Saturday, December 22, 2007

Sejuta Lalat dan "Tiji, Tibeh"


L Wilardjo

Semua bermula dengan pernyataan bahwa calon presiden usungan Partai Golkar tidak akan dijaring melalui konvensi. Apakah itu keputusan yang tak boleh diganggu gugat atau sekadar uji lakmus (litmus test) untuk menjajaki seberapa asam atau basa warga partai itu? Entahlah.

Yang jelas, di sana-sini muncul reaksi. Ada yang menganggap pernyataan itu pertanda bahwa partai kuning itu tidak lagi mementingkan demokrasi. Sebagai semacam apologia, MJK menyatakan, yang penting tujuan pembangunan tercapai, yakni kesejahteraan bangsa. Pernyataan ini ditafsirkan miring sebagai "tujuan menyucikan cara" (the end justifies the means).

Prosedur netral?

Dalam suatu diskusi tentang "Islam di Australia" di STAIN Salatiga sekitar satu tahun lalu, Arief Budiman mengatakan, demokrasi ialah prosedur. Ia, demokrasi itu, tidak menjamin bahwa keputusan kolektif yang dihasilkan pasti baik. Ujaran Arief ini ada benarnya. Kalau yang berhura-hura dalam pesta demokrasi tidak memahami isu yang hendak diputuskan serta informasi yang benar tidak disosialisasikan dulu, keputusannya bisa keliru.

Saya suka menjuluki demokrasi macam ini sebagai "Demokrasi Sejuta Lalat". Motonya, "Sejuta lalat tak bisa salah. Santaplah tinja!" (One million flies can’t be wrong. Eat shit!). Kalau mayoritas rakyat jelata sedemikian sengsara hidupnya sehingga mencoblos gambar apa atau siapa saja mau asal mendapat upah tambahan nafkah, keputusan yang dicapai juga bisa salah. Keputusan itu hanya menguntungkan si kaya yang "berbagi" lembaran merah Soekarno-Hatta. Itulah "Demokrasi Politik Uang".

Sebaliknya, tanpa demokrasi pun, kesejahteraan dapat dicapai. Yenny Zannuba (Kompas, 1/12/2007) menunjuk China dan Singapura sebagai contoh negara yang tidak demokratis, tetapi maju dan cukup makmur. Simon Saragih (Kompas, 9/12/ 2007) mengutip Alan Greenspan yang mengatakan rakyat Rusia memilih Vladimir Putin daripada Boris Yeltsin (dulu). Meski Putin otoriter, di bawah Putin Rusia bangkit dari keterpurukan, menjadi negara maju yang mantap.

Yenny Zannuba mengedepankan ramalan Lee Kuan Yew bahwa "India dalam jangka panjang akan mencapai derajat kestabilan ekonomi dan politik yang lebih mapan bila dibandingkan dengan China". Arsitek Singapura modern itu selama berkuasa lebih mengutamakan stabilitas politik untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, dengan memberangus kebebasan berpendapat. Sebagai tokoh di balik layar pada masa Goh Chok Tong dan kini di bawah putranya sendiri, "BG", ia juga tidak risi dengan malang melintangnya Partai Aksi Rakyat.

Mengapa ia lebih membotohi India yang demokratis daripada China yang tidak demokratis? Apakah ia kini prodemokrasi? Belum tentu! Mungkin karena China mengandalkan penanaman modal asing secara langsung (direct foreign investment), sedangkan India lebih swadaya (self-reliant), juga dalam usaha menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Juga karena China akan menuai akibat pembangunannya yang kurang ramah lingkungan.

Nyaman di bawah sang kaisar

Negara-negara dalam pewayangan yang adil makmur, seperti Amarta dan Dwarawati, adalah monarki dengan raja yang kekuasaannya mutlak. Konsultasi memang dilakukan, tetapi keputusan akhir ada di tangan raja. Dengan kata lain, raja bertindak sebagai kaisar yang murah hati (benevolent despot).

Jika rakyat Singapura dan Rusia merasa nyaman di bawah BG Lee dan Vladimir Putin, biarlah; itu hak mereka. Demokratiskah negara-negara itu? Jika yang dipakai sebagai tolak banding ialah India atau Jerman, jawabnya, "Tidak!"

Namun, jika rakyat Singapura dan rakyat Rusia sendiri menerima gaya pemerintahan BG Lee dan V Putin serta nyaman menikmati ketertiban dan kemajuan negaranya, berarti pemerintahan kedua negara itu demokratis. Demos = rakyat, cratein = memerintah. Demokrasi ialah pemerintahan dengan persetujuan (rakyat) yang diperintah (Democracy is government with the consent of the governed).

Ratu adil

Yang lebih penting barangkali ialah persatuan bangsa dalam bergotong royong, senasib sepenanggungan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Kalaupun perikeadaan tiji, tibeh (mati siji, mati kabeh; mukti siji, mukti kabeh yang artinya ’menderita bersama atau bahagia sejahtera bersama’) itu tercapai di bawah ratu adil, ya tak apalah.

Begitu harapan rakyat jelata di kalangan orang Jawa, seperti impian FM Dostoyevsky dan F Nietzsche tentang Sang Adijana (der Uebermensch). Seperti itu pula harapan kaum mileniarianis yang menantikan Messias, yang diyakini akan datang lagi. Namun, terlalu merindukan ratu adil mengandung risiko. Jangan-jangan tokoh yang menebar citra sebagai calon ratu adil itu palsu. Setelah menjadi ratu dan menancapkan kekuasaannya, ia menampakkan watak aslinya sebagai Dasamuka yang durangkara-murka! Maka tiji, tibeh lalu berarti mukti siji, mati kabeh.

Karena itu, bagaimanapun lebih baik kita mempertaruhkan masa depan bangsa ini pada demokrasi. Kemampuan manusia untuk bertindak adil memungkinkan demokrasi, sedangkan kecenderungan manusia untuk bertindak tidak adil memutlakkan perlunya demokrasi (Reinhold Niebuhr).

Demokrasi bukan hanya merupakan nilai instrumental. Ia pantas dijadikan tujuan pada dirinya sendiri sebab esensi demokrasi ialah menghargai sesama kita sebagai anak bangsa yang setara. Menghargai (yang berarti mengasihi) sesama kita adalah imperatif kategoris.

L Wilardjo Fisikawan, Etikawan di UKSW Salatiga

No comments:

A r s i p