Monday, December 17, 2007

POLITIKA



Pemimpin Berbuat, Bukan Bertanya

BUDIARTO SHAMBAZY


Tak sukar mencari penyebab menurunnya prestasi olahraga bangsa ini. Jawabannya jelas: prestasi buruk cermin dari apa yang sedang terjadi dalam masyarakat.

Prestasi sudah lama turun. Sebelum SEA Games di Nakhon Ratchasima, Thailand, perolehan emas Indonesia di Asian Games 2006 di Doha, Qatar, terpuruk. Di SEA Games 2007, RI paling bagus ada di peringkat kelima lagi.

Peringkat RI di Asian Games 2006 bukan hanya di bawah negara-negara ASEAN, seperti Singapura atau Filipina, bahkan Mongolia masih di atas RI.

Apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, Anda semua tahu. Sayang masih ada pemimpin yang malah bertanya kenapa prestasi anjlok.

Coba ikuti apa kira-kira yang ada di benak seorang atlet yang mau berlaga ke SEA Games kali ini. Seperti warga negara lain, mereka telah bertempur mati-matian menghadapi kesulitan hidup sehari-hari.

Mau pergi ke tempat latihan, misalnya ke Senayan, sudah dihadang macet total pada saat harga BBM naik melulu. Tempat latihan makin terbatas, sarana makin miskin, dan kualitas lingkungan makin tak sehat.

Waktu meninggalkan rumah ia pusing berapa uang yang disisakan untuk keluarga jika pergi "membela Merah-Putih" ke Thailand. Jangan-jangan rumahnya hanyut terkena banjir kiriman dari Depok.

Dengan rasa enggan ia tetap berlatih, tetapi seadanya saja. Ia bertemu rekan-rekan atlet, para pelatih, dan pengurus yang senasib sepenanggungan alias sama-sama getir hidupnya.

Akhirnya mereka mungkin bukan berlatih, tetapi berkeluh kesah. Mereka tahu pemerintah kekurangan dana pembinaan dan terpaksa menjalankan crash program seadanya.

Mereka tahu gengsi bangsa sudah anjlok. Mereka tertawa pahit berbagi cerita tentang kegagalan timnas sepak bola PSSI yang dihancurkan Suriah 0-7 dan 1-4 di penyisihan Piala Dunia 2010.

Mereka sadar Senayan sudah tak lagi memiliki karisma. Padahal, Bung Karno membangunnya di awal 1960-an demi tujuan mulia, yakni jadi pusat pembinaan bagi kejayaan olahraga.

Di situlah kontingen Merah-Putih berjaya di Asian Games 1962, ketika M Sarengat menjadi pelari tercepat Asia. Di situlah kontingen RI duduk di peringkat ketiga dengan perolehan 9 emas di bawah Jepang (73 emas) dan India (10).

Namun, Senayan kini jadi lokasi bisnis yang diincar tiap konglomerat. Perkampungan atlet berganti jadi mal, arena latihan hilang satu per satu jadi hotel, restoran, bahkan lahan parkir.

Jangan heran sang atlet tak mampu konsentrasi saat berlatih karena diganggu suara klakson metromini, preman berkelahi, atau hiruk-pikuk pameran. Tak usah kaget mereka makan junk food tak bergizi di Plaza Senayan atau Senayan City.

Hanya satu-dua atlet tak terganggu dari kondisi tak ideal itu sehingga bisa menyumbang emas. Ini membuktikan asumsi penting, yaitu pembinaan olahraga di mana pun ya sama saja.

Pembinaan yang benar pasti tercermin dari proses latihan yang tak akan keliru. Pembinaan yang benar telah disusun setiap induk organisasi di negeri ini.

Pembinaan itu dirangkum ke dalam sistem. Ada sistem sosialistis yang menerapkan cara-cara spartan yang masih berorientasi pada amatirisme seperti di China.

Ada sistem kapitalistis Barat yang lebih menjunjung tinggi profesionalisme. Mana yang cocok, silakan coba.

Kedua sistem itu, sosialistis atau kapitalistis, tak ubahnya seperti Anda mau memilih demokrasi atau monarki? Kedua-duanya cuma "alat" untuk mencapai "tujuan", yakni membentuk masyarakat sejahtera.

Masalahnya, apakah bangsa ini sudah siap berdemokrasi? Maaf, tampaknya belum.

Di bidang olahraga "tujuan" utama mencapai prestasi sebaik-baiknya. Masalahnya, apakah bangsa ini siap mencapai prestasi itu?

Jawabannya ya itu tadi: prestasi olahraga merupakan cerminan dari apa yang sedang terjadi dalam masyarakat. Dengan sangat menyesal dapat disimpulkan bangsa ini sedang "kurang sehat" alias "menderita penyakit".

Apa penyakitnya? Namanya "penyakit sistemik": sistemnya tak keliru, manusianya yang amburadul.

Jadi "penyakit sistemik" itulah yang mengakibatkan keambrukan di berbagai bidang kehidupan. Strukturnya benar, kulturnya salah.

Seperti kata pepatah, "Suara penyanyinya yang sumbang, bukan lagunya yang jelek". Meminjam kiasan politik yang populer di Amerika Serikat, "It's the mentality, stupid!"

Penyakit sistemik mewabah karena bangsa kehilangan daya saing. Daya saing menurun karena bangsa ini tidak patuh pada aturan alam, aturan hukum, sampai ke aturan main.

KPK benar, tetapi pimpinannya payah. Partai pilar demokrasi, tetapi DPR-nya busuk.

Kemacetan terjadi bukan karena jalan kurang panjang atau jumlah mobil kebanyakan, tetapi pengendara enggak tahu aturan. Moral turun bukan karena gaya hidup konsumerisme, tetapi karena pemimpin gagal jadi teladan.

Apa solusinya? Menurut saya hanya satu: bangsa ini perlu terapi kejut.

Kaisar Meiji melakukan pembaruan melalui restorasinya. Mao Zedong melancarkan revolusi kebudayaan untuk membuang apel-apel busuk dari keranjang.

Mikhail Gorbachev mencanangkan glasnost dan perestroika untuk merubuhkan Tirai Besi. Mahathir Mohamad mengampanyekan "Malaysia Boleh" untuk memajukan puaknya.

Tugas pemimpin berbuat, bukan malah bertanya.

No comments:

A r s i p