BE JULIANERY
Harapan yang pernah menyingsing akan adanya perbaikan dalam pembangunan dan demokrasi sesudah keruntuhan Orde Baru begitu sulit menjadi kenyataan. Perbaikan ekonomi berjalan dengan langkah berat dan tersandung-sandung. Demokrasi, menurut sebagian orang, berlangsung salah kaprah dan kebablasan. Masalahnya, kata pendapat yang lain, Indonesia tidak punya pemimpin.
Pada peringatan ke-79 Hari Sumpah Pemuda bertajuk ”Saatnya Kaum Muda Memimpin” di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, 28 Oktober 2007, berkumpul sekitar 600 tokoh muda. Meski membawa atribut organisasi masing-masing dan datang dari berbagai latar belakang—akademisi, aktivis lembaga swadaya masyarakat, elemen lain dengan beragam latar belakang profesi, agama dan aliran pemikiran—mereka mengumandangkan Ikrar Kaum Muda Indonesia.
Bersamaan dengan itu, kaum muda di 25 provinsi juga mengikrarkan hal yang sama. Ikrar itu bisa ”dibaca” sebagai bersatunya kaum muda Indonesia untuk mendorong terjadinya alih generasi kepemimpinan.
Apa yang salah dengan generasi yang lebih tua? Untuk sebagian, mereka dinilai tidak terlepas dari cacat masa lalu. Sebagian yang lain dianggap sebagai generasi yang sudah aus, kehilangan kreativitas dalam memimpin bangsa dan negara. Orde Baru dinilai telah mematikan potensi dan bakat kepemimpinan yang muncul sebagai oposan pada masanya. Entah itu benar, entah tidak, masalah kepemimpinan di Indonesia sekarang muncul sebagai persoalan yang mengundang diskusi publik.
Ketika kepada 173 aktivis LSM ditanyakan—melalui survei yang diselenggarakan Litbang Kompas—apa tiga masalah utama bangsa ini yang selayaknya diprioritaskan untuk diatasi, 76,3 persen dari semua responden menyebut problem politik sebagai soal yang paling berat saat ini. Proses demokrasi yang tak jelas arahnya, hilangnya kepercayaan kepada pemerintah, desentralisasi yang tidak sukses, birokrasi yang berbelit, mencuatnya banyak kepentingan golongan, ketiadaan arah tujuan yang jelas, ketidakkonsistenan kebijakan, lemahnya fungsi lembaga-lembaga politik, dan lunturnya rasa nasionalisme hanyalah sebagian dari sejumlah alasan mengapa problem politik demikian ruwet.
Problem hukum menempati urutan kedua sebagai masalah pelik yang membelit bangsa ini. Respons terhadap problem ini berjumlah 49,1 persen. Korupsi yang demikian mengakar bahkan hingga ke lembaga-lembaga penegak hukum, ketidakadilan hukum, banyaknya tindak kekerasan, dan tidak tuntasnya sejumlah kasus HAM, menjadi ciri melekat yang mewarnai wajah hukum Indonesia.
Bagi para responden ini tidak sulit mengidentifikasi masalah yang sebaiknya mendapatkan prioritas untuk diatasi. Tetapi tidak demikian halnya manakala kepada mereka ditanyakan, dari kalangan mana sebaiknya pemimpin baru itu berasal.
Kelompok responden yang menyatakan tidak tahu atau tidak dapat memberikan jawaban, dari golongan mana sebaiknya pemimpin baru itu, mencapai 59,5 persen. Hanya 9,8 persen yang menyatakan bahwa figur pemimpin itu hendaknya dari kalangan birokrat, 8,1 persen mengatakan dari partai politik, 6,4 persen mengusulkan dari pemuka agama. Sisanya, 16,2 persen, adalah responden yang memilih jawaban ”lain-lain” (pengusaha, ilmuwan, budayawan). Apakah ini mengisyaratkan bahwa sekarang begitu sulit menentukan latar belakang yang sesuai untuk memimpin bangsa ini?
Pertanyaan itu tentu tak mudah untuk dijawab. Boleh jadi, itu ada kaitannya dengan syarat yang dituntut dari seorang pemimpin. Syarat yang dituntut para responden itu adalah integritas (66,7 persen), sifat yang menunjukkan semangat kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan, serta memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Syarat lainnya adalah mengerti kebutuhan masyarakat (16,8 persen) serta memiliki visi dan konsep yang jelas (13,3 persen).
Persyaratan itu, bisa jadi, muncul karena kondisi negara dan bangsa dewasa ini yang tidak menggembirakan hampir di segala sektor kehidupan. Desentralisasi dengan otonomi daerah cenderung berlangsung dalam semangat yang mengabaikan kesatuan nasional. Pembentukan provinsi dan kabupaten baru lebih banyak terjadi sekadar untuk memuaskan keinginan mendapatkan kekuasaan dan penguasaan atas sumber daya daerah ketimbang buat membangun wilayah. Semangat primordial pun sering ”merusak” pluralisme yang menjadi syarat mutlak demokrasi.
Untuk bidang lain, data Badan Pusat Statistik Juli 2007 menyebutkan, 37,17 juta orang atau sekitar 16,58 persen dari total penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Pengangguran tak kunjung berkurang, masih sekitar 10 juta orang. Lapangan kerja baru tidak berkembang karena investasi bagaikan jalan di tempat.
Kerusakan gedung sekolah dasar di berbagai daerah yang hingga kini begitu berat untuk direhabilitasi adalah salah satu indikator kemunduran bidang pendidikan. Bidang kesehatan setali tiga uang dengan itu. Wabah penyakit dan angka korbannya bercerita banyak tentang ini. Prestasi Indonesia di bidang olahraga untuk kawasan Asia Tenggara saja ”tak ada apa-apanya” seperti ditunjukkan hasil SEA Games yang lalu. Ketertiban sosial dan keamanan sering meniupkan rasa cemas ke tengah masyarakat.
Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya tetap berada dalam kondisi yang tidak menjanjikan akan datangnya era yang lebih baik.
Problem kepemimpinan
Sayangnya, kalangan LSM yang biasa bergelut dengan masalah-masalah sosial, politik, hukum dan sebagainya itu kurang tertarik untuk masuk ke jantung sistem politik. Mereka, 74,6 persen responden, menyatakan tidak tertarik masuk ke dalam partai politik.
Meski demikian, ketika para aktivis LSM itu diminta untuk menyebut siapakah di antara mereka yang layak tampil untuk memimpin bangsa ini, tersebutlah beberapa nama, di antaranya: Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi); Anies Baswedan, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute yang juga Rektor Universitas Paramadina; Bambang Widjojanto, praktisi hukum dan konsultan Partnership for Governance Reform; serta Binny Buchori, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Center for Welfare Studies. Oleh sejumlah aktivis LSM yang menjadi responden, mereka termasuk sosok yang cocok untuk menjadi pemimpin nasional karena dinilai memenuhi ketiga syarat itu tadi.
Akan tetapi, apakah memang persoalan Indonesia sekarang adalah mencari pemimpin muda yang fresh (segar), yang dapat menggantikan orangtua yang dililit cacat begitu banyak? Diskusi tentang ini dapat berlangsung panjang lebar. Hanya saja, agaknya masalah kepemimpinan di Indonesia bukan sekadar muda atau tua. Pikiran seperti itu terasa bagaikan menggampangkan masalah. Persoalan leader dan leadership di Indonesia adalah tak ada orang yang punya ide atau konsep tentang Indonesia hari ini dan esok. Umur tidak menjadi urusan dalam hal ini. Dikotomi orang lama atau orang baru tampaknya tidak relevan.
Masalah Indonesia adalah tidak ada seorang tokoh pun yang dapat membawa bangsa ini berjalan dalam cita-cita bersama—ini artinya ideologi—dalam pluralisme yang berkecenderungan mempertajam perbedaan satu sama lain, pada masa situasi ekonomi yang sulit, berbarengan dengan perilaku sosial yang buruk.
Soekarno punya ideologi serta karisma, dan piawai mengomunikasikan gagasannya kepada rakyat. Karena itu, dia dapat mempersatukan orang yang berbeda-beda (walau diam-diam tetap dalam perbedaannya) untuk ikut di belakang dia. Kendati keadaan ekonomi buruk, orang ikut apa yang dikatakan Soekarno, mengganyang imperialisme dan neokolonialisme ketika hiperinflasi membuat kehidupan begitu sulit, misalnya.
Soeharto punya kekuatan (militer, Golkar, dan juga pengusaha) yang menggiring orang masuk wadah persatuan dan kesatuan nasional (walau diam-diam tetap dalam perbedaannya) dan membawa semua orang berjalan dengan ”ideologi” pembangunan yang harus berlangsung dalam stabilitas politik dan ekonomi. Satu-satunya ideologi adalah Pancasila. Semuanya seragam: monolitik. UUD 45 adalah landasan konstitusional pembangunan, walau juga dilanggar, termasuk dalam hal membungkamkan semua pengkritik.
Setelah Soeharto, semua pemimpin negeri ini habis ”dikeroyok”. MPR menolak pertanggungjawaban BJ Habibie. Abdurrahman Wahid dijatuhkan sendiri oleh Poros Tengah yang mendudukkan dia di kursi kepresidenan. Penggantinya, Megawati Soekarnoputri, bermandikan kritik. Presiden yang sekarang, Susilo Bambang Yudhoyono, pun ”babak belur” didera pernyataan tidak puas. Kini, begitu banyak orang merasa ”saya tahu, saya bisa, dan—mungkin juga—saya layak”. Padahal, pada saat dia duduk di posisi yang sama, bisa jadi dia tidak memiliki ide yang dapat ditawarkan untuk mempersatukan Indonesia. Peristiwa yang sama dapat terulang: dia ”dikeroyok”.
Para tokoh muda yang muncul saat ini memang pintar dan well-educated. Tapi untuk menjadi presiden atau pemimpin bangsa tidaklah sesederhana yang dibayangkan. ”Modal” pendidikan yang tinggi tidaklah cukup. Yang harus dia miliki adalah konsep tentang Indonesia seperti apa yang dia kehendaki.
Kepada rakyat Amerika Serikat yang sudah begitu maju, seorang calon presiden selalu harus dapat merumuskan Amerika Serikat seperti apa yang dia inginkan. Itu yang akan menjadi dasar orang mendukung dan memilihnya. Di Indonesia? Tampaknya, tidak mudah menemukan manusia yang sanggup merumuskan itu sekarang, tidak dari mereka yang tua, tidak dari mereka yang merasa belum tua, dan juga tidak dari mereka yang memang masih muda.
(BE Julianery/ Litbang Kompas)
No comments:
Post a Comment