Wednesday, November 21, 2007

Ekonomi Pasar Sosial?


Sonny Mumbunan


Belum lama ini, kaum muda membuat ikrar. Saatnya yang muda, progresif, dan kerakyatan memimpin. Bagi mereka, kereta sejarah sekadar berhenti sebentar di stasiun bernama kapitalisme.

Dalam usulan tata ekonomi-politik masyarakat baru, kaum muda mengajukan sosial-demokrasi (sosdem) dan ekonomi pasar sosial (epasos) dalam satu tarikan napas. Pengamat politik Sukardi Rinakit, pengucap ikrar, menulis sketsa tentang tata masyarakat itu (Kompas, 9/10/2007).

Agaknya, kereta baru milik kaum muda itu bakal mogok. Bahan bakarnya keliru pada aras konsep. Tak serupa dengan pemahaman umum, epasos bukan seperti mencangkok buah mangga. Apa yang baik dari kapitalisme, efisiensi pasar misalnya, disandingkan hal-hal baik dari sosialisme, seperti akses dan kendali semua orang atas sumber daya. Diharapkan buah hasil cangkok adalah pasar yang berkeadilan sosial.

Peletak teori epasos, Alfred Mueller-Armack (1956), tidak bermaksud membuat cangkokan seperti kaum muda itu.

Dalam pandangan ekonom, sosiolog, dan anggota Partai Kristen Demokrat Jerman (CDU)—partai penganjur keutamaan pasar—persaingan harus menjadi prinsip utama koordinasi dalam pengelolaan masyarakat. Inti konsepnya, Soziale Martkwirtschaft, yang di sini disingkat epasos, diperas dari pikiran Friedrich von Hayek dan Walter Eucken, penganjur ekonomi pasar liberal.

Ide epasos

Ide epasos dibangun di atas keutamaan ekonomi pasar yang kompetitif, saat inisiatif bebas setiap orang di bidang ekonomi yang dipilihnya secara bebas dijamin. Untuk itu, diperlukan kerangka kelembagaan (rahmenordnung) yang secara jelas menjamin persaingan. Pada titik ini, pada kadar tertentu, ada kemiripan usulan kelembagaan Mueller-Armack dengan yang sering diajukan ekonom Faisal Basri, tokoh yang turut berikrar.

Apa yang sosial dalam epasos? Kerangka kelembagaan itu menjamin pencapaian pribadi dalam seluruh bidang kemajuan masyarakat, bersamaan sistem perlindungan sosial untuk lapisan yang secara ekonomi lemah. Campur tangan negara harus sepadan dengan ekonomi pasar sesuai penciptaan pendapatan yang terkait pasar. Artinya, tujuan sosial harus melalui kebijakan yang "taat pasar" (marktkonforme). Lugasnya? Tujuan sosial tidak boleh dicapai dengan mengganggu mekanisme harga dalam sistem pasar.

Berikut contoh kebijakan yang mirip epasos. Perlindungan warga miskin akibat pencabutan subsidi BBM tidak boleh mengganggu mekanisme pasar dalam penentuan harga BBM. Subsidi BBM harus dicabut karena tidak sesuai dengan mekanisme pasar dan tidak efisien. Lalu, rakyat paling miskin serentak mendapat bantuan yang terdefinisi, tidak menyeluruh. Dalam epasos, ini efisien sekaligus sosial.

Contoh lain soal air. Harga air yang terjangkau orang miskin tidak boleh mengganggu prinsip cost recovery dalam pengadaan air secara keseluruhan. Dalam epasos, privatisasi PDAM dan prinsip harga air ala pasar tetap harus dijalankan.

Bagaimana dengan sosdem? Pemilahan politik lazim menempatkan sosdem pada sebelah kiri spektrum. Karena kapitalisme dalam produksi sosial diyakini berpotensi meminggirkan sebagian besar masyarakat, sosdem menjadi "penawar" bagi "racun" kapitalisme. Pokok ini tidak dilihat dengan pendekatan ekonomistis semata. Dalam sejarah dan praktik politik, wujud dan isi sosial-demokrasi lebih sering merupakan buah pertarungan ide dan kebijakan, antara yang "kiri" dan "kanan".

Tindakan ganjil pernah dilakukan Partai Sosial Demokrasi Jerman (SPD). SPD mengambil konsep epasos sekaligus mencomot namanya. Wujud kebijakan itu tampak nyata di bawah pimpinan Gerhard Schroeder. Hasilnya? Sosdem yang awalnya dikonsepkan menjadi penawar kapitalisme berubah menjadi pendukung fungsi mekanisme pasar. SPD ditinggalkan pendukung tradisionalnya, anggota serikat buruh. Partai sendiri pecah.

Pada hari yang sama, 28 Oktober 2007, saat elite muda di Jakarta berikrar di Gedung Arsip Nasional, SPD menutup kongres partai di Hamburg, Jerman. Dalam kongres, mayoritas anggota partai sepakat "meninjau ulang" konsep ekonomi pasar sosial dan "kembali" kepada visi sosialisme demokratis, yang menjadi prinsip tindak-tanduk politik (Hamburger Programm—Grundsatzprogramm der SPD, Oktober 2007). Program partai sebelumnya ditulis 18 tahun lalu, saat sosialisme negara di ujung bangkrut dan neoliberalisme menguat di bawah Ronald Reagan dan Margareth Thatcher.

Hari-hari ini, menindaklanjuti amanat kongres, SPD mengevaluasi koalisi pemerintahannya untuk berbagai tema seperti upah minimum atau privatisasi badan usaha milik negara. Bersama Partai Kristen Demokrat (CDU) dan Partai Uni Sosial Kristen (CSU), SPD menjalankan pemerintahan koalisi dengan Angela Merkel (CDU) sebagai kanselir.

Asal comot

Epasos rupanya bukan milik kaum "progresif kerakyatan", seperti dipahami pengikrar. Maka, kaum muda itu dituntut mendefinisikan secara jelas dan runtut isi konsepnya. Tidak kalah penting, mencari nama konsepsional baru yang lebih cocok dan "bukan asal comot" nama.

Negeri yang kaya tetapi banyak orang miskin ini terlalu ruwet untuk ditangani sebuah aliran pemikiran. Diharapkan, di masa datang, berbagai kelompok anak muda lain kian berani tampil, percaya diri, dan terbuka, berkata "kami bangga jadi neoliberal!", sebagai tanggapan kian meluasnya sentimen sosialis.

Perdebatan aneka kutub pemikiran akan menentukan mutu gagasan negara kesejahteraan, sosial-demokrasi, atau kecenderungan abstraksi lain dalam label jalan ketiga. Kebiasaan cangkok-mencangkok pemikiran, yang sering berlawanan ide logisnya, bisa pelan-pelan dikurangi. Dari situ, semoga demokrasi dapat didalamkan, dengan definisi baru atas peran pasar, negara, dan komunitas.

Orang-orang muda pun tak kurang bermasalah dengan gerbong keretanya. Dalam demokrasi parlementarian, partai politik adalah alat artikulasi konsep paling memadai dan menyeluruh. Perlu bagi kaum muda membangun partai sendiri untuk memenangkan konsep tentang bentuk-bentuk pembagian sumber daya dalam masyarakat secara adil sekaligus efisien. Jika tidak, tudingan akan datang, mereka sekadar meminta kekuasaan dari kaum tua yang mereka kritik. Atau, ikrar mereka dianggap sekadar sebuah pembicaraan santai akhir pekan.

Tanpa partai, di atas Bumi, tak ada yang bisa ditumpangi kaum muda menuju stasiun sejarah berikutnya. Apa pun nama stasiun itu.

Sonny Mumbunan Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi; Meneliti di Helmholtz Gemeinschaft, Jerman

No comments: