Tuesday, May 6, 2008

POLITIKA

"Ni Bu Yao, Wo Pakse"!
Selasa, 6 Mei 2008 | 00:25 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Sewaktu KPK menggeledah Gedung DPR, ada perasaan mendua. Di satu pihak senang karena pemberantasan korupsi tidak kalah seru dibandingkan razia ekstasi di tempat-tempat hiburan. Di lain pihak, dalam istilah ABG, ada rasa gaib. Parlemen lembaga wakil rakyat dan Gedung DPR—seperti halnya Istana Negara/Merdeka—adalah rumah rakyat.

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK kerja untuk kita, rakyat, karena dibentuk sesuai amanat kita, didanai uang kita, dan bertanggung jawab kepada kita. Ia jadi tumpuan harapan— sekaligus ujung tombak—kita yang muak dengan korupsi.

Jadi, saat rumah kita digeledah, yang sebetulnya terjadi ”saling geledah sesama kita”. Kebetulan sinonim dari geledah artinya lebih kurang obok-obok.

Sayangnya, penggeledahan di DPR tidak sejenaka lagu Diobok-obok yang dinyanyikan Joshua. Apalagi mengobok-obok diri sendiri jelas perilaku yang menyimpang—coba saja Anda lakukan di depan cermin.

Tamu pada acara ”Pers & Peristiwa” di Astro yang dipandu Riza Primadi belum lama ini adalah Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Gayus Lumbuun. Kami sependapat korupsi di DPR—juga lembaga kepresidenan—tidak ubahnya pengkhianatan.

Sebab, anggota-anggota DPR—juga presiden/wakil presiden—dipilih langsung rakyat. Beda dengan polisi atau petugas Bea dan Cukai yang ketahuan korupsi, misalnya, yang bukan pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat.

Korupsi di lembaga legislatif/eksekutif bukan hanya sederajat dengan pengkhianatan, tetapi juga sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. Di China, tidak sedikit pejabat koruptor yang dihukum mati untuk menimbulkan efek jera.

Penggeledahan dan berbagai cara paksa, seperti menjebak atau menangkap basah calon-calon tersangka, ternyata ampuh. Cara-cara ini membuktikan teori ”sekali maling tetap maling”.

Cara-cara ini juga mengatasi kebuntuan moral yang mengatakan bahwa tak ada maling yang mau mengaku karena kalau begitu penjara pasti sudah penuh. Lagi pula cara-cara paksa menghindari kultur ”maling teriak maling” yang amat digemari koruptor di negeri ini.

Cara-cara paksa bukan mustahil bermanfaat untuk mencegah munculnya perilaku-perilaku baru koruptor yang, sepanjang pengetahuan saya, belum ada presedennya di negara lain. Misalnya, pertama, koruptor buru-buru mengembalikan aset yang diduga berbau korupsi.

Tentu aneh ada yang cepat-cepat mengembalikan aset, lalu mereka merasa persoalan sudah selesai. Mereka mengaku membuang gas, dengan bangga bilang menghirup hawanya, tetapi bersumpah tidak mencium bau busuk apa pun—walau semua orang di sekeliling mereka menutup hidung.

Perilaku kedua, para koruptor menganggap vonis pengadilan sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah moral. Contohnya, ada saja terpidana korupsi yang tak mau mengundurkan diri dari jabatannya meski sudah dikurung di balik jeruji.

Perilaku ketiga—dan ini yang terpenting—para koruptor terlindungi oleh proteksi yang sistematis dari para penguasa di atasnya. Itulah sebabnya, pemberantasan korupsi kerap kali sia-sia karena praktik tebang pilih atau pilih kasih.

Alhasil, perang terhadap korupsi—jika merujuk kepada jadwal liga sepak bola Indonesia—yang melelahkan.

Rakyat terhibur dengan cara-cara paksa seperti penggeledahan Gedung DPR atau jebak-menjebak saat temaram di hotel mewah oleh KPK. Pada saat rasa frustrasi sosial makin meluas, gebrakan demi gebrakan ala KPK tak ubahnya serangan-serangan tajam Manchester United yang berjuluk ”Setan Merah”.

Untungnya lagi, masyarakat yang telah lama pesimistis terhadap pemberantasan korupsi tidak lagi mau terjebak dalam ”kegilaan” (insanity). Pepatah bahasa Inggris mengatakan kegilaan sebagai ”doing the same thing and expecting a different result”.

Sebab, rakyat sebenarnya sudah lama lelah, ba’al, atau cuék terhadap janji-janji gombal setiap rezim yang bertekad menegakkan hukum. Marilah kita nikmati saja berbagai aksi menarik KPK.

Apalagi bangsa ini sejak dulu telanjur kompatibel dengan kultur paksa-memaksa. Belanda menerapkan tanam paksa, lalu Jepang memberlakukan rodi alias kerja paksa.

Sehari menjelang Proklamasi, Bung Karno dan Bung Hatta diambil paksa para pemuda ke Rangkasbitung. Untung Nagasaki dan Hiroshima dibom atom Amerika Serikat, memaksa Jepang menyerah dan Indonesia merdeka.

Pak Harto takkan lengser ing keprabon andai tidak dipaksa mundur. Saya belum tahu siapa yang memaksa Gus Dur mundur sebelum dipaksa wakil rakyat yang gedungnya baru saja digeledah KPK.

Ketua Umum PSSI belum mau mundur meski ditekan para penggemar, klub-klub liga, AFC, sampai FIFA. Kalau PSSI kalah, media massa menulis judul besar, ”Timnas Terpaksa Menyerah di Tangan Singapura”.

Saya jadi ingat gurauan tahun 1970-an saat rakyat gandrung ”film China”. Si cowok bilang kepada céwéknya, ”Wo ai ni. Ni ai wo ma? ”

Terjemahannya, ”Aku mencintaimu. Apakah kamu mencintaiku?” Rupanya cinta si cowok bertepuk sebelah tangan.

Ia marah dan mengancam, ”Ni bu yao, wo pakse”! Kamu enggak mau, saya paksa!

Hidup KPK!

No comments: