Thursday, November 29, 2007

"Gerontocracy"


Oligarki Angkatan Babe Gue


HANDRAWAN NADESUL


Di perpolitikan kita masih hidup citra yang tua yang laik berkuasa. Orang ramai membincangkan selaiknya yang tua ABG—"angkatan babe gue"—kah yang berkuasa (gerontocracy) atau saatnya diduduki mereka yang "anak baru gede" (mandatory retirement ages)?

Motivasi konflik generasi punya banyak muatan. Bisa jadi betul sebuah kebutuhan, melihat angkatan babe gue yang berkuasa itu-itu lagi dinilai memble. Atau menginsafi seiring dengan nilai sosial di dunia tahun 60-an sudah bergeser, perlu ada yang berubah.

Belum pernah terjadi dalam sejarah waktu itu, kaum muda masuk ke dalam suatu pengaruh. Gerakan revolusi seksual, dan perlawanan mahasiswa di mana-mana, termasuk yang terjadi di sini, memperkuat arti kaum muda. Sayang momentum indah ini gagal ditembus mahasiswa kita karena kuatnya pentungan otoriter rezim Orde Baru waktu itu.

Atau lebih dari sebuah kebutuhan, di penglihatan psychopolitics, pemimpin uzur berisiko keracunan kekuasaan. Berambut putih di arena politik sekarang bukan lagi ikon panutan, kepemimpinan, dan kematangan, tetapi memberi peluang jahat bagaimana kekuasaan dijadikan perabot buat bikin cepat kaya. Dalam politik putih, adagium kian tua kian bersantan kini tak boleh lagi dipercaya. Untuk alasan itu pula mesin politik perlu tukar gigi agar yang sudah beruban turun dari tribun.

Di mata biopolitics tua kalender hanya menyisakan kearifan. Normal, sejalan bertambahnya umur, ratusan miliar sel otak rusak dan mati, dan kemampuan intelektual menyusut. Apalagi kalau pikun. Pengakuan Ronald Reagan setelah tidak menjadi Presiden AS, ia gamang bukan main karena sudah alzheimer semasih memerintah. Contoh betapa rawan kalau presiden sudah uzur. Keputusan presiden sekecil apa pun perlu otak bugar.

Plato seorang pendukung gerontocracy. Ia berujar, yang paling tua harus memerintah dan yang muda tunduk. Pujangga Lucretius melihat usia tua faktor penting menjaga oligarki, serta tidak mengizinkan kaum muda mendapatkan posisi dan haknya.

Berbeda pendapat Aristoteles. Katanya, orang uzur lebih baik menjauh dari kekuasaan. Ia merujuk pada tokoh Alexander Agung yang berhasil melebarkan kekuasaan sejak usia 22 tahun, lebih sebelas tahun lamanya.

Sejak abad ke-3 kaum tua yang dihormati semakin kehilangan pamornya. Faktor tua hanya sebuah nilai dalam masyarakat sebagai panutan dan pemberi nasihat saja. Kendati seorang John F Kennedy memperjuangkan hak kaum tua ("Grey Panther"), tetapi zaman kemudian tidak sepenuhnya mengharapkan itu lagi. Isu ageism lalu membara.

Pasca-Baby Boomers?

Angkatan berjuluk Baby Boomers yang meledak seusai Perang Dunia II, tergolong angkatan seumur Bill Clinton. Angkatan yang lahir sebelum 1964, setelah 1945. Merekakah yang sekarang sudah digolongkan uzur seturut X-Generation?

Merujuk kepada Confusius, ia mendalami pendidikan kearifan pada usia 15 tahun. Pada usia 30 tahun ia memperoleh rasa aman. Sudah tak mempunyai keraguan hidup pada usia 40 tahun. Pada usia 60 tahun sudah merasa tidak ada satu di dunia yang dapat mengguncangkan dirinya. Dan ia ingin menuruti semua keinginan dirinya setelah ia menginjak usia 70 tahun.

Di AS sendiri kualitas kepemimpinan (leadership) dianggap matang untuk jabatan kongres setelah berumur 25 tahun, setelah umur 30 tahun untuk senator, dan setelah umur 35 tahun untuk calon presiden. Tak ada lagi keberpihakan pada citra gerontocracy di kalangan posmo Amerika Serikat. Faktor pencapaian pendidikan seseorang lebih dijadikan indikator kapabilitas menduduki suatu jabatan melebihi faktor ras, jender, geografis, dan umur.

Sekarang tergantung dari muatan motivasi kita, konflik generasi yang berkembang apakah lebih sebagai kebutuhan, tren, atau ada faktor terselubung lainnya. Isu munculnya ageism sendiri tentu tidak bisa ditampik karena faktanya memang tidak sama kondisi angkatan babe gue dengan mereka yang lebih muda. Seberapa mudakah laiknya?

Kalau isu ageism yang mungkin dirasakan menyudutkan kaum tua dinilai demi menyelamatkan bangsa dan bukan ego pribadi, harus dinilai mulia tujuan mencari jalan baru supaya hidup berbangsa menjadi lebih berarti, seperti kata pujangga Lucretius, seabad Sebelum Masehi.

Jika kaum muda dalam berpolitik berani menafikan makna senioritas, sebagai kaum yang lebih berpengalaman, berkearifan, sembari punya keniscayaan pada muatan intelektualitas diri, konflik generasi dan isu ageism secara damai perlu dirundingkan dan diselesaikan. Kalau sintesa kearifan dan kekuasaan saja diniscayai tidak kunjung menyelesaikan masalah bangsa, mengapa tidak?

HANDRAWAN NADESUL Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan, Penulis Buku

No comments: