Thursday, November 29, 2007

Isyarat dari Istanbul



Oleh : Dzikrullah W Pramudya

Wartawan Harian The Brunei Times yang meliput Al Quds International Forum di Istanbul



Pemerintah Republik Indonesia memang patut dikecam karena sikap plin-plan-nya. Kecaman itu datang dari Mahmoud Al Zahar, menteri luar negeri dalam kabinet Palestina Hamas pimpinan Ismail Haniyah. Betapa tidak patut? Di satu sisi, ke mana-mana Indonesia mengaku mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk merebut kemerdekaannya dari penjajahan Zionis Israel. Di sisi lain Indonesia, disengaja atau tidak, ikut mendukung makar yang dilakukan Amerika Serikat dan Israel dengan menggunakan pemerintahan boneka Presiden Mahmoud Abbas.

Mahmoud Abbas adalah Presiden Palestina yang secara sengaja mendukung embargo ekonomi terhadap rakyatnya sendiri, karena partainya kalah pemilu. Beliau juga ngotot berdamai dengan Zionis Israel yang telah habis-habisan selama 60 tahun ini menindas rakyat Palestina. Dukungan terhadap makar itu menjadi terbuka ketika Indonesia menyatakan bersedia hadir dalam konferensi Annapolis, Maryland, yang tak lain dan tak bukan merupakan kesinambungan siasat AS dan Israel agar kekuatan perlawanan rakyat Palestina tetap menjadi marjinal.

Secara formal, mudah-mudahan niat Indonesia untuk mengikuti konferensi di Annapolis berdasarkan iktikad baik. Namun, disadari atau tidak, langkah Indonesia ini sama saja dengan seandainya pada tahun 1948 ada negara-negara yang mendukung posisi Belanda untuk kembali mengklaim dan menjajah kepulauan Hindia Belanda.

Parameter baru untuk menegaskan ke-plin-plan-an diplomasi Indonesia itu baru saja dibubuhkan di Istanbul, Sabtu (17/11). Deklarasi Istanbul merupakan hasil puncak dari pertemuan tiga hari (15-17 November) bertajuk Al Quds International Forum. Forum ini dihadiri sekitar 5.000 cendekiawan, ulama, aktivis, dan pemimpin organisasi massa dari 65 negara baik Islam maupun Kristen.

Angin optimisme
Pada pembukaan Forum tersebut, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hidayat Nur Wahid menegaskan, bahwa dukungan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina tidak bergeser sejengkal pun dari apa yang ditekadkan lewar Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung. Di antara butir Deklarasi Istanbul yang berjumlah dua belas itu, Forum menuntut agar semua pihak menghentikan segala bentuk normalisasi hubungan dengan bangsa Zionis serta menegaskan bahwa menurut sejarah, cara paling berhasil dalam menghadapi penjajah adalah dengan perlawanan.

Selain para cendekiawan dan ulama Muslim, di antara para pembicara penting dan pemimpin sidang dalam konferensi itu adalah Uskup Attallah Hana, Pemimpin Gereja Ortodoks Palestina, Uskup Greygorius dari Gereja Katolik Lebanon, dan George Galloway, anggota parlemen Inggris dari Partai Respect. Diselenggarakan di bekas ibukota Khilafah Uthmaniyyah, Al Quds International Forum juga menggelar pameran yang diikuti oleh 103 organisasi wakaf pendukung pembebasan Palestina dari 65 negara dan dikunjungi sekitar 10 ribu orang dari dalam dan luar Turki.

Mungkin sebagian orang berpendapat, apalah artinya sebuah konferensi lagi untuk Al Quds? Bukankah sudah belasan bahkan puluhan konferensi digelar, dan keadaan Palestina tetap saja begitu? Pertanyaan provokatif yang sama saya ajukan kepada beberapa tokoh di Forum ini, "Bukankah Forum ini hanya panggung pidato?"

Syeikh Ikrimah Sabri, Ketua Majelis Ulama Tertinggi Palestina; Syeikh Raid Salah, pemimpin gerakan Islam di Palestina versi tahun 1948; dan Uskup Attallah Hana, pemimpin Gereja Ortodoks Palestina, yang merupakan saksi mata pertama kezhaliman Zionis Israel menampik keraguan itu.

"Tidak," kata Syeikh Ikrimah yang pernah jadi Imam Besar Masjidil Aqsa. Menurut dia, konferensi ini berbeda dengan yang lain, karena, tujuan konferensi ini lebih terarah. Tujuan utamanya adalah membekali para aktivis organisasi yang hadir dari 70 negara dengan berbagai materi penting untuk dipakai mendorong pemerintah negara masing-masing bergerak lebih aktif membela kota suci Al Quds dan negeri Palestina yang masih terus didzalimi sejak tahun 1948.

Uskup Attallah Hana menegaskan, "Para peserta konferensi membawa pulang kewajiban besar untuk menyampaikan kepada rakyat dan pemimpin negaranya, bahwa kolonialisme dalam bentuknya yang terburuk masih terjadi di tanah suci itu, dan didukung oleh negara-negara besar." Syeikh Raid Salah malah secara khusus bermaksud menindaklanjuti konferensi itu dengan mengunjungi negeri-negeri Muslim. "Saya ingin berkunjung untuk menjelaskan betapa gawatnya keadaan kota suci Al Quds dan Masjidil Aqsa saat ini," ujar dia. Informasi dan perspektif Syeikh Raid yang baru saja dibebaskan sesudah dua setengah tahun dipenjara oleh Zionis Israel, dan sehari-hari bergumul langsung dengan permasalahan rakyat Palestina akan sangat berbeda dengan yang dibawa oleh Presiden Abbas yang baru-baru ini berkunjung ke Indonesia.

Pembekalan penting
Selama tiga hari, para peserta konferensi dibekali dengan berbagai laporan berisi fakta-fakta penting langsung dari tempat kejadian perkara. Sekelompok ilmuwan Turki memperesentasikan temuan mereka langsung dari lapangan, mengenai penggalian terowongan di bawah Masjidil Aqsa yang secara ilmiah bisa ditebak hasilnya dalam beberapa waktu mendatang mengakibatkan ambruknya tempat suci ketiga sesudah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi itu.

Sejumlah saksi mata yang dihadirkan di forum ini melaporkan penghancuran rumah-rumah rakyat Palestina begitu saja dan pembangunan permukiman Yahudi dari hasil rampokan itu, berlangsung setiap hari. Penangkapan sewenang-wenang juga berlangsung setiap hari sehingga rakyat Palestina yang kini disekap dan disiksa di penjara Zionis Israel berjumlah sekitar 11 ribu orang, 200 di antaranya para wanita.

Dilaporkan juga, pembangunan 'tembok apartheid' setinggi 10 meter kini sudah mencapai panjang 200 kilometer. Tembok ini memisah-misahkan kampung rakyat Palestina dari sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, dan pasar-pasarnya. Berbagai kejadian itu terus dilakukan oleh Zionis Israel, di bawah perlindungan politik dan dukungan persenjataan dari Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis.

George Galloway mengingatkan, "Dulu kita diminta percaya oleh media bahwa masalah Palestina adalah semata-mata konflik antara Arab dan Israel, atau bahkan antara orang Arab Palestina dan orang Yahudi saja. Forum ini harus membuka mata dunia bahwa penjajahan atas Palestina adalah masalah yang mengganggu seluruh umat manusia yang cinta kemerdekaan. Ada kedzaliman besar dan berlangsung lama di sini, dan kita tidak boleh diam."

Deklarasi ini juga mengingatkan bangsa Palestina untuk bersatu dalam perjuangannya dengan mengingatkan mereka ayat Alquran, "Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah bercerai-berai, sehingga kamu akan kehilangan keberanian dan kekuatan..." (terjemahan surat Al Anfaal[8]: 46). Deklarasi Istanbul adalah gerakan rakyat yang seyogianya menjadi paramater Indonesia dalam bersikap dan berpihak. Apakah Indonesia akan berpihak kepada kepentingan rakyat Palestina, atau memihak kepada arus yang dibuat Amerika Serikat, Israel, dan pemerintahan bonekaya sebagai kekuasaan yang dzalim.

Ikhtisar
- Selama tiga hari (15-17 November 2007) 5.000 peserta konferensi Al Quds dari berbagai negara berkumpul di Istanbul, Turki untuk membahas masa depan Palestina.
- Dalam acara ini, sikap Indonesia dalam menangani masalah Palestina sempat mendapat kecaman.
- Di satu sisi Indonesia mengatakan membela penuh rakyat Palestina, tapi di sisi lain mendukung skenario AS dan Israel.
- Deklarasi Istanbul bisa menjadi alat ukur keberpihakan Indonesia dalam isu tersebut

No comments: