Sunday, June 1, 2008

Hidup dan Perbuatan Soetrisno Bachir

Oleh: Indra J. Piliang (Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta)

Dengan anggaran sebesar 20 Milyar, malah akan lebih nantinya, Soetrisno Bachir membuat iklan politik di surat-surat kabar, radio dan televisi. Frase yang mulai populis itu berbunyi : “Hidup adalah perbuatan.” Iklan ini muncul dengan foto Soetrisno yang terlihat matang, dengan gurat yang jelas dan jenggot yang tumbuh, tapi rapi. Jelas, dalam iklan itu Soetrisno berbedak tipis, dengan fotografer kawakan. Di radio dan televisi, Soetrisno tampil bersama istrinya, dengan pesan-pesan tentang kebangkitan nasional.

Ada yang dengan sinis mengatakan bahwa iklan-iklan seperti itu tidak perlu dan tidak penting. Pendapat itu menurut hemat saya tentu tidak melihat realitas kemajuan di bidang teknologi informasi. Iklan, dalam realitas ini, telah menjadi bagian dari alat pengeras suara. Kalau Soekarno dan Soeharto secara mitologis dibentuk oleh beragam isu yang tidak terlacak kebenarannya, sementara raja-raja Mataram dikatakan beristrikan Nyi Loro Kidul, maka pada zaman sekarang mata dan telinga masyarakat langsung melihat tokoh-tokoh yang berada dibalik sebuah iklan.

Iklan menjadi mitos tersendiri dalam menaikkan atau menurunkan popularitas seseorang. Iklan yang baik akan membawa kepada dukungan, sementara iklan yang jelek justru akan memunculkan antipati. Ketika sepasang calon gubernur-wakil gubernur sebuah provinsi di luar Jawa tampil dalam iklan-iklan di televisi, terasa sekali iklan itu buruk. Betapa tidak, sosok sang tokoh tidak seganteng Dede Yusuf atau sekarismatis Nelson Mandela. Beberapa tokoh lain yang merasa dirinya tidak menarik, malah jarang menyebarkan poster dirinya, selain memperkuat image nama dan pengalamannya. Abdul Ghafur, misalnya, ketika maju jadi Calon Gubernur Maluku Utara tidak menyebarkan poster bergambar dirinya. Ketidak-hadirannya justru menjadi magnet tersendiri. Eksistensialis

Hidup adalah perbuatan. Iklan ini begitu terdengar pragmatis. Yang orang mau tahu, bagaimana Soetrisno menjalani hidup? Apa yang sudah ia perbuat? Dari yang banyak didengar, Soetrisno adalah seorang pengusaha asal Pekalongan. Pekalongan sendiri menghasilkan banyak kaum saudagar batik dan intelektual. Batik hanya perantara pertama, karena setelah menemukan celah yang tepat, jenis usaha lain bisa dibuka dan dimasuki. Konstruksi, media, perbankan, atau apapun. Para saudagar selalu memiliki jurus yang banyak, karena tidak terjebak dengan disiplin yang ketat sebagaimana ilmuwan atau kaum intelektual ketika bekerja.

Iklan itu terdengar tidak sloganistik. Juga, tidak mencoba berlindung dibalik wong cilik, masyarakat busung lapar ataupun kelompok petani miskin. Latar puisi Chairil Anwar menunjukkan kesunyian, ketimbang keriuhan. Chairil adalah penyair yang kesepian. Tetapi ia telah membawa mati filsafat eksistensialismenya ke dalam kuburannya. Nama lain bisa dijajar: Tan Malaka. Soetrisno tidak sedang melakukan proses aktualisasi diri dengan iklan dan dana yang dia miliki. Ia juga bukan orang yang berorientasi massa sebagai tameng politik. Saya tidak tahu, apa itu yang mau dikatakan oleh Soetrisno. Yang saya pahami, iklan itu dikomandoi oleh Rizal Malarangeng, Direktur Eksekutif Fox Indonesia. Sebagaimana bisa diikuti dari beragam wawancaranya, justru iklan “Hidup adalah Perbuatan” juga lebih mewakili sosok Rizal, ketimbang Soetrisno. Bagi yang sering bertemu Rizal akan segera paham bahwa Chairil adalah tokoh idolanya. Rizal sudah beberapa kali dioperasi. Sekalipun begitu, ia tetap perokok aktif dan pemakan makanan penuh kolesterol tinggi. Ia orang yang cerah memandang hidup dan bekerja sepanjang hari, sepanjang malam, dengan banyak posisi.

Justru dengan iklan itu Rizal berhasil melewati batas-batas defenisi tentang hidup dan perbuatan. Ketelitiannya menunjukkan bahwa sebuah puisi yang jarang diperdengarkan, sesosok pahlawan yang tidak lagi digandrungi, bisa menemukan makna baru ketika didorong dan diapungkan oleh seorang politikus. Apakah Soetrisno diuntungkan oleh iklan itu, atau Chairil diingat kembali, atau puisi-puisi lama dibuka orang, serta barangkali bangsa ini menjadi kian tercerdaskan oleh hempasan iklan-iklan lain yang buruk, tentu bisa dimaknai dengan kehadiran dan sosok iklan itu sendiri. Torehan Baru

Apa dengan iklan itu Soetrisno layak menjadi presiden? Ini tentu juga bidang diskusi yang lain. Menurut saya, di kalangan generasi sezamannya, Soetrisno telah menunjukkan kemampuannya dalam memimpin Partai Amanat Nasional. Ia bukan lagi sosok politikus konservatif yang terperangkap dengan ide-ide masa lalu, tetapi bukan juga penolaknya. Partai yang dipimpinnya diisi oleh politikus-politikus yang unggul di parlemen, sering menjadi referensi media dan bahkan mempunyai kemampuan menulis dengan baik. Soetrisno yang sempat ditolak oleh sebagian politikus lain ketika terpilih, telah menunjukkan bahwa politik itu kenyal, tidak keras. Ketakutan orang bahwa Soetrisno memimpin partai sama dengan caranya memimpin perusahaan tidak terbukti. Ia mendukung ide sistem proporsional terbuka murni tanpa nomor urut. Popularitas baginya penting. Popularitas bahkan bisa diartikan sebagai inti dari demokrasi itu sendiri. Bahwa mungkin banyak rakyat yang tidak mengerti arti iklan-iklannya, bagi Soetrisno adalah pilihan. Yang jelas, Soetrisno sangat menyadari bahwa PAN diisi oleh masyarakat kelas menengah, moderat dan sekaligus tidak mengambil jarak terhadap kehidupan masyarakat kota yang dianggap kelompok lain sebagai kehidupan kelompok borjuis.

Sekalipun banyak survei menunjukkan bahwa para petarung dalam pilpres nanti belum menyebut Soetrisno sebagai nama unggulan, tetap saja satu model kerja politik sudah ditorehkan. Model yang lebih profesional. Tanpa harus mengasosiasikan dengan pilprespun Soetrisno sudah menyebarkan pesan yang jelas dalam menata dan mengelola masa depan politik. Kalau Soekarno harus membaca ribuan buku dan menulis puluhan buku, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, Soetrisno cukup dengan beberapa model iklan politik. Pabila Barrack Obama terlebih dahulu harus menjadi pekerja sosial sebelum menjadi senator, Soetrisno lebih memilih jalur pengusaha, lalu secara perlahan memasuki ranah politik. Cara Soetrisno tentu akan berhadapan dengan Soesilo Bambang Yudhoyono yang doyan berpidato panjang lebar, sekalipun tidak menarik dan membuat kepala-kepala daerah mengantuk. Sementara Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan-pernyataan ringan, jenaka, sembari menunjukkan dirinya yang tanpa baju ketika bersama-sama cucunya berenang bersama. Megawati lebih memilih mendekati penduduk dengan “berita penyesalan”, yakni kenapa masyarakat tidak memilihnya, sehingga keadaan menjadi buruk. Wiranto berlaku bak senior kepada juniornya, dengan terus menarik garis keras berupa iklan juga, atas kinerja Soesilo.

Apapun model pendekatan dan komunikasi politik yang ditawarkan, tetap saja masyarakat akan menjadi hakim terbaik. Untuk pilpres nanti, tidak boleh lagi kita melihat sisi kuantitas, hanya sebatas jumlah pendukung, tetapi juga sisi kualitas dari sebuah pesan. Pesan-pesan yang berkualitas akan memberikan kebaikan, menang atau kalah. Soetrisno telah memulainya, tinggal yang lain akan menempuh jalan yang sama atau berbeda..

sumber: indrapiliang.com

No comments: