Friday, December 21, 2007

Demokrasi, Alat atau Tujuan?

Akhir November lalu, Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla mengatakan demokrasi hanyalah cara, alat atau proses, dan bukan tujuan, sehingga bisa dinomorduakan di bawah tujuan utama peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat.

Menurut Kalla, pemilu jangan hanya dianggap sebagai kegiatan yang menghabiskan ongkos. Pemilu justru harus dinilai sebagai investasi bagi bangsa, hanya saja pemilu seharusnya efisien dan tidak boros. Karenanya ke depan pelaksanaan pilkada harus dievaluasi lagi agar dapat meminimalisasi konflik dan tidak memberatkan. Entah sebagai respons atas pernyataan Kalla atau bukan, baru-baru ini Gubernur Lemhannas Muladi melontarkan gagasan agar pilkada untuk gubernur dihapuskan, sebagai gantinya gubernur ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat (presiden).

Menurut Muladi, demokrasi yang berlangsung selama 10 tahun terakhir sudah kebablasan. Demikian juga dengan pilkada. "Akhirnya yang kita telan adalah praktik korupsi dan disintegrasi sosial," katanya pada acara seminar HAM di Jakarta, 12 Desember lalu. Bagaimana pernyataan Kalla dan gagasan Muladi itu harus disikapi? Sebenarnya sangat tergantung kepada siapa kita mempertanyakannya. Jika diajukan kepada Brunei Darussalam, sangat mungkin mereka mengatakan demokrasi bukanlah sesuatu yang urgen. Tak perlu partai politik (apalagi yang jumlahnya banyak seperti di Indonesia), tak perlu pula pemilu.

Sebab, mereka umumnya sudah sejahtera. Jadi, apa relevansinya mewacanakan demokrasi? Entahlah jika pertanyaan serupa diajukan lagi kepada mereka sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Begitu pun jika pertanyaan itu diajukan kepada sejumlah negara monarki yang makmur seperti Swiss dan beberapa negara Arab.Mungkin mereka malah khawatir demokrasi hanya akan membuat kehidupan mereka kacau dan tak tertib. Dulu, di masa Yunani Kuno, peradaban demokratis di negara kota Athena diakui sebagai contoh pelaksanaan demokrasi yang paling baik.

Apalagi, saat itu belum ada sistem perwakilan. Itulah yang membuat demokrasi Athena disebut "demokrasi langsung". Tapi, negara kota yang berperadaban tinggi dan makmur itu akhirnya hancur karena kalah perang melawan tentara Sparta. Kejayaan Athena pun berlalu. Kenyataan pahit itulah yang membuat para filsuf saat itu menilai demokrasi sebagai sesuatu yang buruk. Menurut mereka, kebebasan yang kebablasan dalam demokrasi hanya menimbulkan situasi saling kritik yang berakibat konflik dan kekacauan.

Sebaliknya, sistem pengelolaan negara yang menekankan disiplin, ketertiban, dan kontrol sosial sangat ketat alat militeristik justru menyebabkan negara tersebut unggul. Sejak itulah maka selama berabad-abad demokrasi dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Seiring waktu, demokrasi pun kembali berkembang. Apalagi, setelah sistem demi sistem terbukti gagal, demokrasi pun kian menjadi alternatif sistem yang paling banyak diminati negara-negara di dunia. Namun, apakah sistem ini tidak memiliki kelemahan sama sekali? Tentu saja ada.

Di aras struktural, misalnya, demokrasi yang meniscayakan kekuasaan negara dibagi-bagi demi meminimalisasi absolutisme dan korupsi kekuasaan menyebabkan anggaran negara banyak dihabiskan untuk membangun pelbagai institusi - baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Di aras prosedural, demokrasi yang meniscayakan kebebasan dan kesetaraan menyebabkan pelbagai proses pemilihan para elite dan pembuatan kebijakan publik kerap berjalan secara bertele-tele dan tidak efisien.

Di aras budaya, nilai kebebasan dan kesetaraan pulalah yang kerap menyebabkan terjadinya konflik dan kekacauan. Indonesia baru saja mendapatkan medali demokrasi dari International Association of Political Consultants (IAPC) pada 12 November lalu. Sungguhkah Indonesia sudah demokratis? Tak perlu diragukan. Lihat saja, bukankah sejak terpinggirnya Soeharto pada 1998 sejumlah agenda reformasi telah berhasil diwujudkan? Sebutlah misalnya partai politik, pers, dan asosiasi sipil yang bebas didirikan.

Memasuki 2004, untuk pertama kalinya kita menyelenggarakan pemilu secara bebas dan langsung. Betul-betul langsung, dalam arti kita mencoblos kartu-kartu yang ada nama dan foto calonnya. Baik untuk calon legislator nasional (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR), legislator daerah (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD), maupun legislator tanpa partai (Dewan Perwakilan Daerah/DPD). Luar biasa, saat itu parlemen Indonesia sudah terbagi menjadi dua "kamar", dengan berdirinya lembaga DPD. Beberapa bulan berselang, kita pun memilih lagi calon presiden dan wakil presiden sekaligus dengan cara yang sama.

Tetapi lantaran belum ada pemenang signifikan, putaran kedua pun digelar hingga akhirnya muncullah nama Susilo Bambang Yudhoyono dan M Jusuf Kalla sebagai duet pemimpin periode 2004-2009 itu. Inilah pemilu yang nilai demokratisnya sangat tinggi. Artinya, jika ada calon yang tak disukai rakyat, si calon niscaya tak bakal menang. Jadi, di sana ada proses "pembersihan politik" bagi figur-figur calon pemimpin yang tidak disukai, dan yang remote control-nya dipegang oleh rakyat. Bukankah kedaulatan sejati berada di tangan rakyat? Seiring waktu, daerah-daerah pun menggelar pemilu masing-masing, yang disebut pemilihan kepala daerah (pilkada).

Bukan hanya untuk memilih gubernur, tapi juga bupati atau wali kota. Maka, seusai pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden pada 2004 yang relatif aman itu, sepanjang 2005 hingga 2007 kita menyaksikan berulang kali betapa hiruk-pikuknya sejumlah daerah menggelar pesta demokrasi rakyat itu.Hiruk-pikuk karena di sini dan di sana selalu saja ada keributan dan kecurangan. Sementara di sisi lain entah berapa banyak biaya yang sudah dikeluarkan untuk itu, baik oleh negara maupun oleh masyarakat secara kolektif maupun perorangan.

Lalu hasilnya apa? Makin sejahterakah rakyat setelah pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, dan pilkada yang demokratis itu? Padahal, andai saja biaya besar yang sudah dikeluarkan itu dicurahkan untuk bidang pendidikan, kesehatan, koperasi, dan lainnya, termasuk pelbagai struktur dan infrastruktur yang niscaya menunjang pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan, mungkin hasilnya justru lebih baik. Namun sekali lagi, tergantung pihak mana yang menilai demokrasi itu. Jika pertanyaannya diajukan kepada rakyat yang menderita, maka mereka niscaya balik bertanya: untuk apa demokrasi jika hidup sehari-hari tetap susah?

Bagi yang sangat mementingkan ketenangan, maka mereka pun niscaya balik bertanya: untuk apa demokrasi jika hanya menimbulkan kekacauan? Bukankah itu yang terjadi di era Soeharto dulu? Demi stabilitas, demokrasi pun dikebiri dan pendekatan militeristik dikedepankan. Bagaimanapun, kini semuanya sudah berbeda. Demokratisasi sudah bergulir deras.Tak mungkin kita surut ke belakang. Tak mungkin kita menghapuskan pilkada untuk gubernur, sementara pilkada untuk bupati/wali kota tetap dijalankan. Jadi, bagaimana kita mesti menyikapi demokrasi?

Sebagai alat atau tujuan? Sebagai alat, itu tepat. Memang, demokrasi hanyalah cara, yang memberi kesempatan bagi setiap orang untuk menikmati apa pun yang menjadi haknya. Sebagai tujuan, itu benar. Karena Indonesia memang sedang dalam era transisi mengonsolidasikan demokrasi. Jadi, pelbagai struktur dan institusi harus diperkuat, begitu pun pelbagai prosedur dan mekanisme dalam pemilihan para elite dan pembuatan kebijakan publik. Karena itu, ia sekali-kali tak boleh dinomorduakan. Ia justru harus ditinggikan, berlandaskan rasionalitas dan moralitas. Karena itu pula, ia harus senantiasa terbuka untuk dikoreksi demi perbaikan yang membuatnya makin baik dari waktu ke waktu. Untuk kebaikan progresif itulah, tak bisa tidak, suara rakyat harus terus-menerus didengar. Sehingga, suatu saat kelak, tak ada lagi yang mengatakan secara pesimistis bahkan apatis, "Untuk apa demokrasi."

DR. VICTOR SILAEN
Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.
(mbs)

No comments:

A r s i p