membumi dalam realitas kehidupan konkret bangsa. Jika tidak, sepuluh tahun yang dilalui bangsa terakhir ini tak lebih dari kepanjangan dari masa-masa buram sebelumnya. (*)

Abd A'la
Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya,
dan komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(//mbs)

Wednesday, May 7, 2008

KH Idham Chalid Kini

Oleh : Asro Kamal Rokan

Setelah berdoa mohon kesembuhan, saya mencium wajahnya yang bersih dan teduh. KH Idham Chalid tokoh besar bangsa, sejak sepuluh tahun lalu terbaring lemah. Sebuah selang dipasang di lambungnya untuk memasukkan makanan dan obat-obatan. Pak Idham tak dapat lagi berkomunikasi. Beliau terbaring dan lemah.

Pak Idham adalah tokoh penting dalam sejarah politik modern Indonesia. Atas jasa dan pengabdiannya. Maret lalu di Jakarta, Ketua PPP, Arief Mudatsir Mandan, menerbitkan buku Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid setebal 466 halaman.

Dilahirkan di desa kecil Setui, Kalimantan Selatan, 86 tahun lalu, Pak Idham--yang berjuang sejak remaja dan dua kali dipenjara masa pendudukan NICA--memegang jabatan penting pada masa Soekarno dan Soeharto. Pada usia sangat muda, 30 tahun, Pak Idham sudah dipercaya sebagai sekretaris jenderal PB Nahdlatul Ulama. Empat tahun kemudian, 1956, menjadi ketua umum Tanfidziah PBNU.

Pada tahun yang sama, 1956, Pak Idham dari unsur NU menjadi Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II bersama Mr Mohammad Roem. Kabinet ini dikenal sebagai kabinet Ali-Roem-Idham. Dalam kabinet ini, Pak Idham bertugas pula sebagai kepala Badan Keamanan.

Penyusunan kabinet hasil Pemilu 1955 ini sangat alot. Presiden Soekarno mendesak agar unsur PKI masuk dalam kabinet, yang disebutnya sebagai Kabinet Kaki Empat (PNI, Masjumi, NU, PKI). Namun, Ali Sastroamidjojo (PNI), Mohammad Roem (Masjumi), dan Idham Chalid (NU) menolak dengan keras usul Soekarno itu. Ali bahkan sampai pada keputusan: take it or leave it!

Setelah setengah bulan, Soekarno akhirnya menerima susunan kabinet yang diajukan Ali itu. Namun, Soekarno tidak bersedia memimpin pengambilan sumpah menteri kabinet. Presiden hanya menyaksikan setiap menteri membaca teks sumpah sendiri-sendiri. Ini tidak pernah terjadi. "Kalau beliau (Soekarno) tidak senang, memang begitu," kata Ali pada Pak Idham yang menanyakan keganjilan tersebut.

Kabinet yang tak direstui Presiden ini hanya bertahan setahun. Menyusul penarikan dukungan Masjumi dan PSII terhadap kabinet, Ali dan Idham akhirnya mengembalikan mandat. Kabinet berakhir, 14 Maret 1957. Ini disusul keputusan Soekarno memberlakukan keadaan bahaya perang (SOB--Staat van Oorlog en van Beleg). Presiden kemudian menunjuk dirinya sendiri menjadi formatur kabinet. Ini dianggap melanggar konstitusi. Dalam kabinet ini, Djuanda menjadi Perdana Menteri, Pak Idham kembali dipercaya menjadi wakil Perdana Menteri.

Dalam perkembangan politik yang berlangsung sangat cepat, Pak Idham tetap mengambil peran penting. Beliau dipercaya menjadi wakil ketua MPRS (1963-1966), menteri Kesejahteraan Rakyat (1966-1967; 1967-1968; dan 1968-1973). Pada 1971-1977, Pak Idham dipercaya sebagai ketua DPR/MPR.

Pada masa itu pula, 1973, Pak Idham menjadi ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pertama. Di NU, posisinya sebagai ketua umum berakhir pada 1984. Terakhir, 1978-1983, Pak Idham menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung dan Mudir'Am Jam'iyyah Ahlith Thariqoh al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah.

Setelah tidak lagi di politik, Pak Idham memimpin Perguruan Darul Ma'arif di Cipete Selatan, Jakarta Selatan, selain Lembaga Pendidikan Darul Qur'an dan Rumah Yatim di Cisarua. Di Cipete kediaman Pak Idham, ratusan santri--anak-anak dhuafa, bahkan di antaranya ada yang telah menjadi pejabat dan menteri--dididik ilmu agama. Di sini, setiap hari di tengah derai senda gurau para santri, Pak Idham terbaring lemah. Tiga bulan setelah tidak berkuasa, Pak Harto mengunjungi tokoh besar ini. Pak Habibie dan Gus Dur semasa menjadi presiden, juga datang ke sana.

Tanpa sedikit pun biaya dari negara, selang di lambung Pak Idham harus selalu diganti dengan biaya tidak sedikit. Tiga rumah telah terjual untuk biaya pengobatan terus-menerus itu.

Pak Idham kini terbaring dalam kehangatan cinta anak-anaknya. Beliau tokoh besar bangsa--tokoh yang berjuang untuk Indonesia yang seimbang dan harmoni--seperti dilupakan oleh negara besar ini, negara yang diperjuangkannya, yang dicintainya.

Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur mana yang paling menguntungkan NU? Itulah pertanyaan dari dua orang jurnalis di Surabaya kepada saya.

Pertanyaan itu diajukan karena satu calon gubernur berasal dari kalangan NU, satu calon gubernur lain tokoh struktural NU, dua calon wakil gubernur tokoh struktural NU, dan satu calon wakil gubernur berasal dari kalangan NU kultural.

Saya jawab, yang paling menguntungkan NU ialah pasangan yang paling menguntungkan rakyat. Mengapa demikian? Kita meyakini bahwa warga Jawa Timur mayoritas warga NU. Berapa jumlahnya? Tidak ada angka yang pasti. Saya ingin mendekati jumlah warga NU Jatim secara tidak langsung, melalui hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Ciputat (2002) dengan sekira 2.000 responden dari seluruh Indonesia.

Ada pertanyaan: apakah Anda merasa menjadi bagian dari komunitas (jama'ah) NU? Yang menjawab positif berjumlah sekira 42 persen. Karena jumlah terbesar warga NU ada di Jawa Timur, jumlah mereka yang merasa menjadi bagian dari jamaah NU di sini secara persentase tentu lebih besar.

Secara ekstrem bisa mencapai 60 persen dari warga keseluruhan provinsi ini. Mereka biasa disebut sebagai NU kultural,bukan anggota resmi organisasi (jam'iyah) NU atau NU struktural. Mungkin yang anggota resmi hanya separuh dari jumlah itu. Kalau selama ini diperkirakan jumlah warga NU ada 40 juta, maka yang dimaksud adalah warga organisasi NU.

Kalau warga NU kultural mencapai 60 persen dari warga Jawa Timur, tidak salah kalau saya mengatakan bahwa kandidat yang menguntungkan NU adalah yang menguntungkan rakyat- yang 60 persennya adalah warga NU-bukan yang menguntungkan organisasi NU apalagi tokoh struktural NU. Pertanyaan berikutnya, siapa pasangan calon gubernur yang menguntungkan rakyat? Bagaimana kita dapat mengenalinya?

Yang paling awal tentu melihat dari visi dan misi yang diajukan oleh pasangan calon itu. Kalau kita lihat visi dan misi pasangan calon gubernur dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat yang disampaikan dalam debat di TV, tidak terlalu banyak bedanya. Debat itu hanya terbatas waktunya sehingga tidak mungkin kita mengetahui secara lengkap visi dan misi tokoh. Yang di sampaikan dalam debat atau visi dan misi secara tertulis yang di-bagikan, tentu semuanya bagus.

Kita melihat bahwa materi kampanye Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) amat bagus, tetapi ternyata survei menunjukkan bahwa kebanyakan rakyat kini tidak puas terhadap kinerja SBY. Jadi materi kampanye yang bagus tidak menjamin kinerja yang bagus. Indikator kedua ialah paradigma calon gubernur,apakah memihak rakyat atau tidak?

Bagaimana kita mendeteksi atau mengetahui hal itu? Ada calon yang memasang slogan "APBD untuk Rakyat" untuk meyakinkan pemilih bahwa calon itu prorakyat.Apakah itu berarti bahwa APBD 2003- 2008 tidak untuk rakyat, padahal calon tersebut juga ikut menyusun APBD 2003-2008.

Paradigma para kandidat (terutama calon gubernur) dapat juga dilihat dari rekam jejak (track record) mereka selama ini, baik sebagai pejabat pemerintah, anggota DPR,kepala daerah, maupun tokoh partai atau tokoh organisasi kemasyarakatan. Di dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, rekam jejak para bakal calon dilacak dan dipertentangkan dengan apa yang mereka sampaikan dalam kampanye mereka saat ini.

Pers dan para cendekiawan dapat berperan dalam mengungkap rekam jejak para calon. Yang amat penting ialah karakter, integritas,dan etika para calon.Faktor utama integritas ialah kejujuran. Ini pun dapat ditelusuri melalui rekam jejak para calon. Kembali kita perlu mengangkat pentingnya peran pers dan cendekiawan dalam masalah itu.

Memang di dalam masyarakat kita upaya mengungkap hal semacam itu bukanlah sesuatu yang dinilai positif oleh masyarakat. Tetapi tujuan dari upaya itu sebetulnya untuk melindungi masyarakat dari potensi masalah yang dimiliki para calon pemimpin kita.

Banyaksekalimasalahyangdihadapi rakyat Jawa Timur yang perlu mendapat perhatian dan dikuasai oleh calon gubernur,seperti pengangguran, kemiskinan, mahalnya kebutuhan pokok masyarakat, kerusakan lingkungan, pendidikan yang bermutu dan merata, tersedianya pupuk pada waktunya dalam jumlah yang cukup dan harganya terjangkau, perlindungan terhadap buruh migran di LN (yang kabarnya terbanyak berasal dari provinsi ini),penanggulangan masalah sosial Lapindo, dan masih banyak lagi.

Terhadap sejumlah masalah tersebut di atas, sejauh mana penguasaan para calon gubernur dan komitmennya? Kalau selama ini mereka tidak pada posisi yang mengharuskan mereka menaruh perhatian terhadap sejumlah masalah di atas, tidak apa-apa. Tetapi mereka yang selama ini menduduki posisi yang mengharuskan mereka untuk memberi perhatian dan komitmen terhadap sejumlah masalah itu, bisa kita lacak sejauh mana komitmen mereka. Bisa diteliti sejauh mana komitmen mereka terhadap tugas yang mereka pikul selama ini.

Dengan memperhatikan rekam jejak para calon itu, kita akan menemukan siapa yang akan menguntungkan rakyat, yang berarti juga menguntungkan NU. Rakyat sudah kritis dan mengetahui siapa yang layak dipilih dan siapa yang tidak. Kalau diberi uang atau sesuatu secara in-natura, mereka akan menerimanya tetapi belum tentu akan memilih calon yang memberi. Dukungan partai besar tidak menjadi jaminan. Pemilihan Gubernur Jawa Barat dan Sumatra Utara memberi kita, dan para calon, pelajaran yang berharga. (*)

Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng
(//mbs)

Jelang 100 Tahun Kebangkitan Nasional

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Jelas sebagian pembaca pasti kaget pada judul Resonansi hari ini. Pada saat negara dan masyarakat lagi giat-giatnya memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional melalui berbagai agenda, saya malah 'menyimpang' dari alur yang dianggap benar selama ini. Sebagai seorang peminat sejarah, saya harus mengemukakan masalah penting ini untuk didiskusikan secara mendalam, jujur, dan objektif.

Ada dua pertanyaan yang perlu dijawab: (1) apa yang dimaksud dengan kebangkitan nasional; (2) kapan kebangkitan itu dimulai disertai dengan parameter dan fakta sejarah yang digunakan. Kebangkitan nasional harus diartikan sebagai kebangkitan Indonesia sebagai bangsa, bukan kebangkitan suku-suku bangsa.

Sebelum lanjut, saya harus menegaskan bahwa kelahiran Budi Utomo (BU) pada 20 Mei 1908 adalah sebuah terobosan kultural-intelektual yang sangat penting bagi sebuah suku yang kebetulan berjumlah mayoritas dibandingkan dengan suku-suku lain, yaitu suku Jawa, yang sekarang meliputi Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jasa tokoh-tokoh seperti Dr Wahidin Soedirohoesodo dan Dr Soetomo dengan gagasan pencerahannya bagi suku Jawa (saat itu disebut bangsa Jawa), tentu punya makna tersendiri.

Kemudian, para priayi Jawa yang mendominasi struktur pengurus pertama, sedangkan Dr Wahidin hanya sebagai wakil ketua mendampingi ketua pertamanya, Raden Tumenggung Aria Tirtokoesoemo, bupati Karanganyar, menunjukkan bahwa BU memang punya filosofi alon-alon nanging klakon.

Di tangan para priayi yang menjabat sebagai bupati, jaksa, dokter, mantan letnan pada legiun Pakualam Jogjakarta, tentu orang tidak boleh berharap bahwa organisasi ini akan mengkritik tatanan kolonial, betapa pun menghisapnya.

Dalam Anggaran Dasar BU, ditetapkan di Yogyakarta 9 Oktober 1908, pasal dua berbunyi: "Tujuan organisasi untuk menggalang kerja sama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis." Tetapi, juga harus dikatakan bahwa sebelum tahun 1920-an, memang tidak ada organisasi manapun di nusantara yang sudah menggagas tentang kemungkinan munculnya sebuah bangsa yang kemudian bernama Indonesia yang tegas dengan watak nasionalnya. Apalagi pada abad ke-19, sosok bangsa Indonesia dalam mimpi pun tidak terbayang. Dalam perspektif ini, mengangkat tokoh seperti Imam Bonjol, Diponegoro, Hasanuddin, Pattimura, dan sederetan nama lain sebagai Pahlawan Nasional sama sekali tidak punya pijakan historis yang dapat dipertanggungjawabkan.

Jika mau ditetapkan juga sebagai pahlawan, mungkin bisa diusulkan sebagai pahlawan nusantara. Demikian juga BU yang belum berpikir tentang Indonesia tentu perlu dikaji ulang, apakah pantas ditetapkan sebagai awal kebangkitan nasional atau kita cari dasar yang lebih kokoh, kebangkitan Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda 1922, misalnya, atau malah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Mengapa saya berpikir ke arah ini? Alasannya sederhana saja: ketetapan politik untuk sebuah peristiwa penting tanpa dasar sejarah yang solid, posisinya tentu tidak lebih dari mitologi, rapuh sekali. Kata seorang penyair: "Sebuah sarang di atas dahan yang rapuh, tidak akan tahan lama". Apakah Indonesia pada permulaan abad ke-21 ini masih juga harus berkubang dalam mitologi, sementara kita untuk menentukan hari Kebangkitan Nasional memiliki data sejarah yang sangat kuat?

Saya lebih cenderung pada Sumpah Pemuda 1928, itulah sebabnya judul Resonansi ini dianyam seperti formula di atas. Dengan kata lain, 100 Tahun Kebangkitan Nasional baru tepat diperingati pada 28 Oktober 2028, masih 20 tahun lagi. Tetapi, akan sangat bijak jika pemerintah dan masyarakat kita sekarang mau membetulkan keputusan politik tahun 1948 (atas usul Ki Hadjar Dewantara, info dari Dr Anhar Gonggong) yang menetapkan kelahiran BU, 20 Mei 1908, sebagai tonggak kebangkitan nasional.

Bahwa BU telah berjasa dengan caranya sendiri, tak seorang pun yang dapat menyangkal. Begitu juga gerakan pemuda kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Sumateranen Bond, dan Jong Islamieten Bond dalam kapasitasnya masing-masing tentu telah pula berjasa dalam upaya penyadaran dan pencerahan kelompok masing-masing dalam suasana kolonial yang masih mencekam.

Dengan Sumpah Pemuda, semua gerakan kedaerahan ini, sekalipun dengan susah payah, akhirnya meleburkan diri dan bersepakat untuk mendeklarasikan trilogi pernyataan yang tegas-tegas menyebut tumpah darah/tanah, bangsa, dan bahasa Indonesia. Sumpah ini didukung oleh berbagai anak suku bangsa dan golongan. Jadi, cukup repsesentatif bagi awal kelahiran dan kebangkitan sebuah bangsa: Indonesia! Mari kita tinggalkan mitos, jadikan fakta keras sejarah sebagai tonggak sebuah kebangkitan.

Tuesday, May 6, 2008

PILPRES 2009

Partai Demokrat Calonkan Yudhoyono Lagi

RAD / Kompas Images
Andi Mallarangeng
Selasa, 6 Mei 2008 | 00:21 WIB

Jakarta, Kompas - Meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji baru akan mengumumkan pencalonannya kembali atau tidak dalam Pemilihan Presiden 2009 tiga bulan sebelum masa kampanye, Partai Demokrat sudah terlebih dahulu bersiap-siap mencalonkan kembali Yudhoyono sebagai Presiden RI periode 2009-2014.

Wacana pencalonan kembali Yudhoyono, yang saat ini duduk sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, sudah mengemuka di berbagai forum internal partai. Di forum umum, Yudhoyono dan petinggi partai yang didirikan Yudhoyono ini sama sekali tidak menyinggung pencalonan ini. Yudhoyono tidak ingin tergesa-gesa karena ingin berkonsentrasi memimpin pemerintahan yang tidak sedikit tantangannya.

Salah satu forum internal yang menyebut pencalonan kembali Yudhoyono dalam Pilpres 2009 adalah kegiatan Pelatihan Kepemimpinan Kader Partai Demokrat (PKKPD) kedua. PKKPD kedua ditutup dengan acara peninjauan ke Gedung DPR dan Istana Negara oleh para kader Partai Demokrat, Jakarta, Minggu (4/5).

Dalam forum PKKPD, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng yang duduk sebagai Ketua Departemen Sumber Daya Manusia DPP Partai Demokrat menyatakan pencalonan kembali Yudhoyono. Pernyataan itu diberitakan situs resmi Partai Demokrat.

”Kontribusi saya adalah memberikan pemikiran-pemikiran tentang bagaimana memenangkan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 dan mengusung kembali SBY jadi Presiden RI 2009-2014,” ujar Andi.

PKKPD kedua diikuti peserta dari Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat. PKKPD pertama diikuti peserta dari Nanggroe Aceh Darussalam, Maluku, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Bali, dan Sumatera Barat serta di akhir acara diterima Presiden Yudhoyono di kediamannya di Puri Cikeas Indah, Bogor, Jawa Barat, akhir April 2008.

”Penolakan” Yudhoyono untuk dicalonkan kembali dalam Pilpres 2009 pernah dikemukakan kepada publik saat secara terbuka dicalonkan kembali oleh Ketua Umum Parmusi Bachtiar Chamsyah dalam Muktamar Parmusi, 22 Februari 2008. Atas pencalonannya kembali itu, Yudhoyono meminta para pendukungnya berpikir ulang.

”Akan banyak pilihan pada Pemilu 2009 nanti. Jangan tergesa-gesa untuk mengatakan harus memilih ini atau mencalonkan ini. Baca hati dan pikiran calon pemimpin nanti dengan hati dan pikiran saudara.,” ujar Yudhoyono ketika itu.

Secara terpisah, Ketua Bidang Politik DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum memuji Yudhoyono sebagai tokoh terbaik bangsa. Namun, menurut dia, Partai Demokrat baru akan membahas calon presiden dan wakilnya setelah pemilu legislatif. Alasannya, Partai Demokrat sedang berkonsentrasi untuk mengejar target perolehan suara sebanyak 15 persen. (INU)

POLITIKA

"Ni Bu Yao, Wo Pakse"!
Selasa, 6 Mei 2008 | 00:25 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Sewaktu KPK menggeledah Gedung DPR, ada perasaan mendua. Di satu pihak senang karena pemberantasan korupsi tidak kalah seru dibandingkan razia ekstasi di tempat-tempat hiburan. Di lain pihak, dalam istilah ABG, ada rasa gaib. Parlemen lembaga wakil rakyat dan Gedung DPR—seperti halnya Istana Negara/Merdeka—adalah rumah rakyat.

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK kerja untuk kita, rakyat, karena dibentuk sesuai amanat kita, didanai uang kita, dan bertanggung jawab kepada kita. Ia jadi tumpuan harapan— sekaligus ujung tombak—kita yang muak dengan korupsi.

Jadi, saat rumah kita digeledah, yang sebetulnya terjadi ”saling geledah sesama kita”. Kebetulan sinonim dari geledah artinya lebih kurang obok-obok.

Sayangnya, penggeledahan di DPR tidak sejenaka lagu Diobok-obok yang dinyanyikan Joshua. Apalagi mengobok-obok diri sendiri jelas perilaku yang menyimpang—coba saja Anda lakukan di depan cermin.

Tamu pada acara ”Pers & Peristiwa” di Astro yang dipandu Riza Primadi belum lama ini adalah Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Gayus Lumbuun. Kami sependapat korupsi di DPR—juga lembaga kepresidenan—tidak ubahnya pengkhianatan.

Sebab, anggota-anggota DPR—juga presiden/wakil presiden—dipilih langsung rakyat. Beda dengan polisi atau petugas Bea dan Cukai yang ketahuan korupsi, misalnya, yang bukan pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat.

Korupsi di lembaga legislatif/eksekutif bukan hanya sederajat dengan pengkhianatan, tetapi juga sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. Di China, tidak sedikit pejabat koruptor yang dihukum mati untuk menimbulkan efek jera.

Penggeledahan dan berbagai cara paksa, seperti menjebak atau menangkap basah calon-calon tersangka, ternyata ampuh. Cara-cara ini membuktikan teori ”sekali maling tetap maling”.

Cara-cara ini juga mengatasi kebuntuan moral yang mengatakan bahwa tak ada maling yang mau mengaku karena kalau begitu penjara pasti sudah penuh. Lagi pula cara-cara paksa menghindari kultur ”maling teriak maling” yang amat digemari koruptor di negeri ini.

Cara-cara paksa bukan mustahil bermanfaat untuk mencegah munculnya perilaku-perilaku baru koruptor yang, sepanjang pengetahuan saya, belum ada presedennya di negara lain. Misalnya, pertama, koruptor buru-buru mengembalikan aset yang diduga berbau korupsi.

Tentu aneh ada yang cepat-cepat mengembalikan aset, lalu mereka merasa persoalan sudah selesai. Mereka mengaku membuang gas, dengan bangga bilang menghirup hawanya, tetapi bersumpah tidak mencium bau busuk apa pun—walau semua orang di sekeliling mereka menutup hidung.

Perilaku kedua, para koruptor menganggap vonis pengadilan sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah moral. Contohnya, ada saja terpidana korupsi yang tak mau mengundurkan diri dari jabatannya meski sudah dikurung di balik jeruji.

Perilaku ketiga—dan ini yang terpenting—para koruptor terlindungi oleh proteksi yang sistematis dari para penguasa di atasnya. Itulah sebabnya, pemberantasan korupsi kerap kali sia-sia karena praktik tebang pilih atau pilih kasih.

Alhasil, perang terhadap korupsi—jika merujuk kepada jadwal liga sepak bola Indonesia—yang melelahkan.

Rakyat terhibur dengan cara-cara paksa seperti penggeledahan Gedung DPR atau jebak-menjebak saat temaram di hotel mewah oleh KPK. Pada saat rasa frustrasi sosial makin meluas, gebrakan demi gebrakan ala KPK tak ubahnya serangan-serangan tajam Manchester United yang berjuluk ”Setan Merah”.

Untungnya lagi, masyarakat yang telah lama pesimistis terhadap pemberantasan korupsi tidak lagi mau terjebak dalam ”kegilaan” (insanity). Pepatah bahasa Inggris mengatakan kegilaan sebagai ”doing the same thing and expecting a different result”.

Sebab, rakyat sebenarnya sudah lama lelah, ba’al, atau cuék terhadap janji-janji gombal setiap rezim yang bertekad menegakkan hukum. Marilah kita nikmati saja berbagai aksi menarik KPK.

Apalagi bangsa ini sejak dulu telanjur kompatibel dengan kultur paksa-memaksa. Belanda menerapkan tanam paksa, lalu Jepang memberlakukan rodi alias kerja paksa.

Sehari menjelang Proklamasi, Bung Karno dan Bung Hatta diambil paksa para pemuda ke Rangkasbitung. Untung Nagasaki dan Hiroshima dibom atom Amerika Serikat, memaksa Jepang menyerah dan Indonesia merdeka.

Pak Harto takkan lengser ing keprabon andai tidak dipaksa mundur. Saya belum tahu siapa yang memaksa Gus Dur mundur sebelum dipaksa wakil rakyat yang gedungnya baru saja digeledah KPK.

Ketua Umum PSSI belum mau mundur meski ditekan para penggemar, klub-klub liga, AFC, sampai FIFA. Kalau PSSI kalah, media massa menulis judul besar, ”Timnas Terpaksa Menyerah di Tangan Singapura”.

Saya jadi ingat gurauan tahun 1970-an saat rakyat gandrung ”film China”. Si cowok bilang kepada céwéknya, ”Wo ai ni. Ni ai wo ma? ”

Terjemahannya, ”Aku mencintaimu. Apakah kamu mencintaiku?” Rupanya cinta si cowok bertepuk sebelah tangan.

Ia marah dan mengancam, ”Ni bu yao, wo pakse”! Kamu enggak mau, saya paksa!

Hidup KPK!

ANALISIS POLITIK


Menanti "Sang Pemimpin"

Selasa, 6 Mei 2008 | 00:28 WIB

EEP SAEFULLOH FATAH

Demokrasi tak mengajarkan ketergantungan pada pemimpin. Akan tetapi, dalam situasi krisis, demokrasi senantiasa menempatkan pemimpin dalam pusat sorotan lampu. Di tengah krisis, pemimpin tak bisa menghindar dari posisi sebagai pembuat keputusan yang ditunggu.

Di tengah krisis ketersediaan dan lonjakan harga pangan dunia saat ini, wajar jika banyak orang di Indonesia mencemaskan akan datangnya krisis pangan. Di tengah lonjakan harga minyak dunia yang sempat mencapai 119,9 dollar AS per barrel, pantaslah jika publik mulai berspekulasi tentang kemungkinan kenaikan harga bahan bakar minyak dengan segenap konsekuensinya dalam waktu dekat.

Hari-hari ini, politik Indonesia pun dilanda kepastian tentang makin mendekatnya krisis sekaligus ketidakpastian mengenai kehadiran ”sang pemimpin”. Mengapa, ketika krisis begitu tegas, kehadiran sang pemimpin begitu samar-samar?

Tak mudah

Dalam situasi krisis, demokrasi di mana pun senantiasa menempatkan pemimpin dalam pusat sorotan lampu. Di tengah krisis, pemimpin tak bisa menghindar dari posisi sebagai pembuat keputusan yang ditunggu.

Sebagaimana digarisbawahi Arjen Boin dan kawan-kawan dalam The Politics of Crisis Management: Public Leadership under Pressure (2005), krisis menghadapkan pemimpin pada situasi yang tak mudah dan penuh risiko. Kesulitan dan risiko terutama menyelinap dari balik empat situasi khusus.

Pertama, keputusan pemimpin di saat krisis memiliki konsekuensi sangat tinggi. Keputusan itu akan berkait langsung dengan kepentingan masyarakat yang amat mendasar. Harga dari keputusan itu pun menjadi amat mahal. Keputusan itu punya risiko sosial, ekonomi, politik, dan kemanusiaan yang tidak main-main.

Kedua, krisis kerap menghadapkan pemimpin pada dilema. Keputusan yang diambilnya sangat boleh jadi akan menunjukkan ”pilihan barter”. Aspek politik diselamatkan (misalnya popularitas sang pemimpin), tetapi aspek ekonomi mesti dikorbankan. Bahkan, sang pemimpin akhirnya mesti mengambil ”pilihan tragis”, yakni tak mampu mengoptimalkan aspek mana pun.

Ketiga, krisis menghadapkan pemimpin pada ketidakpastian mengenai akhir dari masalah. Setiap kebijakan yang diambil akan ikut membentuk arah dan dinamika baru dari aspek-aspek dalam krisis itu. Maka, krisis mendesak pemimpin untuk mengambil tindakan berani. Pemimpin dituntut punya keberanian untuk mengelola dampak dan ekses dari langkah atau kebijakan yang diambilnya.

Keempat, krisis mendesak pemimpin untuk mengambil keputusan yang sigap. Tak ada kemewahan waktu. Tak ada peluang untuk terlampau memanjakan kehati-hatian yang berlebihan. Tak ada peluang untuk memanjakan ragu.

Keluar dari perangkap

Walhasil, dalam keadaan krisis, pemimpin berhadapan dengan situasi yang sama sekali tak mudah. Celakanya, kesulitan sang pemimpin hari-hari ini makin berlipat-lipat. Sebab, krisis pangan dan energi itu datang ketika pemilu sudah di ambang pintu.

Di satu sisi, krisis memaksa sang pemimpin mengambil kebijakan tepat dengan berani dan sigap. Sementara pemilu yang makin mendekat membikin sang pemimpin mematut-matut diri dengan hati-hati untuk menjaga popularitas secara saksama.

Krisis memaksa pemimpin untuk mengambil langkah-langkah berani dan luar biasa. Celakanya, langkah seperti itu kerap tidak populer. Maka, membuat langkah yang diperlukan untuk mengatasi krisis seolah-olah sama artinya dengan menggadaikan popularitas. Sementara itu, menggadaikan popularitas di tengah pemilu yang sudah begitu dekat bisa sama artinya dengan tindakan bunuh diri politik.

Inilah perangkap besar yang berpotensi mengurung sang pemimpin. Manakala sang pemimpin tak mampu keluar dari perangkap ini, ia terancam tak terasa kehadirannya secara fungsional dan sekadar hadir secara simbolik.

Kehadiran simbolik ditandai beragam bentuk, yakni keberadaan fisik sang pemimpin ke tengah masyarakat yang dirundung krisis, kunjungan ke lokasi bencana, dan pidato yang mengharu- biru. Sementara ”kehadiran fungsional” dibuktikan melalui aksi konkret, yakni langkah dan kebijakan yang tertata, terukur, dan mengatasi persoalan secara cepat, tepat dan cerdas.

Jika sang pemimpin gemar menghadirkan dirinya sekadar secara simbolik dan tak juga hadir secara fungsional, maka krisis bisa makin tak terkelola. Sang pemimpin pun berpotensi untuk terkena hantaman ganda: tersapu krisis sekaligus kehilangan popularitas.

Bahkan, manakala sang pemimpin tak juga menunjukkan kehadiran fungsionalnya, sederet pertanyaan serius akan diajukan publik.

Punyakah kita pemimpin? Di manakah ia berdiri? Apakah setelah 10 tahun menjalani demokratisasi dan punya empat presiden, kita tak juga punya pemimpin?

Friday, May 2, 2008

Perintah Kiai-Kiai


Rapat gabungan DPP PKB pada Rabu malam, 26 Maret 2008, telah melakukan voting dan hasilnya meminta saya untuk mundur dari jabatan Ketua Umum DPP PKB.

Seperti dinyatakan oleh pimpinan rapat,dr Sugiat,saya diberi hak untuk menolak atau menerimanya. Malam itu saya tidak langsung memberi jawaban karena beberapa alasan.Pertama, karena menyangkut kepentingan organisasi,para kiai dan warga PKB yang berjumlah puluhan juta, saya merasa perlu untuk memikirkan secara mendalam dan saksama agar keputusan yang saya ambil adalah yang terbaik bagi PKB.

Kedua, dalam pandangan saya, secara substantif keputusan itu cacat hukum. Seperti diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Partai PKB No. 0 5 3 4 / D P P - 0 2 / I I I / A . I / I / 2 0 0 2 , personalia dewan pengurus dapat diberhentikan jika; (a) tidak aktif selama enam bulan, (b) jelas-jelas melanggar AD/ART partai, dan (c) menjadi pengurus partai lain.

Saya tidak pernah tidak aktif, tidak ada satu butir pun ayat dalam AD/ART yang saya langgar, saya juga tidak menjadi pengurus partai lain. Menyangkut jabatan ketua umum, pemberhentian hanya dapat dilakukan melalui muktamar, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ART PKB.

Beberapa waktu yang lalu,keputusan kasasi Mahkamah Agung juga sudah menyatakan bahwa pemberhentian ketua umum partai sebagai mandataris muktamar hanya sah bila dilakukan melalui mekanisme muktamar atau forum permusyawaratan tertinggi partai. Ketiga,keputusan rapat gabungan itu menurut saya secara prosedural juga cacat hukum.

Rapat DPP PKB tanggal 26 Maret 2008 adalah rapat gabungan sehingga rapat tersebut tidak memiliki kewenangan untuk membahas pemberhentian personalia dewan pengurus sebagaimana diatur Pasal 22 ayat (2) ART PKB.Jadi semua pemberhentian personalia dewan pengurus DPP PKB selama ini yang dilakukan melalui rapat gabungan adalah tidak sah dan cacat hukum.

Di luar masalah hukum (syar'i) seperti itu,ada masalah yang tidak kalah pentingnya, yaitu soal moral dan tanggung jawab terhadap amanah yang telah diberikan oleh Muktamar II PKB di Semarang, 16-19 April 2005. Berbeda dengan Ketua Umum Dewan Syura yang dipilih melalui penetapan setelah pemandangan umum DPWDPW, tanpa ada proses pemilihan,saya dipilih secara langsung dan aklamasi oleh DPW dan DPC-DPC se-Indonesia.

Karena itu, di samping beristikharah, saya juga melakukan konsultasi dan meminta nasihat kepada kiai-kiai, tokoh-tokoh NU, para pendiri dan deklarator PKB, serta tokohtokoh PKB di berbagai daerah. Dari proses seperti itulah saya kemudian berketetapan hati dengan niat menata kembali PKB dan menyelamatkan politik NU, saya memutuskan untuk tidak mundur.

KH A Mustofa Bisri, Rais Syuriah PBNU dan deklarator PKB,misalnya, menyatakan kepada saya bahwa kalau saya mundur akan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Saya juga sudah bersilaturahmi dengan Rais Am PBNU KH Sahal Mahfudh yang menyatakan hal yang sama.

KH A Malik Madani juga mendukung sikap saya untuk tidak mundur. Rais Syuriah PBNU itu menyatakan bahwa menyerah kepada kesewenang-wenangan yang tidak mengindahkan aturan sangat bertentangan dengan prinsip al-amru bilma'ruf wan-nahyu ?anil munkar yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Menyerah berarti mewariskan preseden buruk dalam perpolitikan umat.

KH Mahfud Ridwan Jateng bahkan secara khusus mengirim surat pribadi kepada saya yang meminta saya agar tetap berjuang menjaga dan melaksanakan amanah sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB sampai akhir periode pada 2010 nanti.Menurut Kiai Mahfud Ridwan, tidak ada alasan-alasan yang kuat secara organisasi maupun agama yang bisa dijadikan dasar untuk memaksa saya berhenti di tengah jalan ataupun mundur. Sementara kiai-kiai lain seperti KH Abdul Aziz Mansur Jombang,KH Subhan Ma'mun Brebes,dan KH Muhlas Dimyati Cirebon bahkan secara tegas mengharamkan saya untuk mundur.

Mundur berarti lari dari pertempuran, lari dari tanggung jawab, dan itu diharamkan dalam Islam. Kemudian pada 6 April 2008, dalam acara Silaturahmi Nasional Ulama NU dan PKB yang diikuti 103 kiai NU dan pengasuh pesantren se- Indonesia, para kiai memberikan fatwa bahwa, pertama, hasil Muktamar II PKB di Semarang merupakan bentuk kesepakatan tertinggi seluruh warga PKB (ijmak) dan karena itu merupakan bentuk perjanjian yang mengikat (al-?ahdu) seluruh pengurus dan warga PKB.

Ijmak dan al-?ahdu tersebut tidak dapat dibatalkan kecuali oleh forum yang sama tingkatannya. Kedua, para kiai meminta saya untuk tidak mundur dan tetap menjalankan mandat (amanah) Muktamar II PKB di Semarang sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB sampai berakhir masa jabatannya pada tahun 2010.

Ketiga, para kiai memerintahkan saya untuk menyelamatkan dan menata kembali manajemen PKB demi tegaknya kebenaran,hukum(AD/ ART), dan etika politik (al-akhlaq al-karimah), dengan menggunakan cara-cara yang dicontohkan para kiai dan ulama saleh terdahulu (as-salaf as-salih). Keempat, para kiai juga memerintahkan saya untuk terus berkomunikasi dan berkonsultasi dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan para kiai sehingga PKB bisa menjadi lebih membawa kemaslahatan bagi umat dan bangsa karena PKB lahir dari PBNU beserta para kiai dan merupakan alat perjuangan politik NU.

Bagi saya, sudah sangat tegas dan jelas bahwa para kiai dan deklarator PKB memerintahkan kepada saya untuk tidak mundur. Karena kalau saya mundur, itu hanya akan menguntungkan bagi segelintir orang di DPP PKB dan membiarkan kezaliman serta mudarat berkembang luas yang merusak sendi-sendi kehidupan partai.

Sementara kalau saya tidak mundur, hal itu akan lebih membawa maslahat bagi PKB secara keseluruhan yang dalam setahun terakhir ini mengalami karut-marut sistem karena syahwat politik yang tidak terkendali dari segelintir pengurusnya.(*)

A Muhaimin Iskandar
Ketua Umum DPP PKB

Elite Neopatrimonial


Salah satu isu penting yang selalu muncul dalam hubungan antara elite dan massa adalah loyalitas. Era pascareformasi menunjukkan betapa loyalitas massa kepada para pemimpin mereka terjadi begitu massif dan menyebar.

Dalam sejarah berdirinya republik, boleh dibilang fenomena ini lebih unik dibandingkan saat revolusi atau saat meletusnya sejumlah gerakan separatisme sekalipun. Dulu, massa digerakkan elite karena adanya ide dan cita-cita yang ideal; kemerdekaan atau harapan akan sosok ratu adil (Kartodirjo, 1997), misalnya. Orang mengikuti Soekarno karena menaruh harapan besar akan terselenggaranya kemerdekaan. Orang mengikuti gerakan Kartosuwirjo karena "tersihir" oleh cita-cita negara Islam.

Akhir 1950-an, orang mengikuti pemimpin yang berkonflik karena alasan ideologis. Pada paruh akhir 1960-an, massa mahasiswa mendukung Soeharto karena keyakinan bahwa sosok ini akan membebaskan negeri dari krisis. Sekarang rasanya tidak demikian. Kita sering menemukan loyalitas massa kepada sosok tertentu di mana-mana, tapi kita tidak pernah menemukan alasan mengapa loyalitas itu terjadi dan diungkapkan sedemikian ekspresif.

Fenomena itu terutama berkembang saat pemilihan kepala daerah langsung mulai digelar pada 2005. Di Tuban, massa dari calon kepala daerah yang kalah mengamuk dan merusak sejumlah bangunan. Yang mutakhir, misalnya, terjadi di Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Gorontalo, atau Jawa Barat. Terjadi pertikaian antarpendukung calon. Masing-masing tidak terima jika jagonya dikalahkan oleh yang lain.

Yang menarik, loyalitas massa tersebut tidak selalu berdasarkan afiliasi organisasi politik tertentu, tidak juga terhadap muasal etnisitas. Para pendukung Syahrul Yasin di Sulawesi Selatan, misalnya, bukan hanya kader PDIP, partai yang mengusungnya, tapi juga kader Golkar, partainya sendiri sekaligus partai pengusung pesaingnya.

Mereka bukan hanya Suku Makassar yang menjadi afiliasi etnis Syahrul, tapi juga Suku Bugis yang merupakan suku pesaingnya. Orang barangkali akan menemukan kerumitan lain saat Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur digelar bulan Juli kelak. Tiga orang petinggi NU sekaligus bersaing dalam pemilihan kepala daerah melalui partai "non- NU". Nah, kalau di kemudian hari terjadi konflik, tentulah itu konflik antarorang NU sendiri.

Neopatrimonialisasi


Dalam hal ikatan yang bersifat patron-kliental dalam sebuah relasi, kaum akademisi menyebutnya patrimonialisme. Dalam sistem tradisional, elite patrimonial merupakan suatu kelas istimewa yang, karena status sosial mereka, menguasai sumber daya politik dan ekonomi. Mereka membatasi akses massa pada kekuasaan dan kekayaan.

Menurut Gunther (1960), patrimonialisme menganut hukum pertukaran, tapi pertukaran yang terjadi antara patron dan klien umumnya bersifat idealis.Kewajiban klien untuk memberikan loyalitas dan penghormatan kepada patron akan dibalas dengan jaminan perlindungan dan rasa aman.

Seiring runtuhnya sistem tradisional, patrimonialisme tampaknya tetap dirawat. Tapi menurut kajian Brown (1994), pola pertukarannya yang mesti diubah. Jaminan pemimpin akan perlindungan dan rasa aman harus dilengkapi dengan jaminan sumber daya material. Sebaliknya, jaminan loyalitas dari para pengikut harus dilengkapi dengan mobilisasi dukungan politik secara aktif. Inilah yang disebutnya sebagai neopatrimonialisme.

Ini pula yang terjadi di masa Orde Baru (Anderson, 1991). Namun, saat itu elite neopatrimonial memusat hanya pada satu figur, Soeharto. Kliennya adalah birokrat, tentara, juga para pengusaha. Soeharto tidak hanya mengayomi, tapi juga memberi kesejahteraan dan jalan pada kekayaan. Sebaliknya para klien tidak hanya loyal, tapi secara aktif memobilisasi kekuatan untuk menopang kekuasaan sang patron.

Saat Orde Baru tumbang, neopatrimonialisme Soeharto juga berakhir. Tapi, tradisi ini justru berkembang dan menyebar. Saya ingin menyebut proses penyebaran itu sebagai neopatri monialisasi dan fenomena yang kita bahas di muka adalah salah satu bentuknya. Karakternya sama, tapi modusnya berubah. Dengan desentralisasi kekuasaan negara, para elite sekarang ingin menjadikan diri mereka sebagai patronpatron baru. Membangun rezim-rezim baru.

Caranya, mengikat sebanyak mungkin orang untuk jadi pengikut yang akan loyal dan berjuang untuk mereka. Media pengikat utamanya adalah materi. Gelaran "pesta demokrasi" adalah momentum kontestasi elite neopatrimonial. Saat itu mereka seolah menjadi sosok sinterklas. Menebar uang ke sana-sini, memberi janji kemakmuran kepada setiap orang, dan menghasut untuk membenci para pesaing.

Para pengikut yang "loyal" dengan seluruh jiwa dan raga akan membela mereka. Tapi, neopatri monialisme selalu mengandaikan tegangan antara kohesivitas dan faksionalisme elite. Di satu sisi, terjadi persaingan antarelite karena perebutan sumber daya politik dan ekonomi. Pada saat itu, kaum elite mengalami faksionalisasi yang, pada gilirannya, juga berdampak pada perpecahan di tingkat massa.

Di sisi lain, kaum elite adalah anggota kelas atas yang memiliki kepentingan sama, terutama, dalam mempertahankan segenap privilese mereka. Dalam kaitan ini, mereka akan melakukan kompromi dan dengan mudah melupakan persaingan masa lalu. Sementara itu, massa yang sudah terpecah secara komunal tidak mudah disatukan kembali. (*)

Irsyad Zamjani
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sosiologi UI
(//mbs)