Thursday, May 8, 2008

Dekade (Tanpa) Reformasi


Memasuki tahun kesepuluh, reformasi masih jauh panggang dari api. Berbagai kebijakan pemerintah yang berjalan selama ini terkesan kuat masih lebih menampakkan sikap akrobatik ketimbang capaian-capaian yang bersifat substantif.

Sebagai misal, persoalan-persoalan masa lalu dalam masyarakat seperti kasus kerusuhan Mei 1998 (termasuk kekerasan seksual) belum ditangani secara serius, sistematis, dan tuntas. Sejalan dengan itu, penegakan hukum yang sejatinya merupakan salah satu dasar utama reformasi justru mengalami hambatan, bahkan dari unsur negara sendiri. Ambil contoh, upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menguak merebaknya korupsi di lembaga perwakilan rakyat terkesan kuat (agak) dihalanghalangi oleh elite di lembaga tersebut.

Elite Layar Kaca


Melihat fenomena yang menggejala kuat semacam itu, reformasi bukan hanya berjalan di tempat, tapi justru mengalami keguguran dini. Sejauh ini reformasi tak lebih dari semacam ilusi yang sulit diwujudkan ke dalam realitas konkret. Di atas kertas, kebijakan hukum dan pembentukan lembaga yang bernuansa reformasi telah banyak mengalami "perkembangan".

Ada undang-undang tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perlindungan korban dan saksi, ada KPK dan sebagainya. Namun, dalam pelaksanaannya masih sangat jauh dari harapan. Jika digali, akar tunggang persoalan semua itu tampaknya berujung pada saratnya negara yang dijejali dengan- meminjam ungkapan Sindhunata- para politikus sinetron.

Orang dan para tokoh yang bertanggung jawab atas kelangsungan negara (entah di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif), menurut Romo Sindhu (Basis, 2007), senang bermain dengan perang semboyan, tidak tahan kritik, dan sulit untuk mengaca diri. Kalaupun mereka mau becermin, mereka hanya mau melihat kebaikan dan tidak mau melihat keburukan mereka, yang sejatinya memang buruk dan busuk.

Di sini mereka nyaris tidak ada bedanya dengan artis sinetron. Bedanya, mereka bukan menjual kecantikan atau ketampanan, tapi omong kosong yang membujuk rakyat. Tengok saja para wakil rakyat yang terhormat. Mereka banyak yang asyik memperkaya diri, terlibat tindak kejahatan korupsi, dan sejenisnya tinimbang mendengarkan keluhan masyarakat dan menindaklanjutinya melalui kebijakan konkret.

Pada sisi itu pula kita melihat korban kerusuhan Mei 1998 yang cenderung diabaikan dan kurang mendapat perhatian dan penanganan sebagaimana mestinya. Bahkan sebagian lembaga negara cenderung resisten dalam menyikapi hal itu. Dari sini tampak sekali bahwa perhatian mereka hanya pada hal-hal yang bersifat permukaan.

Mereka selalu berbicara pengembangan demokrasi, kepentingan rakyat, penegakan hukum dan keadilan, dan ungkapan-ungkapan lain yang bernuansa profetik. Namun di saat yang sama, mereka menjadikan wacana itu sebagai tameng untuk menutupi perilaku mereka yang sarat dengan kepentingan diri sendiri dan kelompok, bahkan bejat dan tidak bermoral.

Mereka tampaknya mendukung reformasi bukan untuk pencapaian misi reformasi, tapi sekadar aji mumpung; mengambil kesempatan berkah kebebasan reformasi (yang sering kebablasan) untuk menikmati kue kekuasaan. Mereka masuk ke dalam lingkaran kekuasaan sekadar mengejar status, fasilitas, dan kekayaan. Di sana mereka lalu mereguk kekuasaan sepuas-puasnya, yang nyaris semuanya menusuk telak hati nurani sebagian besar masyarakat.

Tanggung Jawab Negara


Karut-marut persoalan yang dihadapi negara dan masyarakat, serta wajah buram negeri ini tentu tidak bisa dibiarkan berlanjut terus. Selain mengkhianati cita-cita reformasi, pembiaran juga akan mengantarkan kepada kebangkrutan negara. Bukan hanya bangkrut ekonomi, tapi juga bangkrut sosial, dan tentu saja moral.

Secara moral bangsa ini memang pernah mengalami kebangkrutan. Di antaranya kejadian kekerasan seksual, perkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998. Saat itu, moralitas bangsa mencapai titik nadir yang benar-benar memalukan sebagai bangsa taat beragama. Ironisnya, banyak kalangan meragukan realitas tragedi itu.

Padahal Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sudah menemukan bukti-bukti konkret. Memetieskan persoalan semacam itu, selain bertentangan diametral dengan visi reformasi, juga akan memperlihatkan bahwa moralitas bangsa memang sedang menuju keambrukan. Pembiaran terhadap kejadian serupa itu menunjukkan bahwa bangsa ini sudah mengalami pemudaran dalam rasa keadilan dan moralitas universal sejenis.

Pada sisi itu, upaya serius untuk menindaklanjuti misi reformasi menjadi tidak terelakkan. Upaya bukan hanya berputar-putar pada masalah permukaan, tapi menukik pada inti visi reformasi. Dalam kerangka itu, dasar untuk melangkah terletak pada pengembangan reformasi yang harus berujung pada tindakan konkret.

Sebagai tindakan, reformasi beserta pelbagai turunannya-termasuk persoalan yang ada di dalamnya-meniscayakan adanya tanggung jawab. Negara yang sebermula sekali hadir untuk melindungi warga negara tentu harus menjadi penanggung jawab pertama.

Sebagai lembaga yang bukan personal, negara dalam melaksanakan tanggungjawabnya perlu diurai kepada organ-organ negara, yang masing-masing dilaksanakan oleh orang per orang, pejabat sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. Person-person ini yang harus memikul tanggung jawab sesuai peran dan beban di pundak mereka.

Masing-masing tidak bisa berkilah mereka hanya sebagai pembuat kebijakan yang tidak bertanggung jawab dalam pelaksanaannya; atau mereka hanya sebagai pelaksana yang tidak bertanggung jawab atas sukses-gagalnya program, atau terjadinya persoalan dan tragedi. Tanggung jawab semacam itu harus dilabuh-kokohkan saat ini dan terus ke depan. Tanpa tanggung jawab dalam arti hakiki semacam itu, mereka bukan hanya sebagai artis sinetron.

Lebih dari itu mereka seutuhnya adalah penjual obat pinggir jalan, yang menjajakan obat antikanker tapi sesungguhnya mereka sedang menjual bahan kimia penyebab kanker. Tentu semua itu harus mendapat dukungan dari masyarakat sipil dan masyarakat secara luas. Sikap Komnas Perempuan, misalnya, membentuk pelapor khusus untuk perempuan korban kerusuhan Mei 1998 merupakan upaya yang seutuhnya mengarah kepada hal tersebut.

Demikian pula dukungan masyarakat luas yang begitu kuat atas langkah-langkah KPK. Sekarang semuanya tergantung pada seluruh elemen negara untuk merespons hal semacam itu secara sungguh-sungguh. Hanya dengan cara demikian reformasi akan membumi dalam realitas kehidupan konkret bangsa. Jika tidak, sepuluh tahun yang dilalui bangsa terakhir ini tak lebih dari kepanjangan dari masa-masa buram sebelumnya. (*)

Abd A'la
Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya,
dan komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(//mbs)

1 comment:

Anonymous said...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://politik.infogue.com/dekade_tanpa_reformasi