Friday, December 21, 2007

Golkar, Demokrasi dan Konvensi

Sebuah pernyataan mengejutkan dilontarkan oleh Partai Golkar, yang notabene adalah partai pemenang pemilu legeslatif tahun 2004. Pernyataan yang juga merupakan hasil rapat pimpinan nasional atau rapimnas di Jakarta 22-25 November, bahwa demokrasi bukanlah tujuan, sehingga bisa dinomorduakan.

Hasil lain yang banyak mendorong polemik di masyarakat adalah mengenai konvensi. Rapimnas Partai Golkar telah mengamanatkan bahwa konvensi tidak akan dilakukan kembali oleh Partai Golkar untuk menentukan calon presiden dari Partai Golkar pada Pilpres tahun 2009. Mayoritas DPD menolak konvensi, mereka menilai, sistem konvensi berpotensi melahirkan figur-figur capres yang tidak "berkeringat" untuk partai.

Selain itu juga konvensi bagaikan fenomena "jeruk makan jeruk". Konvensi hanya menyebabkan para kader saling berhadapan, sehingga menguras energi, pikiran, dan biaya, sebelum mencapai pertarungan yang sesungguhnya di pilpres. Untuk mendapatkan calon presiden, DPP Partai Golkar tidak akan menerapkan aturan konvensi seperti menjelang Pilpres 2004, tetapi kembali pada prosedur dalam AD/ART Partai Golkar yang menetapkan pemilihan calon presiden melalui Rapimnas paling cepat enam bulan sebelum dilakukannya pemilihan presiden pada Oktober 2009.

Mekanismenya akan dilakukan melalui survei untuk menjaring capres-cawapres dari Golkar. Apabila "tiba-tiba" DPP Partai Golkar saat ini memutuskan meninggalkan konvensi dan menggantinya dengan metode survei tetapi tanpa menyediakan alternatif inovasi politik yang jauh lebih menarik, maka tentu masyarakat akan bertanya-tanya. Bahkan, mungkin pula ada yang meragukan komitmen pembaruan Partai Golkar.

Kalau dulu orang menilai konvensi merupakan niat baik politik Golkar untuk lebih maju ketimbang partai-partai lain, maka ketiadaan konvensi menjadikan Golkar "menjadi mundur". Penolakan mekanisme konvensi dalam pemilihan calon presiden (capres) Partai Golkar, dinilai sebagai kemunduran serius. Bahkan, Partai Golkar di bawah kepemimpinan Muhammad Jusuf Kalla, yang juga Wakil Presiden, dinilai tidak berbeda dengan Golkar pada zaman Orde Baru. Penolakan itu sekaligus menunjukkan kuatnya pengaruh Jusuf Kalla.

Demokrasi atau Kesejahteraan
Perdebatan antara demokrasi dengan kesejahteraan memang sudah menjadi perdebatan klasik, khususnya di negara-negara berkembang yang sedang mencari formula bagi pembangunan politik dan ekonominya. Pembangunan demokrasi sebagai arus utama bagi pembangunan bangsa sama artinya mengedepankan pembangunan infrastruktur dan instrumen politik-demokrasi dalam semua sendi kehidupan bangsa dan menafikkan untuk sementara pembangunan ekonomi kesejahteraan.

Demikian juga sebaliknya, pembangunan kesejahteraan sebagai arus utama bagi pembangunan bangsa sama artinya dengan mengedepankan pembangunan infrastruktur dan instrumen ekonomi kesejahteraan. Perdebatan ini terus berlanjut sampai sekarang, karena antara demokrasi dan kesejahteraan diangap sebagau dua sisi mata uang yang berbeda, meskipun sebenarnya saling memiliki keterikatan, baik secara struktur, intrumental maupun kultur.

Dan, seolah telah menjadi konsensus bersama bahwa bangsa Indonesia telah memilih untuk menjadikan demokrasi sebagai arus utama ketimbang kesejahteraan. Indikatornya adalah; (1) semenjak reformasi 1998, berbagai instrumen dan lembaga-lembaga demokrasi ibarat rumput yang merekah tumbuh subur di manamana.

Sebut saja Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Anak, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) dan lembaga-lembaga lain, yang kesemuanya mengusung isu-isu politik tunggal sebagai manifestasi dari demokrasi itu sendiri.( 2) Secara instrumental juga telah terjadi perubahan paradigma dalam ketatanegaraan Indonesia yang menggambarkan pergulatan bangsa membangun demokrasi.

Antara lain ditunjukkan dengan adanya perubahan susunan ketatanegaraan, antara DPR, Presiden, MPR dan DPD, MK dan lain-lain. Perubahan sistem pemilihan presiden, pilkada langsung, reformasi TNI/Polri,dll. Karena mengedepankan pembangunan demokrasi, maka menjadi wajar jika pembangunan/pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di Indonesia berjalan sangat lambat.

Mengingat sejarah dan pengalaman-pengalaman negara lain, membuktikan bahwa dibuktikan "tangan besi" untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Sebut saja Singapura dan China, dua negara yang bisa dikatakan sama sekali tidak mengenal demokrasi, tetapi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya begitu tinggi.

Pernyataan Partai Golkar yang menyebutkan bahwa demokrasi bisa dinomorduakan, memang telah menuai banyak kritik, karena demokrasi telah menjadi arus utama pembangunan bangsa pascagerakan reformasi 1998.

Lebih disayangkan lagi, pernyataan tersebut dalam kaitannya dengan penghapusan mekanisme konvensi. Hal ini akan berbeda jika pernyataan menomorduakan demokrasi berkaitan dengan alasan untuk mengedepankan pembangunan ekonomi/kesejahteraan. Tentunya kritik tidak akan terjadi setajam dan serumit sekarang ini.

Demokrasi atau Konvensi
Sebagaimana yang disebutkan di atas, bahwa salah satu hasil dari Rapimnas Partai Golkar adalah meniadakan konvensi sebagai mekanisme penentuan capres dari Partai Golkar pada pemilu 2009. Keputusan Golkar meninggalkan mekanisme konvensi lalu berpindah ke model survei tanpa disadari telah merusak fondasi demokrasi yang dibangunnya sendiri.

Keputusan akhir konvensi yang amat ditentukan oleh dukungan kader di daerah merupakan ujian bagi proses demokratisasi di tubuh Golkar yang mengklaim berparadigma baru. Penerapan model survei untuk menjaring tokoh populer sebagai bahan DPP dalam memutuskan calon presiden bukan saja potensial mengukuhkan oligarki partai, tetapi juga dapat menjauhkan partai dari konstituen.

Dengan jajak pendapat, pengurus dan konstituen hanya akan menjadi penonton. Keterlibatan publik ditentukan secara acak lewat mekanisme sampling (pemilihan responden secara acak). Dengan dihapuskannya mekanisme konvensi oleh Rapimnas Partai Golkar, menyiratkan makna bahwa: Pertama, Partai Golkar saat ini telah menentang arus utama pembangunan bangsa, yaitu demokrasi.

Bisa jadi Partai Golkar menciderai demokrasi itu sendiri, yang salah satunya juga kontribusi dari partainya, sebagaimana tergambar dari konvensi Partai Golkar menjelang Pilpres 2004. Kedua, penghapusan konvensi mengambarkan Partai Golkar yang ingin kembali menjadi partai yang memiliki kekuatan penuh-power full- dalam pengambilan keputusan terkait dengan kepentingan partai, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dengan demikian, hal ini mengambarkan bahwa fenomena oligarki partai mulai tumbuh kembali di Indonesia. Hal ini tergambar dari ketidaksiapan partai menghadapi transparansi/keterbukaan, kebebasan berserikat dan lain-lain.

Hal ini tergambar juga dari sikap penolakan para elit politik partai yang menolak calon independen dalam pilkada. Terlepas dari argumentasi partai Golkar untuk menghapuskan konvensi dan "menomorduakan Demokrasi", demokrasi telah menjadi konsensus bangsa Indonesia, sehingga demokrasi menjadi arus utama dari pembangunan bangsa. (*)

M UMAR SYADAT HASIBUAN
Kandidat Doktor Ilmu Politik UI

No comments:

A r s i p