Thursday, December 6, 2007

Kalla, Socrates, dan Demokrasi


Andaikan ada orang di Paris secara terbuka mengkritik sistem pemerintahan demokrasi atau sistem sejenisnya tahun 1789, mungkin orang itu bisa bernasib sama dengan Raja Louis XVI dan Marie Antoinette yang dijatuhi hukuman mati, penggal kepala dengan alat guillotine.

J Osdar

Paling tidak, orang itu akan menerima kecaman dari orang-orang yang anti-ancient regime (rezim lama).

Ribuan tahun sebelumnya di Athena, filsuf besar Yunani, Socrates (470-399 sebelum masehi), dijatuhi hukuman mati minum racun oleh pemerintah dan masyarakat yang mendewakan sistem pemerintahan demokrasi. Seorang penulis dari Amerika, IF Stone, dalam buku berjudul The Trial of Socrates ("Pengadilan Socrates") memberi subjudul bukunya itu dengan kalimat, Skandal terbesar dalam demokrasi Athena.

Stone dalam bukunya juga mengatakan, paradoks dalam pengadilan Socrates adalah kota yang terkenal menghormati kebebasan berbicara itu menuntut seorang filsuf yang tak melakukan kesalahan apa pun, selain mempraktikkan kebebasan berbicara. Ia mengatakan pula, "Socrates dipersalahkan untuk sesuatu yang ia katakan bukan untuk sesuatu yang ia lakukan."

Kini, kejadian sedikit mirip, terjadi setelah Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengatakan, demokrasi bukan tujuan, tetapi alat untuk mencapai suatu masyarakat sejahtera. Pernyataan itu menyulut kritik di tengah eforia reformasi yang saat ini belum surut. Elite politik yang dulu mendukung pemerintahan Orde Baru tidak mau disebut secara terbuka sebagai penentang reformasi atau demokrasi.

Untuk mengetahui lebih jauh apa sebenarnya sikap Kalla atau yang sering disapa JK ini, Kompas menemuinya di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, pekan lalu. Sekitar satu jam, Kalla membicarakan berbagai hal, termasuk soal Konvensi Partai Golkar dan demokrasi.

Selama satu jam itu, Kalla tampil tidak jauh berbeda dengan beberapa tahun lalu sebelum menjadi wapres. Pakaiannya sederhana, bicaranya ceplas-ceplos, dan bibirnya selalu tampak seperti tersenyum. JK juga tidak terlalu protokoler dan birokratis menerima tamunya.

Serentetan kalimat yang dikatakan adalah apologia atas pernyataannya yang menuai berbagai kritik. Pertama, ia mengatakan tidak pernah menomorduakan demokrasi. "Saya hanya ingin membedakan antara tujuan dan sistem atau cara untuk mencapai kesejahteraan. Demokrasi bagaimana yang sesuai dengan kondisi kita. Itu yang paling perlu kita kaji ulang atau kita pelajari," ujar Kalla.

Ia tidak ingin cara demokrasi yang boros tak efisien. Ia memperlihatkan, selama lima tahun di Indonesia bisa berkali-kali datang ke kotak suara untuk pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, serta pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Menurut dia, sampai ada orang luar negeri mengatakan, "Indonesia ini adalah ibu kota pemilihan umum di dunia."

Menurut perhitungan Kalla, bila dihitung dari 460 kabupaten dan 33 provinsi di Indonesia, ditambah pemilihan presiden dan DPR, selama lima tahun setiap empat hari ada satu pemilu. Itu yang membuat ada pengajuan anggaran untuk pemilihan umum sebesar Rp 149 triliun. "Saya bilang kepada fraksi di DPR, jangan bikin capek bangsa ini dengan pilkada," ujarnya.

Ia juga mengatakan, konvensi di Partai Golkar tidak identik dengan sistem demokrasi. Pemilihan calon lewat musyawarah nasional dan rapat pimpinan nasional juga bisa dilakukan secara demokratis.

Kasus Nurcholish

JK menggugat Konvensi Partai Golkar dengan mundurnya budayawan Nurcholish Madjid dari konvensi pada Juli 2003. Saat mundur, Nurcholish antara lain mengatakan, dia melihat ada kesenjangan nilai dan etika antara platform dan prinsip yang dipegangnya dengan kenyataan praktik konvensi. Nurcholish memperjelas kesenjangan etika dengan mengatakan, "Saat menyampaikan misi dan visi, kami ditanya mana gizinya." Yang dimaksud gizi itu adalah uang.

Itulah noktah hitam dari konvensi. Kalla mengatakan, demokrasi alat Amerika Serikat (AS) jangan dimasukkan secara murni di Indonesia. Di negara lain ada demokrasi, namun disesuaikan dengan kulturnya, seperti di Jepang, Perancis, dan Inggris.

Menurut Kalla, sebenarnya AS berdemokrasi baru tahun 1964, setelah negerinya makmur. "Awal tahun 1960-an, Anda naik bus akan melihat orang kulit hitam ditaruh tersendiri di belakang. Itu diskriminasi. Lalu, kita tahu setelah 200 tahun merdeka, AS baru bisa menerima seorang presiden beragama Katolik," ujarnya.

Ia juga bercerita saat di AS bicara soal reformasi tahun 1998. "Ketika di Washington, saya bicara pada anggota Kongres dan pengusaha. Kalian sebenarnya tidak menginginkan demokrasi, tetapi ingin stabilitas. Coba lihat, saat reformasi terjadi di Indonesia, datang orang AS berterima kasih. Indonesia adalah negeri demokrasi yang besar. Setelah itu, terbang ke China dan berinvestasi di sana. Padahal, China bukan pemerintahan demokrasi," ujarnya.

Socrates menentang pemerintahan absolut raja, tetapi juga menentang cara pemilihan demokratis yang membuka celah politik uang. Socrates menginginkan pemilu bukan seperti main judi (dengan undian). Kritik Socrates disampaikan terbuka. Kalla juga menyampaikan pendapat tentang demokrasi secara terbuka tatkala elite politik (termasuk yang dulu mendukung Orde Baru) gandrung disebut pembela gerak reformasi.

Kalla berani menyampaikan pendapat itu. Ia dituduh menentang demokrasi. Padahal, pendukung Orde Baru pun tidak suka disebut antidemokrasi. Sebab, mereka juga berkata, "Bagaimana kita tidak demokratis, kan setiap lima tahun menyelenggarakan pemilu."

No comments:

A r s i p