Saturday, December 29, 2007

Pemilu 2009



Golkar Harus Ubah Strategi Politik


Yogyakarta, Kompas - Wakil Ketua Dewan Penasihat DPP Partai Golkar Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, belajar dari realitas Pemilu 2004, untuk meraih kesuksesan di Pemilu 2009, Partai Golkar harus mengubah strategi politiknya, yakni melalui pemenangan berbasis citra positif kandidat.

"Pilpres (Pemilihan Presiden) 2004 membuktikan, pola politik masyarakat telah bergeser dari politik simbolis ke arah politik realitas. Simbol-simbol hegemoni dan mesin partai politik terbukti dikalahkan oleh rakyat," kata Sultan dalam pidato kuncinya pada seminar "Kontemplasi Partai Golkar 2007 guna Membangun Semangat dan Sukses 2009", Jumat (28/12) di Yogyakarta.

Seorang kandidat—baik untuk pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden/wakil presiden—harus benar-benar dikenal luas dan populer di mata pemilih. "Pilpres 2004 telah memperkenalkan kita budaya politik populis. Popularitas seorang kandidat lebih penting dibanding kekuasaan partai dan kekuatan birokrasi. Ini adalah budaya politik baru yang tidak pernah dikenal dalam budaya politik Indonesia," katanya.

Pada Pilpres 2004, Susilo Bambang Yudhoyono yang notabene berangkat dari partai kecil, Partai Demokrat, mengalahkan Megawati-Hasyim Muzadi. Padahal, Megawati dan Hasyim diusung PDI-P, partai yang memperoleh suara terbanyak kedua pada pemilu legislatif 2004.

Sudah lama

Budaya politik populis, kata Sultan, sudah lama dikenal di negara-negara demokrasi yang melakukan pilpres secara langsung. Di Amerika Serikat, misalnya, citra seorang kandidat sengaja dibuat sedemikian rupa oleh lembaga-lembaga kehumasan. Peran media, lanjutnya, sangat penting dalam proses pencitraan kandidat ini.

Sultan berkeyakinan, budaya politik populis seperti itu akan menjadi ukuran keberhasilan suatu partai pada Pemilu 2009. Pencitraan, katanya, bisa membuat seorang kandidat dinilai arif, cerdas, tegas, dan religius.

Dalam budaya politik populis yang berlaku adalah hukum pasar. Barang yang akan dijual harus dikemas dengan tujuan menarik pembeli. "Setuju atau tidak, realitas semacam ini yang harus dihadapi politikus dalam pemilu mendatang," paparnya.

Dua unsur penting dalam pencitraan, kata Sultan lagi, adalah kapabilitas kandidat, seperti yang menyangkut kapasitas pemikiran, moral, karisma, intelektual, stamina fisik, dan pengalaman karier calon. Kedua, menyangkut empati. Faktor empati menjadi salah satu faktor yang memenangkan Yudhoyono. "Pada 2004 SBY muncul sebagai sosok yang tersia-siakan," katanya. (RWN)

No comments:

A r s i p