Saturday, December 1, 2007

Demokrasi Asal Tampil Beda


Menurut Jusuf Kalla demokrasi "cara", sebaliknya para pakar bilang demokrasi "tujuan". Wajar kalau demokrasi diperdebatkan tanpa henti karena ia mengandung begitu banyak dilema.

Ada ribuan buku yang meneropong demokrasi karya filsuf, pakar, aktivis, politisi, pejabat, sampai tukang ramal. Jumlah teori demokrasi bak jamur di musim hujan dan "mati satu tumbuh seribu".

Ada teori yang ilmiah, muskil, gaib, bahkan mengundang tawa. Nah, saya diajari demokrasi oleh profesor mata kuliah Perilaku Politik di Amerika Serikat.

Ia belajar demokrasi dengan cara mengamati langsung interaksi makhluk primata seperti kawanan simpanse, bekantan, dan kera. Dari pengamatan itu ia dapat mengukur perilaku manusia.

Ia juga belajar brain science untuk memahami persepsi demokrasi dari berbagai jenis otak manusia. Ia memperdalam ilmu DNA (deoxyribonucleic acid) atau jaringan sel genetik yang berkembang dan berfungsi pada tiap organisme yang hidup.

"DNA terbentuk antara lain karena faktor musim dan makanan. Manusia yang berabad-abad hidup di gurun pemakan daging yang kurang sayur dan buah. Mereka malam kedinginan, siang kepanasan," katanya.

Makanya orang gurun suka terjangkit fatamorgana dan mudah tersulut konflik. "Lain dengan bangsa saya. Kami dipaksa patuh aturan karena dihadang pergantian musim salju, semi, panas, dan gugur tiap tiga bulan," katanya.

Saat salju turun mereka masuk goa sehabis menyetok makanan. Pada musim semi dan panas mereka berburu, lalu pada musim gugur siap-siap sembunyi lagi menghindari siksaan alam.

Itu sebabnya, bangsa mereka unggul di teknologi yang serba zero tolerance. Orang Finlandia jago menyopir mobil Formula Satu kayak Mika Hakkinen, Kimi Raikkonen, atau Heikki Kovalainen, orang Jepang penemu walkman, dan orang Amerika Serikat bisa ke Bulan.

"Hidup di negeri tropis nikmat. Makanannya sehat," katanya sambil menunjuk saya. Saya cuma membatin, "Sialan, enggak ada orang Afrika!"

Rasa nyaman negeri tropis itu yang membuat bangsa negeri kepulauan ini menikmati hidup. Anginnya sepoi-sepoi, pantainya indah, buah-buahannya eksotik, sambalnya 1.001 macam, dan kekayaan alamnya melimpah.

Makanya bangsa ini mengenal konsep gemah ripah loh jinawi, mangan ora mangan ngumpul, atau péla gendong. Bangsa ini gemar mengarang khayalan indah seperti Djoko Tingkir atau Malin Kundang.

Bangsa ini kaya pujangga, budayawan, musisi, sampai tukang ngamén. Hanya di sini ada predikat penikmat, penggiat, pemerhati, peminat, sampai "pendekar" demokrasi.

Dan, bangsa ini terlahir sebagai politisi. Dalam istilah Melayu, bangsa ini sanggup "berbual-bual" seharian sambil makan singkong dan menyeruput bandrék di warung kopi.

Semua ideologi tak ditelan mentah-mentah. Mereka direvisi, diperkaya, dipermiskin, dimanipulasi, diintimidasi, dibunuh sampai mati, ditambah-tambahi, bahkan dikurang-kurangi.

Salah satu korban yang sering dizalimi adalah demokrasi. Saya punya teori: bangsa ini penemu "Demokrasi Asal Tampil Beda".

Dulu ada demokrasi terpimpin. Inilah tipu daya Bung Karno yang menolak Trias Politica demi melanggengkan kekuasaan.

Pak Harto membuat demokrasi Pancasila, padahal Pancasila ideologi yang bersifat universal dan mustahil diturunkan derajatnya jadi demokrasi sebuah jenis semata-mata.

Demokrasi liberal ala Barat mengenal dua jenis kabinet: parlementer dan presidensial. Di sini ada jenis kelamin ketiga, yakni kabinet campuran parlementer-presidensial ala Kabinet Indonesia Bersatu.

Mengapa bangsa ini gandrung Demokrasi Asal Tampil Beda? Sebab, jika merujuk pada teori profesor saya, compatibility demokrasi amat tergantung dari perilaku bangsa yang mempraktikkannya.

Nah, perilaku bangsa itu belum tentu compatible dengan demokrasi. Itulah manusia yang tergolong "purbakala" karena sebetulnya belum mau dan mampu menerima demokrasi.

Kepurbakalaan itu disebabkan rasa enggan mematuhi aturan alias suka seenaknya. Ingat, demokrasi itu susah karena orang dipaksa antre, menghargai perbedaan pendapat, menghormati minoritas, atau melarang pemimpin bertelinga tipis.

Demokrasi Asal Tampil Beda telah merasuki segenap lapisan bangsa dan mudah tampak dalam kehidupan sehari-hari. Tiga hari lalu saya dilarang parkir di ruang bawah PIM 2 karena itu tempat parkir khusus untuk perempuan.

Pada saat persamaan hak perempuan sedang digalakkan, kaum perempuan justru dianggap doyan belanja dan malas cari tempat parkit. Saat mau pergi, eh ada lelaki bermobil mewah yang boleh parkir di situ.

Baru mau tanya, petugas langsung menyergah, "Itu mobil bos Pak." Dan di gedung parkir yang bertingkat-tingkat itu tak ada ruang parkir untuk orang cacat.

Mereka kebagian tempat ruang untuk satu mobil di Pintu 9, sementara di dekat situ ada deretan tempat parkir untuk mogé (motor gedé). Anda harus bayar ongkos parkir, tetapi pengelola tak bertanggung jawab jika mobil Anda lenyap.

Contoh Demokrasi Asal Tampil Beda terjadi lewat kampanye anti-"politisi tua" mengikuti Pilpres 2009 yang dilancarkan "politisi muda". Makanya saya senang Jusuf Kalla bilang "siapa pun boleh tebar apa saja" dan Bu Megawati ngomong, "saya sudah memesona".

No comments:

A r s i p