Monday, December 17, 2007

Laporan Akhir Tahun 2007


Kepemimpinan Muda yang Ditunggu


M Hernowo dan Sutta Dharmasaputra


Dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda Ke-79, pada 28 Oktober lalu, ratusan kaum muda berikrar membangun Indonesia yang sejahtera sebagaimana diserukan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Mereka juga menyatakan, sekarang saatnya kaum muda untuk memimpin.

Dampak acara itu ternyata amat besar. Sampai sekarang orang masih saja membicarakannya," kata Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, awal Desember lalu. Ray adalah salah seorang penggagas acara yang digelar di halaman Gedung Arsip Nasional, Jakarta, ini.

Hangatnya sambutan atas acara yang sampai sekarang belum jelas kelanjutannya itu setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, adanya kegelisahan masyarakat atas kemampuan pemerintah mengatasi berbagai masalah, khususnya di bidang ekonomi.

Kegelisahan itu membuat masyarakat mulai mencari sosok pemimpin alternatif. Bahkan, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia pada Oktober 2007 menunjukkan, hanya 29,3 persen responden yang menginginkan Susilo Bambang Yudhoyono kembali sebagai presiden pada 2009-2014, sedangkan yang tak menginginkan mencapai 43,1 persen, dan yang tidak tahu atau tidak menjawab ada 27,6 persen.

Kedua, sebagian masyarakat tidak yakin bahwa mereka yang selama ini disebut akan bertarung pada Pemilihan Umum 2009 mampu menyelesaikan masalah yang ada. Sebab, nama- nama seperti Megawati Soekarnoputri, Wiranto, atau Sutiyoso sudah diketahui kapasitas, karakter, dan juga "dosa-dosanya".

Dalam keadaan ini, masyarakat lalu melihat adanya harapan pada kaum muda, baik dari segi usia maupun pemikiran. Namun, Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan Fadjroel Rachman memperkirakan, pemimpin baru atau muda akan terlihat tahun 2014. Sebab, pada saat itu tokoh- tokoh dari generasi pertama era reformasi yang diperkirakan masih mendominasi pada 2009 sudah akan jauh berkurang karena dimakan usia.

Meski demikian, persiapan bagi munculnya pemimpin baru tahun 2014 sudah harus dipersiapkan sejak sekarang.

"Duduk di pemerintahan adalah cara paling mudah untuk dikenal dan menunjukkan kemampuannya kepada rakyat sehingga jalan paling mungkin untuk memenangi pemilihan presiden 2014 adalah dengan menjadi gubernur, duduk di kabinet, atau ketua umum partai besar tahun 2009. Jika 2014 ingin jadi gubernur, sekarang harus mulai jadi wali kota, bupati, atau jajaran ketua di DPRD provinsi," kata Pius Lustrilanang, mantan aktivis mahasiswa yang diculik tahun 1997-1998.

Peran parpol

Untuk mendapatkan posisi di pemerintahan ini, peran parpol menjadi amat penting. Sebab, kemunculan pemimpin baru seharusnya tetap melalui prosedur. Prosedur yang paling terbuka saat ini adalah lewat partai politik.

Sekarang memang ada kemungkinan bagi munculnya calon perseorangan. Namun, dalam situasi normal dan demokrasi yang sudah mapan (Indonesia seharusnya selalu mengarah ke sana), calon dari perseorangan umumnya sulit mengungguli calon dari parpol. Ini terlihat, misalnya, dari belum adanya calon perseorangan yang memenangi pemilihan presiden di Amerika Serikat.

Kenyataan ini memang cukup ironis jika dibandingkan dengan masih buruknya citra parpol. Boni Hargens, pengajar ilmu politik Universitas Indonesia, misalnya, sampai sekarang masih menolak masuk parpol karena belum memercayai lembaga itu.

Hasil survei Indo Barometer dan Lead Institute pada Juli 2007 menunjukkan, hanya 20,4 persen responden yang memandang parpol sebagai jalur kaderisasi ideal untuk presiden dan kepala daerah. Persentase ini di bawah jalur akademisi atau intelektual yang 29,3 persen.

"Jika memang (parpol) kotor, mengapa kita tidak membersihkan?" tanya Wila Chandrawila Supriadi, guru besar Ilmu Hukum Universitas Parahyangan Bandung.

Wila, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, menyarankan, orang potensial yang berminat dalam politik sebaiknya masuk ke parpol. Sebab, ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas parpol dan akhirnya juga demokrasi di Indonesia.

Hal senada disampaikan Nurul Arifin, artis yang kini terjun ke dunia politik lewat Partai Golkar. Menurut dia, parpol juga mulai memberi ruang bagi orang-orang baru dan muda yang berkualitas sebab telah muncul kesadaran bahwa cara ini akan membantu mereka untuk terus eksis. Keadaan ini akan membuka kesempatan bagi kaum muda untuk berkembang.

Nurul yang sekarang ditempatkan di Departemen Seni dan Pemberdayaan Perempuan, DPP Partai Golkar, memang mengakui, untuk masuk dan apalagi eksis di parpol yang sudah mapan tidaklah mudah. Namun, sudah banyak kaum muda yang terbukti mampu, bahkan beberapa dari mereka, seperti Anas Urbaningrum di Partai Demokrat, Anis Matta (PKS), dan Yuddy Chrisnandi (Partai Golkar), sudah memberi warna di partainya.

Keberadaan Wila sebagai pakar hukum ternyata juga memberi warna positif di DPR. Pendapat-pendapatnya yang kritis mampu meningkatkan kualitas persidangan di lembaga itu. "Dunia akademis bicara tentang apa yang diharapkan. Saat berjuang di politik praktis kita melihat kenyataan," jelasnya.

Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari juga mengatakan, selain membuat sejumlah peraturan, cara lain untuk memperbaiki kinerja parpol adalah memasukkan lebih banyak orang baik di dalamnya. Langkah itu sekarang sudah dimulai.

Namun, sejarah menunjukkan, kemilau kekuasaan sering membuat orang-orang baik itu "lupa". Keadaan ini pula yang pernah disesalkan aktivis mahasiswa 1966, Soe Hok Gie, saat melihat temannya sesama aktivis yang mabuk kepayang saat duduk di sedan Holden.

Supaya kesalahan serupa tak terulang, Qodari mengusulkan perlunya dibangun aliansi besar antara mereka yang ada di parpol dan dunia "luar" seperti kalangan kampus dan bisnis. Aliansi ini harus mencakup tokoh- tokoh di Jakarta dan daerah.

Dengan aliansi ini diharapkan akan terus ada saling kontrol antara mereka yang ada di dalam dan luar parpol sehingga mereka dapat tetap teguh memegang komitmennya untuk kesejahteraan Indonesia.

Aliansi semacam ini dibutuhkan untuk menciptakan sinkronisasi dan saling pemahaman atas yang dilakukan masing-masing pihak.

Akhirnya, aliansi ini akan mendorong masing-masing pihak menjalankan perannya secara maksimal. Intelektual dan kalangan masyarakat sipil dapat berkonsentrasi untuk memberi rambu tentang apa yang harus dikerjakan dan tidak. Mereka yang ada di parpol dapat mengelola kekuasaan sesuai jalan yang seharusnya sehingga kaum bisnis dapat tenang dan pasti menjalankan perekonomian.

Pembangunan aliansi ini seyogianya mulai dilakukan oleh kaum muda atau siapa saja yang menginginkan Indonesia yang lebih baik. Ego sektoral yang biasa membayangi di sejumlah kerja sama harus diakhiri. Kenyataan bahwa tiadanya persatuan yang membuat negara ini dijajah selama sekitar 350 tahun perlu menjadi pelajaran. Masalah bangsa ini juga terlalu besar jika hanya ditanggung oleh kelompok tertentu.

Akhirnya, hanya dengan aliansi besar itu pada tahun 2008 kita tidak hanya disibukkan dengan wacana. Namun, sudah bekerja sama untuk satu tujuan, yaitu menciptakan kesejahteraan rakyat seperti tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. "Kebingungan" kita juga akan berubah dari mencari menjadi memilih pemimpin karena semua calon punya kompetensi yang diandalkan. Semoga....

No comments:

A r s i p