Monday, November 19, 2007

Tajuk Rencana


Uang dan Kekuasaan

Surat Ketua BPK Anwar Nasution kepada Ketua KPK mengenai aliran dana Bank Indonesia menyentak kita semua. Uang itu mengalir sampai jauh.

Surat Ketua BPK itu tertanggal 14 November 2006. Artinya, secara formal, surat yang ditembuskan kepada Kepala Polri dan Jaksa Agung itu sudah berada di meja penegak hukum satu tahun lamanya. Penyelidikan kasus itu sepi dari liputan publik, sampai akhirnya media mengendus dan membukanya kepada publik.

Dalam suratnya, Anwar menginformasikan: dana Bank Indonesia dan Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia digunakan untuk keperluan pemberian bantuan hukum mantan direksi Bank Indonesia dan lobi politik di DPR. Dana itu mengalir ke aparat penegak hukum dan anggota DPR. Pola itu bukanlah yang pertama. Kita ingat betapa telanjangnya aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan.

Kekuatan uang sudah merasuki segala lini kehidupan. Lobi politik membutuhkan dana, keadilan bisa ditransaksikan, jasa pelayanan publik pun bisa dirundingkan. Dalam dunia pendidikan, kita membaca di media massa ada jual beli nilai ujian nasional. Nilai kebenaran dan keadilan tersingkir. Secara sinikal kita mendengar istilah upeti, uang semir, uang pelicin, dan uang suap. Ada juga akronim KUHP (Kasih Uang Habis Perkara). Juga ungkapan "jabatan basah" atau "jabatan kering". Atau, istilah komisi air mata atau komisi mata air di DPR.

Meski ada upaya memberantasnya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis Transparency International tak pernah beranjak secara signifikan. Sejak 1996 hingga 2007, IPK Indonesia tak pernah keluar dari angka tiga. Dalam IPK, negara terbersih diberi nilai sepuluh, sedangkan negara terkorup diberi nilai satu.

Praktik uang yang terjadi saat ini mengingatkan kita akan ungkapan Wakil Presiden Muhammad Hatta tahun 1960-an bahwa korupsi telah menjadi budaya di kalangan masyarakat. Atau pendapat Edward Shils yang menyebut korupsi sudah berkembang menjadi "pengetahuan yang diam" (tacit knowledge) yang menggerakkan hampir seluruh kesadaran kolektif bangsa. Sistem nilai seakan telah rontok. Masyarakat menyadari korupsi adalah salah, tetapi ia merasa tidak bisa hidup tanpanya. Korupsi seakan menjadi "kebenaran dalam kesalahan".

Masalahnya adalah apakah kehidupan berbangsa akan kita biarkan seperti ini? Ataukah, bukan saatnya kita perlu memikirkan sebuah kondisi sosial untuk melawan korupsi, indignation (tidak menerima atau protes) masyarakat terhadap kekayaan yang diperoleh secara tidak benar. Bukankah saatnya kita membangun budaya baru yang menandingi cara pandang dan perilaku lama yang mengedepankan materi di atas segalanya atau orientasi hidup yang hanya mengejar kekuasaan dan kedudukan.

Terhadap kasus dana aliran BI, kita mengharapkan KPK dan juga Badan Kehormatan DPR menuntaskan kasus tersebut. Model penyelesaian "adat", sebagaimana sering terjadi, hanya akan melanggengkan budaya impunitas dan itu mengingkari prinsip negara hukum!

***

Kamboja Berani Melangkah

Pelan tetapi pasti, Kamboja berusaha menyelesaikan beban masa lalunya, peninggalan rezim Khmer Merah (1975-1979) yang membunuh 1,7 juta jiwa.

Kemarin tersiar berita, dua mantan tokoh Khmer Merah, suami-istri Ieng Sary dan Ieng Thirith, ditangkap. Mereka akan diadili oleh pengadilan genosida dukungan PBB dengan tuduhan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Di zaman rezim Khmer Merah, Ieng Sary adalah menteri luar negeri dan istrinya menteri sosial.

Ieng Thirith dituduh terlibat dalam "perencanaan, pengarahan, koordinasi, dan memerintahkan pembersihan" dan juga "pembunuhan tak berdasar hukum" atau pembunuhan terhadap staf di jajaran Kementerian Sosial. Ieng Sary diduga mendorong, menghasut, memfasilitasi, dan mendukung kejahatan Khmer Merah. Bahkan ada bukti bahwa Ieng Sary terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengaturan pemindahan paksa, kerja paksa, dan pembunuhan massal.

Yang dilakukan Khmer Merah adalah sebuah kekerasan yang terlembagakan. Kekerasan itu bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau sesaat saja, tetapi didukung oleh bangunan sistem sosial dan politik. Yang lebih hebat sekaligus menyedihkan adalah kejahatan kemanusiaan itu mendapat legitimasi dari sistem nilai dan ideologi baru yang dipegang rezim berkuasa.

Dengan penangkapan terhadap Ieng Sary dan Ieng Thirith itu, Kamboja menegaskan sikapnya untuk menuntaskan dendam sejarah lewat jalur hukum. Kamboja berusaha membuka sejarah baru dengan menyelesaikan masa lalu dengan cara yang elegan: jalur hukum. Mereka tidak menggantung persoalan. Mereka tidak membiarkan masalah dengan status yang tidak jelas. Mereka juga tidak membiarkan orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan tanpa mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan.

Dengan cara demikian, meski barangkali terasa berat dan membutuhkan keberanian, Kamboja akan memperoleh pelajaran sangat berharga dalam perjalanannya menjadi sebuah bangsa. Rintangan utama untuk mengadili para mantan petinggi Khmer Merah sudah bisa diatasi, yakni budaya impunitas dan pengadilan yang korup. Kedua hal itu, dulu menurut laporan Human Right Watch (Juni 1999), merupakan penghalang tegaknya supremasi hukum.

Dengan kata lain, untuk menjadi bangsa yang besar dan kuat, harus ada keberanian untuk menegakkan hukum, termasuk terhadap para pemimpin politik atau politisi yang berpartisipasi melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan demokrasi.

No comments: