Monday, December 10, 2007

Tantangan bagi Pejabat Boros


Lily Yulianti Farid


Sepanjang tahun ini, kita menyaksikan betapa semua pihak berlomba-lomba menyatakan tekad "mendinginkan Bumi". Dari pejabat tinggi hingga kelompok akar rumput menyuarakan keprihatinan mendalam akan Bumi yang makin panas.

Hari-hari menjelang pelaksanaan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali (3-14 Desember), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku mengantongi buku panduan Climate Change ke mana-mana. Gerakan penanaman sejuta pohon dilakukan serentak se- cara nasional. Sepeda gratis yang disiapkan di kawasan Bali International Convention Center bagi peserta pertemuan menjadi simbol peduli lingkungan.

Topik pemanasan Bumi yang beberapa tahun lalu hanya dibahas secara mendalam di ruang seminar dan jurnal ilmiah kini menjadi berita utama bersanding dengan peristiwa politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Di warung kopi, orang pun mengeluhkan hujan, banjir, gelombang pasang, hingga penyakit menular dengan menyisipkan kalimat, "Ini gara-gara global warming kan."

Tidak simbolis dan berkeadilan

Dalam pembicaraan mengenai upaya mengatasi pemanasan global, ada dua elemen penting yang layak dibahas lebih jauh, yakni tidak simbolis dan menunjukkan contoh perilaku. Upaya gaya hidup ramah lingkungan yang tidak lagi berkutat pada "aktivitas dalam rangka" atau bersifat simbolis, seperti penanaman pohon.

Ketika mantan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi tiga tahun lalu memanfaatkan musim panas untuk mulai mengampanyekan Cool Biz—pakaian kerja yang lebih sejuk tanpa jas dan dasi hingga mesin pendingin udara di gedung perkantoran bisa disetel 28 derajat Celsius dan tak boros energi—masih banyak pegawai kantor di Jepang yang mengerutkan dahi, tanda tak paham.

Kebijakan Cool Biz ini terus dikembangkan di bawah pemerintahan PM Abe dan juga kemudian PM Fukuda. Ada tim permanen di Kementerian Lingkungan Hidup Jepang yang terus memperluas jangkauan Cool Biz di sektor pemerintah dan swasta sehingga Cool Biz menjadi bagian tidak terpisahkan dari upaya hemat energi pada musim panas.

PM Australia Kevin Rudd setelah resmi dilantik Senin (3/12) langsung menandatangani dokumen untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Di kabinetnya, ada seorang menteri yang khusus mengurusi masalah perubahan iklim, yang memang menjadi tema utama kampanyenya.

Gaya hidup ramah lingkungan

Elemen kedua yang tak kalah penting adalah perilaku. Dalam setahun ini makin banyak orang menjadi fasih berbicara tentang gejala alam yang tak bersahabat. Pejabat pemerintah makin sering mengutip global warming dalam pidatonya. Mencairnya salju di puncak Gunung Kilimanjaro, panen kopi petani Afrika yang gagal, ancaman tenggelamnya negara kecil Tuvalu di Pasifik akibat gelombang pasang, semua menjadi wacana yang tersaji di berita media utama dan juga menjadi bahan percakapan. Sementara para pahlawan lingkungan menyerukan gaya hidup green hendaknya menjadi tak terpisahkan dari gaya hidup masa kini.

Pertanyaannya untuk kontes para pejabat di Indonesia, terobosan seperti apakah yang bisa dilakukan di semua tingkatan agar gaya hidup ramah lingkungan tidak sekadar simbol dan justru menimbulkan paradoks?

Sebenarnya, gaya hidup ramah lingkungan berbanding lurus dengan sikap tidak boros alias hidup sederhana. Jadi, bila pandangan masyarakat umum masih beranggapan bahwa sangat sulit mencari pejabat yang dapat dijadikan panutan hidup sederhana, maka tentu sulit juga mencari pejabat yang menerapkan green life style secara menyeluruh. Apalagi mengharapkan sang pejabat menjadi ikon cinta lingkungan.

Bukankah being green mengedepankan hidup hemat, menganjurkan 3R (reduce, reuse, recycle)? Sementara yang selalu menjadi sorotan media adalah justru gaya hidup rakus tak terkendali, yang ditunjukkan sebagian kalangan pejabat, yang dalam hidup sehari-hari mengoleksi puluhan mobil (baca: sumber emisi gas rumah kaca), dan dalam pengambilan kebijakannya justru bermuslihat merekayasa kelayakan lingkungan proyek-proyek pembangunan.

Pejabat yang dikenal hidup boros akan terlihat aneh jika berpidato tentang perlunya gaya hidup ramah lingkungan. Di negara-negara yang kesadaran lingkungannya sudah tinggi, pejabat yang gencar berteriak menyelamatkan Bumi menghitung betul kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca dari perilaku sehari-harinya kalau tak ingin sekadar dicap jual kecap dan menghadapi risiko ditinggalkan pendukungnya.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup Kenya Wangari Maathai, yang meraih Hadiah Nobel dipuja karena kerja kerasnya menghijaukan hutan, turun langsung menciptakan jalur hijau berbasis akar rumput di negaranya. Ia tidak sekadar berpidato di atas podium.

Sekarang, dengan momentum Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim yang tengah berlangsung di Bali, kita perlu mengajukan tantangan bagi para pejabat: dapatkah mereka benar-benar menunjukkan perilaku "mendinginkan Bumi" dengan menanggalkan sikap boros mereka?

Wakil negara-negara berkembang dan terbelakang yang berkumpul di Bali mendesak negara-negara maju penghasil emisi gas rumah kaca utamanya—khususnya Amerika Serikat sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia—untuk mengambil tanggung jawab lebih besar mendinginkan Bumi.

Kelompok LSM dan kalangan independen juga telah mendesakkan upaya penanggulangan pemanasan global yang berkelanjutan dan tidak makin menyusahkan kaum marjinal. Karena menurut laporan Human Development UNDP 2007/2008, korban utama pemanasan global adalah orang miskin di negara-negara berkembang, di mana diperkirakan 332 juta orang akan tergulung banjir dan badai akibat penyimpangan cuaca, sementara 1,8 miliar orang kesulitan mendapatkan air bersih akibat kondisi lingkungan makin buruk.

Kini saatnya kita mendesak para pejabat di segala tingkatan untuk menunjukkan kesungguhan mereka menampilkan gaya hidup ramah lingkungan (untuk perilaku sehari-hari) dan mengedepankan penyelamatan lingkungan dalam program pemerintahannya. Para pejabat yang asap mobil mereka membuat rakyat terbatuk-batuk di pinggir jalan. Para pejabat yang melenggang bebas hambatan di jalan raya dan bebas menyetel mesin pendingin ruangan sesejuk mungkin, sambil menandatangani kebijakan-kebijakan yang makin mengoyak Bumi.

Lily Yulianti Farid Language Specialist untuk NHK World di Tokyo

No comments:

A r s i p