Friday, November 23, 2007

Pemogokan Para Buruh Kereta Api


Moch S Hendrowijono

Pemogokan buruh kereta api di Perancis yang memasuki hari kedelapan mengingatkan kita pada rencana mogok nasional anggota Serikat Pekerja Kereta Api, 3-5 Desember mendatang. Pemicunya sama, perbaikan sistem dana pensiun.

Pemogokan pekerja KA di mana pun akan berdampak serius karena KA berperan mengangkut penumpang dalam jumlah besar. Maka, ancaman mogok Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA) tidak bisa dianggap main-main.

SPKA kesal kepada pemerintah yang lamban menangani penyesuaian pensiun karyawan bekas pegawai negeri sipil (PNS). Rencana peraturan pemerintah yang menyamakan besaran pensiun pegawai PT Kereta Api Indonesia (PT KA) dengan pensiun PNS tak kunjung usai. Padahal, setelah ditandatangani Presiden, Peraturan Pemerintah Penyesuaian Pensiun Eks PNS Departemen Perhubungan baru berlaku enam bulan kemudian.

Tahun 1992 semua karyawan KA harus menanggalkan status PNS menjadi pegawai perusahaan karena Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT KA, kecuali yang berusia di atas 50 tahun atau anggota direksi.

Dalam keputusan 2 November, SPKA memutuskan akan mogok kerja nasional 3-5 Desember 2007. Ini berarti 28.000 karyawan PT KA, separuhnya eks PNS, akan menelantarkan lebih dari 1,8 juta penumpang KA selama tiga hari mogok.

Dari rata-rata 600.000 penumpang KA per hari, 500.000 di antaranya adalah penumpang KA Jabodetabek dan sekitarnya. Di kawasan padat ini, jika KA berhenti beroperasi, harus dikerahkan sekitar 10.000 bus, asumsinya setiap bus mengangkut 50 orang. Bagaimana jika sepertiganya memilih kendaraan pribadi yang daya angkutnya hanya lima orang pada Senin, Selasa, dan Rabu awal Desember nanti?

Di sisi lain karyawan PT KA adalah karyawan yang boleh dikata tersia-siakan akibat ketidakseriusan pemerintah mengurus perkeretaapian. Meski pemerintah mengakui KA merupakan salah satu solusi angkutan umum untuk mengatasi kemacetan, upaya meningkatkan peran KA tidak pernah tuntas.

Pemerintah tak pernah berani membela perkeretaapian jika dibenturkan masalah penumpang kelas ekonomi, yang tarifnya amat rendah karena diatur pemerintah. Tarif rendah kelas yang paling banyak penumpangnya (88 persen) itu membuat pendapatan PT KA tak menutup biaya operasi sehingga pos-pos lain harus dipotong, termasuk biaya perawatan dan biaya pegawai. Iuran perusahaan untuk tabungan dana pensiun pegawai pun kecil sehingga penerimaan pensiunan menjadi amat sedikit.

Di sisi manajerial, karyawan PT KA belum tertangani dengan baik. Boleh dikata tidak ada pengecekan keahlian karyawan untuk melihat apakah ia tetap andal melakukan tugas. Padahal, untuk usaha jasa yang mengutamakan keselamatan penumpang, pengecekan ini harus dilakukan seperti dalam penerbangan. Di penerbangan, sejago apa pun pilot, secara periodik dia harus menjalani uji keahlian dan bisa tidak boleh terbang jika tidak lulus.

Setelah lulus, seorang masinis dianggap tidak perlu dites lagi meski kenyataan kecelakaan sering terjadi akibat kesalahan masinis yang mungkin sudah masuk masa jenuh. Uji jabatan pun jarang dilakukan. Beberapa kasus memberi contoh, bagaimana seorang pemimpin perjalanan KA (PPKA) diangkat langsung menjadi kepala stasiun tanpa melalui pendidikan. Tanggung jawab memang ada yang mirip, tetapi cakupan tugas kepala stasiun lebih luas dibandingkan cakupan tugas PPKA.

Seorang karyawan staf keuangan ditunjuk menjadi kepala daerah operasi tanpa melalui pendidikan khusus karena pendidikan semacam itu tidak ada.

Penyegaran atau peningkatan pendidikan di BUMN ini bukan sesuatu yang wajib, selain amat minim. Dalam suatu dialog terungkap, seorang karyawan yang sudah bekerja 15 tahun belum pernah masuk kelas untuk penyegaran atau mendapat ilmu baru. Ada yang selama itu hanya sekali, itu pun hanya tiga hari.

Belum ada penelitian, tetapi bukan tidak mungkin, banyak kecelakaan KA akibat minimnya penyegaran dan pendidikan keterampilan meski disebutkan, karyawan PT KA profesional di bidangnya, bekerja all out tanpa mempertimbangkan waktu.

Karyawan (lapangan) PT KA menjadi ahli karena lama menggeluti pekerjaan, misalnya karyawan regu yang bertugas memperbaiki rel KA. Jika menemui masalah, naluri menuntun mereka untuk menyelesaikannya.

Untuk meningkatkan karyawan regu menjadi karyawan staf, amat sulit karena umumnya berpendidikan formal rendah. Dari 28.000 karyawan PT KA saat ini, 17.323 (62 persen) berpendidikan SD dan SLTP, hanya 633 karyawan (2,27 persen) S-1, S-2, dan S-3, sementara SMA dan D-3 sekitar 10.000 (35,75 persen).

Makin terpuruk lagi, lapangan pekerjaan kereta api bukan pilihan utama karena SDM kualitas prima jarang yang mau bergabung. Akibatnya, 75 persen lebih karyawan PT KA kini berusia di atas 41 tahun, produktivitasnya menurun, dan diperparah kurangnya pelatihan memadai. Siapa yang harus disalahkan, dan mana yang harus dibenahi? Yang penting, hak-hak karyawan, termasuk yang dituntut SPKA, segera dipenuhi manajemen. Memang sulit karena terkait dana, tetapi itu pilihan yang terbaik.

Moch S Hendrowijono Wartawan, Tinggal di Cisarua, Bandung

No comments: