Monday, December 17, 2007

ANALISIS POLITIK



Sekali Hidup, Sekali Mati

SUKARDI RINAKIT


Hari-hari terakhir ini saya agak melodramatik. Gemar mendengarkan irama keroncong dan suara parau Gesang. Terharu, karena HS Dillon konsisten memberikan dukungan terhadap Gerakan Kaum Muda dan penegasan eksistensi nilai kekeluargaan dalam ekonomi sesuai dengan mandat Undang-Undang Dasar 1945. Sedih, karena membenarkan kesimpulan Goenawan Mohamad yang menegaskan ia yang tinggal di menara lempang tak melihat kekalangkabutan.

Bagi pengamat politik, kalimat itu hanya bermakna tunggal, yaitu elite begitu menikmati kekuasaan. Mereka tidak merasakan kondisi masyarakat sudah sulit bernapas. Berjuta orang masih susah mencari pekerjaan, bencana alam menghalangi gerak mencari rezeki, banjir membuka pintu penyakit, banyak rumah ibadah dihancurkan, dan harga pangan relatif melambung. Tetapi, karena mereka tinggal di menara lempang, mereka tak mengakui terjadinya kekalangkabutan itu.

Ibarat lampu

Elite justru banyak yang terjebak pada wacana mengembalikan kontrol pemerintah pusat terhadap daerah. Usul agar gubernur dipilih oleh presiden, misalnya, adalah bukti dari tidak sensitifnya mereka terhadap kondisi rakyat. Kali ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertindak benar. Ia melemparkan isu itu ke permukaan sehingga menjadi diskusi publik.

Padahal, akan lebih bernilai jika wacana yang dikembangkan adalah mempertajam sistem klaster dan kajian segi tiga pertumbuhan antara kabupaten dan kota. Ini terkait dengan kecilnya sumber daya yang mereka miliki sehingga tidak mampu memutar roda perekonomian di wilayah masing-masing. Hanya dengan membentuk zona dinamis atas dasar produk unggulan di setiap wilayah yang terintegrasi, akselerasi putaran roda ekonomi akan terjadi. Ini juga memperkokoh kebijakan desentralisasi.

Selain itu, juga akan lebih produktif jika diskursusnya adalah revitalisasi strategi pertahanan "menghadap ke luar" seperti digagas Sultan Hamengku Buwono X dan budaya "makan tepung" yang dilontarkan Franciscus Welirang. Sistem pertahanan laut yang berpusat di Tanjung Perak dan Tanjung Priok memang hanya kelanjutan dari sistem pertahanan VOC untuk melindungi aktivitas dagangnya. Sedangkan budaya "makan tepung" akan menjadi jaring pengaman bagi stabilitas politik masa depan apabila kelangkaan beras terjadi.

Munculnya wacana agar gubernur dipilih oleh presiden dalam perspektif budaya politik bisa diartikan sebagai sinyal, lampu kekuasaan pemerintah pusat mulai meredup. Ibarat sinar lampu, ia tidak kuasa menembus kegelapan. Dalam bahasa lain, pemerintah pusat tidak punya kepercayaan diri mampu mengontrol daerah.

Usul itu juga berpotensi dicurigai berbobot politis jangka pendek karena dalam beberapa pemilihan kepala daerah terakhir, banyak kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan terpilih menjadi gubernur, seperti di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat. Seperti diketahui, partai ini adalah oposisi terhadap pemerintah. Ia bisa menggerogoti jejaring birokrasi pemerintah untuk kepentingan 2009.

"Mesu budi"

Ide pemilihan gubernur oleh presiden, disadari atau tidak, secara otomatis juga melemahkan upaya TNI dan Polri yang sudah melempar dadu kekuasaan sejak reposisi TNI tahun 1999. Tidak tertutup kemungkinan atas dasar alasan stabilitas politik dan keamanan negara, presiden akan memilih gubernur yang berlatar belakang militer atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan militer. Ini akan menyeret kembali militer memasuki ranah politik.

Mencermati kemungkinan terjadinya skenario seperti itu, sekali lagi saya teringat syair lagu Gesang, "sekali hidup, sekali mati". Karena, kita hanya sekali hidup lalu mati, memang sebaiknya kita berdemokrasi. Jika gubernur dipilih oleh presiden dan militer kembali terseret masuk ranah politik, matilah demokrasi.

Sejujurnya, meskipun TNI menyatakan netral secara politik, seperti dinyatakan kembali oleh calon Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, mereka belum sepenuhnya mesu budi (melakukan askatisme). Ini bisa dilihat dari praksis reposisi TNI yang belum tuntas.

Sampai hari ini profesionalisme TNI dengan karakter kompetensi, akuntabilitas, dan sejahtera sesuai dengan tatanan demokrasi berakselerasi lambat. Departemen Pertahanan belum menjadi superordinat Markas Besar TNI. Ia masih berkutat dengan urusan administrasi dan koordinasi penyusunan kebijakan dan strategi pertahanan. Sedangkan masalah pembentukan kepala staf gabungan, pengaturan "perbantuan", dan penataan struktur teritorial TNI belum menjadi agenda krusial.

Jika reposisi yang belum tuntas itu digabungkan dengan persepsi diri tentara sebagai kekuatan paling loyal pada Republik dan bukan sekadar pemanggul senjata, mereka bisa tergelincir pada rayuan kekuasaan jika politisi memanipulasinya.

Oleh sebab itu, ide pemilihan gubernur oleh presiden rasanya kurang fisibel. Ia bisa menyeret siapa pun untuk memutarbalikkan roda demokrasi. Bahkan, ia bisa membatalkan askatisme TNI dalam melakukan reposisi sesuai dengan tuntutan alam demokrasi.

Sekali hidup, sekali mati, siapa tidak ingin mengabdi kepada Pertiwi?

Sukardi Rinakit Direktur Eksekutif Sugeng Sarjadi Syndicated

No comments:

A r s i p