Wednesday, May 23, 2007

Defisit Jiwa Asketis

Oleh :

Mohammad Nasih
Presidium Pengurus Pusat MASIKA ICMI, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI

Berdasar laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagian besar pejabat negara mengalami peningkatan jumlah harta kekayaan dibandingkan sebelum menjabat. Fakta ini semakin menguatkan keidentikan atau setidaknya relasi yang linear antara jabatan dan harta kakayaan. Dipandang secara sepintas saja, memang sangat logis, bahwa jabatan dapat melahirkan pengaruh dan kekuasaan.

Dengan pengaruh dan kekuasaan, seseorang relatif dapat melakukan sesuatu yang lebih besar dan berimplikasi lebih luas dibandingkan orang kebanyakan. Sedangkan pengaruh dan kekuasaan, menurut Lord Acton, seorang sejarawan asal Inggris, cenderung untuk diselewengkan (tends to corrupt). Kecenderungan penyelewengan kekuasaan ini secara faktual terutama disebabkan oleh adanya kecenderungan untuk hidup bermewah-mewah dan mempertahankan kekuasaan.

Apabila kekuasaan benar-benar diselewengkan, maka ia menjadi tak ubahnya mesin untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau kelompok tertentu. Dengan kekayaan yang bertambah, terutama dalam masyarakat yang telah mengalami perubahan paradigma ke arah yang lebih materialistik, pengaruh dan kekuasaan yang ada itu juga secara otomatis menjadi semakin besar. Demikian seterusnya terjadi proses simbiosis mutualisme antara kekayaan dan kekuasaan yang diselewengkan yang antara keduanya --untuk jangka waktu sementara-- saling membesarkan.

Untuk menekan kecenderungan penyelewengan kekuasaan, diperlukan pejabat-pejabat negara yang memiliki jiwa asketis, tidak silau terhadap melimpahnya kekayaan. Diperlukan orang-orang yang berpolitik karena paggilan untuk berjuang, bukan karena semata merebut kekuasaan, lalu menjadikannya sebagai mesin kekayaan, atau bahkan menjadikannya sebagai tujuan. Indonesia memerlukan orang-orang yang berpolitik tidak hanya untuk mendapatkan apa (get what) dan seberapa besar yang didapatkan (how much) sebagaimana digambarkan Maxwell, tetapi juga terlebih dulu mempertanyakan dan merenungkan mengapa harus berpolitik dan berkuasa (why).

Ketika politik tidak didukung oleh sikap asketis para politikus, maka politik dapat dipastikan hanya akan dijadikan sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan politisi, bukan diorientasikan untuk memproduksi kebijakan yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Yang terjadi adalah sebagaimana digambarkan Karl Marx bahwa struktur negara oleh para penguasa hanya akan dijadikan sebagai alat untuk menindas dan mengeksploitasi rakyat.

Politik sekarang ini sedang mengalami keterbatasan --untuk tidak mengatakan defisit-- politisi asketis. Dalam konteks politik di Indonesia dan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya Muslim --dan tentu juga bisa dianalogkan dengan negara-negara lainnya yang menganut agama selainnya atau memiliki prinsip-prinsip humanisme yang sama--minimnya politisi asketis mulai terjadi sejak absennya para asketis dari panggung politik karena memilih uzlah dan kemudian mengganggapnya sebagai jalan menuju Tuhan dan kesempurnaan hidup.

Dalam konteks ini, agama yang menjadi anutan dipandang sebagai ajaran yang semata-mata berorientasi vertikal kepada Tuhan, dan mengabaikan aspek horizontal, yakni orientasi kepada kehidupan profan yang berkaitan dengan manusia dan alam semesta. Akibatnya, politik kemudian tidak dipahami sebagai jalan yang memiliki derajat kemuliaan yang sama, yang juga bisa mengantarkan manusia kepada kemuliaan di sisi Tuhan.

Padahal, agama secara tegas menyatakan bahwa ia menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil 'alamin). Bahkan politik dianggap kotor dan orang-orang yang masuk dan beraktivitas di dalamnya secara otomatis akan langsung dicap telah menjadi kotor. Politik menjadi wilayah yang sangat menakutkan bagi mereka, karena dianggap semata-mata berdimensi duniawi, sementara mereka sudah memosisikan diri sebagai pribadi-pribadi yang tidak memiliki kepentingan duniawi.

Absennya kaum asketis dari politik ini melempangkan jalan bagi mereka yang berorientasi profan dan ingin menjadikan politik sebagai alat untuk memuluskan agenda-agenda politik tertentu demi kepentingan dan keuntungan pribadi maupun kelompok. Hujjatul Islam, Al Ghazali, adalah prototipe seorang asketis yang mengambil jalan demikian dan menganggap kekuasaan dapat mengganggu konstalasi hati dari keikhlasan seorang hamba kepada Tuhan.

Menjalani praksis politik
Asketisisme dengan metode uzlah untuk fase tertentu memang bisa dipahami. Uzlah sebagai wahana latihan untuk memperkuat jiwa (riyadlah ruhaniyah) dari tarikan duniawi bahkan sangat dianjurkan. Tetapi, kalau cara itu dilakukan selama-lamanya, bisa diibaratkan seperti anak sekolah yang tak pernah mengikuti ujian. Seorang pelajar tentu tak pernah akan mendapatkan predikat lulus apabila tidak pernah melewati masa ujian.

Politik adalah ujian bagi pelakunya, apakah pribadi-pribadi politisi akan tahan uji dihadapkan pada godaan kemewahan fasilitas kekuasaan dan harta kekayaan yang biasanya mengikuti. Seseorang memang dapat senantiasa menjadi bersih karena tak pernah melakukan apa-apa. Namun, bersih karena seseorang tidak pernah melakukan eksperimentasi apa pun, itu tidak memiliki nilai lebih karena tidak ada konstribusi apa pun yang diberikan kepada orang lain.

Jika politik sudah diidentikkan dengan kekotoran, yang perlu dilakukan adalah bagaimana dapat terlibat dalam perjuangan politik untuk memperbaiki kondisi politik itu tanpa diri sendiri menjadi kotor. Ibarat dalam dunia perbengkelan, yang harus dilakukan adalah bagaimana agar seorang pegawai bengkel harus belepotan dengan oli, tetapi yang bersangkutan tidak pernah meminum oli itu.

Secara umum dapat dikatakan orang-orang yang sebelumnya dikenal memiliki kredibilitas moral dan intelektual tidak berani melakukan eksperimentasi politik, karena beralasan bahwa politik itu kotor. Padahal jika tidak ada orang-orang bersih dan bermoral yang masuk ke dalamnya dan melakukan perjuangan untuk melakukan perubahan, maka selamanya politik akan tetap kotor. Karena itu, sesungguhnya keengganan mereka masuk ke dalam wilayah politik patut dicurigai karena mereka tidak berani melakukan perjuangan berat dan hanya ingin mencari keselamatan diri sendiri. Cukup banyak orang baik yang masuk ke dalam politik dan mampu memberikan warna ketika mereka berada di dalamnya.

Sejarah politik Indonesia setidaknya memiliki tokoh politik asketis yang dapat dijadikan sebagai teladan. Natsir adalah pribadi politikus yang masuk dalam kategori asketis yang menjadikan politik bukan untuk mengumpulkan harta kekayaan, tetapi sebagai media perjuangan mewujudkan cita-cita menjadikan Islam sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Membaca biografi Natsir, akan lahir kekaguman karena saat meninggal, ia tidak meninggalkan warisan yang banyak kepada ahli warisnya. Bahkan, konon di sakunya ada tulisan tentang rencana menggunakan gaji bulanannya untuk membeli sepatu yang lebih layak karena sudah terlalu sering diledek oleh teman-temannya.

Ikhtisar
- Jabatan atau kekuasaan telah dijadikan banyak orang untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.
- Praktik memperkaya diri lewat jabatan atau kekuasaan, membuat kancah politik menjadi kotor.
- Dunia politik yang kotor menjadikan para tokoh yang terbiasa hidup 'bersih', enggan terlibat di dalamnya.
- Dunia politik kini memerlukan sosok yang tidak gila harta untuk membangun sistem politik yang menyejahterakan masyarakat.

No comments:

A r s i p