Saturday, December 22, 2007

Kontroversi Pengangkatan Gubernur


Eko Prasojo


Wacana pengangkatan gubernur oleh presiden yang digulirkan Kursus Reguler Angkatan Lemhannas menimbulkan pro dan kontra.

Sukardi Rinakit (Kompas, 11/12) mengkritisi ide itu sebagai persiapan politik menyambut Pemilu 2009. Meski analisis Sukardi Rinakit bisa saja benar, saya mengajak kita semua berpikir lebih fundamental tentang bangunan dasar hubungan pusat dan paerah yang menghasilkan pemerintahan daerah, termasuk gubernur.

Status dan peran ganda

Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, salah satu perekat sentralisasi dan desentralisasi dicerminkan oleh status dan peran ganda gubernur, yaitu sebagai kepala daerah sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah.

Dengan status ganda inilah, gubernur berperan melaksanakan otonomi daerah pada tingkat provinsi sekaligus mewakili presiden di daerah untuk menjamin agar visi dan misi pemerintah dapat dilaksanakan hingga level pemerintahan paling bawah. Peran yang diemban gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, terutama terkait tugas-tugas pemerintahan umum (general affairs) seperti menjamin stabilitas, integrasi nasional, koordinasi pemerintahan dan pembangunan, serta pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan kabupaten dan kota.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, gubernur sebagai kepala daerah menyelenggarakan otonomi daerah yang terbatas, yaitu urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota dan yang tidak dapat diselenggarakan oleh kabupaten/kota.

Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan UU No 22/1999, status dan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mengalami distorsi karena dalam Pasal 4 Ayat (2) disebutkan, kabupaten/kota sebagai daerah otonom tidak memiliki hierarki dengan provinsi sebagai daerah otonom.

Pemutusan hierarki antara provinsi dan kabupaten/kota dalam kapasitasnya sebagai daerah otonom menimbulkan implikasi mendalam, karena dalam praktik para bupati/wali kota tidak dapat memisahkan antara fungsi gubernur sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, hal ini menyebabkan terjadinya fragmented administration berlebihan dan uncoordinated development. Para bupati dan wali kota lupa, dalam kapasitasnya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur tetap berwenang melakukan pengawasan dan koordinasi terhadap pelaksanaan kewenangan oleh kabupaten/kota. Tidak mengherankan jika beberapa visi, misi, dan rencana strategis di tingkat nasional tidak dapat dicapai pada tingkat kabupaten/kota. Hal ini disebabkan lemahnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk melakukan koordinasi dan pembangunan yang dilakukan kabupaten/kota.

Sebaliknya, sektor-sektor di tingkat pusat (departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen) tidak memiliki lagi kantor departemen di tingkat kabupaten/kota. Akumulasi lemahnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan ketiadaan kantor departemen telah menyumbangkan terjadinya beberapa masalah nasional seperti busung lapar, polio, kelangkaan pupuk, serta buruknya kualitas pendidikan dan kesehatan.

Pengangkatan gubernur

Wacana pengangkatan gubernur bukan hal baru. Bahkan dalam pembahasan revisi UU 32/2004 oleh pakar di Depdagri, wacana ini muncul bersamaan dengan ide untuk menghapus status daerah otonom di tingkat provinsi. Status dan peran ganda yang dimiliki gubernur, dalam praktik, menimbulkan kebingungan karena locus otonomi daerah yang diletakkan di kabupaten/kota menjadi tidak optimal.

Urusan-urusan yang diserahkan kepada provinsi sebagai daerah otonom seharusnya merupakan urusan terbatas, meliputi urusan lintas kabupaten/kota. Dilihat dari PP 25/2000 dan PP 38/2007 tentang pembagian urusan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, maka yang diserahkan kepada provinsi meliputi urusan yang bersifat lokalitas, yang seharusnya diselenggarakan oleh kabupaten/kota.

Dari sinilah muncul wacana untuk menghapus status daerah otonom di tingkat provinsi, sekaligus menjadikan gubernur hanya sebagai wakil pemerintah pusat. Filosofi gagasan itu adalah memantapkan otonomi daerah pada locus paling dekat dengan masyarakat, yaitu di tingkat kabupaten/kota, sekaligus menghilangkan dualisme otonomi daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Provinsi hanya akan menjadi wilayah administrasi, bukan daerah otonom, sehingga gubernur hanya akan menjadi wakil pemerintah pusat.

Hal itu bertujuan memperkuat peran gubernur untuk melakukan pengawasan dan koordinasi pembangunan yang diselenggarakan kabupaten/kota. Karena itu, gubernur tidak dipilih oleh masyarakat (non-elected official), tetapi diangkat (appointed official) oleh presiden sebagai pemegang cabang kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, lembaga perwakilan daerah provinsi (DPRD provinsi) harus dihilangkan karena penghapusan status daerah otonom provinsi. Kelak, lembaga ini akan diisi lembaga perwakilan kabupaten/kota di tingkat provinsi yang anggotanya adalah anggota DPRD kabupaten/kota di provinsi itu.

Wacana ini bukan tanpa masalah, karena hal ini bertentangan dengan jiwa dan semangat Pasal 18 UUD 1945 Ayat (1), (2) dan (4). Pasal 18 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengamanatkan adanya pembagian NKRI atas daerah provinsi, dan daerah provinsi atas kabupaten/kota, yang tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Pasal 18 Ayat (1) dan (2) itu jelas mengatur otonomi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Ihwal pengangkatan gubernur oleh presiden, hal ini bertentangan dengan Pasal 18 (4) UUD 1945 yang menyebutkan, gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Makna dipilih secara demokratis bisa langsung maupun secara perwakilan melalui DPRD. Pengangkatan gubernur oleh presiden cukup rasional untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi akan mengurangi partisipasi politik masyarakat dalam menentukan kepala daerahnya.

Lagi pula, jika wacana ini hendak diwujudkan, revisi terhadap Pasal 18 dan 18A UUD 1945 harus lebih dulu dilakukan. Terlepas dari paranoid politik 2009, wacana pengangkatan gubernur patut mendapat pembahasan lebih mendalam.

Eko Prasojo Guru Besar FISIP UI; Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)

No comments:

A r s i p