Wednesday, May 14, 2008

Indonesia Masih Terpuruk

Filsuf Prof Dr Franz Magnis-Suseno (kiri) dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom menjadi pembicara pada seminar nasional Inteligensia Indonesia di Universitas Katolik Parahyangan, Jalan Ciumbuleuit, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (10/5). Para pembicara menyampaikan berbagai sudut pandang mereka tentang 100 tahun Kebangkitan Nasional.
Minggu, 11 Mei 2008 | 15:28 WIB

BANDUNG, KOMPAS - Seratus tahun setelah Kebangkitan Nasional tahun 1908, Indonesia dinilai belum bangkit dari keterpurukan. Ini terbukti dengan kegagalan bangsa Indonesia menegakkan keadilan sosial dan demokrasi.

Ahli filsafat Franz Magnis-Suseno SJ mengemukakan itu pada seminar nasional Satu Abad Kebangkitan Nasional Indonesia ”Inteligensia Indonesia” di Universitas Parahyangan, Bandung, Sabtu (10/5). Menurut Franz, keberadaan bangsa Indonesia kini cenderung mengalami stagnasi terutama di bidang demokrasi dan keadilan sosial.

”Bangsa Indonesia harus menghadapi krisis pangan dan bahan bakar minyak (BBM). Ironisnya negara ini begitu kaya akan sumber daya alam. Ditambah pula kini kebebasan beragama di Indonesia semakin mengalami kemunduran,” ujar Franz.

Menurut Franz, berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini berakar pada ketidakkuatan pemimpin bangsa Indonesia dalam menegakkan hukum dan keadilan sosial. Oleh karena itu, Indonesia dinilai membutuhkan pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan tegas.

Dalam kemunduran


Sementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom berpendapat bangsa Indonesia saat ini juga berada dalam kemunduran. Pada saat negara-negara Asia Tenggara lain menempati daya saing global pada posisi di atas 48 dari 131 negara, Indonesia hanya mampu bertengger di nomor 54, atau 23 posisi di bawah Malaysia.

Miranda menilai, keterpurukan ini berakar pada ketiadaan visi bangsa yang dirumuskan tanpa mengedepankan aspek ilmu pengetahuan yang inovatif. ”Singapura membasiskan visi bangsanya pada masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan, begitu pula Malaysia yang mendasarkan ekonominya pada ilmu pengetahuan,” kata Miranda.

Miranda mengutip Yayasan Indonesia Forum 2007, dikatakan visi Indonesia 2030 menjadi negara unggul dalam pengelolaan kekayaan alam, ditopang dengan pencapaian menjadi lima negara besar dalam kekuatan perekonomian dunia, dan mewujudkan kualitas hidup modern yang merata.

Menurut Miranda, visi itu terlalu muluk dan tidak nyata karena Indonesia menargetkan tanpa mengukur kemampuan diri. ”Indonesia tidak memiliki dasar apa-apa, seperti ilmu pengetahuan yang harus dijadikan fondasi bangsa, tetapi menargetkan sesuatu yang begitu tinggi,” kata Miranda.

Guru besar filsafat Universitas Parahyangan Bambang Sugiharto mengemukakan, di tengah kekisruhan di bidang politik ekonomi dan keadilan sosial seperti ini, Indonesia masih harus menghadapi beberapa tantangan. Tantangan itu antara lain tantangan globalisasi, tantangan keapatisan masyarakat terhadap penegakan hukum internal, dan tantangan keegoisan setiap individu.

Franz menambahkan, tantangan Indonesia lebih mengarah kepada tantangan kepicikan rasa kedaerahan, budaya hedonis, dan eksklusivisme keagamaan.

Bambang dan Franz berpendapat, masalah stagnasi bangsa pascaseabad Kebangkitan Nasional ini dapat dipecahkan dengan adanya komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menegakkan demokrasi dan keadilan sosial, melalui pengembangan sikap toleransi antarindividu. (A01/A15)

No comments: