Oleh Denny Indrayana
Ini negeri para mafioso. Segala jenis mafia ada. Sebutlah mafia kayu, mafia preman, mafia pendidikan, mafia haji, dan paling utama mafia koruptor. Seakan semua abadi karena absennya efek jera. Hukum sebagai sistem penjatuh sanksi kehilangan efektivitasnya.
Mengapa ini terjadi? Penyebabnya, hukum sendiri mandul karena kontaminasi korupsi peradilan. Maka, tidak ada jalan lain, kecuali mengenyahkan praktik mafia peradilan dari bumi pertiwi.
Pembersihan aparatur hukum itulah yang seharusnya menjadi prioritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Efek jera hukum harus dikembalikan. Pemberantasan judicial corruption adalah pintu pertama dan utama yang harus dibuka untuk membongkar berbagai korupsi di bidang lain, utamanya korupsi politik. Selama hukum tidak dibersihkan dari anasir jual- beli keadilan, political corruption akan selalu membajak keadilan.
Artinya, untuk membersihkan korupsi, mau tidak mau hukum harus disucikan dari praktik korupsi itu sendiri. Hanya sanksi hukum efektif yang bisa menjadi rel bagi penyimpangan perilaku politik. Perlu diingat, perilaku politik yang korup adalah sumber segala kerusakan sebab politik adalah saudara kembar kekuasaan, padahal kekuasaan cenderung korup.
Tugas KPK
Mengapa KPK diberikan amanah untuk fokus memberantas korupsi politik dan peradilan?
Pertama, KPK relatif lebih bersih dibandingkan dengan penegak hukum lainnya. Seandainya institusi kejaksaan dan polisi tidak merupakan salah satu episentrum mafia peradilan, pembersihan oleh KPK tidak diperlukan. Namun, karena oknum jaksa dan polisi nakal adalah fenomena ”nila sebelanga di antara susu setitik”, pembersihan harus dari luar.
Kedua, KPK adalah komisi negara yang independen, berbeda dengan kejaksaan dan kepolisian, di bawah supervisi presiden. Maka, independensi KPK diperlukan guna membongkar inti korupsi yang tidak jarang ada di urat nadi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Apa yang perlu dilakukan KPK? Strategi luar biasa pemberantasan korupsi harus dilakukan menyeluruh melalui pencegahan (preventif) dan penindakan (represif). Pencegahan untuk memberi pendidikan bagi masyarakat bahwa korupsi itu kejahatan maha-haram. Dan pendekatan pendidikan dapat dilakukan banyak institusi, termasuk pendidikan, dari play group hingga perguruan tinggi.
Jadi, yang harus diprioritaskan KPK sebagai institusi penjera adalah tetap melakukan penindakan yang efektif dengan terus menghadirkan terapi kejut. Penangkapan tangan harus dilakukan secara terpilih dan tepat sasaran. KPK jelas tidak dapat menindaklanjuti puluhan ribu laporan korupsi dari masyarakat, tetapi harus ”memilih” target episentrum korupsi. Jika ada korupsi di Senayan, yang menjadi sasaran tembak adalah aktor utama, bukan hanya aktor lapangan. Jika ada korupsi di kejaksaan, pembongkaran menuju sel inti korupsi tidak hanya mengorbankan perantara suap di lapangan.
Terfokus
Mengapa penindakan terfokus harus dilakukan? Alasannya, elite yang korupsi bukan karena tidak tahu peraturan. Anggota DPR yang korupsi pasti bukan karena mereka tidak paham bahwa menerima uang suap untuk pengalihan areal hutan lindung bertentangan dengan peraturan perundangan. Juga mustahil seorang jaksa tidak mengerti, menerima uang miliaran rupiah dari pihak yang terkait kasus adalah tindakan haram mafia peradilan.
Bagi pelaku elite, yang seharusnya melek hukum dan paham korupsi, tidak diperlukan pendekatan pendidikan. Alasannya, para koruptor kerah putih bukan melakukan corruption by need, tetapi corruption by greed. Pendidikan antikorupsi hanya efektif dilakukan bagi koruptor karena kebutuhan (need), bukan karena keserakahan (greed). Terhadap pelaku corruption by greed, diperlukan tindakan yang menjerakan.
Terkait penindakan yang menjerakan pun diperlukan pembenahan sistem hukum pemidanaan agar efek jera benar-benar hadir. Selama tahun 2007, Putusan Pengadilan Tipikor rata-rata menjatuhkan vonis 4,4 tahun penjara bagi koruptor. Rata-rata hukuman itu sama sekali tidak memadai untuk membuat kapok pelaku korupsi yang merugikan negara miliaran bahkan triliunan rupiah. Belum lagi sistem lembaga pemasyarakatan memanjakan para narapidana korupsi dengan kemungkinan fasilitas hotel berbintang dan diskon remisi penjara besar-besaran. Maka, tidak tertutup kemungkinan, setelah divonis bersalah, sang koruptor tetap beruntung mendapat remisi, bahkan tenang menikmati hasil korupsinya.
Untuk mempertegas pemberantasan korupsi, pemidanaan penjara harus lebih maksimal, jika perlu hukuman seumur hidup atau mati. Selain itu, pemberian pengampunan sejenis grasi maupun remisi harus dihentikan dulu. Moratorium grasi dan remisi itu tidak melanggar HAM karena secara hukum adalah hak prerogatif presiden. Jika presiden memberlakukan moratorium grasi dan remisi, hal itu tidak ada pelanggaran konstitusional.
UU Pengadilan Tipikor
Terkait pidana penjara yang menjerakan, eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus diselamatkan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya memberi masa transisi tiga tahun untuk pembuatan pengadilan korupsi terpisah dari peradilan umum. Ini untuk menjamin tiadanya dualisme penanganan kasus korupsi, yang berdampak hadirnya peradilan korupsi yang berbeda dan diskriminatif. Putusan MK itu dikeluarkan Desember 2006. Namun, hingga 1,5 tahun belum juga dilaksanakan dengan hadirnya UU Pengadilan Tipikor. Padahal, tahun 2009, batas akhir masa transisi, adalah tahun pemilu. Maka, sulit mengharapkan UU itu akan mendapat perhatian. Untuk itu, UU Pengadilan Tipikor harus disahkan dan berlaku tahun 2008.
Perlu dicatat, ketiadaan Pengadilan Tipikor sama dengan membunuh agenda pemberantasan korupsi karena KPK tanpa Pengadilan Tipikor sama dengan institusi cacat tanpa kewenangan penindakan. Maka, presiden dan DPR harus segera bergerak menyegerakan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor dan menghalangi para mafioso korupsi kegirangan karena tandem KPK hilang.
Denny Indrayana Direktur Indonesian Court Monitoring; Ketua PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM
No comments:
Post a Comment