Monday, November 26, 2007

Perempuan, Politik & Kekuasaan

Pada 20-22 November 2007, Nasyiatul Aisyiyah (Nasyiah) menyelenggarakan tanwir di Medan, Sumatra Utara. Tanwir kali ini mengusung tema "Membangun Mainstream Berkesetaraan dalam Pendidikan untuk Mewujudkan Karakter Bangsa". Tema ini cukup menarik.

Pertama, meski belum menjadi mainstream, tapi upaya melakukan pembangunan dengan memerhatikan kesetaraan gender dalam satu dekade terakhir mulai mendapat tempat, terlebih di kalangan pembuat kebijakan. Apalagi dalam konteks global, Deklarasi Beijing telah memberikan penguatan akan wacana ini.

Kedua, tema ini diangkat ketika bangsa ini tengah kehilangan karakter dan jati dirinya dalam aspek apa pun, terlebih dalam konteks politik. Ketiga, tema ini diusung organisasi perempuan yang mempunyai keanggotaan hingga massa akar rumput (ranting/desa). Hal ini tentu akan lebih mempunyai makna dan bobot yang kuat, ketimbang yang mengusung organisasi papan nama.

Konteks tulisan ini akan lebih menyoroti kaitan tema tanwir dengan politik dan kekuasaan. Kenapa? Berdasarkan penelitian di banyak negara, diperoleh data bahwa ada nilai-nilai khas perempuan seperti kepekaan terhadap kehidupan orang miskin, anak maupun kelompok minoritas, tidak menyukai caracara militeristik, lebih pada upaya damai, bersedia bekerja secara kolektif, dan mendorong tercapainya perubahan.

Nah, nilai-nilai khas inilah yang saat ini nyaris tidak dimiliki oleh hampir kebanyakan politisi yang dipenuhi kaum laki-laki dan hanya sedikit perempuan. Akibatnya, selain kebijakan-kebijakan yang dibuatnya cenderung bias gender, juga kepekaan dan ruh keberpihakan kepada masyarakat nyaris tidak ada.

Kenyataan ini merupakan kesempatan dan sekaligus tantangan tersendiri bagi kaum perempuan untuk tampil ke panggung politik praktis, tentu dengan kemampuan yang dimilikinya dan ditopang dengan nilai-nilai khas tadi serta bila perlu tidak usah "mengemis" meminta affirmative actionyang selama ini kerap diteriakkan sebagian dari penggiat gender lain yang notabene juga perempuan.

Hambatan Kultural

Memang tidak mudah untuk bisa menggapai kesempatan tersebut mengingat adanya faktor-faktor krusial yang selama ini terbukti cukup ampuh menghambat keterlibatan perempuan dalam politik. Dua faktor berikut merupakan faktor paling determinan. Pertama, doktrin dan tafsir keagamaan yang mapan cenderung bias gender.

Dalam konteks historis, doktrin dan tafsir keagamaan mapan tersebut muncul lantaran sebagian besar ulama (fiqh) yang banyak mengeluarkan fatwa hukum banyak didominasi kaum laki-laki. Meskipun mulai "diabaikan" masyarakat, namun membuminya doktrin dan tafsir mapan tersebut masih terlihat ketika misalnya terjadi perhelatan politik, seperti pilpres, pilgub, pilbup/wali kota, saat fatwa-fatwa agama akan bermunculan bila dalam perhelatan politik tersebut muncul calon dari kaum perempuan. Kedua, budaya politik patrimonial.

Dalam budaya politik seperti ini, "garis laki-laki" akan mempunyai posisi yang sangat menentukan. Sehingga tidak mengherankan kalau dalam budaya seperti ini laki-laki tampil dominan. Sementara hambatan lainnya lebih bersifat pribadi yang melekat pada diri perempuan.

Pertama, kenyataan bahwa keterampilan politik perempuan masih rendah. Penyebabnya tidak lain karena perempuan sejak kecil jarang dihadapkan pada dunia politik yang sangat kompetitif dan dianggap sebagai negatif, kotor dan "tidak pantas" bagi perempuan. Kedua, perempuan tidak memiliki akses yang cukup.

Ketiga, beban pekerjaan rumah tangga yang pada batas tertentu bisa menghambat partisipasi politik. Keempat, adanya stereotip negatif terhadap partisipasi politik perempuan atau menganggap rendah kemampuan politik perempuan yang terkadang dipercayai oleh perempuan sendiri. Kelima, adanya kecenderungan dari lembaga formal, terlebih partai politik untuk membuat aturan yang tidak bersahabat bagi kepentingan politik perempuan.

Nasyiah dan Politik

Kenyataan di atas merupakan tantangan tersendiri bagi organisasi seperti Nasyiah. Di sini dibutuhkan akselerasi bagi terwujudnya "maistream berkesetaraan". Dan untuk bisa mewujudkan hal ini tentu tidak harus diperoleh melalui jalan affirmative action yang cenderung instan.

Yang dibutuhkan adalah adanya keseriusan di kalangan organisasi atau elemen perempuan lain untuk melakukan pembelajaran politik maupun advokasi publik lain yang muaranya pada maksimalisasi peran dan pemberdayaan perempuan. Yakinlah bahwa perempuan mampu melakukan semuanya.

Terpilihnya tiga perempuan dari tujuh (enam sudah dilantik) anggota KPU merupakan gambaran tentang kemampuan perempuan. Faktor mereka terpilih pun rasanya bukan dominan karena "politik belas kasihan" dari kebanyakan kaum laki-laki (di Komisi II DPR RI), tapi lebih karena kemampuan yang mereka miliki.

Bagi Nasyiah sendiri, tentu tidak cukup sekadar melakukan pembelajaran dan advokasi publik. Keterlibatannya secara aktif pada ranah politik praktis juga sudah saatnya dipikirkan dan dilakukan. Kesan selama ini, Nasyiah cenderung mengambil posisi pasif, bahkan emoh pada politik praktis.

Nasyiah, misalnya, hingga saat ini masih "melarang" anggota pimpinannya untuk terlibat secara aktif di politik praktis. Padahal, bila melihat keberadaan Nasyiah, yang mempunyai hierarki kepengurusan hingga level ranting, tentu merupakan potensi besar untuk melakukan pemberdayaan politik perempuan.

Karenanya, sikap pasif dan cenderung emoh pada politik praktis patut disayangkan. Nasyiah semestinya harus berani mengambil peran-peran strategis yang tidak hanya berkutat pada pembelajaran dan advokasi, tapi juga mulai berani masuk pada ranah politik praktis. Hal ini penting dilakukan.

Pertama, impact globalisasi dan demokratisasi. Pemerintah maupun lembaga politik lainnya dituntut mempunyai political will untuk melakukan pembangunan dengan memerhatikan pengarusutamaan gender.Tentu ini merupakan kesempatan bagi kaum perempuan untuk merebut dan mengambil peran-peran politik strategis tersebut.

Kedua, politik sekarang telah kembali menjadi panglima. Karenanya untuk membangun mainstream berkesetaraan tidak cukup hanya mengandalkan pendidikan maupun advokasi publik, tapi kekuasaan itu sendiri harus direbut. Dan untuk bisa merebut, pilihan yang rasional dan sesuai langgam demokrasi adalah dengan terlibat aktif di partai politik maupun lembaga politik lain yang memungkinkan kaum perempuan dapat mengapresiasikan kemampuan politiknya.

Inilah pembenaran kenapa Nasyiah perlu berpikir serius mengambil peran-peran politik yang bersifat praksis. Bila organisasi seperti Nasyiah saja tidak atau belum mau terlibat aktif di ranah politik praktis atau wilayah publik lain, tentu tidak bisa dipersalahkan bila-saat ini dan nantinya-kebanyakan perempuan yang tampil di ranah publik akan diisi oleh mereka yang tidak mumpuni.

Bila ini terjadi, tentu akan semakin memperkuat stereotip rendahnya kemampuan politik perempuan. Menyikapi hal ini, Tanwir kali ini bisa menjadi media bagi Nasyiah untuk membuat keputusan-keputusan politik yang tidak saja berguna bagi pemberdayaan politik perempuan, tapi juga bermanfaat bagi kemaslahatan bangsa. Semoga! (*)

Ma'mun Murod Al-Barbasy
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah dan
Direktur Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
(mbs)

No comments: