Friday, November 23, 2007

Bila Golkar Minus Konvensi


M Alfan Alfian

Pada 22-25 November, Partai Golongan Karya menggelar rapat pimpinan nasional atau rapimnas di Jakarta. Rapat tersebut merupakan momentum penting dalam menghadapi Pemilu 2009. Selain evaluasi pemilihan kepala daerah, pembahasan di dalamnya tidak menutup kemungkinan juga tentang pencalonan presiden, apakah tetap melalui mekanisme konvensi atau tidak.

Untuk yang terakhir itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Jusuf Kalla sudah jelas berpendapat bahwa konvensi tidak akan dilakukan. Untuk mendapatkan calon presiden, DPP Partai Golkar tidak akan menerapkan aturan konvensi seperti menjelang Pilpres 2004, tetapi kembali pada prosedur dalam AD/ART Partai Golkar yang menetapkan pemilihan calon presiden melalui rapimnas paling cepat enam bulan sebelum dilakukannya pemilihan presiden pada Oktober 2009.

Jusuf Kalla yang juga Wakil Presiden mengatakan beberapa kritik atas penyelenggaraan konvensi menjelang Pemilihan Presiden 2004. Apabila diringkas, pertama, dalam sistem konvensi prosesnya baik, tetapi, yang masuk dan ikut konvensi adalah bermacam-macam orang (bintang film, pelawak, dan lainnya) sehingga "sama sekali tidak menggambarkan suatu kebesaran partai". Kedua, "hasilnya juga tidak berhasil" karena yang terpilih "bukan tokoh Golkar yang betul" (Kompas, 15/9/2007).

Walaupun menurut Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono mengatakan bahwa pencalonan presiden merupakan ungkapan dari pribadi-pribadi di Partai Golkar (Kompas, 15/9/ 2007), tetapi pernyataan Kalla merupakan sinyal besar bahwa Partai Golkar kali ini memang minus konvensi. Apakah ini sebentuk kemajuan atau kemunduran?

Tidak bermanfaat?

Apa yang dikemukakan oleh Jusuf Kalla tentu merupakan pandangan subyektifnya atas konvensi bahwa apa yang disampaikannya tidak didasari kajian yang mendalam dan komprehensif. Seolah konvensi tidak ada manfaatnya sama sekali bagi partai pemenang pemilu legislatif 2004 itu. Memang konvensi tak lepas dari latar belakang dinamika politik internal Golkar kala itu, serta pesertanya pun beraneka rupa dari paranormal Nasrullah Marzuki, Wiranto yang purnawirawan jenderal, hingga nyaris saja cendekiawan Nurcholish Madjid. Itu memang konsekuensi mekanisme konvensi yang merujuk pada Golkar sebagai partai cacth all dan pluralis.

Inovasi Partai Golkar kala itu diberitakan terus-menerus oleh media massa, dan respons positif (tidak sinis) dari masyarakat pun muncul. Cobalah cek kembali hasil jajak pendapat Cetro waktu itu bahwa dari 946 responden yang tersebar di lima kota besar menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden (58 persen) tidak setuju jika konvensi dianggap akal-akalan (Kompas, 9 September 2003). Terlepas dari banyak kritik, masyarakat melihat ada sesuatu yang menarik pada Golkar. Penilaian "akal-akalan" pun juga tak terbukti, mengingat yang menang bukan Akbar Tandjung, tetapi Wiranto.

Apabila Wiranto yang kemudian berpasangan dengan Salahuddin Wahid, gagal dalam Pilpres 2004, itu merupakan masalah lain. Penyebab kegagalannya banyak faktor dan tidak serta-merta dapat dialamatkan pada konvensi. Ingat pula bahwa faktanya Partai Golkar menang dalam pemilu legislatif 2004. Pelaksanaan konvensi sendiri dilakukan jauh sebelum pemilu legislatif dan diumumkan sebelum menjelang pemilu tersebut. Capres Golkar pun ikut berkampanye saat itu.

Penolakan konvensi Kalla terkesan lebih menekankan hasil akhir ketimbang menghargai proses. Mungkin begitulah salah satu style utamanya sebagai seorang pemimpin yang kebetulan berlatar belakang saudagar. Apabila Golkar sekadar bersandar pada asumsi bahwa kalau pemerintah sukses, maka tentu Golkar kena limpahan dukungan suara, maka bisa jadi keliru. Simpati atas keberhasilan pemerintah mungkin akan lebih banyak ditujukan ke partainya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Jusuf Kalla capres?

Walaupun masih banyak celah untuk dikritisi, Partai Golkar sudah mendapatkan citra positif atas inisiatifnya menyelenggarakan konvensi menjelang Pilpres 2004. Apabila "mendadak" DPP Partai Golkar saat ini memutuskan untuk meninggalkan konvensi, tetapi tanpa menyediakan alternatif inovasi politik yang jauh lebih menarik, maka tentu masyarakat akan bertanya-tanya. Bahkan, mungkin pula ada yang meragukan komitmen pembaruan Partai Golkar. Kalau dulu orang menilai konvensi merupakan ijtihad politik yang menempatkan Golkar selangkah lebih maju ketimbang partai-partai lain, maka ketiadaan konvensi menjadikan Golkar "selangkah lebih mundur".

Pilihan Kalla meniadakan konvensi cukup berisiko. Golkar bisa dianggap tak konsisten dengan citranya sebagai partai modern. Bisa saja kemudian citra Golkar tidak lebih baik dari yang diprediksikan oleh beberapa lembaga jajak pendapat belakangan. Golkar kini juga berada dalam lingkaran dilema. Belum tentu keberhasilan pemerintah berimbas positif pada Golkar, justru karena chemistry politik antara Kalla dan Presiden Yudhoyono yang dalam banyak hal terkesan tak solid. Apalagi kalau terbukti bahwa pada Pilpres 2009 Kalla sudah tidak lagi berpasangan dengan SBY.

Di sisi lain, tampaknya Golkar juga masih bimbang dengan pilihan-pilihan politik ke depannya. Apakah kira-kira semua faksi di tubuh Golkar telah mengikhlaskan Kalla sebagai capres Golkar kelak? Tentu saja prosesnya belum final, dan tentu dinamika politik internal Golkar akan terjadi. Bukankah Golkar adalah partai politik yang statis saja? Golkar harus pandai keluar dari dilemanya.

Kalau yang dijadikan ukuran adalah hasil akhir, maka kita lihat saja nanti hasil pemilu legislatif dan Pilpres 2009. Apakah hasil pemilu legislatif jauh lebih baik ketimbang 1999 dan 2004? Namun, yang jelas, "nasib" dan "sejarah masa depan" Golkar berada di tangan para politisi "delapan penjuru angin" sekaliber Surya Paloh, Agung Laksono, Aburizal Bakrie, dan yang lain, yang berkoalisi memenangkan Jusuf Kalla dalam Munas VI di Bali, akhir 2004 lalu.

M ALFAN ALFIAN Direktur Riset The Akbar Tandjung Institute dan Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

No comments: