Friday, June 6, 2008

Bersama (Kita) Tidak Bisa


Jumat, 6 Juni 2008 | 00:09 WIB

Oleh Jakob Sumardjo

Bersama kita bisa! Itulah semboyan sekaligus paradigma. Kata kuncinya adalah ”bersama” dan tujuannya adalah ”bisa” atau berhasil. Kalau kita mau sukses sebagai bangsa, kerja sama semua unsur bangsa suatu keharusan.

Bersama berarti interdependen, saling memerlukan, saling ketergantungan. Orang tidak bisa sukses sendirian tanpa akibat menyingkirkan yang lain. Kemandirian itu pemisahan dengan yang lain, tujuan dasarnya sukses pribadi. Sedangkan kebersamaan adalah harmoni penyatuan demi kepentingan bersama atau kepentingan publik.

”Bersama kita bisa” ternyata masih semboyan, belum paradigma, suatu cara melihat dunia sebagai praktik pembangunan bangsa. Ternyata kita tidak bisa ”bersama”. Setelah reformasi, paradigma kemandirian dan kebebasan menjadi satu-satunya cara memandang dunia ini.

Itulah yang terjadi akhir-akhir ini. Karena hanya pemerintah yang bersemboyan demikian, pemerintah menjadi bulan-bulanan kritik dari mereka yang bertolak dari prinsip kemandirian. Kita telah meninggalkan era otoritarian, yang menempatkan rakyat semata-mata sebagai obyek yang bergantung padanya. Sikap proaktif dibunuh demi aktivitas tunggal pemerintah.

Kritik-kritik pedas kepada pemerintah ”Bersama Kita Bisa” ini dengan sendirinya berorientasi pada tidak populernya pemerintah, dengan demikian kejatuhan pemerintah. Orang-orang ini berseberangan dengan prinsip ”bersama kita bisa”. Ini menunjukkan bahwa kita ”bersama tidak bisa”.

Paradigma ”bersama kita bisa” seharusnya menjadi paradigma nasional, bukan sekadar jargon pemerintah supaya menang dalam pemilu. ”Bersama Kita Bisa” juga harus menjadi jalan praktik pemerintah sendiri karena dia yang melontarkan paradigma tersebut. Pemerintah menyadari bahwa persoalan bangsa tak mungkin dipecahkan oleh satu kekuasaan tunggal. Pemerintah memerlukan kerja sama dengan ”kekuasaan-kekuasaan” lain di republik ini, baik kekuasaan formal maupun informal. Inisiatif ini dengan sendirinya harus dimulai dari pemerintah sendiri.

Program yang disepakati bersama, dan dengan demikian menjadi tanggung jawab bersama, dengan pemerintah sebagai pelaksananya. Semua unsur negara dan bangsa proaktif menyimak dan membantu program bangsa.

Pada kenyataannya proaktif itu tidak ada. Mental bangsa ini masih ketergantungan sehingga mengembangkan sikap konsumtif. Protes-protes yang marak di seluruh Indonesia adalah protes konsumtif. Minta ini dan menuntut itu. Kecewa tidak dipenuhinya ini dan itu. Semua serba menuntut dipenuhinya kepentingan mereka masing-masing. Kalau tuntutan mereka dipenuhi, sudah puas untuk dirinya sendiri, tidak pernah memikirkan bahwa pihak-pihak lain dirugikan oleh pemenuhan konsumsinya.

Tidak ada demo yang proaktif, yakni meluruskan jalan pemerintah yang telah menyimpang dari keputusan nasional. Demo selalu berparadigma sendiri, yakni demi kepentingan sendiri saja tanpa peduli efek kerugian bagi pihak lain. Sekali lagi, kita tidak mampu bersama.

Negara ini kue besar yang tiap unsur bangsa ingin mendapat bagian yang memuaskan dirinya, tidak peduli yang lain-lain kelaparan tidak kebagian. Semua unsur bangsa dan negara itu, betapa pun kecilnya, harus proaktif membangun kebersamaan itu. Kita yang begini plural memerlukan kerja sama saling tergantung sama-sama lain.

Pada zaman revolusi dahulu kala saling ketergantungan ini bekerja sehat. Rakyat membutuhkan tentara, tentara membutuhkan rakyat. Pemerintah membutuhkan tentara, tentara membutuhkan pemerintah. Rakyat membutuhkan pemerintah, pemerintah membutuhkan rakyat.

Semua unsur bangsa dan negara bersatu padu dalam sebuah transparansi nyata akibat adanya saling membutuhkan tadi. Bahkan, profesi pencuri dibutuhkan oleh tentara dan rakyat buat mencuri senjata-senjata di gudang Belanda.

Bersama kita tidak bisa setelah kemerdekaan sampai sekarang. Masing-masing sibuk dengan kepentingan golongannya sendiri, bahkan pribadinya sendiri. Negara ini menjadi rebutan demi kepentingan pribadi atau golongan. Kita yang majemuk dengan perbedaan-perbedaan yang kadang saling bertentangan ini tidak bisa rukun membangun paradigma kebersamaan yang berujung pada kepentingan publik atau bangsa.

Negara ini sejak awal telah dibentuk seperti ini, yaitu kesatuan dalam keberagaman. Untuk itu, paradigma ”Bersama Kita Bisa” perlu ditinjau lebih dalam.

Jakob Sumardjo Esais

Pemimpin, pada Suatu Masa


Oleh Meuthia Ganie-Rochman

Pemimpin apa yang dibutuhkan suatu bangsa? Menarik menyimak hasil survei Kompas menjaring pandangan dari berbagai kalangan tentang kualitas pemimpin yang mereka inginkan.

Kalangan parpol terbanyak menganggap karakter pemimpin yang dibutuhkan adalah ”mengutamakan kepentingan bangsa”, ”aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat”, dan ”memiliki jiwa kepemimpinan”. Kalangan LSM: ”integritas” dan ”memahami kebutuhan masyarakat”. Sementara kalangan pengusaha: ”kepribadian pemimpin (tegas, jujur, bijaksana)”. Meskipun dengan tekanan yang beragam, semua kalangan tampaknya setuju dengan sifat-sifat jujur, tegas, dan bijaksana.

Satu hal yang sangat menarik dari hasil survei tersebut adalah terdapat keraguan di semua kalangan, apakah ada di kalangan mereka sendiri orang yang betul-betul mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Apakah ini berarti bahwa sukar menemukan orang dengan kualitas semacam itu? Ataukah, lebih tepat bahwa jika pun ada orang dengan kualitas demikian, apakah sanggup menyelesaikan persoalan berat bangsa? Lalu, di mana persoalannya?

Keraguan mereka dapat dimengerti. Penjelasannya: kualitas pemimpin politik tidak bisa hanya dilihat sebagai persoalan kualitas individual. Hal pertama yang harus dilihat dulu adalah apa yang terjadi dengan bangsa tersebut. Kebutuhan kualitas pemimpin dilihat dari tiga masalah utama, bangsa yang dipimpin, organisasi yang menjadi dasar kerja si pemimpin, dan wewenang yang akan ia miliki.

Fragmentalisasi

Benar, seperti yang dikatakan di laporan Kompas, yang dibutuhkan adalah menyatukan bangsa ini dengan keragamannya ke arah satu tujuan bersama. Sejak 1998 telah terjadi proses fragmentalisasi sejalan dengan desentralisasi. Hal ini bukan berarti mengatakan bahwa desentralisasi sepenuhnya buruk untuk Indonesia, melainkan terjadi penipisan tali komunikasi politik antara pemerintah nasional dan pemerintah daerah untuk menata arah dan mekanisme pembangunan nasional.

Pemerintah nasional tidak memiliki banyak kredibilitas dan pengaruh di mata daerah. Di pihak lain, hanya amat sedikit pemerintah daerah yang mempunyai visi dan pendekatan yang realistis tentang membangun daerah dengan kekhususannya.

Konteks yang kedua adalah wewenang yang dimiliki Presiden untuk mengambil kebijakan. Seperti diketahui, sistem politik di Indonesia membuat Presiden banyak bernegosiasi dengan DPR. Padahal, sebagai salah satu penentu kebijakan publik, DPR belum tampak orientasi maupun kapasitasnya bertindak untuk pembangunan bangsa. Mekanisme akuntabilitasnya terhadap publik pun amat lemah.

Konteks yang ketiga adalah organisasi yang dapat digerakkan presiden, tidak hanya birokrasi, tetapi juga kantor kepresidenan. Birokrasi selalu merupakan bagian penting dari tangan presiden untuk melakukan perubahan. Saat ini banyak kebijakan menteri yang baik terhambat karena tidak dapat menjaga kohesi organisasi. Perubahan birokrasi masih sepotong-sepotong, yang malahan bisa mendorong perubahan perilaku koruptif ke dalam bentuk baru (mutan). Organisasi yang kedua tergantung dari kemampuan presiden memilih orang kepercayaannya dan mengarahkan bagaimana aspirasi masyarakat dikelola.

Menentukan arah baru

Seorang presiden sebenarnya memiliki banyak fungsi, tidak hanya membuat kebijakan, tetapi juga mengawasi arah akibat kebijakannya (supervisi) dan menentukan arah baru. Karena itu, dua elemen tidak bisa dipisahkan, yaitu teknokratik dan kepemimpinan politik. Dalam situasi sistem dan realitas politik di Indonesia, seorang presiden harus mampu membangun kekuatan politiknya sendiri di luar yang ditetapkan undang-undang.

Secara ringkas, yang dibutuhkan seorang pemimpin negara adalah yang memiliki semua kualitas: teknokratis (untuk menerjemahkan dan mewujudkan visi yang dilontarkan pada saat kampanye!), manajerial, dan piawai berpolitik (untuk memperbesar pengaruh di luar wewenang formal).

Dengan berbagai persoalan politik, sosial, dan ekonomi sebesar yang dihadapi bangsa Indonesia, realistiskah mengharap seorang yang bahkan jika memiliki semua kualitas di atas untuk mampu memperbaikinya? Pasti luar biasa berat dan tidak adil pula. Kita tidak bisa hanya menuntut seorang pemimpin nasional, tetapi juga harus mengarahkan telunjuk kita kepada pemimpin di lembaga-lembaga publik (lembaga perwakilan, partai politik) lain serta organisasi sosial (organisasi massa, LSM, universitas). Mereka yang memimpin di lembaga-lembaga seperti tidak boleh lagi tenang-tenang dengan caranya selama ini memimpin.

Persoalan utama yang harus diubah lembaga publik tadi adalah tidak akuntabel terhadap masyarakat dan sangat mengecewakan dalam menjalankan fungsi yang seharusnya. Padahal, mereka menggunakan sumber daya publik (anggaran dan hak hukum). Penyakit banyak organisasi sosial adalah kurang aktif dan fokus serta kurang terkelola.

Masihkah ada yang mau jadi pemimpin?

Meuthia Ganie-Rochman LabSosio FISIP UI

Sunday, June 1, 2008

“Fox Indonesia”


APA gerangan “Fox Indonesia”? Ini merupakan lembaga konsultan politik untuk korporasi dan pemilihan kepala daerah (Pilkada), pemilihan presiden (Pilpres), sera pemilu legislatif. Didirikan 1 Februari 2008 oleh ilmuan politik, Rizal Mallarangeng.

Menjadi menarik untuk dibahas dalam kolom ini karena memang sudah seharusnya konsultan politik yang dikelola dengan manajemen yang profesional tumbuh dan berkembang pesat di negeri yang tengah giat-giatnya berproses menuju demokratisasi dengan agenda pemilihan pejabat publik yang tak pernah berhenti.

Sejauh mana “Fox Indonesia” akan berperan? Mari kita lihat sejenak fenomena munculnya Barack Obama, salah satu kandidat Presiden AS dari Partai Demokrat yang pada awal kemunculannya hanya dianggap ikut meramaikan konvensi. Nyatanya, di luar dugaan --walaupun masih sementara-- berhasil mengungguli Hillary Clinton yang jauh lebih populer karena sudah menjadi Ibu Negara sebelum Obama menjadi Senator.

Menurut banyak pengamat, kekuatan Obama, bukan hanya terletak pada gaya pidato dan kharisma personalnya, tapi yang lebih signifikan adalah karena memiliki tim kampanye yang mungkin terbaik sepanjang sejarah Amerika, bahkan lebih hebat dari tim kampanye Bill Clinton yang berhasil memenangkan dua kali pemilihan presiden AS.

Bayangkan, karena kepiawaiaannya, menjelang “Super Tuesday” awal bulan lalu saja, tim kampanye Obama berhasil menghimpun dana sebesar 103,8 juta dolar AS yang terdiri dari mayoritas hampir 80% penyumbang dari rata-rata lima hingga 100 dolar.

Jadi, jelaslah bahwa memiliki tim kampanye yang profesional merupakan keniscayaan untuk saat ini. Seorang kandidat yang hanya berharap para relawan menjadi motor penggerak kampanye sudah menjadi masa lalu yang menjadi bukti awal dari kekalahannya.

Para relawan, seperti juga banyak di Amerika, justeru akan menjadi kekuatan ketika konsultan politik sang kandidat mampu secara profesional mengelola kampanye kandidatnya. Artinya, pengelolaan kampanye yang baik bukan diserahkan pada para relawan.

Kalau kita cermati pertarungan antara Obama dan Hillary sejak awal, tampak bahwa yang dominan bertarung bukanlah antar pribadi keduanya, melainkan pertarungan ide dan strategi dari konsultan politik/tim kampanye masing-masing. Maka wajar belaka jika pada saat Hillary tampak mulai frustasi, yang ia lakukan adalah mengganti –hingga dua kali-- manajer kampanyenya.

Karena itu, untuk para capres 2009, seperti Sultan HB X, Sutiyoso, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Atau calon anggota senator (DPD), calon anggota legislatif yang bertarung di masing-masing daerah pemilihan, serta calon-calon kepala daerah, menentukan konsultan politik yang tepat bisa menjadi langkah awal kemenangan Anda.

Dan untuk para ilmuan politik, inilah saatnya menguji kemampuan dalam tataran praktis dengan mendirikan lembaga konsultan politik. Karena begitu banyak perusahaan-perusahaan besar yang membutuhkan jasa konsultan politik. Ada seratusan pilkada setiap tahun, yang rata-rata terdiri dari dua hingga lima pasangan kandidat yang bertarung. Di samping tentu ada ribuan calon anggota DPD dan DPR/DPRD.

Konsultan politik yang profesional adalah yang mampu mengantarkan kliennya ke tujuan dengan cara-cara yang cerdas, bermartabat, dan efisien. Selamat datang “Fox Indonesia”, anda hadir pada saat yang tepat.

=========

Direktur Eksekutif The Indonesian Institute dan Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah

Hidup dan Perbuatan Soetrisno Bachir

Oleh: Indra J. Piliang (Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta)

Dengan anggaran sebesar 20 Milyar, malah akan lebih nantinya, Soetrisno Bachir membuat iklan politik di surat-surat kabar, radio dan televisi. Frase yang mulai populis itu berbunyi : “Hidup adalah perbuatan.” Iklan ini muncul dengan foto Soetrisno yang terlihat matang, dengan gurat yang jelas dan jenggot yang tumbuh, tapi rapi. Jelas, dalam iklan itu Soetrisno berbedak tipis, dengan fotografer kawakan. Di radio dan televisi, Soetrisno tampil bersama istrinya, dengan pesan-pesan tentang kebangkitan nasional.

Ada yang dengan sinis mengatakan bahwa iklan-iklan seperti itu tidak perlu dan tidak penting. Pendapat itu menurut hemat saya tentu tidak melihat realitas kemajuan di bidang teknologi informasi. Iklan, dalam realitas ini, telah menjadi bagian dari alat pengeras suara. Kalau Soekarno dan Soeharto secara mitologis dibentuk oleh beragam isu yang tidak terlacak kebenarannya, sementara raja-raja Mataram dikatakan beristrikan Nyi Loro Kidul, maka pada zaman sekarang mata dan telinga masyarakat langsung melihat tokoh-tokoh yang berada dibalik sebuah iklan.

Iklan menjadi mitos tersendiri dalam menaikkan atau menurunkan popularitas seseorang. Iklan yang baik akan membawa kepada dukungan, sementara iklan yang jelek justru akan memunculkan antipati. Ketika sepasang calon gubernur-wakil gubernur sebuah provinsi di luar Jawa tampil dalam iklan-iklan di televisi, terasa sekali iklan itu buruk. Betapa tidak, sosok sang tokoh tidak seganteng Dede Yusuf atau sekarismatis Nelson Mandela. Beberapa tokoh lain yang merasa dirinya tidak menarik, malah jarang menyebarkan poster dirinya, selain memperkuat image nama dan pengalamannya. Abdul Ghafur, misalnya, ketika maju jadi Calon Gubernur Maluku Utara tidak menyebarkan poster bergambar dirinya. Ketidak-hadirannya justru menjadi magnet tersendiri. Eksistensialis

Hidup adalah perbuatan. Iklan ini begitu terdengar pragmatis. Yang orang mau tahu, bagaimana Soetrisno menjalani hidup? Apa yang sudah ia perbuat? Dari yang banyak didengar, Soetrisno adalah seorang pengusaha asal Pekalongan. Pekalongan sendiri menghasilkan banyak kaum saudagar batik dan intelektual. Batik hanya perantara pertama, karena setelah menemukan celah yang tepat, jenis usaha lain bisa dibuka dan dimasuki. Konstruksi, media, perbankan, atau apapun. Para saudagar selalu memiliki jurus yang banyak, karena tidak terjebak dengan disiplin yang ketat sebagaimana ilmuwan atau kaum intelektual ketika bekerja.

Iklan itu terdengar tidak sloganistik. Juga, tidak mencoba berlindung dibalik wong cilik, masyarakat busung lapar ataupun kelompok petani miskin. Latar puisi Chairil Anwar menunjukkan kesunyian, ketimbang keriuhan. Chairil adalah penyair yang kesepian. Tetapi ia telah membawa mati filsafat eksistensialismenya ke dalam kuburannya. Nama lain bisa dijajar: Tan Malaka. Soetrisno tidak sedang melakukan proses aktualisasi diri dengan iklan dan dana yang dia miliki. Ia juga bukan orang yang berorientasi massa sebagai tameng politik. Saya tidak tahu, apa itu yang mau dikatakan oleh Soetrisno. Yang saya pahami, iklan itu dikomandoi oleh Rizal Malarangeng, Direktur Eksekutif Fox Indonesia. Sebagaimana bisa diikuti dari beragam wawancaranya, justru iklan “Hidup adalah Perbuatan” juga lebih mewakili sosok Rizal, ketimbang Soetrisno. Bagi yang sering bertemu Rizal akan segera paham bahwa Chairil adalah tokoh idolanya. Rizal sudah beberapa kali dioperasi. Sekalipun begitu, ia tetap perokok aktif dan pemakan makanan penuh kolesterol tinggi. Ia orang yang cerah memandang hidup dan bekerja sepanjang hari, sepanjang malam, dengan banyak posisi.

Justru dengan iklan itu Rizal berhasil melewati batas-batas defenisi tentang hidup dan perbuatan. Ketelitiannya menunjukkan bahwa sebuah puisi yang jarang diperdengarkan, sesosok pahlawan yang tidak lagi digandrungi, bisa menemukan makna baru ketika didorong dan diapungkan oleh seorang politikus. Apakah Soetrisno diuntungkan oleh iklan itu, atau Chairil diingat kembali, atau puisi-puisi lama dibuka orang, serta barangkali bangsa ini menjadi kian tercerdaskan oleh hempasan iklan-iklan lain yang buruk, tentu bisa dimaknai dengan kehadiran dan sosok iklan itu sendiri. Torehan Baru

Apa dengan iklan itu Soetrisno layak menjadi presiden? Ini tentu juga bidang diskusi yang lain. Menurut saya, di kalangan generasi sezamannya, Soetrisno telah menunjukkan kemampuannya dalam memimpin Partai Amanat Nasional. Ia bukan lagi sosok politikus konservatif yang terperangkap dengan ide-ide masa lalu, tetapi bukan juga penolaknya. Partai yang dipimpinnya diisi oleh politikus-politikus yang unggul di parlemen, sering menjadi referensi media dan bahkan mempunyai kemampuan menulis dengan baik. Soetrisno yang sempat ditolak oleh sebagian politikus lain ketika terpilih, telah menunjukkan bahwa politik itu kenyal, tidak keras. Ketakutan orang bahwa Soetrisno memimpin partai sama dengan caranya memimpin perusahaan tidak terbukti. Ia mendukung ide sistem proporsional terbuka murni tanpa nomor urut. Popularitas baginya penting. Popularitas bahkan bisa diartikan sebagai inti dari demokrasi itu sendiri. Bahwa mungkin banyak rakyat yang tidak mengerti arti iklan-iklannya, bagi Soetrisno adalah pilihan. Yang jelas, Soetrisno sangat menyadari bahwa PAN diisi oleh masyarakat kelas menengah, moderat dan sekaligus tidak mengambil jarak terhadap kehidupan masyarakat kota yang dianggap kelompok lain sebagai kehidupan kelompok borjuis.

Sekalipun banyak survei menunjukkan bahwa para petarung dalam pilpres nanti belum menyebut Soetrisno sebagai nama unggulan, tetap saja satu model kerja politik sudah ditorehkan. Model yang lebih profesional. Tanpa harus mengasosiasikan dengan pilprespun Soetrisno sudah menyebarkan pesan yang jelas dalam menata dan mengelola masa depan politik. Kalau Soekarno harus membaca ribuan buku dan menulis puluhan buku, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, Soetrisno cukup dengan beberapa model iklan politik. Pabila Barrack Obama terlebih dahulu harus menjadi pekerja sosial sebelum menjadi senator, Soetrisno lebih memilih jalur pengusaha, lalu secara perlahan memasuki ranah politik. Cara Soetrisno tentu akan berhadapan dengan Soesilo Bambang Yudhoyono yang doyan berpidato panjang lebar, sekalipun tidak menarik dan membuat kepala-kepala daerah mengantuk. Sementara Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan-pernyataan ringan, jenaka, sembari menunjukkan dirinya yang tanpa baju ketika bersama-sama cucunya berenang bersama. Megawati lebih memilih mendekati penduduk dengan “berita penyesalan”, yakni kenapa masyarakat tidak memilihnya, sehingga keadaan menjadi buruk. Wiranto berlaku bak senior kepada juniornya, dengan terus menarik garis keras berupa iklan juga, atas kinerja Soesilo.

Apapun model pendekatan dan komunikasi politik yang ditawarkan, tetap saja masyarakat akan menjadi hakim terbaik. Untuk pilpres nanti, tidak boleh lagi kita melihat sisi kuantitas, hanya sebatas jumlah pendukung, tetapi juga sisi kualitas dari sebuah pesan. Pesan-pesan yang berkualitas akan memberikan kebaikan, menang atau kalah. Soetrisno telah memulainya, tinggal yang lain akan menempuh jalan yang sama atau berbeda..

sumber: indrapiliang.com

Profesional di Balik Strategi Pencitraan Soetrisno Bachir (2-Habis)

Takut Pusing, Minta Kader Tak Hitung Nilai Kontrak
Tak mudah membuat deal antara pimpinan sebuah partai politik dan lembaga profesional seperti Fox Indonesia. Apalagi, itu menyangkut jumlah uang yang sangat besar.

CANDRA K-A. BOKHIN, Jakarta

SEBELUM dirilis, berbagai gagasan Fox memasarkan Soetrisno Bachir (SB) dipresentasikan di jajaran pimpinan Partai Amanat Nasional (PAN). Rizal Mallarangeng, pimpinan Fox, saat itu mengajukan konsep 3M: money, media, dan momentum.

Meski akhirnya banyak yang mendukung, saat itu tak sedikit kader PAN yang mencibir. Ada pula yang meragukan kredibilitas Rizal Mallarangeng karena dia pernah menjadi tim sukses Megawati -yang akhirnya gagal meraih kemenangan- pada Pilpres 2004.

Terlebih, kakak kandung Rizal, Andi Mallarangeng, saat ini menjadi juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejumlah kader PAN khawatir, Rizal hanya mengejar “proyek” tanpa ada kesungguhan membesarkan PAN dan menaikkan rating SB di mata publik.

Rizal tak menampik anggapan miring tersebut. Dia mengaku banyak terlibat dalam menyukseskan orang menjadi presiden. Termasuk kakaknya yang “dititipkan” ke SBY. “Tapi, saya bekerja sesuai etik dan tanggung jawab profesional. Saya membantu Mas Tris (Soetrisno Bachir, Red) hingga April 2009. Selama itu seluruh pikiran dan energi saya hanya untuk Mas Tris dan PAN,” katanya.

Selesai kontrak, kelanjutan semua kerja sama PAN dengan Fox Indonesia diserahkan kepada SB -panggilan akrab Soetrisno Bachir. “Setelah April 2009 Mas Tris mau apa, saya siap menunggu,” katanya.

April 2009 menjadi tonggak penting kontrak politik antara SB dan Fox. Sebab, saat itu bisa diketahui berapa raihan kursi PAN di DPR. Dengan demikian, hasil kinerja konsep Fox itu bisa dinilai.

Besarnya dana yang digelontorkan untuk program pencitraan diri -konon, mencapai Rp 300 miliar- yang menjadi pembicaraan para kader itu direspons Soetrisno. Dia meminta jajaran internal partainya tetap solid. Dia memastikan, dedikasi, loyalitas, dan pengorbanannya terhadap PAN tidak berkurang hanya karena menggelontorkan sejumlah uang untuk Fox. “Dana untuk partai malah akan bertambah terus,” ucapnya.

Mengenai biaya iklan dan program Fox, Soetrisno meminta jajaran partai tidak iri. Sebab, pasang iklan di televisi, bioskop, koran, radio, dan media luar ruang memang memerlukan biaya tak sedikit. “Biar tak pusing sendiri, Anda sebaiknya tak usah tanya berapa uang yang saya keluarkan. Toh, Anda tak akan mampu menghitung,” seloroh Soetrisno setiap ada kader PAN yang bertanya soal program Fox.

Rizal Mallarangeng mengakui, sekitar 70-80 persen biaya pencitraan diri itu terserap ke biaya iklan televisi. Sebab, biaya satu menit iklan di media elektronik saat prime time bisa Rp 30 juta-Rp 45 juta. Padahal, dalam sehari, rata-rata 180 kali tayang. “Anda bisa hitung sendirilah,” katanya.

SB yang berlatar belakang pengusaha memang sedang bertaruh. Dia tak ingin suara PAN pada pemilu mendatang lebih rendah dibandingkan saat dipimpin Amien Rais. Karena itu, berbagai terobosan terus dilakukan. “Saya sudah kalah segala-galanya dari Pak Amien. Kesempatan saya mengalahkan Pak Amien cuma satu, yaitu merebut kursi DPR lebih banyak,” katanya. Saat ini PAN memiliki 53 kursi di DPR.

Pertaruhan itulah yang mendorong dia mau merogoh kocek pribadi tiada henti. Berapa pun dan kapan pun. “Yang saya lakukan baru jurus biasa-biasa saja. Ini belum termasuk jurus dewa mabuk,” ujarnya.

Lalu, dari mana saja sumber uang SB? Orang hanya mengenal dia sebagai juragan batik bermerek BL (Bachir Latifah) dari Pekalongan, Jateng. Dia memang lahir dan dibesarkan dari keluarga pengusaha batik. Tapi, berkat kerja keras dan kesungguhannya, dia kini telah menjadi pebisnis andal.

Lewat bendera Sabira Group yang bermarkas di gedung Landmark Jakarta, pria kelahiran 10 April 1957 itu merambah ke berbagai bidang usaha. Bisnis utamanya ialah mengeruk uang lewat pasar modal. Saham-saham blue chips selalu menjadi incarannya. Dia juga menanamkan uang ke berbagai perusahaan yang berprospek baik, seperti sektor migas, telekomunikasi, properti, dan perkebunan.

Konsep bisnis Soetrisno umumnya penyertaan modal ke perusahaan-perusahaan yang memiliki prospek baik. Termasuk bermitra dengan pengusaha-pengusaha papan atas nasional. Dengan pola itu, pundi-pundi periuknya terus membubung.

“Kalau banyak orang kesulitan mencari uang, alhamdulillah, saya diberi kesempatan untuk terus mencari celah mengeluarkan uang,” ucap Soetrisno.

Dia membantu para kader PAN yang maju di ajang pilkada. Lewat zakat, dia membantu para duafa di seluruh negeri. Lewat SB Foundation, dia juga membantu pengembangan kewirausahaan dan beasiswa anak-anak Indonesia.

SB juga membantu permodalan koperasi simpan pinjam syariah di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Untuk kantor DPP PAN, dia telah menghibahkan gedung berlantai tujuh di Jakarta senilai Rp 20 miliar.(el)

Sumber: Jawapos, 26 Mei 2008

Profesional di Balik Strategi Pencitraan Soetrisno Bachir (1)

Seperti Barack Obama, Fox Garap Hulu sampai Hilir. Iklan politik tokoh nasional di media massa semakin menjamur. Salah satu yang gencar mempromosikan diri adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir. Siapakah orang-orang di balik bisnis pencitraan tersebut?

CANDRA K. - A. BOKHIN, Jakarta

KALAU Anda nonton di bioskop jaringan Studio 21 sekarang, jangan heran jika tiba-tiba muncul wajah Soetrisno Bachir. Ketua umum PAN yang namanya kerap disingkat SB itu terjun ke dunia film? Bukan. Untuk menggencarkan kampanye pencitraan diri, kini tim SB tidak cukup hanya menggunakan televisi dan media cetak, tapi juga media-media populer yang lain.

Seperti yang terjadi pada hari libur Waisak di Studio 21 Hollywood, Kartika Candra, Jakarta Pusat, Selasa (20/5) pukul 13.00 lalu. Slide iklan tentang SB diputar usai kampanye anti penyebaran HIV/AIDS. Sebuah gambar bendera Merah Putih tampak berkibar, diselingi narasi dan petikan puisi penyair Chairil Anwar.

“Sekali berarti sudah itu mati,” bunyi penggalan puisi terkenal penyair Angkatan 45 yang juga muncul dalam iklan-iklan warna satu halaman penuh di berbagai media cetak. Berikutnya muncul rangkaian potongan gambar yang ternyata iklan sosialisasi figur Soetrisno Bachir, seperti yang sering tayang di televisi.

“Apa bedanya dengan nonton televisi?” ujar salah seorang penonton dengan kesal, yang siang itu harus membayar tiket tanda masuk Rp 30 ribu.

Meski memunculkan polemik, ide memasang iklan politik di bioskop itu cukup brilian. Target pasarnya jelas: anak muda belasan sampai 30-an tahun. Merekalah pemilih potensial dalam pemilu. Sebagian besar pemilih pemula adalah swing voter yang belum menentukan memilih partai apa atau tokoh siapa dalam pemilu.

Setelah ditelisik, otak di balik penggarapan iklan politik tersebut adalah Fox Indonesia di bawah pimpinan Rizal Mallarangeng. Ditemui Jawa Pos di kantornya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rizal mengaku telah menandatangani kontrak dengan Soetrisno Bachir hingga April 2009. “Fox Indonesia merupakan lembaga strategic and political consulting profesional pertama di Indonesia,” klaim pria yang juga direktur Freedom Institute tersebut.

Profesionalitas dalam pengertian Rizal adalah bisnis. Bisnis kampanye modern dan konsultan murni. Lembaga yang dipimpinannya akan melayani keperluan klien mulai hulu hingga hilir. Mulai pencitraan, iklan, pemberitaan di media, kampanye, sampai strategi pemenangan suksesi.

“Kita coba, bikin lembaga yang benar-benar profesional. Seperti lawyer (pengacara), you bayar, kami yang susun konsep kampanyenya,” tambah alumnus Universitas Gadjah Mada tersebut.

Dalam mengerjakan bisnisnya, Fox Indonesia menggunakan sistem outsourcing. Beberapa elemen dalam proses produksi diserahkan kepada profesional. Misalnya, pemenangan pilkada diperlukan elemen survei. Untuk tugas itu, Fox Indonesia menyerahkan kepada LSI (Lembaga Survei Indonesia) milik Saiful Mudjani. “Saya tinggal kontrol metodenya,” katanya.

Begitu juga dalam pembuatan iklan di TV, doktor lulusan Ohio State University, Amerika, itu melibatkan sutradara muda Ipang Wahid. Untuk fotografi, Fox Indonesia mempercayakan kepada fotografer kawakan Darwis Triadi. Bahkan, menurut Rizal, dalam waktu dekat, sutradara beken Garin Nugroho akan bergabung dengan lembaganya.

Staf Ahli Menko Kesra tersebut menyatakan, puncak demokrasi adalah sebuah festival tempat berbagai komunitas masyarakat bisa bergabung dan menikmati kebebasan menuangkan kreasi. “Termasuk para seniman,” tambahnya.

Untuk menunjang pekerjaannya, dibentuk beberapa divisi. Salah satu yang paling krusial adalah divisi think tank. Merekalah yang menggagas ide-ide dalam membangun citra tokoh dalam iklan. Termasuk pemilihan puisi Chairil Anwar dan ide memasang iklan di Studio 21. “Ada empat doktor dan dua master yang mendukung divisi-divisi kami,” kata bapak dua anak itu.

Meski profesional, Rizal menegaskan, pihaknya tetap selektif dalam memilih calon klien. Menurut dia, timnya baru bisa bekerja ketika ada kecocokan dengan calon klien. “Wiranto sama Prabowo minta saya jadi think tank-nya. Tapi, dengan hormat saya menolak. Mereka sudah gagal memimpin di masa lalu, lebih baik pensiun saja,” tegasnya.

Rizal yang juga direktur Freedom Institute itu menambahkan, kecocokan dengan klien bisa diukur dalam penyatuan visi sebelum tanda tangan kontrak.

Dalam kaitannya dengan Soetrisno Bachir, kontrak ditandatangani dengan target meningkatkan popularitas figur ketua umum dan partai (PAN). “Dalam klausul kontraknya disebutkan, membantu tokoh dan partai,” ungkapnya.

Untuk mengetahui perkembangan hasil pencitraan, pertengahan minggu lalu tim Fox Indonesia dan Soetrisno Bachir melakukan safari ke beberapa kabupaten di Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. “Hasilnya mencengangkan. Dengan memasang iklan tiga minggu saja, 2/3 audiens yang kita temui sudah mengenal Soetrisno Bachir,” katanya.

Rizal tak membantah jasa konsultan politiknya tidak murah. Bahkan, dia mengklaim Fox Indonesia mematok harga paling mahal di Indonesia. Selain iklan TV, Fox memasang iklan Soetrisno di koran-koran utama, media luar ruang, pemasangan baliho di seluruh Indonesia, dan bioskop. Belum termasuk program road show ke berbagai daerah di Indonesia.

Untuk iklan televisi, misalnya, dalam sehari rata-rata 180 kali tayang. Iklan tersebut ditayangkan di jam-jam utama (prime time) dengan program yang memiliki rating tinggi. Belum lagi iklan di radio dan TV lokal. Jadi, wajar jika anggarannya sangat besar.

“Demokrasi itu mahal Bung. Untuk pemilihan internal saja, Obama (Barack Obama, capres Partai Demokrat di AS) hingga saat ini sudah menghabiskan Rp 2 triliun. Kalau di Indonesia, ya kami masih termahal,” katanya.

Sumber: Jawa Pos, 25 Mei 2008