Saturday, December 22, 2007

Agar Demokrasi Panjang Umur


Muslimin Nasution


Tulisan Ginandjar Kartasasmita (Kompas, 1/12/2007) sangat menarik. Penulis menjelaskan bahwa demokrasi (politik) dan kesejahteraan dapat berjalan bergandengan. Keliru jika urusan demokrasi dapat dinomorduakan di bawah urusan kesejahteraan.

Penulis menunjukkan bahwa pergerakan ke arah demokrasi hampir tak bisa dielakkan oleh negara mana pun. Negara yang meremehkan demokrasi, meski mengalami pertumbuhan ekonomi, maka pertumbuhan itu tak akan berkelanjutan. Sebaliknya, banyak negara demokratis yang sukses dalam pembangunan ekonominya. Namun, bukan berarti di negara demokratis kondisi perekonomiannya sertamerta akan maju. Untuk mencapai kemajuan ekonomi, demokrasi perlu disandingkan dengan sistem ekonomi pasar, sebagaimana keduanya secara bersama- sama telah terbukti membawa kemakmuran di negeri Barat.

Demokrasi dan kesejahteraan memang tidak perlu dipertentangkan. Dalam konteks Indonesia, yang terpenting adalah bagaimana demokrasi yang belum genap satu dekade ini bisa berumur panjang. Penelitian Przeworski dan Limongi (1997) terhadap ratusan rezim otoriter dan demokratis selama 1950- 1990 menunjukkan ada keterkaitan erat antara kesejahteraan dan umur demokrasi. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan, semakin lama demokrasi dapat bertahan.

Karena itu, kita sedang "mengurai kembali kain yang susah payah sudah kita tenun", jika meremehkan demokrasi dan menomorduakannya di bawah kesejahteraan. Bagi bangsa Indonesia, esensi persoalannya adalah bagaimana sesegera mungkin mewujudkan kesejahteraan rakyat agar demokrasi yang tengah kita tegakkan dapat hidup abadi.

Jika ditinjau dari sisi akademis, bagaimana cara mewujudkan kesejahteraan itu akan mengembalikan kita kepada polemik klasik, yaitu dengan cara apa kita mewujudkan kesejahteraan—yakni, bagaimana kita "membangun", bagaimana agar hasil pembangunan berupa pertumbuhan ekonomi bisa dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat, dan bagaimana agar pembangunan bisa ramah lingkungan sehingga berkelanjutan.

Sistem ekonomi pasar tidak bisa dikatakan sebagai pilihan paling jitu untuk menciptakan kesejahteraan. Di negara yang menganut ekonomi pasar, yang sering disebut negara industri maju, meski pertumbuhan ekonomi tinggi, negara-negara itu terus mengalami krisis terutama dalam menciptakan lapangan kerja yang memadai. Ambillah contoh Amerika Serikat. Di negara ini pertumbuhan memang terus dipacu, tetapi bersamaan dengan itu muncul persoalan membengkaknya kemiskinan di kota, meningkatnya jumlah kejahatan, meningkatnya penggunaan narkoba, meningkatnya utang pemerintah, dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.

Ada pula persoalan lain, bahwa penerapan sistem ekonomi pasar di negara maju akan berbeda hasilnya ketika diterapkan di negara yang pernah menjadi korban imperialisme, seperti Indonesia. Negara yang pernah dijajah tetap akan terbelakang ekonominya meski telah menerapkan ekonomi pasar, bahkan negara itu akan mengalami penyusutan modal. Berbeda dengan di negara maju di mana surplus dari sektor pertanian dan perdagangan diinvestasikan ke bidang industri, di negara yang pernah dijajah hal ini tidak terjadi. Surplus di negara tersebut diambil oleh kekuatan ekonomi asing yang umumya tetap menguasai negara tersebut pascakemerdekaannya.

Demikian pula sistem ekonomi sosialis. Sejarah menunjukkan bahwa sistem sosialis cenderung gagal mendorong berkembangnya faktor produksi dalam perekonomiannya, sementara birokrasi pemerintah makin membengkak. China, negara yang kukuh menerapkan sistem sosialis, akhirnya harus "menyerah" pada ekonomi pasar. Mungkin China akan mengikuti Jepang meraih kesuksesan bersama ekonomi pasar, mengingat China punya kesanggupan tidak tunduk pada kekuatan asing yang akan menyedot surplus ekonominya.

Jadi, cara manakah yang paling tepat bagi Indonesia? Apa yang mesti dilakukan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat secepat-secepatnya? Cara apakah yang paling efektif mendorong pertumbuhan dan pemerataan? Secara akademis, kita bisa menyodorkan berbagai alternatif untuk menjawab pertanyaan ini, mulai dari Teori Tabungan dan Investasi dari Harrod- Domar, Lima Tahap Pembangunan dari Rostow, Dorongan Berprestasi dari McClelland, hingga Raul Prebisch yang berbicara mengenai perlunya industri substitusi impor, Teori Ketergantungan Andre Gunder Frank hingga Teori Pasca- Ketergantungan. Sekali lagi, secara akademis, banyak alternatif untuk memakmurkan rakyat.

Namun, dalam pengelolaan perekonomian negara, kita memerlukan suatu pijakan yang melampaui diskursus akademik. Dalam alam demokrasi, pengelolaan perekonomian negara tidak diserahkan pada teori-teori ilmiah, tetapi pada konsensus yang terhimpun dalam berbagai peraturan tertulis. Kita bisa berdebat mempertahankan teori- teori itu ketika membuat konsensus. Tetapi sekali konsensus sudah tercapai, tidak perlu ada perdebatan lagi. Yang dibutuhkan hanyalah melaksanakan konsensus itu. Inilah inti kehidupan demokrasi.

Bagi bangsa Indonesia, konsensus yang paling utama adalah Undang-Undang Dasar. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan: 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; dan 4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Empat pasal ini diyakini sebagai landasan yang paling sesuai untuk memakmurkan rakyat. Dalam Pasal 33 terkandung pengertian demokrasi ekonomi, bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.

Selanjutnya, Pasal 33 juga menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokokpokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.

Demikianlah, segala upaya mempertahankan demokrasi politik akan mubazir jika demokrasi ekonomi tidak diwujudkan. Jika perekonomian dikuasai segelintir kelompok tertentu, sebagaimana masih terjadi hingga saat ini, maka demokrasi politik akan segera berubah menjadi "demokrasi dagang". Rakyat yang tidak makmur akan mudah dibeli suaranya oleh mereka yang memiliki banyak uang. Proses pengambilan keputusan masih demokratis, tetapi tidak lagi menyuarakan aspirasi rakyat sesungguhnya. Demokrasi politik menjadi kepanjangan tangan kepentingan para penguasa uang. Dalam situasi ini, demokrasi politik akan menjadi racun bagi yang melaksanakannya.

Muslimin Nasution Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)

No comments:

A r s i p