Monday, December 10, 2007

Duet Golkar-PDIP Dituding Tukang Ngibul



Jakarta, myRMnews. "Duet" Partai Golkar-PDI Perjuangan dituding bohong. Sebab, usul partai beringin dan partai banteng itu untuk menerapkan sistem proprosional terbuka terbatas dalam penetapan caleg terpilih pada Pemilu 2009 terindikasi sekadar mengukuhkan kemenangan calon atas dasar nomor urut.

Menurut Direktur Cetro (Center for Electoral Reform) Hadar Navis Gumay, pada Pemilu 2004, sebagian besar caleg Golkar dan PDI Perjuangan gagal meraih perolehan suara 25 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP). "Apalagi sampai meraih 50 persen dari BPP," katanya kepada Jawa Pos kemarin (2/12).

Hadar mengatakan, kalau mau lebih jujur, dengan angka 25 persen apalagi 50 persen, itu sulit tercapai. "Pada akhirnya, sebagian besar caleg terpilih tetap kembali kepada nomor urut," ujarnya.

Komentar Hadar itu merupakan tanggapan atas tawaran Golkar bahwa caleg bisa terpilih bila sukses memperoleh minimal 50 persen dari BPP (bilangan pembagi pemilih). Sementara itu, PDIP menyodorkan alternatif yang lebih rendah, yaitu 25 persen dari BPP.

Kelompok partai-partai menengah, seperti PAN, PKS, PPP, PKB, dan Partai Demokrat (PD), justru memilih untuk memberangkatkan calegnya ke Senayan atas dasar perolehan suara terbanyak. Sistem inilah yang dikenal dengan sebutan sistem proporsional terbuka murni. "Seharusnya memang terbuka murni," tegas Hadar.

Menurut dia, kekecewaan yang berkembang di masyarakat pemilih sebagai imbas dari sistem proporsional terbuka terbatas sangat kelihatan. "Banyak yang bingung. Calonnya dapat suara banyak, tapi malah nggak jadi. Wajar, masyarakat merasa dikelabui," ungkapnya.

Dia menyebut, dengan menggunakan acuan persentase tertentu dari BPP seperti yang diajukan Golkar dan PDIP, kondisinya tetap tidak akan jauh berbeda dengan Pemilu 2004 yang menerapkan 100 persen dari BPP. "Hanya kata-katanya yang lain. Dalam praktiknya, mayoritas caleg yang masuk ke Senayan tetap terpilih berdasar nomor urut," katanya.

Hadar lantas membuat simulasi dengan menggunakan data pemilu anggota DPR 2004. Bila mengacu kepada ketentuan 25 persen dari BPP, Partai Golkar tidak akan mampu memenuhinya di 27 dapil (39,1 persen). PDIP gagal menembus di 54 dapil (78,3 persen). "Kondisinya lebih parah lagi kalau standarnya 50 persen dari BPP," tambahnya.

Dia menyebut, Partai Golkar tidak akan mampu memenuhinya di 60 dapil (87,0 persen) dan PDIP di 66 dapil (95,7 persen). (Data lengkap lihat grafis).

"Mereka itu (caleg yang tak mampu menembus 25 atau 50 persen dari BPP, Red), ya kembali lagi ke nomor urut. Maka, dalam pandangan saya, tawaran manis Golkar dan PDIP itu lagi-lagi hanya akan mengelabui masyarakat," tuturnya.

Tapi, itu kan simulasi yang dibuat dengan data 2004, bagaimana pada Pemilu 2009? "Pergeserannya pasti tidak jauh berbeda. Sebab, jumlah parpol peserta pemilu masih banyak dan tidak ada parpol yang terlalu menonjol atau istimewa sehingga perolehan suara melonjak secara drastis," jelasnya.

Menurut Hadar, sikap parpol besar yang cenderung ngotot mempertahankan sistem proporsional terbuka terbatas hanya akan merusak proses demokrasi di internal parpol terkait. "Masyarakat sudah cukup lelah. Jadi, berikanlah hak ini kepada masyarakat. Toh, setiap caleg juga tidak mungkin bisa maju kalau bukan dari mekanisme parpol," tandasnya.

Dalam penilaian Hadar, selain ingin memastikan loyalitas wakil rakyat terpilih kepada parpolnya dan kontrol parpol itu, sebenarnya ada motif lain yang melatarbelakanginya. "Parpol yang mendesak sistem terbuka terbatas ingin sekali orang-orang yang dekat dengan mereka itu menjadi caleg terpilih nantinya," bebernya.

Dengan kata lain, kalau sistemnya terbuka murni sehingga caleg dengan perolehan suara terbanyak yang terpilih, berkembang semacam kekhawatian. "Mereka (para elite parpol, Red) mungkin tidak yakin jagoannya akan menang," tegasnya. jpnn

No comments:

A r s i p