Wednesday, May 14, 2008

Kipling, Ratu Wilhelmina, dan Budi Utomo



Mulyawan Karim

”Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi Hindia Belanda.”

Dalam pidatonya, September 1901, Ratu Wilhelmina dengan tegas menyatakan, Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi Hindia Belanda. Orasi Ratu Belanda dalam sidang pembukaan parlemen itu kemudian umum disepakati sebagai momentum kelahiran faham atau aliran etis dalam kancah politik kolonial Belanda.

Banyak pihak meyakini, Ratu Wilhelmina mendapat inspirasi bagi pidatonya dari puisi The White Man’s Burden karya sastrawan Inggris, Rudyard Kipling, yang dipublikasikan untuk pertama kali dua tahun sebelumnya. The White Man’s Burden merupakan percikan permenungan Kipling atas nasib rakyat Filipina di tengah perang Amerika Serikat-Spanyol, 1898, untuk memperebutkan negeri mereka. Pesan yang ingin disampaikan Kipling lewat syair tujuh baitnya itu adalah bangsa-bangsa Barat memikul tugas suci untuk menyejahterakan dan mengangkat derajat bangsa jajahannya di seluruh muka bumi.

Kalaupun tidak sama sekali, puisi Kipling setidaknya bukan satu-satunya mata air inspirasi Ratu Wilhelmina. ”Sebelum The White Man’s Burden diterbitkan dalam majalah McClure’s pada 1899, sejumlah pejabat pemerintah, politisi, cendekiawan, dan sastrawan Belanda sudah mewacanakan gagasan itu.

Tunas pertama gagasan etis di Belanda muncul dari Pieter Brooshooft (1845-1921), wartawan yang pada masanya dikenal kritis terhadap pemerintah dan masyarakat Belanda. Seperti disebutkan sastrawan Indo-Belanda, Rob Nieuwenhuys, dalam buku Oost Indische Spiegel (Cermin Hinda Timur), antara 1883 dan 1884 Brooshooft menulis karangan sindiran yang menyoroti sikap masa bodoh warga Eropa di Hindia Belanda saat terjadi wabah kolera yang banyak menewaskan warga pribumi. Mereka baru peduli setelah ada warga kulit putih yang ikut jadi korban penyakit tropis itu.

Pada 1887, Brooshooft juga melakukan perjalanan berkeliling Pulau Jawa dan terkejut melihat kondisi kehidupan kaum pribumi. Ia kemudian menyampaikan imbauan kepada 12 tokoh terkemuka di Belanda untuk memahami dan memerhatikan ”keadaan yang sangat menyedihkan di Hinda Belanda, yang terjadi akibat kebijakan pemerintah Den Haag”.

Namun, di antara para etisis, tak dapat disangkal Theodore van Deventer (1857-1915) adalah yang paling dikenal dan berpengaruh di Belanda. Van Deventer adalah seorang praktisi hukum di Hindia Belanda yang kemudian menjadi politisi di negeri asalnya. Saat masih menjadi penasihat hukum bagi berbagai perusahaan swasta di Hindia Belanda, Van Deventer pernah menulis surat kepada orangtuanya. Di sana ia bilang, harus dilakukan sesuatu untuk kaum pribumi. ”Jika tidak, suatu hari bendungan akan jebol dan lautan manusia akan menelan kita semua,” seperti tertulis dalam surat tertanggal 30 April 1886.

Beberapa tahun kemudian, Van Deventer membuat karangan terkenal yang muncul dalam majalah De Gids (Panduan) pada 1899. Dalam tulisan berjudul ”Een Ereschuld” (Utang Budi) itu, ia menjelaskan, Nederland menjadi negara makmur dan aman karena adanya dana yang mengalir dari tanah jajahan di Asia Tenggara. Jadi, sudah sepantasnya Belanda mengembalikannya.

Dalam tulisan itu Deventer, yang kemudian menjadi anggota parlemen dari Partai Liberal, bahkan mendesak dikembalikannya semua dana hasil keuntungan yang diraup pemerintah Den Haag dari Hindia Timur sejak 1867.

Balas budi setengah hati

Meski difatwakan ratunya, Belanda tak pernah sampai menerjemahkan faham etis ke dalam kebijakan kolonial yang dilaksanakan secara konsekuen. Gagasan itu juga tidak mengakar secara luas dalam masyarakat Belanda di Hindia Belanda. Di negeri jajahan yang kemudian bernama Indonesia itu, faham etis hanya dipahami sekelompok kecil pejabat, cendekiawan, sastrawan, dan wartawan yang, meski jumlahnya kecil, memiliki pengaruh yang besar.

Padahal, faham etis sempat lama jadi wacana politik yang hangat. Seperti diungkap sejarawan Inggris, DGE Hall, dalam buku Sejarah Asia Tenggara (1988), politisi sosialis di parlemen Belanda bahkan sempat menjadikannya titik tolak untuk mengampanyekan doktrin ”Pemerintah Hindia untuk Hindia” yang berisi gagasan untuk memberikan hak desentralisasi atau otonomi bagi Hindia Belanda.

Dalam buku Nieuwenhuys di atas, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko, disebutkan, dalam praktiknya, haluan etis hanya menghasilkan perbaikan sistem persekolahan dan sejumlah usaha lain yang dilakukan secara hati-hati untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa pribumi. Pembangunan sarana irigasi, pendirian bank perkreditan rakyat, dan pengucuran bantuan bagi industri kerajinan rakyat adalah beberapa di antaranya.

Meski lewat politik etis kaum pribumi memiliki peluang lebih besar menikmati berbagai fasilitas ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, hal itu sama sekali tak bertujuan untuk benar-benar menyejahterakan rakyat Hindia Belada. Pendidikan yang ditujukan bagi kaum pribumi hanyalah bertujuan untuk menghasilkan tenaga birokrat rendahan yang diperlukan dalam struktur pemerintah kolonial. Politik etis tak lebih dari politik balas budi setengah hati.

Faktor eksternal

Bagaimanapun, faham politik etis dan berbagai kemajuan bagi kaum bumiputera yang dibawanya merupakan masa mulai memudarnya faham kolonialisme dan kekuasaan Belanda yang menyengsarakan. Kian terbukanya kesempatan bagi putra-putri Indonesia untuk mengenyam pendidikan menengah dan tinggi, termasuk di STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen/Sekolah Kedokteran Bumiputera), yang sudah berdiri sejak 1898 tak saja menghasilkan pemuda Indonesia yang berilmu, tetapi juga berwawasan luas dan sadar politik.

Meski tak dimaksud demikian, munculmya faham politik etis merupakan faktor internal Hindia Belanda yang memicu lahirnya kesadaran kebangsaan.

Kalau saja faham politik etis tak pernah muncul di Belanda, juga jika peristiwa internasional yang berdampak luas di atas tak pernah terjadi, mungkin tak akan lahir pula Dr Wahidin Sudirohusodo dan Dr Sutomo, pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan modern Indonesia yang pertama, yang hari berdirinya, 20 Mei 1908, sampai kini kita sepakati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

No comments: