Friday, November 23, 2007

Praktik Lobi yang Bertanggung Jawab


Agam Fatchurrochman

Kasus dugaan aliran dana BI ke legislator ataupun penegak hukum kian terkuak (Kompas, 10/11/07).

Namun, perhatian masyarakat masih tertuju kemungkinan suap dibandingkan dengan maraknya praktik lobi tidak bertanggung jawab dari kelompok kepentingan pengambil keputusan.

Dalam dunia bisnis dan politik, lobi suatu perusahaan terhadap pejabat publik adalah hal wajar. Namun, lobi telanjur dimaknai negatif, sebagai kesepakatan di bawah meja. Kini saatnya kita memikirkan agar lobi dilakukan secara bertanggung jawab.

Secara definisi, lobi adalah kegiatan memengaruhi legislatif atau pejabat publik lain untuk membela atau menolak suatu kepentingan (AccountAbility & UN Global Compact, 2005). Lobi di kalangan bisnis adalah bagian dari corporate political activity, yaitu kalangan bisnis melakukan kegiatan politik untuk memengaruhi pengambilan keputusan.

Ini adalah hal wajar karena tiap kelompok kepentingan, individu, ataupun bisnis sebagai corporate citizen berhak berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik.

Empat strategi

Ada empat strategi corporate political activity (Hillman, 1996, 1999). Pertama, strategi informasi, yaitu kelompok kepentingan mendekati pengambil kebijakan dengan menyediakan informasi sesuai kepentingannya. Ini bisa berupa membiayai studi dan diseminasi informasinya dalam seminar, lokakarya, dan lainnya.

Kedua, insentif keuangan, dengan memberi dana—legal atau ilegal—kepada pengambil kebijakan. Yang legal, misalnya, menyumbang kampanye kandidat dan partai sesuai UU pemilu. Cara lain, yang cenderung suap atau gratifikasi sesuai UU Korupsi No 20/2002, misalnya, memberi fasilitas kepada pejabat publik, memberi honor berjumlah besar sebagai pembicara suatu acara, atau suap secara langsung.

Ketiga, strategi akses personal, yaitu suatu organisasi menggunakan orang berpengaruh, biasanya mantan pejabat, sebagai pelobi yang diberi kedudukan komisaris di perusahaan. Atau sebaliknya, pengusaha atau pejabat perusahaan menjadi pejabat publik melalui pemilu.

Keempat, membangun konstituen untuk memengaruhi secara tidak langsung pengambil keputusan melalui pihak ketiga. Hal ini dapat dilakukan dengan memobilisasi karyawan atau konsumen, segala bentuk komunikasi publik seperti iklan, atau kegiatan pengembangan masyarakat. Contoh terbaru, bagaimana karyawan Telkom aktif mendukung manajemen dengan berdemonstrasi meminta pemerintah membatalkan pembukaan akses SLJJ kepada operator telepon lain.

Dalam kasus BI, strategi pertama dan keempat dilakukan bersamaan dengan membiayai berbagai seminar, lokakarya, penerbitan buku, dan kegiatan publik lainnya, bertujuan agar legislator, pemerintah, dan publik mendukung posisi BI dalam penyelesaian BLBI dan amandemen UU BI. Ini merupakan hal yang patut dipuji karena pelibatan stakeholders merupakan bagian dari lobi yang bertanggung jawab.

Hanya saja strategi kedua, insentif keuangan, dilakukan secara tidak terpuji. Dugaan aliran dana ke legislator untuk memengaruhi mereka mendukung posisi BI. Di sinilah kita perlu berbicara tentang lobi bertanggung jawab.

Konsisten

Kelompok think tank Inggris, AccountAbility, dan badan PBB, UN Global Compact (2005), mendefinisikan lobi yang bertanggung jawab sebagai tindakan yang konsisten dengan kebijakan dan strategi resmi perusahaan, berkomitmen ke stakeholders, dan mematuhi prinsip-prinsip universal etika bisnis, seperti UN Global Compact.

Kedua organisasi itu prihatin dengan banyaknya kesepakatan di bawah meja dalam praktik lobi bisnis dan pejabat publik serta mengimbau kalangan bisnis untuk mempertimbangkan tiga hal, yaitu agar perusahaan memastikan praktik lobi tidak bertentangan dengan pernyataan komitmen nilai-nilai mereka, transparan, dan responsif terhadap stakeholders dalam melakukan lobi, dan menerapkan sistem manajemen yang sehat dalam lobi.

BPK melaporkan, dana lobi BI itu berasal dari dana tambahan modal YPPI, lembaga pendidikan milik BI (Kompas, 10/11/07). Adapun dugaan aliran dana ke legislator jelas menyalahi komitmen nilai-nilai strategis BI (integritas, transparansi, akuntabilitas) yang menyatu dengan misi dan visi BI. Jelas praktik lobi dilakukan secara tidak bertanggung jawab.

Tantangan kita kini, membuat kerangka lobi yang bertanggung jawab. Kita bisa mencontoh AS dengan Lobbying Disclosure Act sehingga kita tahu berapa dana lobi perusahaan ke kandidat dan partai serta Uni Eropa yang kini sedang menyusun kebijakan serupa. Dalam hal profesi pelobi, AS dan Inggris mempunyai asosiasi pelobi profesional dengan kode etik yang ketat, yang bisa dicontoh pelobi profesional kita ataupun pelobi perusahaan, Department of External Relations.

Pansus RUU Pemilu dan Partai Politik perlu tegas memasukkan pasal tentang sumbangan ke partai politik dan kandidat, tidak hanya pada masa kampanye tetapi juga pada masa menjabat. KPK perlu memerhatikan soal suap dalam proses lobi pengambilan kebijakan publik. Maka, kita perlu bekerja sama membuktikan, lobi yang bertanggung jawab adalah hal wajar bagi bisnis sebagai good corporate citizen.

Agam Fatchurrochman Mantan Staf ICW, Kini Tinggal di Inggris

No comments: