Friday, November 23, 2007

Konvensi Golkar dan Pembelajaran Demokrasi


Akbar Tandjung


Perlu-tidaknya Partai Golkar menyelenggarakan konvensi pemilihan capres 2009 masih menjadi pembicaraan hangat. Para pengamat politik umumnya sepaham, pelaksanaan konvensi yang demokratis merupakan mekanisme yang patut diapresiasi.

Sejauh ini yang paling rajin menyuarakan tidak perlunya konvensi adalah Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla. Menurut Kalla, konvensi amat melelahkan dan membuang waktu, menghasilkan orang yang tidak pantas, seperti pelawak, paranormal, dan artis, serta pemenang ternyata kalah dalam Pilpres 2004. Bahkan Kalla mengatakan konvensi telah menyimpang dari AD/ART Partai Golkar dan tidak memberi manfaat bagi partai (Suara Karya, 21/11/2007).

Kalla menghendaki, mekanisme pemilihan capres cukup melalui survei, kemudian ditetapkan dalam rapimnas. Bagi Kalla, yang lebih penting adalah hasil akhir, bukan proses. Pandangan itu mengedepankan pola pikir yang amat praktis, bahkan pragmatis.

Lanjutkan konvensi

Penulis menghormati Kalla, tetapi tidak sependapat dengan pandangan itu dan menghendaki tradisi konvensi dilanjutkan.

Dalam AD/ART, tidak khusus diatur tata cara penetapan capres Partai Golkar. Oleh karena itu, konvensi harus dilihat sebagai inovasi politik yang tidak bisa dikatakan bertentangan dengan AD/ART. Juga terlalu naif jika dikatakan konvensi tak memberi manfaat apa pun bagi partai.

Bagaimanapun, politik tidak boleh hanya dilihat dari hasil akhir, tetapi juga proses. Proses politik yang baik, demokratis, dan berkualitas akan memberi hasil yang baik pula.

Konvensi Partai Golkar 2004, tidak ujuk-ujuk hadir, tetapi merupakan proses pergulatan pemikiran, kreativitas, kemampuan melihat peluang dan momentum. Politik bukan sesuatu yang kosong, tetapi sarat dengan nilai, salah satunya yang esensial adalah nilai-nilai demokrasi.

Di sisi lain, konvensi merupakan penghargaan bagi seluruh jajaran partai, sebagai subyek yang ikut mengambil keputusan penting dan strategis. Ini disebabkan proses konvensi melibatkan infrastruktur partai dari bawah sehingga partai menjadi dinamis dan solid.

Praktik konvensi di negara yang sudah mapan demokrasinya seperti di AS pun terus disempurnakan. Namun, sebagai sebuah aturan main, konvensi lazim dipraktikkan di negara demokrasi. Jika capres pemenang konvensi kalah dalam pilpres, tidak relevan menyalahkan konvensi, apalagi kemudian ditiadakan. Di AS konvensi sudah dimulai sejak 1832 (Partai Demokrat) dan 1856 (Partai Republik) dan berlangsung hingga kini.

Meniadakan konvensi bukan jalan keluar yang bijak karena yang diperlukan adalah perbaikan sehingga konvensi menjadi lebih berkualitas, demokratis, dan efisien, figur yang muncul benar-benar terbaik. Inilah yang harus menjadi perhatian partai.

Dalam pandangan ahli politik, Kennet H Janda (1992), pada sistem kepartaian yang demokratis, konvensi nasional (national convention) untuk menetapkan capres dari partai, memiliki peran amat penting untuk mengetahui secara lebih utuh siapa capres yang akan dipilih.

Dalam konvensi, visi dan program yang ditawarkan kandidat diuji secara terbuka dan demokratis. Konvensi juga berfungsi menetapkan strategi partai dalam menghadapi pilpres. Bagi Partai Golkar, konvensi bernilai strategis dan taktis sebagai "pelumas politik" guna menggerakkan semua mesin partai dalam menghadapi agenda politik, terutama pilpres.

Pertahankan konvensi

Sejumlah pengamat politik menyatakan, Partai Golkar sebaiknya mempertahankan konvensi dengan beberapa perbaikan. Sejalan dengan itu, perbaikan yang dimaksud antara lain menjamin transparansi dan kedewasaan berpolitik sehingga politik uang dihindari.

Arti penting lainnya, konvensi harus dipahami sebagai kulminasi proses demokratisasi internal partai yang membuka peluang bagi tokoh-tokoh partai untuk mengaktualisasikan diri, termasuk kesempatan mencalonkan diri sebagai pimpinan nasional.

Konvensi telah terbukti turut mengangkat citra Partai Golkar di mata masyarakat (hasil penelitian Cetro, 2004) dan diyakini berpengaruh positif bagi kemenangan partai dalam Pemilu 2004. Jika tidak melakukan konvensi, masyarakat bisa menilai Partai Golkar tak sungguh-sungguh menjalankan demokratisasi, bahkan bisa dianggap mundur (set back).

Kebijakan penyelenggaraan Konvensi 2004 dilakukan melalui proses pengambilan keputusan secara demokratis dalam internal partai, melibatkan struktur partai dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Saat itu nyaris tidak ada elite Partai Golkar menolak gagasan konvensi. Konvensi bahkan disambut antusias sebagai terobosan dan inovasi politik. Bahkan ada yang mengusulkan agar melibatkan grass root.

Anehnya, elite-elite yang sama kini menolak penerapan gagasan itu. Kelihatannya, hal ini terkait berbagai kepentingan politik individu jangka pendek, bukan untuk kepentingan penguatan kelembagaan partai ke depan sebagai partai modern.

Seandainya benar, hal ini amat disayangkan.

AKBAR TANDJUNG Ketua Umum Partai Golkar 1998-2004

No comments: