Monday, December 10, 2007

Prolegnas Sekadar Program


Dari Target 284 RUU, Baru Diselesaikan 93


Sutta Dharmasaputra dan Sidik Pramono


Hukum berfungsi sebagai alat rekayasa sosial, instrumen penyelesaian masalah, dan instrumen pengatur perilaku masyarakat. Atas dasar itu, Program Legislasi Nasional disusun.

Mencermati pelaksanaan Prolegnas 2005-2007, yang terjadi justru sebaliknya.

Badan Legislasi DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menargetkan 284 RUU bisa diselesaikan hingga 2009. Namun, pencapaiannya masih jauh dari harapan.

Ketua DPR Agung Laksono dalam pidato penutupan masa sidang, Jumat (7/12), menyampaikan, baru 93 RUU yang diselesaikan atau sekitar 30 persen.

Akibat pencapaian target meleset, selalu ada RUU luncuran pembahasan (carry over) dari tahun sebelumnya.

Untuk tahun 2008, RUU luncuran 2005-2006 tercatat 30 RUU, sedangkan luncuran 2007 ada 19 RUU. Total RUU yang akan dibahas di 2008 menjadi 80 RUU. Padahal, berkaca dari pengalaman 2005-2007, kemampuan penyelesaian RUU rata-rata hanya 23 RUU per tahun.

Apakah target 284 RUU dalam lima tahun itu terlampau ambisius? Jika membandingkannya dengan Parlemen Jerman, target Prolegnas jauh lebih rendah. Sejak 1949, telah diajukan 8.400 RUU ke Parlemen Federal (Bundestag) dan sebanyak 6.000 lebih RUU telah diundangkan.

Berarti, rata-rata penyelesaian UU di Jerman mencapai 103 per tahun atau lima kali lipat lebih besar dari target Indonesia.

Prioritas tak jelas

Penentuan skala prioritas dalam Prolegnas pun tidak jelas karena banyak mengalami perubahan. RUU Lembaga Kepresidenan contohnya. Sudah lama masuk daftar prioritas, tetapi tak kunjung dibahas.

Dalam Daftar Prolegnas 2005-2009, RUU Lembaga Kepresidenan ditempatkan di nomor urut 1. Namun, pada Prolegnas 2005 digeser ke nomor urut dua, terkalahkan oleh RUU Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Pada Prolegnas 2006, RUU Lembaga Kepresidenan digeser lagi ke urutan 26 dari 44 RUU yang diprioritaskan. Di tahun 2007, RUU Lembaga Kepresidenan malah raib dari daftar. Demikian juga dalam Daftar Prolegnas 2008.

Ada juga RUU yang tiba-tiba nyelonong masuk. Menurut Ketua Baleg DPR FX Soekarno, RUU Lembaga Penjaminan Ekspor Indonesia adalah salah satunya.

"Tiba-tiba saja ada surat Presiden masuk ke DPR," ucapnya.

Politisi dari Fraksi Partai Demokrat ini tidak habis pikir mengapa hal itu sampai terjadi mengingat penetapan skala prioritas Prolegnas sudah merupakan kesepakatan bersama antara DPR dan pemerintah

Lain lagi dengan RUU Pembentukan Daerah Otonom. Kendati Presiden berkali-kali menyerukan perlunya jeda, RUU ini malah dengan cepat diselesaikan. Rapat Paripurna 6 Desember 2007 lalu pun baru menyelesaikan lagi 6 RUU Pembentukan Daerah Otonom.

RUU pemekaran ini memang dikenal sebagai RUU Copy Paste. Isinya sama persis satu sama lain. Isinya seragam terdiri dari 26 pasal, hanya nama daerah yang berbeda satu sama lain.

Apakah perubahan skala prioritas ini karena ada faktor politik uang atau faktor kekuasaan? FX Soekarno memastikan hal itu tidak terjadi di Baleg. "Di komisi lain, saya tidak tahu," ujarnya.

Tanggung jawab DPR

Siapakah yang paling bertanggung jawab atas tak tercapainya Prolegnas ini?

UUD 1945 hasil amandemen menegaskan, "DPR memegang kekuasaan membentuk UU." Jika mau disebut sebagai "parlemen bekerja", salah satu parameter terukurnya pun adalah realisasi fungsi legislasi.

Bagi anggota Baleg DPR, Saifullah Ma’shum (Fraksi Kebangkitan Bangsa), Prolegnas belum terpenuhi antara lain karena kekuasaan DPR untuk membentuk undang-undang belum diikuti dengan perubahan kinerja, orientasi, dan instrumen pendukung.

Perubahan tersebut mestinya dilakukan sistemik lewat perubahan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta tata tertib DPR. Tanpa itu, hampir mustahil DPR mengatasi rendahnya produktivitas membuat undang-undang.

Saifullah juga menunjuk faktor teknis sebagai kendala, seperti proses pembagian waktu dan tumpang-tindihnya jadwal pembahasan. Dia menilai perangkapan keanggotaan panitia khusus sudah di luar batas kewajaran.

Untuk merampungkan target Prolegnas, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar) menganggap perlu adanya pembatasan waktu pembahasan RUU. Dengan perkembangan yang terus terpantau, tidak akan ada lagi RUU yang ditugaskan Badan Musyawarah DPR yang tidak kunjung dibahas.

Bagi Saifullah, karena sebagian terbesar wakil rakyat adalah politisi, mereka perlu dukungan pakar. DPR butuh dukungan staf ahli, juga kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga hukum untuk mempersiapkan draf berikut naskah akademisnya.

Di AS, misalnya, setiap anggota lembaga legislatif diberi dukungan pendamping ahli oleh negara dan parpol. Untuk periode 2005-2009, ke-614 anggota parlemen Federal Jerman mendapat alokasi maksimal 13.660 euro untuk membayar honor staf.

Kendati demikian, soal dana tidak bisa selalu dijadikan alasan mengingat anggaran legislasi di DPR juga sudah terus ditingkatkan di tengah kondisi masyarakat yang semakin miskin.

Apabila di periode 1999-2004 anggaran legislasi hanya Rp 200 juta per undang-undang, periode 2004-2009 terus meningkat menjadi Rp 400 juta, Rp 560 juta. dan kini Rp 1,7 miliar.

Akan tetapi, kenaikan anggaran legislasi ini belum membuat DPR independen dan tidak tergoda kepentingan penguasa atau pemilik modal.

Kasus aliran dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan ke DPR pun terjadi setelah anggaran legislasi mengalami kenaikan. Kasus aliran dana dari Bank Indonesia juga mengindikasikan itu.

Dengan kata lain, kinerja para legislator di tahun 2008 harus lebih dicermati lagi. Dengan semakin mendekati pemilu, bukan tidak mustahil anggota Dewan lebih sibuk berkampanye ketimbang menyelesaikan Prolegnas.

No comments:

A r s i p