Saturday, November 24, 2007

Mayoritas DPD I Tolak Konvensi


Kalla, Paloh, dan Akbar Dikritik

Jakarta, Kompas - Mayoritas Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I Partai Golkar yang hadir dalam Rapat Pimpinan Nasional III menolak melanjutkan mekanisme konvensi untuk merekrut calon presiden dari Partai Golkar dalam Pemilu 2009.

Mekanisme konvensi yang pernah diadakan dalam Pemilu 2004 lalu dinilai sudah tidak sesuai, boros, bahkan menyuburkan politik uang.

Juru bicara Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Lampung dalam laporannya menyebutkan secara terbuka ada yang menerima uang hingga miliaran rupiah dari peserta konvensi.

DPD I lain yang dengan tegas menolak konvensi selain Lampung adalah Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Papua, Sulawesi Barat dan Jawa Barat. DPD I Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III kemarin bahkan telah mencalonkan Kalla sebagai calon presiden 2009. "Maaf ini belum forumnya, tetapi Sultra sudah memutuskan itu," ujar juru bicara DPD I Sultra.

Hanya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang secara tegas mendukung konvensi dilanjutkan. Adapun untuk sejumlah DPD lainnya, ada yang belum bersikap, ada yang bersikap tidak tegas, dan ada yang menyerahkan kepada DPP untuk memutuskan. "Kelemahan harus dipangkas hingga tercipta konvensi yang sehat, dinamis, efektif, dan efisien," kata Ketua DPD Partai Golkar DIY Gandung Pardiman.

Gandung juga menuturkan, penentuan bakal calon presiden dari Partai Golkar harus diputuskan pada tahun 2008.

"Tidak logis jika calon presiden Partai Golkar ditentukan tiga bulan sebelumnya. Untuk pilkada, bupati atau gubernur saja memerlukan (persiapan) dua tahun," katanya.

Belum tentu Kalla

Sekretaris Jenderal Partai Golkar Sumarsono menuturkan, meski untuk menentukan calon presiden yang diusung pada Pemilu 2009 Golkar tak lagi memakai konvensi, metode penggantinya tidak kalah demokratis.

Dalam metode itu, pertama-tama rakyat akan ditanya siapa yang akan dipilih menjadi presiden. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menuliskan nama yang dikehendaki atau memilih nama yang sudah didaftar. Daftar nama ini berasal dari pengajuan daerah-daerah dan dapat berasal dari luar Partai Golkar.

Hasil survei lalu dibawa ke rapimnas khusus yang akan digelar setelah pemilu legislatif untuk memutuskan siapa yang akan dipilih.

Ketua Panitia Pelaksana Rapimnas III Partai Golkar Syamsul Muarif menambahkan, dengan mekanisme ini, calon presiden yang akan diajukan Partai Golkar belum tentu Jusuf Kalla. "Semua tergantung dari hasil rapimnas khusus," tuturnya.

Melelahkan

Syamsul menambahkan, proses perekrutan calon presiden yang pernah dilakukan Golkar sangat melelahkan. Calon diajukan dari tingkat dua, kemudian dikonvensikan secara bertahap hingga ke tingkat pusat. "Proses itu sangat melelahkan. Konvensi pada tahun 2004 lalu mungkin cocok untuk saat itu, tetapi mungkin sekarang enggak tepat," ujarnya.

Menurut dia, ada salah pengertian dari istilah konvensi dan rapimnas khusus. Proses rapimnas dinilai tidak demokratis, padahal prosesnya sudah melibatkan masyarakat secara langsung melalui survei yang dilakukan. "Dulu kan lebih elitis," ujarnya.

Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, penggunaan survei untuk menjaring kandidat bukan hal baru bagi Partai Golkar.

Jika nanti hasil survei menjadi salah satu patokan Partai Golkar dalam menentukan calon presiden, yang terpenting nanti adalah soal komposisi suara, termasuk seberapa besar akomodasi atas suara pengurus daerah.

Jika pengurus partai di tingkat kabupaten/kota juga diberi hak suara, bisa jadi situasinya menjadi sangat cair. Jika kondisi itu terjadi, bisa jadi calon terpopuler versi survei justru tidak terpilih untuk dicalonkan.

Qodari juga menyebutkan empat skenario yang bakal dihadapi Partai Golkar dalam Pemilu 2009. Skenario pertama, jika calonnya menurut survei populer dan didukung rakyat, bisa jadi Partai Golkar akan mengajukan calon presidennya sendiri.

Tiga skenario lain, Partai Golkar bisa jadi hanya memilih mengambil kursi wakil presiden. Calon presiden yang digandeng bisa Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, atau calon lain. Yang terpenting, pasangan calon itu populer dan punya peluang besar memenangi Pemilu 2009.

Otokritik terbuka

Selain soal konvensi, DPD I juga banyak menyampaikan kritik terbuka, baik kepada Ketua Umum, Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Penasihat, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, maupun mereka yang duduk di jajaran kabinet.

Juru bicara DPD I Lampung, misalnya, menilai Jusuf Kalla terlalu percaya diri karena pernah mengatakan baru akan mengumumkan pencalonan dalam pilpres tiga bulan sebelum pemilu legislatif. Padahal, situasi sekarang sudah berbeda dengan 2004. "Ini sangat pede," ujarnya.

Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh juga dinilai telah melangkah lebih maju dari ketua umum karena mengajak partai lain berkoalisi. "Betul... betul...!!," ujar beberapa peserta.

Mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung juga tidak lolos kritik. Akbar diminta untuk tidak menyampaikan kritik secara terbuka di media. "Datanglah ke rapim ini," ujarnya.

Para anggota DPR diminta tidak banyak ke luar negeri, tetapi lebih memperbanyak kunjungan ke daerah untuk menemui konstituen.

Kekalahan Partai Golkar dalam sejumlah pilkada juga banyak mendapat perhatian. Ketika juru bicara DPD I Kalbar menceritakan kekalahannya di Pilkada Singkawang dan Provinsi Kalbar belum lama ini, suasana rapimnas terasa lesu.

Juru bicara Kalbar itu menceritakan kesalahan Pilkada Singkawang yang kurang memperhitungkan aspirasi warga keturunan Tionghoa sehingga suaranya beralih ke calon yang diusung PDI-P. (SUT/NWO/DIK/MAM)

No comments: