Benny Subianto
Seorang tokoh media terkemuka mengatakan, sebagai warga nergara Indonesia hampir tak ada satu pun yang ia bisa banggakan kecuali adanya kebebasan, khususnya kebebasan pers.
Tak bisa dimungkiri, salah satu buah reformasi, selain memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden, adalah ditegakkannya kebebasan sipil (civil liberty) dalam bentuk kebebasan berpendapat, berpikir, menyatakan pendapat, dan berorganisasi sejauh itu semua tak merugikan kepentingan orang lain.
Reformasi secara kontras mengubah masyarakat yang tidak bebas menjadi bebas. Kalangan industri media adalah salah satu kelompok yang diuntungkan oleh dibukanya kebebasan yang tersumbat sejak masa Demokrasi Terpimpin hingga runtuhnya Orde Baru.
Pertumbuhan pesat industri media sebenarnya adalah hasil yang tak direncanakan dari sistem ekonomi-politik Orde Baru yang menyediakan kebebasan secara ekonomi, tetapi represif secara politik.
Apa arti kebebasan?
Persoalan yang lebih mendasar adalah apa arti kebebasan yang dinikmati masyarakat Indonesia saat ini dan apakah kebebasan itu akan mampu mendorong kehidupan yang lebih demokratis, dalam arti publik bisa melakukan kontrol terhadap pembuatan kebijakan publik yang pada akhirnya bisa memberikan manfaat (public goods) kepada publik. Pernyataan bahwa kebebasan adalah satu-satunya hal yang bisa dibanggakan bisa jadi kedengaran amat naif.
Adalah benar bahwa media bisa memberitakan apa saja sejauh tak menyalahi kaidah jurnalisme. Meski demikian, apakah industri media kita—cetak maupun elektronik—bebas dari dominasi kapital, politik, dan premanisme?
Hampir semua media cetak dan lebih-lebih media elektronik yang berpengaruh adalah bagian dari kekuatan kapital yang diakumulasi pada masa Orde Baru, bahkan beberapa di antaranya adalah bagian dari kronisme.
Kekuatan politik Orde Baru telah bermetamorfosis menjadi berbagai kekuatan politik baru dengan mengenakan banyak baju yang berbeda masih merupakan kekuatan yang solid. Kekuatan inilah yang secara sistematis mendominasi kebebasan media.
Media bebas memberitakan apa saja sejauh tak merugikan kepentingan mereka. Selain kekuatan kapital dan politik, kekuatan premanisme begitu transparan mendominasi, bahkan mendistorsi kebebasan itu sendiri. Banyak kasus menunjukkan, politik dan premanisme telah saling memanfaatkan. Jika demikian, kebebasan itu sulit diharapkan akan menghasilkan public goods yang bisa dinikmati semua kalangan.
Pemberitaan media cetak maupun elektronik tentang sakit dan meninggalnya mantan Presiden Soeharto adalah potret yang hampir sempurna tentang kebebasan media yang ada di bawah dominasi kapital dan politik. Hampir semua media terkemuka dan berpengaruh di negeri ini menggambarkan Seoharto sebagai pejuang, pahlawan, dan pemimpin besar yang telah berjasa memajukan bangsa Indonesia. Seolah tak ada catatan kelam dalam sejarah kepemimpinan seorang Soeharto. Berbeda dengan media utama di Indonesia yang punya keterkaitan kapital dan politik dengan keluarga Soeharto dan kekuatan politik saat ini, media asing yang cukup berjarak dan bersifat imparsial memberitakan Soeharto sebagai tokoh yang berjasa membangun Indonesia, sekaligus terlibat banyak pelanggaran hak asasi manusia dan praktik korupsi. Rupanya, dengan segala kebebasan yang dimiliki, media tak mampu membebaskan diri dari dominasi kapital, politik, maupun premanisme.
Soal Lapindo
Di tengah kebebasan, ternyata media juga mengalami ketidakbebasan. Hal itu terlihat dari pemberitaan semburan lumpur ladang minyak Lapindo Brantas di Sidoarjo. Terkesan kuat, kebanyakan media terkemuka memberitakannya sebagai bencana alam sebagai rentetan gempa bumi di Yogyakarta.
Rupanya media bergeming dengan laporan dua ilmuwan terkemuka dan kompeten di bidangnya—Rudi Rubiandini dan Mustiko Saleh—yang mengatakan, bencana itu adalah buat manusia (man-made disaster) karena kesalahan prosedur pengeboran.
Demikian pula laporan majalah National Geographic Januari 2008 yang menolak anggapan, lumpur Lapindo adalah sebuah bencana alam, hampir tak pernah diberitakan secara memadai oleh media kita yang tak mampu membebaskan diri dari dominasi kapital, politik, maupun preman- isme.
Media yang bebas tetapi terdomoinasi ini secara perlahan telah berhasil menciptakan media driven society. Media telah berhasil menciptakan masyarakat yang digerakkan media. Jadi, media tak sekadar memberitakan apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat, tetapi telah berhasil menciptakan citra tentang seorang tokoh, politikus, kebijakan, atau pemikiran tertentu yang kemudian dipercaya oleh masyarakat sebagai sesuatu yang baik dan patut diikuti atau dipilih.
Tidak mengherankan bila para politisi yang bertanding dalam pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, maupun pilkada membutuhkan media agar citra diri mereka menjadi sesuatu yang dianggap baik dan akan dipilih konstituennya. Adalah tak berlebihan untuk mengatakan, media yang bebas tetapi terdominasi itu telah berhasil melakukan kolonisasi ranah politik.
Kebebasan—dalam pandangan kaum Liberatian—harus memungkinkan individu bertindak apa saja sesuai dengan yang mereka inginkan, sejauh tidak melanggar kebebasan individu lain. Sedangkan kaum Republikan memandang kebebasan sebagai tiadanya dominasi dari pihak mana pun. Selain menjunjung kebebasan (liberty), kaum Republikan menekankan pemerintahan oleh rakyat dan praktik kebajikan warga negara (civic virtue).
Reformasi telah berlangsung selama 10 tahun dan kita semua menikmati kebebasan. Sayang, kebebasan yang kita punyai adalah kebebasan yang ada di bawah dominansi kapital, politik, dan premanisme. Lebih menyedihkan lagi, kebebasan itu tak memungkinkan publik melakukan kontrol atas pembuatan kebijakan publik, dan praktik kebajikan warga negara kian jauh dari kenyataan.
Benny Subianto Peneliti; Tinggal di Jakarta
No comments:
Post a Comment