Saturday, December 29, 2007

pemberantasan korupsi



KPK Jilid Pertama dan "Demam" Antikorupsi


Vincentia Hanni S

Seusai dilantik Presiden pada 29 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, Erry Riyana, Tumpak, Amien Sunaryadi, dan Sjahruddin Rasul harus berhadapan dengan sebuah realitas yang membingungkan. Tak ada kantor, tak ada anggaran operasional, tak ada pegawai, dan tak ada yang memedulikan mereka. Mereka pun terpaksa rapat dari satu kafe ke kafe lain, tentu bergantian membayar. Bahkan, beberapa kali di kafe milik teman.

Seusai dilantik, mereka memberanikan diri bertanya kepada Presiden Megawati. "Jangan nanya kantor, kalau nanya itu pusing saya," jawab Presiden Megawati seperti dituturkan Taufieq (buku Empat Tahun KPK, Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan yang dikeluarkan KPK).

Akhirnya, mereka mendapatkan kantor yang dahulu merupakan kantor Departemen Kelautan dan Perikanan yang bersebelahan dengan Gedung Sekretariat Negara.

KPK mendapat dua lantai di gedung itu. Tempatnya sempit, semua menumpuk di ruangan yang luasnya hanya 6 x 6 meter. Peralatan kantor terpaksa diambil dari kocek mereka sendiri. Taufieq memerintahkan sekretarisnya, Ariston Rantetana, untuk membeli komputer di Glodok. Erry Riyana pun meminta sekretarisnya untuk membeli keperluan awal dan menyerahkan uang Rp 20 juta. Peralatan seperti gelas dan piring disiapkan oleh istri Erry.

Empat tahun lalu, saat Kompas mewawancarai mereka beberapa hari setelah mereka menempati gedung di Jalan Veteran, hanya ruangan kelima pimpinan ini yang kelihatan sudah layak untuk ditempati. Namun, masih sangat minim perabot.

Di ruangan Taufiequrachman Ruki saat itu hanya ada satu meja kerja, dua kursi, dan sebuah sofa tamu yang sudah tak lagi baru. Itu pun berkat kebaikan Sekretariat Negara yang bersedia meminjamkan beberapa buah furnitur tersebut. Ruangan-ruangan lain masih penuh debu dan sarang laba-laba. Juga tikus-tikus berukuran besar berlari ke sana kemari.

Tahun-tahun pertama, Taufieq cs hanya disibukkan untuk membangun institusi bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.

Kini, setiap orang yang melintasi Jalan Rasuna Said bisa melihat gedung KPK, meski gedung tersebut bukan gedung baru. Taufieq cs mengidamkan gedung tersebut menjadi smart office yang dipenuhi dengan peralatan canggih dan modern untuk melacak dan mengejar koruptor.

Empat tahun telah menyulap KPK menjadi institusi negara yang memiliki kemampuan penyadapan terkuat di Indonesia, kemampuan komputer forensik yang kini juga terkuat di Indonesia.

"Kemampuan pelacakan uang oleh KPK sudah dibangun dan saya yakin kini yang terkuat di Indonesia. Sementara kemampuan analisis data intelijen masih terus dibangun," jelas Amien Sunaryadi, Wakil Ketua KPK yang membidangi pembangunan kelembagaan.

Itulah KPK kini. Taufieq, Erry, Amien, Tumpak, dan Sjahruddin Rasul telah mengubah sebuah lembaga yang semula dalam khayalan, kini menjadi sebuah lembaga negara yang "ditakuti" para politisi dan koruptor.

Dua kekuatan kini yang dimiliki KPK adalah peralatan yang canggih dan modern untuk melacak koruptor dan sumber daya yang profesional.

Pada lapis kedua dan ketiga, institusi KPK diisi tenaga-tenaga profesional. Dengan kepiawaian mereka di bidang teknologi informasi, pengawasan, dan komputer forensik, KPK periode pertama mampu menghidupkan pasal mati, yaitu pasal suap. Pasal yang nyaris tak pernah dipakai penegak hukum untuk mengungkap kasus korupsi.

Berkat kedua kekuatan itulah KPK periode pertama berhasil menangkap anggota KPU Mulyana W Kusumah; pengacara Probosutedjo, Harini Wijoso; dan para pegawai Mahkamah Agung; penyidik KPK, AKP Suparman; dan anggota Komisi Yudisial Irawady Joenoes.

KPK juga membantu kejaksaan menangkap Tabrani Ismail dan Dharmono K Lawi, serta membantu kejaksaan melacak kasus Bulog.

Membentuk kultur baru

Pimpinan KPK pun berupaya memberi contoh dengan tidak menikmati fasilitas pejabat negara, seperti rumah dinas, mobil dinas, dan pengawalan yang ketat. Sebab, mereka sudah menghitung fasilitas-fasilitas itu justru akan membebani negara.

Itulah salah satu kultur baru yang hendak dibangun pimpinan KPK, termasuk membuat kode etik. Tetapi, kenyataannya, membangun kultur baru tidaklah semudah membalik telapak tangan.

Meski lima pimpinan KPK periode pertama berupaya membangun kultur kerja baru di KPK dilengkapi dengan sistem pengawasan internal, sistem pemantauan kinerja pegawai, maupun sistem penggajian yang sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup, toh mereka tetap saja kecolongan dengan munculnya kasus pemerasan penyidik KPK, AKP Suparman.

Kepemimpinan kolektif

Di luar KPK, kepemimpinan mereka berlima terlihat sangat solid, bahkan terkesan saling mengisi. Seorang praktisi hukum pernah mengatakan, pimpinan KPK ini mampu memainkan peran mereka masing-masing.

Penguatan kelembagaan KPK tak lepas dari sosok Amien Sunaryadi dan Erry Riyana yang memiliki kemampuan membangun sistem manajemen dan kultur lembaga serta membangun teknologi informasi. Taufiequrachman Ruki menjadi ikon yang kuat bagi KPK. Tumpak Hatorangan Panggabean memiliki kemampuan di bidang hukum. Sementara Sjahruddin Rasul memiliki kemampuan menggerakkan pemerintah daerah untuk memperbaiki sistem di pemerintahan daerah.

Namun, di internal KPK, kepemimpinan kelimanya kerap diwarnai dengan perdebatan soal perbedaan cara pandang dalam memberantas korupsi.

Sungguh bisa dipahami kalau perdebatan itu terjadi sebab kelima pimpinan KPK ini memiliki modal pengetahuan yang tidak sama soal bagaimana cara memberantas korupsi.

Taufiequrachman Ruki, Erry Riyana, dan Sjahruddin Rasul meyakini kepemimpinan kolektif adalah suatu kekuatan karena sulit untuk diintervensi.

Sementara Tumpak Hatorangan Panggabean berpendapat, "Kepemimpinan kolektif bisa menjadi sesuatu kekuatan apabila disertai dengan kesetaraan, keterbukaan, dan saling percaya, serta kepentingan yang sama dalam mencapai misi yang sudah ditetapkan secara bersama."

Menurut Tumpak Hatorangan, selama empat tahun ia merasa hubungan mereka berlima cukup solid dan tetap berpegang pada komitmen untuk tidak mau diintervensi oleh siapa pun.

Amien Sunaryadi memiliki pendapat lain. Menurut Amien, kepemimpinan kolektif justru membuat laju KPK tidak secepat yang ia harapkan. "Sekarang ini baru tercapai sekitar 40 persen dari yang saya harapkan," kata Amien.

Belajar dari negara-negara lain, kata Amien, Badan Antikorupsi di negara-negara yang berhasil justru dipimpin seorang komisioner atau seorang direktur.

"Hongkong komisionernya satu, ternyata berhasil, Malaysia komisionernya satu berhasil, New South Wales satu juga berhasil, Nigeria satu orang komisioner juga berhasil, Afrika Selatan Scorpion Tim satu orang juga sukses. Nepal komisionernya enam sekarang enggak ada kabarnya," kata Amien.

Strategi pemberantasan

Sudah tepatkah strategi pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK?

Taufiequrachman Ruki, Erry Riyana, dan Sjahruddin Rasul menilai strategi yang dilakukan KPK, yakni menyinergikan antara pencegahan dan penindakan, merupakan strategi pemberantasan korupsi yang tepat.

Tumpak Hatorangan yang selama ini menangani bidang penindakan mengatakan, kasus-kasus korupsi para kepala daerah merupakan kasus yang merugikan negara cukup besar setelah adanya otonomi daerah.

"KPK hanya melakukan penyidikan berdasarkan UU Nomor 31/1999, sedangkan kasus-kasus seperti BLBI dan Cendana itu tempus delicti-nya terjadi pada masa UU Nomor 3/1971," katanya.

Amien Sunaryadi mengatakan, apa yang dilakukan KPK periode pertama itu baru pada tahap awal pemberantasan korupsi.

"Kita masih berada pada posisi bendera start hendak dikibarkan, kita masih eforia. Sebab, untuk masuk ke tahap itu ada beberapa persyaratan yang harus dibuat, yaitu ada strategi nasional pemberantasan korupsi, ada upaya memperkuat DPR, memperkuat MA, dan dibentuk Badan Antikorupsi. Perlu 50 tahun, baru Indonesia bisa memberantas korupsi," kata Amien menegaskan.

Meski masih banyak kekurangan yang belum dilakukan KPK periode pertama, setidaknya mereka sudah mampu menyebarkan "demam" soal korupsi.

Empat tahun KPK hadir, publik sudah berani berteriak "korupsi". Apakah pimpinan yang baru mampu melanjutkan tongkat estafet ini?

No comments:

A r s i p