Friday, June 6, 2008

Pemimpin, pada Suatu Masa


Oleh Meuthia Ganie-Rochman

Pemimpin apa yang dibutuhkan suatu bangsa? Menarik menyimak hasil survei Kompas menjaring pandangan dari berbagai kalangan tentang kualitas pemimpin yang mereka inginkan.

Kalangan parpol terbanyak menganggap karakter pemimpin yang dibutuhkan adalah ”mengutamakan kepentingan bangsa”, ”aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat”, dan ”memiliki jiwa kepemimpinan”. Kalangan LSM: ”integritas” dan ”memahami kebutuhan masyarakat”. Sementara kalangan pengusaha: ”kepribadian pemimpin (tegas, jujur, bijaksana)”. Meskipun dengan tekanan yang beragam, semua kalangan tampaknya setuju dengan sifat-sifat jujur, tegas, dan bijaksana.

Satu hal yang sangat menarik dari hasil survei tersebut adalah terdapat keraguan di semua kalangan, apakah ada di kalangan mereka sendiri orang yang betul-betul mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Apakah ini berarti bahwa sukar menemukan orang dengan kualitas semacam itu? Ataukah, lebih tepat bahwa jika pun ada orang dengan kualitas demikian, apakah sanggup menyelesaikan persoalan berat bangsa? Lalu, di mana persoalannya?

Keraguan mereka dapat dimengerti. Penjelasannya: kualitas pemimpin politik tidak bisa hanya dilihat sebagai persoalan kualitas individual. Hal pertama yang harus dilihat dulu adalah apa yang terjadi dengan bangsa tersebut. Kebutuhan kualitas pemimpin dilihat dari tiga masalah utama, bangsa yang dipimpin, organisasi yang menjadi dasar kerja si pemimpin, dan wewenang yang akan ia miliki.

Fragmentalisasi

Benar, seperti yang dikatakan di laporan Kompas, yang dibutuhkan adalah menyatukan bangsa ini dengan keragamannya ke arah satu tujuan bersama. Sejak 1998 telah terjadi proses fragmentalisasi sejalan dengan desentralisasi. Hal ini bukan berarti mengatakan bahwa desentralisasi sepenuhnya buruk untuk Indonesia, melainkan terjadi penipisan tali komunikasi politik antara pemerintah nasional dan pemerintah daerah untuk menata arah dan mekanisme pembangunan nasional.

Pemerintah nasional tidak memiliki banyak kredibilitas dan pengaruh di mata daerah. Di pihak lain, hanya amat sedikit pemerintah daerah yang mempunyai visi dan pendekatan yang realistis tentang membangun daerah dengan kekhususannya.

Konteks yang kedua adalah wewenang yang dimiliki Presiden untuk mengambil kebijakan. Seperti diketahui, sistem politik di Indonesia membuat Presiden banyak bernegosiasi dengan DPR. Padahal, sebagai salah satu penentu kebijakan publik, DPR belum tampak orientasi maupun kapasitasnya bertindak untuk pembangunan bangsa. Mekanisme akuntabilitasnya terhadap publik pun amat lemah.

Konteks yang ketiga adalah organisasi yang dapat digerakkan presiden, tidak hanya birokrasi, tetapi juga kantor kepresidenan. Birokrasi selalu merupakan bagian penting dari tangan presiden untuk melakukan perubahan. Saat ini banyak kebijakan menteri yang baik terhambat karena tidak dapat menjaga kohesi organisasi. Perubahan birokrasi masih sepotong-sepotong, yang malahan bisa mendorong perubahan perilaku koruptif ke dalam bentuk baru (mutan). Organisasi yang kedua tergantung dari kemampuan presiden memilih orang kepercayaannya dan mengarahkan bagaimana aspirasi masyarakat dikelola.

Menentukan arah baru

Seorang presiden sebenarnya memiliki banyak fungsi, tidak hanya membuat kebijakan, tetapi juga mengawasi arah akibat kebijakannya (supervisi) dan menentukan arah baru. Karena itu, dua elemen tidak bisa dipisahkan, yaitu teknokratik dan kepemimpinan politik. Dalam situasi sistem dan realitas politik di Indonesia, seorang presiden harus mampu membangun kekuatan politiknya sendiri di luar yang ditetapkan undang-undang.

Secara ringkas, yang dibutuhkan seorang pemimpin negara adalah yang memiliki semua kualitas: teknokratis (untuk menerjemahkan dan mewujudkan visi yang dilontarkan pada saat kampanye!), manajerial, dan piawai berpolitik (untuk memperbesar pengaruh di luar wewenang formal).

Dengan berbagai persoalan politik, sosial, dan ekonomi sebesar yang dihadapi bangsa Indonesia, realistiskah mengharap seorang yang bahkan jika memiliki semua kualitas di atas untuk mampu memperbaikinya? Pasti luar biasa berat dan tidak adil pula. Kita tidak bisa hanya menuntut seorang pemimpin nasional, tetapi juga harus mengarahkan telunjuk kita kepada pemimpin di lembaga-lembaga publik (lembaga perwakilan, partai politik) lain serta organisasi sosial (organisasi massa, LSM, universitas). Mereka yang memimpin di lembaga-lembaga seperti tidak boleh lagi tenang-tenang dengan caranya selama ini memimpin.

Persoalan utama yang harus diubah lembaga publik tadi adalah tidak akuntabel terhadap masyarakat dan sangat mengecewakan dalam menjalankan fungsi yang seharusnya. Padahal, mereka menggunakan sumber daya publik (anggaran dan hak hukum). Penyakit banyak organisasi sosial adalah kurang aktif dan fokus serta kurang terkelola.

Masihkah ada yang mau jadi pemimpin?

Meuthia Ganie-Rochman LabSosio FISIP UI

No comments: