Friday, May 2, 2008

Perintah Kiai-Kiai


Rapat gabungan DPP PKB pada Rabu malam, 26 Maret 2008, telah melakukan voting dan hasilnya meminta saya untuk mundur dari jabatan Ketua Umum DPP PKB.

Seperti dinyatakan oleh pimpinan rapat,dr Sugiat,saya diberi hak untuk menolak atau menerimanya. Malam itu saya tidak langsung memberi jawaban karena beberapa alasan.Pertama, karena menyangkut kepentingan organisasi,para kiai dan warga PKB yang berjumlah puluhan juta, saya merasa perlu untuk memikirkan secara mendalam dan saksama agar keputusan yang saya ambil adalah yang terbaik bagi PKB.

Kedua, dalam pandangan saya, secara substantif keputusan itu cacat hukum. Seperti diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Partai PKB No. 0 5 3 4 / D P P - 0 2 / I I I / A . I / I / 2 0 0 2 , personalia dewan pengurus dapat diberhentikan jika; (a) tidak aktif selama enam bulan, (b) jelas-jelas melanggar AD/ART partai, dan (c) menjadi pengurus partai lain.

Saya tidak pernah tidak aktif, tidak ada satu butir pun ayat dalam AD/ART yang saya langgar, saya juga tidak menjadi pengurus partai lain. Menyangkut jabatan ketua umum, pemberhentian hanya dapat dilakukan melalui muktamar, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ART PKB.

Beberapa waktu yang lalu,keputusan kasasi Mahkamah Agung juga sudah menyatakan bahwa pemberhentian ketua umum partai sebagai mandataris muktamar hanya sah bila dilakukan melalui mekanisme muktamar atau forum permusyawaratan tertinggi partai. Ketiga,keputusan rapat gabungan itu menurut saya secara prosedural juga cacat hukum.

Rapat DPP PKB tanggal 26 Maret 2008 adalah rapat gabungan sehingga rapat tersebut tidak memiliki kewenangan untuk membahas pemberhentian personalia dewan pengurus sebagaimana diatur Pasal 22 ayat (2) ART PKB.Jadi semua pemberhentian personalia dewan pengurus DPP PKB selama ini yang dilakukan melalui rapat gabungan adalah tidak sah dan cacat hukum.

Di luar masalah hukum (syar'i) seperti itu,ada masalah yang tidak kalah pentingnya, yaitu soal moral dan tanggung jawab terhadap amanah yang telah diberikan oleh Muktamar II PKB di Semarang, 16-19 April 2005. Berbeda dengan Ketua Umum Dewan Syura yang dipilih melalui penetapan setelah pemandangan umum DPWDPW, tanpa ada proses pemilihan,saya dipilih secara langsung dan aklamasi oleh DPW dan DPC-DPC se-Indonesia.

Karena itu, di samping beristikharah, saya juga melakukan konsultasi dan meminta nasihat kepada kiai-kiai, tokoh-tokoh NU, para pendiri dan deklarator PKB, serta tokohtokoh PKB di berbagai daerah. Dari proses seperti itulah saya kemudian berketetapan hati dengan niat menata kembali PKB dan menyelamatkan politik NU, saya memutuskan untuk tidak mundur.

KH A Mustofa Bisri, Rais Syuriah PBNU dan deklarator PKB,misalnya, menyatakan kepada saya bahwa kalau saya mundur akan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Saya juga sudah bersilaturahmi dengan Rais Am PBNU KH Sahal Mahfudh yang menyatakan hal yang sama.

KH A Malik Madani juga mendukung sikap saya untuk tidak mundur. Rais Syuriah PBNU itu menyatakan bahwa menyerah kepada kesewenang-wenangan yang tidak mengindahkan aturan sangat bertentangan dengan prinsip al-amru bilma'ruf wan-nahyu ?anil munkar yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Menyerah berarti mewariskan preseden buruk dalam perpolitikan umat.

KH Mahfud Ridwan Jateng bahkan secara khusus mengirim surat pribadi kepada saya yang meminta saya agar tetap berjuang menjaga dan melaksanakan amanah sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB sampai akhir periode pada 2010 nanti.Menurut Kiai Mahfud Ridwan, tidak ada alasan-alasan yang kuat secara organisasi maupun agama yang bisa dijadikan dasar untuk memaksa saya berhenti di tengah jalan ataupun mundur. Sementara kiai-kiai lain seperti KH Abdul Aziz Mansur Jombang,KH Subhan Ma'mun Brebes,dan KH Muhlas Dimyati Cirebon bahkan secara tegas mengharamkan saya untuk mundur.

Mundur berarti lari dari pertempuran, lari dari tanggung jawab, dan itu diharamkan dalam Islam. Kemudian pada 6 April 2008, dalam acara Silaturahmi Nasional Ulama NU dan PKB yang diikuti 103 kiai NU dan pengasuh pesantren se- Indonesia, para kiai memberikan fatwa bahwa, pertama, hasil Muktamar II PKB di Semarang merupakan bentuk kesepakatan tertinggi seluruh warga PKB (ijmak) dan karena itu merupakan bentuk perjanjian yang mengikat (al-?ahdu) seluruh pengurus dan warga PKB.

Ijmak dan al-?ahdu tersebut tidak dapat dibatalkan kecuali oleh forum yang sama tingkatannya. Kedua, para kiai meminta saya untuk tidak mundur dan tetap menjalankan mandat (amanah) Muktamar II PKB di Semarang sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB sampai berakhir masa jabatannya pada tahun 2010.

Ketiga, para kiai memerintahkan saya untuk menyelamatkan dan menata kembali manajemen PKB demi tegaknya kebenaran,hukum(AD/ ART), dan etika politik (al-akhlaq al-karimah), dengan menggunakan cara-cara yang dicontohkan para kiai dan ulama saleh terdahulu (as-salaf as-salih). Keempat, para kiai juga memerintahkan saya untuk terus berkomunikasi dan berkonsultasi dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan para kiai sehingga PKB bisa menjadi lebih membawa kemaslahatan bagi umat dan bangsa karena PKB lahir dari PBNU beserta para kiai dan merupakan alat perjuangan politik NU.

Bagi saya, sudah sangat tegas dan jelas bahwa para kiai dan deklarator PKB memerintahkan kepada saya untuk tidak mundur. Karena kalau saya mundur, itu hanya akan menguntungkan bagi segelintir orang di DPP PKB dan membiarkan kezaliman serta mudarat berkembang luas yang merusak sendi-sendi kehidupan partai.

Sementara kalau saya tidak mundur, hal itu akan lebih membawa maslahat bagi PKB secara keseluruhan yang dalam setahun terakhir ini mengalami karut-marut sistem karena syahwat politik yang tidak terkendali dari segelintir pengurusnya.(*)

A Muhaimin Iskandar
Ketua Umum DPP PKB

No comments: