Sunday, June 1, 2008

Profesional di Balik Strategi Pencitraan Soetrisno Bachir (1)

Seperti Barack Obama, Fox Garap Hulu sampai Hilir. Iklan politik tokoh nasional di media massa semakin menjamur. Salah satu yang gencar mempromosikan diri adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir. Siapakah orang-orang di balik bisnis pencitraan tersebut?

CANDRA K. - A. BOKHIN, Jakarta

KALAU Anda nonton di bioskop jaringan Studio 21 sekarang, jangan heran jika tiba-tiba muncul wajah Soetrisno Bachir. Ketua umum PAN yang namanya kerap disingkat SB itu terjun ke dunia film? Bukan. Untuk menggencarkan kampanye pencitraan diri, kini tim SB tidak cukup hanya menggunakan televisi dan media cetak, tapi juga media-media populer yang lain.

Seperti yang terjadi pada hari libur Waisak di Studio 21 Hollywood, Kartika Candra, Jakarta Pusat, Selasa (20/5) pukul 13.00 lalu. Slide iklan tentang SB diputar usai kampanye anti penyebaran HIV/AIDS. Sebuah gambar bendera Merah Putih tampak berkibar, diselingi narasi dan petikan puisi penyair Chairil Anwar.

“Sekali berarti sudah itu mati,” bunyi penggalan puisi terkenal penyair Angkatan 45 yang juga muncul dalam iklan-iklan warna satu halaman penuh di berbagai media cetak. Berikutnya muncul rangkaian potongan gambar yang ternyata iklan sosialisasi figur Soetrisno Bachir, seperti yang sering tayang di televisi.

“Apa bedanya dengan nonton televisi?” ujar salah seorang penonton dengan kesal, yang siang itu harus membayar tiket tanda masuk Rp 30 ribu.

Meski memunculkan polemik, ide memasang iklan politik di bioskop itu cukup brilian. Target pasarnya jelas: anak muda belasan sampai 30-an tahun. Merekalah pemilih potensial dalam pemilu. Sebagian besar pemilih pemula adalah swing voter yang belum menentukan memilih partai apa atau tokoh siapa dalam pemilu.

Setelah ditelisik, otak di balik penggarapan iklan politik tersebut adalah Fox Indonesia di bawah pimpinan Rizal Mallarangeng. Ditemui Jawa Pos di kantornya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rizal mengaku telah menandatangani kontrak dengan Soetrisno Bachir hingga April 2009. “Fox Indonesia merupakan lembaga strategic and political consulting profesional pertama di Indonesia,” klaim pria yang juga direktur Freedom Institute tersebut.

Profesionalitas dalam pengertian Rizal adalah bisnis. Bisnis kampanye modern dan konsultan murni. Lembaga yang dipimpinannya akan melayani keperluan klien mulai hulu hingga hilir. Mulai pencitraan, iklan, pemberitaan di media, kampanye, sampai strategi pemenangan suksesi.

“Kita coba, bikin lembaga yang benar-benar profesional. Seperti lawyer (pengacara), you bayar, kami yang susun konsep kampanyenya,” tambah alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut.

Dalam mengerjakan bisnisnya, Fox Indonesia menggunakan sistem outsourcing. Beberapa elemen dalam proses produksi diserahkan kepada profesional. Misalnya, pemenangan pilkada diperlukan elemen survei. Untuk tugas itu, Fox Indonesia menyerahkan kepada LSI (Lembaga Survei Indonesia) milik Saiful Mudjani. “Saya tinggal kontrol metodenya,” katanya.

Begitu juga dalam pembuatan iklan di TV, doktor lulusan Ohio State University, Amerika, itu melibatkan sutradara muda Ipang Wahid. Untuk fotografi, Fox Indonesia mempercayakan kepada fotografer kawakan Darwis Triadi. Bahkan, menurut Rizal, dalam waktu dekat, sutradara beken Garin Nugroho akan bergabung dengan lembaganya.

Staf Ahli Menko Kesra tersebut menyatakan, puncak demokrasi adalah sebuah festival tempat berbagai komunitas masyarakat bisa bergabung dan menikmati kebebasan menuangkan kreasi. “Termasuk para seniman,” tambahnya.

Untuk menunjang pekerjaannya, dibentuk beberapa divisi. Salah satu yang paling krusial adalah divisi think tank. Merekalah yang menggagas ide-ide dalam membangun citra tokoh dalam iklan. Termasuk pemilihan puisi Chairil Anwar dan ide memasang iklan di Studio 21. “Ada empat doktor dan dua master yang mendukung divisi-divisi kami,” kata bapak dua anak itu.

Meski profesional, Rizal menegaskan, pihaknya tetap selektif dalam memilih calon klien. Menurut dia, timnya baru bisa bekerja ketika ada kecocokan dengan calon klien. “Wiranto sama Prabowo minta saya jadi think tank-nya. Tapi, dengan hormat saya menolak. Mereka sudah gagal memimpin di masa lalu, lebih baik pensiun saja,” tegasnya.

Rizal yang juga direktur Freedom Institute itu menambahkan, kecocokan dengan klien bisa diukur dalam penyatuan visi sebelum tanda tangan kontrak.

Dalam kaitannya dengan Soetrisno Bachir, kontrak ditandatangani dengan target meningkatkan popularitas figur ketua umum dan partai (PAN). “Dalam klausul kontraknya disebutkan, membantu tokoh dan partai,” ungkapnya.

Untuk mengetahui perkembangan hasil pencitraan, pertengahan minggu lalu tim Fox Indonesia dan Soetrisno Bachir melakukan safari ke beberapa kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. “Hasilnya mencengangkan. Dengan memasang iklan tiga minggu saja, 2/3 audiens yang kita temui sudah mengenal Soetrisno Bachir,” katanya.

Rizal tak membantah jasa konsultan politiknya tidak murah. Bahkan, dia mengklaim Fox Indonesia mematok harga paling mahal di Indonesia. Selain iklan TV, Fox memasang iklan Soetrisno di koran-koran utama, media luar ruang, pemasangan baliho di seluruh Indonesia, dan bioskop. Belum termasuk program road show ke berbagai daerah di Indonesia.

Untuk iklan televisi, misalnya, dalam sehari rata-rata 180 kali tayang. Iklan tersebut ditayangkan di jam-jam utama (prime time) dengan program yang memiliki rating tinggi. Belum lagi iklan di radio dan TV lokal. Jadi, wajar jika anggarannya sangat besar.

“Demokrasi itu mahal Bung. Untuk pemilihan internal saja, Obama (Barack Obama, capres Partai Demokrat di AS) hingga saat ini sudah menghabiskan Rp 2 triliun. Kalau di Indonesia, ya kami masih termahal,” katanya.

Sumber: Jawa Pos, 25 Mei 2008

No comments: