Thursday, November 29, 2007

ruang peradaban


Kota Tanpa Spirit Kekotaan


Triyono Lukmantoro


Masih layakkah sebuah wilayah dinamakan kota jika masalah klasik semacam kemacetan dan banjir selalu datang menghantui? Sebenarnya, tidak. Namun, itulah problem abadi yang harus segera ditangani Jakarta, suatu wilayah yang telanjur mendapatkan predikat sebagai kota metropolitan. Kota-kota lain di Indonesia pasti akan menghadapi masalah serupa. Jumlah penduduk semakin bertambah banyak. Aneka ragam kendaraan bermotor terus berjejalan. Perusakan lingkungan menjadi-jadi. Polusi sulit dikendalikan. Puncaknya, nilai-nilai kemanusiaan pun diempaskan.

Semua itu dapat berlangsung berkepanjangan tanpa mampu dijinakkan. Sebab, kota sekadar dipandang dan dikelola secara fisik. Kota hanya dibangun untuk membedakannya dari kategori geografis yang menjadi kutub oposisionalnya, yakni desa.

Memang benar bahwa kota sangat berbeda dengan desa. Kota lahir dan hadir dengan menggelar sejumlah perumahan mewah, pusat-pusat perbelanjaan, bangunan-bangunan menjulang tinggi, dan jalan-jalan yang lebar. Namun, persoalan yang selalu diabaikan oleh kalangan birokrat yang menjadi penguasa perkotaan adalah kota bukan hanya bermakna fisiologis.

Kota pada dasarnya memiliki makna filosofis sebagai lokasi bagi aktivitas-aktivitas berbobot strategis, seperti pendidikan, kebudayaan, perekonomian, dan bahkan keagamaan. Semua aktivitas ini hanya dapat dijalankan dengan baik apabila kalangan pengelola perkotaan mampu menjalankan kekuasaan dengan bijak. Ini karena kota tidak mampu berdiri kokoh tanpa disangga wilayah-wilayah pedesaan yang berada di sekitarnya.

Konsentrasi modal-finansial

Kemacetan yang terjadi di Jakarta bukan semata-mata akibat jumlah kendaraan meningkat setiap tahun. Kemacetan itu tidak juga sekadar disebabkan oleh jumlah ruas-ruas jalan yang dibangun tidak sebanding dengan jumlah kendaraan bermotor yang berlalu-lalang. Seluruh kejadian tragis itu dipicu oleh terkonsentrasinya modal-finansial di kota ini. Padahal, modal-finansial tidak mungkin dibiarkan menganggur. Modal-finansial harus diakumulasikan untuk mencapai profit secara maksimal. Ironisnya, modal-finansial itu tidak pernah bergerak keluar dari Jakarta. Artinya, Jakarta dimanjakan modal-finansial secara eksklusif.

Akhirnya, Jakarta menjadi tujuan utama migrasi yang lazim disebut sebagai urbanisasi. Migrasi disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, faktor pendorong (push factor) yang menjadikan penduduk berpindah karena alasan untuk mendapatkan pekerjaan atau pendidikan yang layak. Hal ini memberikan pengertian bahwa di desa dan kota-kota kecil tidak tersedia lapangan kerja dan fasilitas pendidikan yang baik. Kedua, faktor penarik (pull factor) yang mengakibatkan penduduk tersedot ke Jakarta karena semua fasilitas kehidupan memang tersaji secara sempurna di kota ini. Untuk meraih apa yang dicita-citakan, atau mengukur perolehan kesuksesan, seolah-olah penduduk harus berpindah ke Jakarta.

Oleh karena itu, tepat apa yang dikatakan Vidal de la Blache (sebagaimana dikutip Ira Katznelson, Marxism and the City, 1992: 1) ketika menuliskan masalah perkotaan pada 1898: "Alam menyiapkan ruangan dan manusia mengorganisasikannya dalam bentuk tertentu untuk memenuhi hasrat dan keinginan mereka."

Kalau Jakarta masuk dalam perangkap kemacetan bukanlah karena kekeliruan geografis yang telah tersedia dengan baik. Jika Jakarta berulang kali terendam banjir bukan pula karena alam tidak lagi menunjukkan keramahan. Demikian juga, bukan kesalahan lingkungan jika penduduk Jakarta terkerangkeng polusi yang tiada terperi. Itu semua menunjukkan atau memberikan cerminan yang sangat sempurna bagaimana kota dikelola hanya untuk melunasi hasrat dan keinginan para pengelolanya yang bersifat sesaat.

Ruang peradaban

Sebuah wilayah hanya pantas disebut kota jika di sana terjadi gerak peradaban yang menghormati dan meluhurkan nilai-nilai kemanusiaan. Bukan berarti kota jenis ini tidak ada presedennya dalam sejarah umat manusia. Kota semacam ini pernah hadir dalam ruang histori manusia yang terwujud sebagai polis (negara-kota) dengan nama Athena atau Sparta.

Dari nama polis inilah muncul dan populer kegiatan-kegiatan peradaban manusia yang dinamakan dengan politik. Memang benar bahwa polis berkembang secara mapan dalam periode sejarah pra-industrial. Ukuran polis sangat kecil dan unit-unit aktivitas manusia, seperti kekuasaan, keagamaan, dan kebudayaan, mampu membentuk jalinan yang kohesif.

Membalikkan Jakarta menjadi polis sebagaimana yang pernah terjadi pada era Athena atau Sparta tentu saja adalah utopia. Pesan penting yang hendak diberikan penegasan adalah kota selayaknya bernapas dan berkembang bagaikan polis yang memberikan keluhuran bagi perkembangan peradaban. Ini dikarenakan munculnya terminologi peradaban (civilization) hanya bisa dipahami jika dikaitkan dengan kehadiran kota (city) itu sendiri.

Definisi civilization, sebagaimana diungkapkan Michael Payne (dalam A Dictionary of Cultural and Critical Theory, 1996: 1), memiliki relevansi erat dengan konsep civis, civilis, civitas, atau civilitas, yang memiliki rujukan pada kehidupan warga dalam kota-kota yang secara politik berkembang dengan baik. Kehidupan yang serba beradab dan sangat memuliakan manusia itu sangat kontras dengan kenyataan yang terjadi di pedesaan, wilayah barbarian, atau pola pastoral yang dianut manusia-manusia dari suku-suku pedalaman.

Jadi, konklusinya adalah kota merupakan ruang peradaban (city is space of civilization). Jika Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia memungkiri sifat dasar ini, maka pantas disebut sebagai kota yang hidup bagaikan monster yang menggeliat dengan menebarkan segala jenis ancaman menakutkan, seperti kemacetan, banjir bandang, polusi, atau kejahatan. Itulah yang dinamakan kota tanpa spirit kekotaan.

Triyono Lukmantoro, Pengajar Sosiologi Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang

No comments: