Friday, May 2, 2008

Elite Neopatrimonial


Salah satu isu penting yang selalu muncul dalam hubungan antara elite dan massa adalah loyalitas. Era pascareformasi menunjukkan betapa loyalitas massa kepada para pemimpin mereka terjadi begitu massif dan menyebar.

Dalam sejarah berdirinya republik, boleh dibilang fenomena ini lebih unik dibandingkan saat revolusi atau saat meletusnya sejumlah gerakan separatisme sekalipun. Dulu, massa digerakkan elite karena adanya ide dan cita-cita yang ideal; kemerdekaan atau harapan akan sosok ratu adil (Kartodirjo, 1997), misalnya. Orang mengikuti Soekarno karena menaruh harapan besar akan terselenggaranya kemerdekaan. Orang mengikuti gerakan Kartosuwirjo karena "tersihir" oleh cita-cita negara Islam.

Akhir 1950-an, orang mengikuti pemimpin yang berkonflik karena alasan ideologis. Pada paruh akhir 1960-an, massa mahasiswa mendukung Soeharto karena keyakinan bahwa sosok ini akan membebaskan negeri dari krisis. Sekarang rasanya tidak demikian. Kita sering menemukan loyalitas massa kepada sosok tertentu di mana-mana, tapi kita tidak pernah menemukan alasan mengapa loyalitas itu terjadi dan diungkapkan sedemikian ekspresif.

Fenomena itu terutama berkembang saat pemilihan kepala daerah langsung mulai digelar pada 2005. Di Tuban, massa dari calon kepala daerah yang kalah mengamuk dan merusak sejumlah bangunan. Yang mutakhir, misalnya, terjadi di Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Gorontalo, atau Jawa Barat. Terjadi pertikaian antarpendukung calon. Masing-masing tidak terima jika jagonya dikalahkan oleh yang lain.

Yang menarik, loyalitas massa tersebut tidak selalu berdasarkan afiliasi organisasi politik tertentu, tidak juga terhadap muasal etnisitas. Para pendukung Syahrul Yasin di Sulawesi Selatan, misalnya, bukan hanya kader PDIP, partai yang mengusungnya, tapi juga kader Golkar, partainya sendiri sekaligus partai pengusung pesaingnya.

Mereka bukan hanya Suku Makassar yang menjadi afiliasi etnis Syahrul, tapi juga Suku Bugis yang merupakan suku pesaingnya. Orang barangkali akan menemukan kerumitan lain saat Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur digelar bulan Juli kelak. Tiga orang petinggi NU sekaligus bersaing dalam pemilihan kepala daerah melalui partai "non- NU". Nah, kalau di kemudian hari terjadi konflik, tentulah itu konflik antarorang NU sendiri.

Neopatrimonialisasi


Dalam hal ikatan yang bersifat patron-kliental dalam sebuah relasi, kaum akademisi menyebutnya patrimonialisme. Dalam sistem tradisional, elite patrimonial merupakan suatu kelas istimewa yang, karena status sosial mereka, menguasai sumber daya politik dan ekonomi. Mereka membatasi akses massa pada kekuasaan dan kekayaan.

Menurut Gunther (1960), patrimonialisme menganut hukum pertukaran, tapi pertukaran yang terjadi antara patron dan klien umumnya bersifat idealis.Kewajiban klien untuk memberikan loyalitas dan penghormatan kepada patron akan dibalas dengan jaminan perlindungan dan rasa aman.

Seiring runtuhnya sistem tradisional, patrimonialisme tampaknya tetap dirawat. Tapi menurut kajian Brown (1994), pola pertukarannya yang mesti diubah. Jaminan pemimpin akan perlindungan dan rasa aman harus dilengkapi dengan jaminan sumber daya material. Sebaliknya, jaminan loyalitas dari para pengikut harus dilengkapi dengan mobilisasi dukungan politik secara aktif. Inilah yang disebutnya sebagai neopatrimonialisme.

Ini pula yang terjadi di masa Orde Baru (Anderson, 1991). Namun, saat itu elite neopatrimonial memusat hanya pada satu figur, Soeharto. Kliennya adalah birokrat, tentara, juga para pengusaha. Soeharto tidak hanya mengayomi, tapi juga memberi kesejahteraan dan jalan pada kekayaan. Sebaliknya para klien tidak hanya loyal, tapi secara aktif memobilisasi kekuatan untuk menopang kekuasaan sang patron.

Saat Orde Baru tumbang, neopatrimonialisme Soeharto juga berakhir. Tapi, tradisi ini justru berkembang dan menyebar. Saya ingin menyebut proses penyebaran itu sebagai neopatri monialisasi dan fenomena yang kita bahas di muka adalah salah satu bentuknya. Karakternya sama, tapi modusnya berubah. Dengan desentralisasi kekuasaan negara, para elite sekarang ingin menjadikan diri mereka sebagai patronpatron baru. Membangun rezim-rezim baru.

Caranya, mengikat sebanyak mungkin orang untuk jadi pengikut yang akan loyal dan berjuang untuk mereka. Media pengikat utamanya adalah materi. Gelaran "pesta demokrasi" adalah momentum kontestasi elite neopatrimonial. Saat itu mereka seolah menjadi sosok sinterklas. Menebar uang ke sana-sini, memberi janji kemakmuran kepada setiap orang, dan menghasut untuk membenci para pesaing.

Para pengikut yang "loyal" dengan seluruh jiwa dan raga akan membela mereka. Tapi, neopatri monialisme selalu mengandaikan tegangan antara kohesivitas dan faksionalisme elite. Di satu sisi, terjadi persaingan antarelite karena perebutan sumber daya politik dan ekonomi. Pada saat itu, kaum elite mengalami faksionalisasi yang, pada gilirannya, juga berdampak pada perpecahan di tingkat massa.

Di sisi lain, kaum elite adalah anggota kelas atas yang memiliki kepentingan sama, terutama, dalam mempertahankan segenap privilese mereka. Dalam kaitan ini, mereka akan melakukan kompromi dan dengan mudah melupakan persaingan masa lalu. Sementara itu, massa yang sudah terpecah secara komunal tidak mudah disatukan kembali. (*)

Irsyad Zamjani
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sosiologi UI
(//mbs)

No comments: