Monday, November 19, 2007

Memangkas Pemerintah (Pusat)


Eko Prasojo

Salah satu paradoks yang dihadapi negara ini adalah terjadinya pembengkakan struktur pemerintah di tingkat pusat.

Menjadi paradoks karena komitmen politik nasional sejak tahun 1999 adalah penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi. Anehnya, dari sisi struktur kelembagaan dan belanja pemerintahan, praktik penyelenggaraan pemerintahan masih bersifat sentralistik.

Tidak mengherankan jika pelaksanaan otonomi daerah tidak saja kurang signifikan mengurangi ketimpangan pusat dan daerah (vertical imbalance), tetapi juga tidak banyak meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah.

Pemangkasan struktur dan belanja pemerintah pusat diperlukan, bukan saja untuk lebih memaksimalkan pembangunan yang terdesentralisasi, tetapi karena hal ini merupakan titik awal reformasi administrasi di Indonesia.

Terlalu besar

Dalam catatan penulis, kini ada 36 departemen/kementerian (termasuk tiga lembaga pemerintah setingkat menteri), dan 25 lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) sebagai struktur kelembagaan pemerintah pusat. Jumlah ini belum termasuk komisi, dewan, dan badan yang dibentuk untuk melakukan tugas pokok tertentu, baik yang diamanatkan UUD 1945 maupun undang-undang.

Pembengkakan struktur ini amat kontradiktif dengan semangat dan nilai pemerintahan desentralistik yang menjadi komitmen nasional. Dengan prinsip "uang mengikuti fungsi", struktur yang besar di tingkat pusat akan diikuti jumlah belanja yang juga besar. Dari total belanja negara dalam APBN 2007 sebesar Rp 763,5 triliun, komposisi belanja pemerintah pusat adalah Rp 505 triliun (66 persen). Adapun belanja daerah sebesar Rp 259 triliun (34 persen).

Proliferasi struktur dan belanja pemerintah pusat ini cenderung tidak berhenti, bahkan terjadi secara internal di dalam departemen/LPND sehingga semakin membingungkan filosofi dan arah pemerintahan Indonesia yang akan dibangun.

Refleksi dua kepentingan

Politik pembengkakan struktur pemerintah pusat sebenarnya merefleksikan dua kepentingan.

Pertama, adanya kepentingan partai politik dan elite politik di tingkat pusat untuk memperkuat kooptasi terhadap sumber daya dan mesin birokrasi pusat demi tujuan-tujuan politik tertentu. Tidak mengherankan apabila pengisian jabatan menteri dan pos-pos direktur pada awal pemerintahan seorang presiden, termasuk isu penggantian kabinet, selalu menjadi pusat perhatian partai-partai politik untuk memasukkan kadernya dalam pemerintahan. Hal ini tidak bisa dipisahkan dengan upaya untuk mengakomodasi kepentingan koalisasi politik yang dibangun. Jadi kementerian baru perlu dibentuk dan kementerian lama perlu dipertahankan meski tidak memiliki relevansi dan fungsi dengan tercapainya tujuan-tujuan bernegara. Akibatnya, pemerintahan yang kaya struktur dan miskin fungsi serta tumpang tindih tugas pokok dan fungsi menyebabkan inefisiensi pemerintahan. Kondisi ini belum termasuk kemungkinan terjadinya korupsi yang kian besar, dengan semakin banyaknya jumlah struktur kelembagaan pemerintah pusat.

Kedua, kepentingan pemerintah pusat untuk terus mempertahankan hegemoni (baik finansial maupun kekuasaan) terhadap pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pengurangan dan pembatasan struktur kelembagaan di pusat dikhawatirkan mengurangi pengaruh pusat terhadap pemerintahan daerah. Hal ini memberi indikasi, politik desentralisasi pemerintahan masih belum diikuti komitmen politik yang besar untuk merombak struktur pemerintahan di tingkat pusat. Padahal hampir semua bidang urusan pemerintahan (sesuai UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah) telah diserahkan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Adalah hal yang amat paradoks jika tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan diserahkan kepada pemerintahan daerah, tetapi struktur kelembagaan dan belanja pemerintah pusat masih amat besar.

Reformasi struktur di pusat

Isu "tambunnya" struktur kelembagaan di pemerintah pusat ini sejatinya merupakan fokus utama reformasi birokrasi. Oleh karena itu, agenda mendesak yang harus dilakukan pemerintah dalam rangka reformasi birokrasi adalah melakukan restrukturisasi atau pemangkasan terhadap kelembagaan pemerintah pusat.

Namun, perlu disadari, melakukan pemangkasan struktur pemerintah pusat membutuhkan komitmen politik yang kuat, tidak saja dari Presiden sebagai kepala pemerintahan, tetapi dukungan politik dari DPR. Dasar hukum pemangkasan harus bertolak dari beberapa hal.

Pertama, batas-batas kekuasaan Presiden untuk membentuk kementerian negara sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UUD 1945.

Kedua, politik desentralisasi sesuai Pasal 18 UUD 1945 dan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Ketiga, semangat pemberantasan korupsi sebagaimana diatur dalam UU No 28/1999.

Keempat, reformasi birokrasi yang menjadi semangat penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik berpihak kepada masyarakat.

Pemangkasan struktur kelembagaan pemerintah pusat adalah salah satu cara untuk mengurangi beban keuangan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Selain itu, hal ini juga bertujuan memperkecil kesempatan terjadinya korupsi dalam lembaga-lembaga birokrasi di tingkat pusat.

Sesuai semangat desentralisasi pemerintahan, titik berat kewenangan kementerian sektoral di tingkat pusat adalah membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria. Dengan demikian, sejumlah kementerian yang sejenis harus dapat digabungkan dan bila perlu dihapuskan, sedangkan struktur internal birokrasi, mulai direktorat jenderal sampai seksi, harus memiliki desain struktur yang minimalis.

Departemen dan LPND yang tetap dipertahankan harus merevitalisasi tugas pokok dan fungsinya. Kebijakan pemangkasan struktur pemerintah pusat merupakan strategi alternatif dari sisi pengeluaran negara untuk mengatasi persoalan defisit keuangan negara yang disebabkan oleh naiknya harga minyak dunia.

Strategi pemangkasan jumlah kementerian dan LPND merupakan titik awal komitmen pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi.

Eko Prasojo Guru Besar FISIP Universitas Indonesia

No comments: