SUWARDIMAN
"Fakta menunjukkan banyak partai politik hingga saat ini yang tidak sungguh-sungguh mengangkat aspirasi rakyat. Partai hanya dijadikan alat oleh sekelompok orang untuk berebut kekuasaan. Kita cuma dijadikan penonton yang menyaksikan mereka beratraksi tanpa menyentuh masalah riil yang dihadapi rakyat. Bagaimana bisa kita percaya mereka?"
Demikian komentar Indri (43), responden dari Medan yang dihubungi Kompas (8/11) dalam jajak pendapat yang diselenggarakan 7-8 November 2007. Suara Indri mewakili 79,3 persen responden—dari total 837 responden yang terjaring dalam jajak pendapat kali ini—yang kecewa atas kinerja parpol yang ada saat ini.
Sebanyak 76,1 persen responden juga menilai parpol yang ada hingga saat ini belum menunjukkan eksistensi mereka sebagai lembaga yang mampu mewakili aspirasi rakyat banyak. Delapan dari sepuluh responden menganggap parpol yang ada saat ini lebih banyak menyuarakan kepentingan politik partai dan kepentingan elite semata.
Apa yang dirasakan publik itu yang tampaknya menggiring mereka pada apatisme terhadap partai-partai baru yang mendaftarkan diri di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk turut bertarung pada Pemilu 2009 nanti.
Peran parpol
Parpol secara teoritis merupakan pilar utama sekaligus ruh dalam proses demokrasi. Lembaga politik ini merupakan organ penting dalam sistem politik modern. Parpol memainkan peran antara lain sebagai sarana pendidikan politik kepada masyarakat, penyalur aspirasi politik rakyat, sarana partisipasi politik warga, dan saluran perekrutan politik dalam proses pengisian jabatan publik.
Sederhananya, parpol dilahirkan untuk menjadi lembaga perantara atau penghubung antara rakyat dan pemerintah.
Sayangnya, di Indonesia modernisasi sistem politik tidak dibarengi perubahan yang signifikan dalam budaya politik. Sistem dan lembaga politik yang memberi ruang lebih terbuka ternyata lebih banyak dimanfaatkan sebagai keran penyelewengan.
Publik pun jenuh dengan agresivitas partai yang terjadi hanya pada saat-saat menjelang pemilu. Setelah pesta demokrasi usai, rakyat tak lagi diperhatikan dan dibiarkan kembali menghadapi problem mereka, sendirian.
Oleh karena itu, saat ditanya soal kinerja parpol, mayoritas responden kecewa karena partai-partai yang ada lebih banyak mengedepankan kepentingan kelembagaan dan penguasa, mengutamakan kepentingan-kepentingan elite politik dan pemilik kapital yang berdiri di belakangnya.
Sebut saja sebagai contoh, bagaimana atraksi politik elite-elite dalam merumuskan solusi atas kasus Lapindo. Lebih dari satu setengah tahun masyarakat Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, menderita akibat dampak berkepanjangan semburan lumpur Lapindo.
Gagalnya interpelasi yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat seolah memperkuat keyakinan rakyat bahwa tidak ada keseriusan elite-elite partai di lembaga legislatif untuk berpihak kepada kepentingan mereka.
Belum lagi berbagai kasus korupsi yang tak sedikit melibatkan tokoh-tokoh partai yang duduk di kursi DPR. Salah satunya adalah kasus aliran dana Bank Indonesia senilai Rp 31,5 miliar ke sejumlah anggota dewan.
Terbongkarnya kasus ini seolah menambah borok kader-kader partai yang diberi kepercayaan oleh pemilihnya. Terakhir, harapan agar perwakilan parpol di DPR tergugah oleh parahnya situasi kemacetan di Jakarta, ternyata juga tak terjadi.
Maka, tak heran jika mayoritas publik bersikap apatis terhadap kerja tokoh-tokoh parpol saat ini. Para elite parpol di mata responden banyak terkooptasi oleh kepentingan penguasa dan pemilik kapital.
Sebanyak 45,3 persen responden berpendapat tokoh- tokoh parpol setelah terpilih lebih banyak mengutamakan kepentingan diri sendiri dan 44,1 persen lainnya mengatakan tokoh-tokoh itu lebih menyuarakan kepentingan partai.
Parpol baru
Pada Pemilu 2004 tercatat 24 parpol yang ikut bertarung memperebutkan kursi legislatif dan 16 partai yang berhasil memperoleh kursi DPR.
Tiga partai yang berhasil mendominasi DPR dengan perolehan kursi terbanyak masih dipegang oleh partai-partai besar yang sudah mapan, yakni Partai Golkar (127 kursi), PDI-P (109 kursi), dan Partai Persatuan Pembangunan (58 kursi). Partai Demokrat sebagai partai baru yang pertama kali menjadi peserta pemilu berada di urutan keempat dengan menguasai 56 kursi.
Pemilu yang melibatkan sedikit parpol tampaknya lebih disukai publik. Setidaknya itu suara dari 83,6 persen responden dalam jajak pendapat ini. Jumlah parpol yang menjadi peserta pemilu tiga tahun lalu oleh mayoritas publik (80,8 persen responden) dianggap terlalu banyak. Jumlah ideal parpol peserta pemilu, menurut 45 persen responden, cukup tiga hingga lima parpol. Sementara menurut 32,2 persen responden lain jumlah ideal antara enam hingga 10 parpol.
Sampai saat ini, tercatat sudah 79 papol baru yang mendaftarkan diri. Partai-partai baru ini mengusung beragam ideologi dan kepentingan.
Dari 71 partai yang menyerahkan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai ke Dephuk dan HAM tercatat sedikitnya delapan partai yang mengusung asas keagamaan. Dan tak sedikit yang nama dan identitasnya mirip satu sama lain.
Apresiasi publik terhadap partai-partai baru minim sekali. Hampir 90 persen responden menyatakan tidak tahu atau menganggap tidak ada partai baru yang membuat mereka tertarik untuk memilih. Apatisme publik terhadap munculnya parpol-parpol baru mungkin saja berakar dari kekecewaan mereka atas kinerja parpol-parpol yang ada saat ini.
Kekecewaan ini mengerucut pada ketidakpuasan publik atas kinerja elite-elite partai yang saat ini duduk di DPR yang mewakili daerah pemilihan mereka. Hal ini terbaca dari pendapat 73,6 persen responden yang tidak yakin partai-partai baru itu akan mampu memperjuangkan aspirasi mereka.
Mayoritas publik (73,2 persen) berpendapat tidak perlu dibentuk partai-partai baru menyambut Pemilu 2009. Untuk alasan itu pula mayoritas publik setuju bahwa syarat-syarat pendirian partai perlu lebih diperberat dari syarat-syarat yang saat ini berlaku seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
Usulan perubahan pun sedang digodok DPR dalam pembahasan RUU paket politik. Sejumlah aturan pendirian partai diusulkan untuk diperberat. Di antaranya adalah syarat jumlah pendiri partai yang saat ini berlaku adalah 50 orang, diusulkan ditingkatkan menjadi 100 sampai 250 orang.
Usul perubahan lain adalah kepengurusan yang sebelumnya minimal di 50 persen jumlah provinsi, diusulkan jadi 75 persen jumlah provinsi. Ketentuan electoral threshold atau ambang batas sebesar 3 persen kursi DPR diusulkan ditingkatkan menjadi 5 persen.
Belum tuntasnya pembahasan RUU Parpol menjadi alasan Departemen Hukum dan HAM menunda verifikasi terhadap partai-partai yang sudah mendaftar. Berdasarkan konfirmasi Litbang Kompas, alamat dan identitas sejumlah parpol baru yang sudah mendaftar itu tidak jelas. Sejumlah alamat dan nomor telepon yang didaftarkan juga tak dapat dihubungi. (Litbang Kompas)
No comments:
Post a Comment