Wednesday, November 21, 2007

Komplikasi Sistem Kepartaian


Rachmad Bahari


Komplikasi sistem kepartaian merupakan keniscayaan dengan kehadiran partai politik lokal di daerah berstatus khusus.

Dalam RUU Parpol yang dibahas di DPR, tidak ada ketentuan terkait keberadaan parpol lokal. Keberadaan parpol lokal di daerah khusus diakomodasi melalui UU yang bersifat ketentuan khusus lex specialis seperti UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus). Meski keberadaan parpol nasional dan parpol lokal diatur UU berbeda, keduanya dapat bersaing dalam pemilu legislatif dan pilkada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Hingga kini parpol lokal hanya dimungkinkan di Aceh, sementara parpol lokal di Papua belum jelas keberadaannya. Keberadaan parpol lokal di Aceh diatur khusus dalam UUPA dan telah memiliki aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. UU Otsus Papua Pasal 28 tentang Partai Politik tidak secara tegas mengatur keberadaan parpol lokal dan tidak rinci seperti ketentuan serupa pada UUPA. Hingga kini PP tentang parpol lokal di Papua juga belum ada.

Langkah penyempurnaan

Pembahasan RUU Parpol di DPR tidak mengganti secara keseluruhan ketentuan dalam UU No 31/2002 tentang Parpol, tetapi lebih kepada langkah penyempurnaannya.

Meski demikian, ada hal signifikan yang berbeda antara UU Politik yang baru kelak dan UU No 31/2002. Aturan tentang parpol lokal yang ada dalam UU PA sebagian besar mengacu UU No 31/2002 yang disesuaikan lingkup Aceh. Kondisi seperti itu mungkin bisa menimbulkan masalah dalam pemilu legislatif tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta pilkada di Aceh di kemudian hari.

Perbedaan perangkat hukum yang mengatur perbedaan parpol nasional dan parpol lokal dapat melahirkan masalah yang bersifat kompleks saat keduanya harus berhadapan dalam pemilu. Selain itu, parpol lokal yang hanya dimungkinkan di Aceh dan Papua bisa menimbulkan kecemburuan daerah lain. Sudah selayaknya parpol lokal dapat didirikan di seluruh Indonesia sebagai bagian integral sistem kepartaian nasional, keberadaannya diatur dalam satu UU Parpol terintegrasi.

Keberadaan parpol lokal sebetulnya bukan merupakan hal baru dan istimewa di Indonesia. Keistimewaan Aceh sebenarnya bukan terletak pada keberadaan parpol lokal, melainkan pada penerapan syariah Islam dan pengembalian peran lembaga adat dan kebudayaan tradisional dalam praktik penyelenggaraan serta pemerintahan pengecualian ihwal pengolahan kekayaan dan keuangan daerah.

Kekhususan otonomi Papua juga bukan terletak pada partai politik lokal, melainkan pada keberadaan Majelis Rakyat Papua (MRP), pemberdayaan masyarakat asli Papua, pengelolaan kekayaan daerah, keuangan dan perekonomian, pendidikan dan kesehatan, serta penegakan HAM.

Di Provinsi DIY yang juga bersifat istimewa, misalnya, pernah berdiri organisasi kuasi parpol lokal bernama Pakempalan Kawula Ngajogjakarta (PKN) pimpinan Pangeran Surjodingrat. PKN lalu mengikuti Pemilu 1955 dengan bendera Grinda dan menempatkan Pangeran Surjodingrat sebagai anggota DPR dan Konstituante. Tidak salah pula bila ada aspirasi untuk menghidupkan kembali semacam PKN sebagai parpol lokal melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta.

Mengakomodasi parpol lokal

Atas dasar pertimbangan itu, tidak ada salahnya bila keberadaan parpol lokal diakomodasi di seluruh Indonesia, diatur dalam UU Parpol yang terintegrasi. Dengan demikian, tumpang tindih dan perangkapan keanggotaan antara parpol nasional dan parpol lokal seperti dibenarkan PP No 20/2007 tidak perlu terjadi. Dimungkinkannya keanggotaan ganda antara parpol nasional dan parpol lokal di Aceh berpotensi menambah kompleksitas persoalan, utamanya dalam proses pemilu legislatif dan pilkada tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Aceh.

Keberadaan parpol lokal di seluruh Indonesia mungkin bisa menjadi katup penyelamat bagi partai yang memiliki basis kuat di daerah tertentu. Partai PDK pimpinan Ryaas Rasyid yang tidak lolos electoral threshold sesuai UU No 31/2002, misalnya, tidak perlu bubar dan dapat tetap eksis sebagai parpol lokal dengan basis kuat di Sulawesi Selatan.

Sebaliknya, gabungan parpol lokal yang mendapat suara signifikan bisa mengubah dirinya menjadi parpol nasional dan dapat menjadi peserta pemilu tingkat nasional pada periode berikut. Dengan demikian, mereka yang ingin mendirikan parpol bisa mengukur kemampuannya. Artinya, mereka yang tidak memiliki basis dukungan kuat di tingkat nasional cukup bermain di tingkat lokal.

Pembukaan keran bagi pendirian parpol lokal di seluruh Indonesia dapat menghilangkan ketakutan pada electoral threshold dan parliamentary threshold, jika kelak diberlakukan. Parpol yang memiliki basis kekuatan di tingkat lokal lebih baik bermain di wilayahnya saja, tidak perlu berambisi ke tingkat nasional. Dengan demikian, parpol lokal itu dapat menjaga eksistensinya dan dapat memainkan peran lebih efektif di daerah. Selain itu, pembukaan keran bagi pendirian parpol lokal di seluruh Indonesia dapat menjadi kanal penyalur aspirasi masyarakat yang tidak tertampung parpol nasional.

Rachmad Bahari Peneliti Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS), Jakarta

No comments: